Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Minuman keras sering muncul dalam pemberitaan media massa. Ada media
massa yang menyingkatnya dengan akronim miras dan minol. Pemberitaan yang sempat
mencuat adalah tentang korban minuman keras oplosan dan polemik kepemilikan
pembaca saya merasa ganjil juga mendapat kabar itu. Lazimnya pemerintah daerah
memiliki saham di BUMD. Apalagi, konon, kepemilikan saham itu telah ada dari tahun
1970-an.
Jika kita membaca sejarah, minuman keras, dengan berbagai sebutan, memang
sudah begitu lama lekat dengan masyarakat. Terlebih dalam budaya tertentu, minuman
keras merupakan bagian dari ritual, perayaan, dan perjamuan. Sekarang saja, percaya
atau tidak, KBBI mencatat setidaknya ada 33 kata yang mengandung makna minuman
keras: anggur merah, anis, aqua vitae, arak, beram, bir, bozah, brem, ciu, genegin, gin,
kameko, khamar, kurasao, martini, moke, pahit, jenewer, papak, punch, rum, saguer,
sajang, sajang tapai, sampanye, sopi manis, sopi, susu macan, syarab, tuak keras, tuak
manis, tuak, vodka, dan wiski. Daftar itu bisa saja bertambah jika nama-nama minuman
Sekarang mari kita sejenak menengok ke masa lalu. Anda tentu pernah
mendengar kitab Sutasoma dari abad ke-14 yang menjadi sumber semboyan negara
Indonesia. Dalam kakawin itu tercatat dua adegan perayaan yang dihiasi oleh kehadiran
minuman keras. Dalam satu adegan digambarkan “semua pengiring Raja Kasi telah
mendapatkan tuak, badyag, waragang, kilang, brem, tampo, pangasih, yang mengalir
bagaikan air”. Dalam adegan lain digambarkan “tampo pengasih, kilang, brem,
1
mengalir dengan cepat disajikan dalam botol-botol, guci yang jumlahnya ribuan.” Semua
Kota Jakarta juga ternyata memiliki sejarah panjang berkaitan dengan minuman
keras. Arak sudah muncul dalam laporan-laporan perjalanan ke Jakarta di masa lalu.
Pada pelayaran kedua ke Nusantara, armada Belanda di bawah pimpinan Wybrand van
tempat mereka mengambil air dan membeli Aracca serta beras dalam jumlah besar dari
orang Cina."
Setelah itu, pada tahun 1607 Laksamana Cornelis Matelief de Jonge berlabuh di
Jaccatra dan memberi kesaksian "raja ini tampaknya orang cakap, yang bertanya
dengan ingin tahu tentang berbagai hal di Belanda. Ia sendiri membuat bedil dan meriam
besar. Kapal-kapal memperoleh 17 legger (9.894 liter) Arack di sini.” Selanjutnya, pada
tahun 1614 diadakan perjanjian antara Pangeran Jayawikarta (Jayakarta) dan Gubernur
Jenderal VOC G. Reijnst. Perjanjian itu antara lain berisi: “dan dijanjikan pula untuk
Informasi itu diperkuat oleh John Hooyman bahwa pada tahun 1611 ada sebuah
Pecinan yang sudah mapan dan membangun loji pertama di bawah pimpinan Wattingh
serta mengkhususkan diri dalam perdagangan beras. Di sana terdapat juga beberapa
pabrik arak (arak-branderijen) yang menyuling minuman keras dari beras dan tebu.
mengekspor arak untuk dibotolkan di Belanda dan dijual ke berbagai tempat. Hingga
kini, minuman yang disebut Batavia arrack masih memiliki tempat di Belanda.
2
Kata arak menurut satu sumber diserap dari bahasa Arab araq yang antara lain
berarti ‘sweat, liquor’. Dalam Lisanularabi, araq dijelaskan antara lain sebagai ‘sesuatu
yang keluar dari pangkal rambut atau kulit (keringat).’ Dari makna itu kemudian
Meskipun kata arak berasal dari Arab, sulit untuk menyatakan masyarakat
Indonesia menerima langsung konsep itu dari Arab. Kata harak ‘minuman keras’
ternyata sudah muncul pada pupuh ke-90 dari Nagarakretagama yang ditulis sekitar
tahun 1365 dan pada masa itu pengaruh Indialah yang menguat. Menurut satu sumber
teknologi distilasi arak berkembang saat Kesultanan Delhi yang kemudian menyebar ke
Cina dan sampai di Jawa oleh orang Mongol pada masa dinasti Yuan. Konon, minuman
Dengan melihat begitu lama kelekatan Jakarta dan minuman keras dalam
sejarah, rasa ganjil pun memudar. Jakarta tidak memiliki kekayaan berupa rempah-
juga, Jakarta tidak memiliki sumber daya alam, tentu Jakarta akan selalu mencari jalan
untuk memperoleh pendapatan daerah, termasuk jalan yang tidak lazim ditempuh di
daerah lain.