Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik terjadi secara
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian.1,2
Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia berhubungan dengan lokasi kerusakan medula spinalis. Kerusakan
medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak
berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan
fungsi total.2,3
Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40-80 kasus baru per 1 juta
populasi atau sekitar 250.000-500.000 orang mengalami cedera medula spinalis setiap
tahunnya. Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis
disebabkan oleh trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga
(10%), atau kecelakaan kerja.4 Angka mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam
pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra servikalis
memiliki risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6,
kemudian T12, L1, dan T10.2,3,4
Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan
dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis atau
kauda ekuina. Terapi pada kasus cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensorik dan motorik. Pasien dengan cedera
medula spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf
pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.
Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian
tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau
hilang sama sekali.5Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla
spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem
motorik, sistem sensorik dan vegetatif.6 Kelainan motorik yang timbul berupa
kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa
hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersarafi oleh level
vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi
kandung kemih, dan gangguan fungsi seksual.7
2.2 Epidemiologi
Insiden trauma medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus baru per 1 juta
populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000 orang
mengalami cedera medula spinalis.2 Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian
cedera medula spinalis disebabkan oleh adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas
(50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau kecelakaan kerja.Tingkat mortalitas yang
tinggi (50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi
kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup
dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian
oleh karena vertebra servikalis memiliki risiko trauma paling besar, dengan level
tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10.
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata
28 tahun (terutama antara 16-30 tahun).2 Hampir seluruh pasien cedera medulla
spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria:wanita yaitu 4:1) karena resiko
yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang
berhubungan dengan rekreasi (seperti diving).
2
2.3 Etiologi
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan
kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan
ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama dengan
rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada
keadaan ini terjadi pergerakan kedepan/dislokasi vertebra di atasnya. Semua fraktur
dislokasi bersifat tidak stabil.
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan
serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan
3
vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen
posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil
5. Fleksi lateral
2.4 Patofisiologi
A. B
4
Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk dipahami,
sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat dengan tujuan untuk
mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder. Pada skema (Gambar 1),
menggambarkan kombinasi dari berbagai macam tipe cedera medula spinalis. Banyak
sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah terjadinya cedera. Kista
biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari
sistem saraf perifer seringkali meenyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk
jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. Akson
asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa
akson membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk
oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag.
Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.9 Pada
umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra yang parah,
misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau distraksi aksial
dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada medula.
Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari
vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang
belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang
lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan
menjepit medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan
artritis degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher
disertai ligantum flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula.
Medula spinalis terjepit diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami
artritis dan posterior dari ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang
dikenal dengan sebutan sindroma medula sentral.8
Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera primer
dan sekunder.15 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis.
Pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi
akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan
ruptur diskus akut. Kedua, dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi
misalnya pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami
cedera hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang
berlebihan pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi,
ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan
5
dari medula spinalis dan atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa
disertai kelainan radiologis dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana
vertebranya masih terdiri dari tulang rawan, ototnya masih belum berkembang
sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada orang dewasa, cedera medula spinalis
tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit
degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat
luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi dapat
terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.10
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia
grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan
terjadi perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah
medula spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini
menyebabkan substansia grisea rusak.10 Kerusakan terutama pada gray matter
(substansia grisea) karena kebutuhan metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami
trauma secara fisik terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro
(mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat
menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari
pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel selama satu
jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam setelah
cedera. 10
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis
akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya
kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter,
eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid.
Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier
medula akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan. Selama berlangsungnya
perdarahan pada medula, maka suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan
iskemia yang mengakibatkan kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera
sekunder. Cedera sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti
perdarahan dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi
kalsium dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan
fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 10
6
2.5 Anatomi
Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat. Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di canalis vertebralis,
dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Syaraf
Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen spinal dan juga cairan LCS
(liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang
subarachnoid. Bagian superior dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak,
tempat bergabungnya dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior
di region lumbal. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari
ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan
kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar syaraf lumbal dan sakral
terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar
melalui foramen intervertebral. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan
ligamen dan juga oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).11,12,13 Sumsum
tulang belakang berbentuk silinder panjang dan ramping dari jaringan saraf yang
memanjang dari batang otak. Panjangnya sekitar 45 cm (18 inci) dan lebar 1 hingga 1,5
cm.
7
Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui
radix anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix sensorik.
Masing-masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang
membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai.
Masing-masing radix saraf memiliki sebuah ganglion radix posterior, yaitu sel-sel
yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya
yaitu :11,12,13
Medulla spinalis berakhir sebagai konus medulla di daerah lumbar 1 atau lumbar 2.
Disebut konus karena bentuknya yang menguncup merupai kerucut. Setelah medulla
spinalis berakhir, lapisan piamater mengalami pemanjangan hingga mencapai bagian
koksigeus, disebut sebagai filum terminalis. Serabut syaraf yang terletak di bawah
konus medullaris kemudian membentuk kauda equina (buntut kuda) dan meneruskan
8
jarasnya menuju ke ekstremitas bagian bawah. Kauda equina terbentuk dari kenyataan
bahwa medulla spinalis berhenti bertambah panjang sejak umur 4 tahun, namun
demikian tulang vertebra terus bertambah panjang hingga usia remaja.12
Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal dan ventralnya
memiliki cekungan yang dinamakan posterior median sulcus di bagian dorsal dan
anterior median fissure di bagian ventral. Pada potongan melintang, dan disebut
sebagai substansia alba. Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu
(substansia grisea) yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan
melintang, substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu
anterior atau posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea
yang tipis, bagian dalamnya mengandung banyak badan sel saraf sehingga berwarna
abu-abu. Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis
merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Struktur ini diselubungi oleh
kanal sentral, yang secara anatomis merupakan perpanjangan dari sistem ventrikel pada
otak, sehingga mengandung cairan serebrospinal. Substansi grisea mengandung badan
sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, syaraf sensoris dan motoris
dan akson terminal dari neuron. Bagian posterior sebagai input atau afferent, anterior
sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang dan substansi alba
merupakan kumpulan serat syaraf bermyelin dan daerah perifer dari medulla spinalis
mengandung banyak serabut saraf sensorik dan motorik sehingga memiliki warna
putih.11
9
Gambar 4. Penampang medulla spinalis
Fungsi medula spinalis adalah sebagai pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu
dikornu motorik atau kornu ventralis, mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks
tungkai, refleks merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus
internal ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh.
Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks yang
melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut refleks otonom atau visceral,
menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum dan
mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.11,12,13
Traktus umumnya diberi nama sesuai dengan asal dan sinapsnya. Misalnya,
traktus spinocerebellar ventral adalah jalur naik yang berasal dari sumsum tulang
belakang dan membentang ke tepi ventral (ke arah depan) dari tali pusat dengan
beberapa sinapsis sepanjang jalan sampai akhirnya berakhir di serebelum. Saluran ini
membawa informasi yang berasal dari reseptor peregangan otot yang telah dikirim ke
sumsum tulang belakang oleh serabut aferen untuk digunakan oleh spinocerebellum.
Sebaliknya, saluran kortikospinal ventral adalah jalur menurun yang berasal dari
daerah motorik korteks serebri, kemudian berjalan ke bagian ventral sumsum tulang
belakang, dan berakhir di sumsum tulang belakang pada badan sel neuron motor eferen
yang menyuplai otot skeletal. Karena berbagai jenis sinyal dibawa dalam saluran yang
berbeda di dalam sumsum tulang belakang, kerusakan pada area tertentu dapat
mengganggu beberapa fungsi tertentu, sedangkan fungsi lainnya tetap utuh.15
10
Gambar 5. Penampang medulla spinalis15
Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron primernya
memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna. Akson-akson
pada medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras fasciculus grasilis, sebaliknya
bila akson terdapat setinggi T6 atau diatasnya, maka akan memasuki jaras fasciculus
cuneatus yang terletak di bagian lateral fasciculus grasilis.
11
Gambar 6. Traktus Medulla Spinalis15
Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian medial setelah
meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini disebut sebagai fiber
internal arkuata. Persilangan jaras ke bagian kontralateral terdapat pada titik ini.
Setelah itu jaras terus naik ke bagian medial lemniskus kontralateral hingga pada
akhirnya berhenti di nukleus ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps
dengan neuron tersier. Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan
berujung pada korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini disebut juga jaras
kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar, perubahan posisi, raba dan
diskriminasi.
Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh; kemudian,
output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan koordinasi kerja otot-otot
antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain.
Proses ini berjalan tanpa disadari.
12
Traktus Spinotalamikus
Jaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang merupakan jalur untuk
penghantaran beberapa jenis impuls lainnya. Stimulus nyeri dan suhu akan melewati
jaras spinotalamikus lateral, sedangkan sisanya (persepsi raba kasar dan tekan)
melewati jaras spinotalamikus anterior. Jaras ini juga memiliki 3 neuron. Urutan
perjalanannya dimulai dari reseptor perifer bersinaps dengan neuron sensorik pertama
yang melewati dorsal ganglion dan menuju medulla spinalis. Setelah mencapai medulla
spinalis, jaras bersinaps dengan neuron kedua dan kemudian bersilang ke sisi
sebelahnya dan memasuki traktur spinothalamikus bagian anterior atau lateral. Jaras
menaiki medulla spinalis hingga mencapai thalamus dan kemudian bersinaps dengan
neuron ketiga dan kemudian menuju korteks sensorik.
13
Traktus Spinoserebelaris
14
Gambar 8.Traktus Spinoserebelaris15
Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba
serebri (korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral pedunkulus
serebri, ponsm dan basal medula. Tempat traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil
yang disebut sebagai piramid. Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi.
Pada bagian ujung bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di
dekusasio piramidum. Traktus yang menyilang ini disebut sebagai traktus
kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak menyilang disini berjalan menuruni medula
spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior; serabut
ini menyilang lebih di bawah melalui komisura anterior medula spinalis. Pada tingkat
servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat beberapa serabut yang tetap tidak
menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius, sehingga
otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral. Pada akhir jaras,
serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron, kemudian menghantarkan
impuls ke saraf perifer.
15
Gambar 9. Traktus Motorik Medulla Spinalis15
Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama traktus
ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju nuklei nervi
kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuklei batang otak ini sebagian
menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuklei yang menerima input traktus
piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui
nervus kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta XII.
16
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari nervus
kranialis III, IV, dan VI.
17
Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang
digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla
spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir
sama, sebagai fungsi motorikpada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan
paling tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik dan/
atau motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi
parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level trauma pada kedua sisi
sangat penting.16
Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah T1. Cedera pada
segmen 8 medulla spinalis servikal akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi dibawah T1
menyebabkan paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang vertebra yang
mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis. Level
neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan fisik. Seringkali
ditemukan perbedaan antara level tulang dan neurologis karena nervus spinalis
memasuki kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun didalam kanalis
spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla spinalis.16
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The Christopher
& Dana Reeve Foundation mengkategorikan trauma medulla spinalis , menjadi :16
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien mungkin
tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan sendiri juga kehilangan
kemampuan mengontrol defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara
juga terganggua atau menurun.
b. Trauma setinggi C5 – C8
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara normal
seperti sebelumnya.
18
b.1. Trauma setinggi C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku, tetapi terjadi paraplegia. Mampu
berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada level ini
menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku, dan terjadi paraplegia.
Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan gangguan ekstensi siku
dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit
kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi
tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan alat.
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang digenggam. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan
bantuan alat.
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan otot punggung
atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan gangguan ekstremitas
atas.
d. Trauma setinggi T6 – T12
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung dari level
trauma medulla spinalis. Biasanya trauma menyebabkan keluhana paraplegia dengan
kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi normal. Pasien masih mampu mengendalikan
kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk produktif selama
19
otot abdominal masih intak. Biasanya tidak terdapat gangguan berkemih ataupun
defekasi.
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki. Tidak
terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi
tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan
alat. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat bantu untuk
berjalan
f. Trauma setinggi S1-S5
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan
bantuan alat. Pasien mampu berjalan cukup baik.16
20
Gambar 11. Cedera Medulla Spinal Menurut ASIA16
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan
cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan
pemeriksa.
a. Complete transaction
21
Gambar 12. Complete spinal cord injury.16
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik
yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi
pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari
anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak pada daerah
wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada
ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah
biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari)
sangat sering dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan
karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling
hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.17
22
c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark
pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis
sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan sensasi
nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi,
dan getaran tetap baik.17
Sindrom ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka
tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni,
sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis)
dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya sensasi
suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma (traktus
spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung ke
medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan. Kondisi ini terjadi
parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi sensoris sentuhan,
tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan sensoris nyeri dan suhu
kontralatetal.1
23
Gambar 15. Brown sequard syndrome.16
Manifestasi klinis dari trauma medulla spinalis dapat berupa medulla spinalis yang
mengalami trauma akan mengalami gangguan fungsi yang menyebabkan hilangnya
kontrol otot dan juga hilangnya sensasi pada saraf-saraf yang berada di daerah yang
mengalami cedera dan di bawahnya. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat
sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera
yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medulla spinalis atau merusak jalur
jalannya saraf di medulla spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi
trauma tumpul yang mengguncang medulla spinalis dapat menyebabkan hilangnya
fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa
bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot.
Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot
mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya
sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat
berkembang menjadi spasme otot yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis
spastik). 16,18,19
Kerusakan hebat dari medulla spinalis di pertengahan punggung bisa
menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi secara
normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau
bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan meningkat.
Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap
24
dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat
terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering
mengalami kedutan. 16,18,19
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh
fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat
dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan
sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di
substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat
terjadi dalam beberapa menit kemudian. 16,18,19
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid,
reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia.
Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi
serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada
daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam
keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat
yang lebih tinggi. 16
Apabila medulla spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi
yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada
bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon,
refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu
setelah cedera medulla spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan
dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang
menyebabkan cedera medulla spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi
dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui syok sama sekali. Selain
itu, gangguan yang timbul pada cedera medulla spinalis sesuai dengan letak lesinya,
dimana pada UMN, lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan
disertai hipertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cedera mengenai C1 hingga L1. Pada
LMN, lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hiporefleksia, yang disertai hipotonus
dan biasanya lesi ini terjadi jika cedera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping
itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi
seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 16
Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis, yaitu:
16,18,19
25
2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan
reflek tendon miotom.
3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan
sapstic blader dan bowel.
4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.
5. Gangguan mobilisasi yaitu miring kanan dan kiri, transfer dari tidur ke duduk,
duduk, transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
6. Penurunan vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru, dan
hipotensi.
7. Skin problem menyangkut adanya decubitus.
8. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena.
9. Paraplegia
10. Paralisis sensorik motorik total
11. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
dan disfungsi saluran pencernaan.
12. Disfungsi autonom berupa penurunan keringat dan tonus vasomotor
13. Penurunan fungsi pernapasan
14. Infertilitas
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital, yaitu diantaranya
disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada C1-C2 akan
mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi
m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal.
Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius, dan sebagian m. pectoralis
mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal.
Dampak umumnya, yaitu efektivitas kinerja otot pernafasan menurun.
Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi karena
gangguan jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan thoracal. Akibat
disfungsi simpatis yang mempengaruhi fungsi jantung dan dinding vaskular, hilangnya
kontrol simpatis supraspinal mengakibatkan aktivitas simpatis menurun. Lesi setinggi
cervical dan thoracal mengakibatkan tonus vasomotor menurun sehingga
mengakibatkan hipotensi.16,18,19
Fungsi sistem urinaria terganggu saat terjadi lesi setinggi S2 dan S4. Dimana bila
terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor vesika urinaria mengalami
26
kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor melemah, sedangkan S4 mengatur
spingter urinaria eksterna berkontraksi karena bersifat spastik, akan mengakibatkan
retensi urin. Sedangkan bila lesi setinggi S4 akan mengakibatkan spingter urinaria
eksterna melemah (membuka) sedangkan fungsi dari otot VU normal maka akan
mengakibatkan inkontinensia urin.
Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medullaris, axon parasimpatis di cauda
equine dan axon somatic pudendus setinggi T10, fungsi pembentukan fese terganggu,
karena mempengaruhi dinding usus, pada lesi tersebut diatas akan mengakibatkan tipe
LMN, dimana feses lebih kering dan bundar, resiko tinggi inkontinensia akibat
rendahnya tonus spingter ani. Lesi setinggi diatas conus medullaris akan
mengakibatkan lesi tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas peristaltik usus, retensi
fecal akibat spastik spingter ani.16,18,19
27
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas
medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan,
fraktur dislokasi vertebra. 16
Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural
maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma
maupun akibat dari sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang ringan
tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua
keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan
di dalam substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat
fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya
eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya
fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi
setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan
fungsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini menimbulkan
gambaran klinis yang khas hematomiella, yaitu terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot
setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas nyeri
dan suhu serta fungsi funikulus posterior. 16
28
sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan
bokong. 16 Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine
serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala,
yang bergantug pada serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai
paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang
terlibat. Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin
dan hilangnya kontrol dari vesika urinaria, inkontinensia alvi, dan impotensi. 16
29
3. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek
terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik
otot tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan (3-6 minggu)
Pada anak-anak, fase syok spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa
yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi tractus urinarius atau
keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung
lebh lama.16 Mc Cough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam
mekanisme syok spinal. 16,18,19
1. Hilangnya fasilitas tractus desendens
2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada otot ekstensor, dan
3. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai
dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia
dan aktivitas otot yang meningkat. 16,18,19
30
akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, piloereksi dan
pengosongan kandung kemih secara otomatis. 16
2.8 Diagnosis
Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan
napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah
dilakukan anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum
dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar,
kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan
peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat
bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami
kelemahan terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.
Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui penyebab
trauma dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien yang diduga
mengalami cedera tulang cervical harus diperlakukan sangat hati-hati.
Pemeriksaan neurologis pada cedera medulla spinalis meliputi penilaian berikut
seperti:20,21
1. Sensasi pada tusukan (tractus spinotalamikus)
2. Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
3. Kekuatan kelompok otot (tractus kortikospinal)
4. Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
5. Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera cervical tinggi, seperti
disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medulla spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis
lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf
spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai
level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur,
karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat. 20,21
31
disertai dengan dislokasi. Pemeriksaan positif AP, lateral dan obliq dilakukan
untuk menilai:
1. Diameter anteroposterior kanal spinal
2. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
3. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
4. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
5. Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
32
7. Pungsi Lumbal: Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis. Sedikit
peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan
Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medulla spinalis, tetapi
perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra cervical harus dihindari bila diperkirakan
terjadi trauma pada daerah vertebra cervicalis tersebut.
2.9 Penatalaksanaan
33
Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain
yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson,
demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler. Pada tingkat seluler, terjadi
peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid
endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel.
Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan
terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid,
antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropin releasing hormone (TRH),
antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti. Semuanya
memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis
bermakna.
Kortikosteroid
34
ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu,
dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid,
dan ternyata tidak lebih baik disbanding metilprednisolon. Terapi ini masih
kontroversial. Studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari
terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,
meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan kematian.24
GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel. Glikolipid
ini berperan meningkatkan neuronal Sprout dan transmisi sinaptik.
Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor
pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein
kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan
terapi 72 jam pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru
menyatakan masih kurang bukti ilmiah terkait obat ini.24
Fisioterapi
35
Fisioterapi dapat berperan sejak fase awal terjadinya trauma sampai pada tahap
rehabilitasi. Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam
program ini adalah bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia. Rehabilitasi cedera medulla spinalis merupakan suatu
pelayanan kesehatan professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase
akut, secara terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus selama fase
sub-akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga pernafasan dan
obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi, pelayanan nutrisi, latihan wicara,
pekerjaan sosial, sampai dengan konseling kesehatan seksual.6
Pada penderita kerusakan yang terjadi pada medulla spinalis bersifat permanen,
karena seperti yang kita ketahui bahwa setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak
akan terjadi regenerasi dari sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan
tetap rusak walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya. Berdasarkan hal
tersebut maka intervensi yang diberikan oleh fisioterapi pun bertujuan untuk
meningkatkan kemandirian pasien dengan kemampuan yang dimilikinya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Peran adalah bentuk pelayanan kesehatan yang
ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan
mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi. Selama tahap awal rehabilitasi, terapis
biasanya menekankan pemeliharaan dan penguatan fungsi otot yang ada, pembangunan
kembali keterampilan motorik halus dan belajar teknik adaptif untuk menyelesaikan
tugas-tugas sehari-hari.23
Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus
tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi seperti reduksi terbuka dislokasi dengan atau
tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal,
adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap
menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang
adekuat. Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi
36
diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan
tomografi untuk membuktikannya. Fragmen yang menekan lengkung saraf. Adanya
benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis dan lesi parsial medula spinalis
yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya dengan cara konservatif yang
maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.23
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kelainan medulla spiinalis adalah ulcus decubitus,
osteopororis, infeksi saluran kecing, gagal ginjal, pneumonia, atelektasis, aspirasi, deep
vein trombosis, neuropatic pain, komplikasi sistem respirasi. Namun komplikasi ini
sebenarnya secara potensial dapat dicegah. Ulcus decubitus merupakan komplikasi
paling utama pada cedera medulla spinalis, karena terjadi tekanan yang pada umumnya
terjadi pada daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera
medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja, tapi juga
peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang. Hal tersebut dapat dicegah
dengan dengan cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Kebanyakkan pasien
dengan cedera medulla spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang
normal, tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang
menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan
aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan dan pelarutan dari
kalsium sehingga kepadatan tulang berkurang. Kalsium tulang yang larut akan
menyebabkan terjadinya batu ginjal karena kalsium yang melarut tadi keluar melalui
air kencing yang kurang lancar dan akhirnya dapat menyebabkan infeksi saluran air
kencing. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi saluran kencing
berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder intermiten secara hati-hati.
Pasien dengan cedera medula spinalis di bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk
berkembangnya restriksi fungsi paru, seperti pneumonia, atelektasis, aspirasi yang
terjadi pada 10 tahun dan dapat progresif sesuai keadaan.16
37
sebagai profilaksis. Neuropatic pain merupakan masalah yang penting dalam cedera
medulla spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis.
Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya dapat
berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan merasakan terdapat
phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level lesi ke inervasinya. Pada
sistem respirasi bila lesi berada di atas level C4 akan menimbulkan paralisis otot
inspirasi sehingga biasanya penderita membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut
disebabkan gangguan pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi
disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang
mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m. intercostalis.
Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat kemampuan penderita untuk
batuk dan mengeluarkan sekret.16,17
2.11 Prognosis
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang mempengaruhi
lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera medula spinalis
sebesar 20%..19 Pasien dengan cedera medula spinalis komplit hanya mempunyai
harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72
jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik
masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar
50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri.
Penyebab kematian utama adalah pneumonia, emboli paru, dan gagal ginjal. 26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
38
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat
trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem
sensorik dan vegetatif. Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai
terjadinya inkontinensia berhubungan dengan lokasi kerusakan medula spinalis.
Kerusakan medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan
gejala-gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien
mengalami kegagalan fungsi total. Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab
traumatik, disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau
hiperekstensi medula spinalis atau kauda ekuina.Trauma medulla spinalis
menyebabkan kompresi, regangan, edema, dan gangguan sirkulasi pada medulla
spinalis dan organ sekitarnya sehigga fungsi medulla spinalis (motorik, sensorik,
otonom, dan reflek) terganggu tergantung letak lesi yang terjadi. Trauma medulla
spinalis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang dengan
pemeriksaan penunjang. Dalam penatalaksanaan awal trauma medula spinalis harus
memperhatikan airway, breathing dan circulation, setelah tanda-tanda vital mengalami
perbaikan, baru dilakukan terapi farmakologi, seperti kortikosteroid. Pada non medika
mentosa dapat dilakukan fisioterapi dan rehabilitasi fisik, hal ini harus dikerjakan
sedini mungkin dan pada kasus-kasus tertentu cedera medulla spinalis dapat dilakukan
operasi. Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan dan penyebab kematian utama yaitu
pneumonia, emboli paru, dan gagal ginjal.
39
2. Maditias, G., & Berawi, K. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula
Spinalis. J. Medula Unila; 2017. 7(2): 48-49.
3. The International Spinal Cord Society. International perspectives on spinal cord
injury (ISCOS). Geneva: WHO; 2013.
4. Basuki A. Cedera medula spinalis akut. Dalam: Basuki A, Dian S, editors.
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK
UNPAD/RSHS; 2010. hlm. 123-49.
5. Ropper HA, Brown RH. Adam’s and victor principles of neurology. USA :
McGrawHill ; 2009.
6. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, et al . Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2016. h.168-71.
7. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2014.
h. 35-36.
8. Feneis, H., Dauber, W. Pocket Atlas of Anatomy Based on the International
Nomenclature Fourth Edition, fully rivised. Ney York: Thieme; 2010.
9. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., &
Galloway, A. C. Principles of Surgery Companion Handbook. USA:
McGraw-Hill; 2010
10. Dumont, Randall J., Okonkwo, David O., Verma, Subodh, Hurlbert, John c.,
Boulos, Paul T., Dumont, Aaron S. Acute Spinal Cord Injury, Part I:
Pathophysiologic Mechanisms. Clinical Neuropharmacology; 2001. 24 (5):
254-264
11. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer Assiciates;
2002.h.23-36, 277-283.
12. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi
ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16
13. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta : EGC; 1997.
14. Sherwood L. Human physiology from cells to systems. 9th Ed. United States
of America: Cengage Learning; 2016.p.172-4.
15. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology: anatomy,
physiology, signs, symptoms. 6th Ed. New York: Thieme Stuttgart; 2014.
h.27-87..
40
16. American Spinal Injury Association. International Standards for Neurological
Classifications of Spinal Cord Injury. 2011 [cited 20 Mei 2018].In the journal
of spinal cord medicine. America : Chicago. Available from URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3232636/.
17. Chin LS. Spinal cord injury. 10 Agustus 2017 . [cited 20 Mei 2018]. New
York : Department of Neurosurgery. Available from URL:
https://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#a1
18. Evans, Mardjono M., Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2003: h.35-36.
19. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.
Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice
Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord
Medicine. Vol. 31. 2006.
20. Murthy TVSP. Management od spinal cord injury: Issues of debate. Indian
Journal of Neurotrauma (IJNT). 2007; 4(1): 15-19.
21. Yezierski RP. Spinal cord injury pain: Spinal and supraspinal mechanisms.
JRRD. 2009; 46(1): 95-108.
22. Mitchell CS, Lee RH. Pathology dynamics predict spinal cord injury
therapeutic success. J. Neurotrauma ;2008. h. 1483–97.
23. Schwartz ED, Flanders AE. Spinal trauma: imaging, diagnosis, and
management. Pennsylvania: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
24. Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic mechanisms,
clinical neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol; 2001. h. 254–64.
25. Gondowardaja Y, Purwata TE. Trauma medula spinalis : Patobiologi dan
tatalaksana medikamentosa. Indonesia : Depansar. CDK-219/vol 41 no 8 ;
2014.
26. Manley, Geoffrey T; Rosenthal, et al. Spinal Cord Injury. In Current Surgical
Diagnosis & Treatment. Vol. 37. California: McGraw-Hill; 2008.
41