Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
antara pribadi, masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan tanpa merugikan
pihak yang lain. Adalah tugas dari hukum pidana untuk memungkinkan
masyarakat umum. Karena itu, karakter publik dari hukum pidana justru mengemuka
dalam fakta bahwa sifat dapat dipidananya suatu perbuatan tidak akan hilang dan tetap
ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan persetujuan orang terhadap
siapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses penuntutan
berdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian akibat perbuatan
itu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana abai terhadap kepentingan
para pihak.
Berbagai teori dan praktek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
adalah hukum pidana yang berasal dan berlaku juga di negeri Belanda. Di Indonesia
masih saja memberlakukan hukum pidana peninggalan kaum penjajah, yang teks
aslinya masih bertuliskan dalam bahasa Belanda. Sebagai negara yang merdeka dan
hukumnya, termasuk usaha pembaharuan di dalam lingkup hukum pidana. Pada hukum
1
materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana
bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya
salah satu bidang saja yang diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul
kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka
(berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945) tersebut tidak akan tercapai
sepenuhnya. Dengan adanya arah kebijakan hukum yang jelas, maka diharapkan
tercipta suatu kondisi kehidupan masyarakat hukum yang selaras, serasi, dan seimbang
dengan adanya suatu peraturan hukum yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Narkotika
yang sangat dibutuhkan. Untuk itu penggunaannya secara legal dibawah pengawasan
A.Ghani “Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani,
yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah Narcose atau
kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi
dan lain-lain.
3
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat 1
”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.”
Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan juga
mengkhawatirkan. Saat ini, jutaan orang telah terjerumus ke dalam ‘lembah hitam’
narkoba, ribuan nyawa telah melayang karena jeratan ‘lingkaran setan’ bernama
narkoba, telah banyak keluarga yang hancur karenanya dan tidak sedikit pula generasi
muda yang kehilangan masa depan karena perangkap ‘makhluk’ yang disebut narkoba
ini. Kita tahu bahwa pondasi utama penyokong tegaknya bangsa ini dimulai dari
keluarga, ketika keluarga hancur, rapuh pula bangunan bangsa di negeri ini.
adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara pasal 1
adalah gejala dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus, toleransi
dan gejala putus Narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan pasal 1 angka
4
yang diamanatkan dalam konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan
Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk
yang dapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila digunakan tanpa
pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan
pengawasan dokter. Pengertian tersebut, juga tersirat dari pendapat Dadang Hawari,
yang menyatakan bahwa ancaman dan bahaya pemakaian Narkotika secara terus-
menerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta
pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun psikis yang
sangat kuat terhadap pemakaianya, atas dasar hal tersebut, secara sederhana dapat
Hambatan fungsi sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi
keluarga atas teman-temannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan
agresif yang tidak wajar, dapat pula membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu
lintas akibat mabuk atau tindak kriminal demi mendapatkan uang untuk membeli
5
B. Penjatuhan Sanksi Pidana Mati Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
(delict) penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang
berstatus sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika
(Pasal 112, 113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi
menjadi 2 (dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan 121)
dan pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan
penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh
seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita
medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan
narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat),
yaitu: pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar
6
hak dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang
narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan
dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi.
menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan
pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara,
pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana
putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi
7
b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana.
Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan.
Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Tutupan
5. Pidana Denda
b. Pidana Tambahan
c. Teori Pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata “pidana yang sering diartikan pula dengan
hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan hukuman. Kalau orang
Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai
itu masih merasakan akibatnya yang berupa “ cap “ oleh masyarakat, bahwa ia pernah
8
berbuat “jahat”. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orang tersebut
mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur
d. Syarat-syarat pemidanaan.
Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada
orang itu tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak
pemidanaan. Baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi
orang atau si pelaku, pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang
tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan
atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan
menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat
Dalam hal ini Sudarto, mengemukakan sebagai berikut: “syarat pertama untuk
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asa
legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang
pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang
9
e. Tujuan Pemidanaan.
Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak
menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia
Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia
terhadap serabgan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara
menyearang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu”. (Ultercht 1967)
Biasanya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat diuraikan sebagai
berikut:
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumEst). Pidana merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mampunyai tujuan
tertentu yang bermafaat. Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah
terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang yang membuat
10
kejahatan (quia peccatumest) melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne
kepentingan masyarakat.
c. Teori gabungan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
pidana mati pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144 yang akan penulis sebutkan
sebagai berikut:
Pasal 113
Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau
dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
11
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanapaling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
Pasal 114
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan
I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
Pasal 118
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
12
belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta
Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan
I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
13
Pasal 121
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika
digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00
Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum pada ayat (1)
Pasal 144
Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak
pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal
115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal
123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1), dan pasal
14
Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal
ayat (1) tidal berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
15
Daftar Pustaka dan Footnote
J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, cetakan pertama, PT. Citra Aditya
Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, cetakan kedua, CV. Rajawali, Jakarta, 1982
C.S.T. Kansil, dan Engelien R. Palandeng, , Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam
Sudarto, hukum pidana jilid 1A, dikeluarkan oleh Fakultas hukum Undip, Semarang,
1971
Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,
16
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta,
1968
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998
J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
17
Kusno Adi, kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh
Dit narkoba korserse Polri, penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba yang
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, penerbit PT Inti buku Utama, Jakarta, 1993
18