Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angka kematian bayi (AKB) dapat didefinisikan sebagai banyaknya yang meninggal sebelum usia 1 tahun
yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. AKB merupakan indikator yang
biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat (SDKI, 2011).

Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi, dilihat dari sisi penyebabnya kematian bayi ada dua
macam yaitu endogen dan eksogen. Faktor yang dapat dikaitkan dengan kematian bayi endogen dan
eksogen adalah kematian endogen atau yang umum disebut kematian neonatal adalah kematian bayi
yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang
dibawa sejak lahir yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Sedangkan kematian eksogen atau kematian postnatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia 1
bulan sampai menjelang usia 1 tahun yang disebabkan faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh
lingkungan luar akibat dari kurangnya pengetahuan orang tua dalam merawat bayinya (Depkes, 2007).

Menurut WHO 2009 angka kematian bayi di Negara tetangga tahun 2007 seperti singapura 3% per 1.000
kelahiran hidup, Malaysia 6,5% per 1.000 kelahiran hidup, Thailand 17% per 1.000 kelahiran hidup,
Vietnam 18% per 1.000 kelahiran hidup dan philipina 26% per 1.000 kelahiran hidup sedangkan angka
kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 46,5% per 1.000 kelahiran hidup (Depkes, 2011).

Ikterus merupakan salah satu fenomena yang sering ditemukan pada bayi baru lahir, kejadian ikterus
pada bayi baru lahir berkisar antara 25-50% pada bayi cukup bulan 80% pada bayi kurang bulan. Ikterus
ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan sebagian bersifat patologis (hiperbilirubinemia)
yang dapat menimbulkan dampak yang buruk (SDKI, 2011). Dampak buruk yang diderita bayi seperti :
kulit berwarna kuning sampai jingga, klien tampak lemah, urine menjadi berwarna gelap sampai
berwarna coklat dan apabila penyakit ini tidak ditangani dengan segera maka akan menimbulkan
dampak yang lebih buruk lagi yaitu kernicterus (kerusakan pada otak) yang ditandai dengan bayi tidak
mau menghisap, letargi, gerakan tidak menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku (Suriadi, 2006).

Peran perawat dalam keperawatan ini sebagai innovator, fasilitator dan pendidik dan sebagai pemberi
pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan dalam melakukan asuhan keperawatan kepada klien secara
menyeluruh baik biologis, psikologis, social, budaya dan spiritual yang meliputi beberapa aspek antara
lain aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dari aspek promotif adalah dimana perawat
berperan sebagai promotor kesehatan yang perlu memberikan informasi ataupun pendidikan kesehatan
tentang pentingnya hidup sehat dan melakukan pemeriksaan kandungan secara rutin. Perawat sebagai
aspek preventif adalah menganjurkan kepada ibu hamil untuk berhati-hati terhadap penggunaan obat-
obatan dan pemenuhan gizi yang baik untuk bayi. Aspek kuratif perawat berkolaborasi dalam pemberian
terapi (fototherapi,transfuse pengganti, infus albumin dan therapy obat). Peran perawat sebagai
rehabilitatif adalah perawat mengembalikan kondisi klien setelah mengalami penurunan kadar bilirubin
dan menginformasikan kepada ibu

Peran perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat sangat berguna untuk memberikan
asuhan keperawatan dan kode etik dalam menangani pasien dengan diagnosa hiperbilirubin. Pada
kenyataannya kita lihat dilapangan banyak pasien hiperbilirubin yang pemberian asuhan keperawatan
yang kurang maksimal, contohnya pada fototerapi, seharusnya mempunyai kontrol atau pengawasan,
tetapi banyak perawat yang lalai dalam hal tersebut. Pada saat pengkajian ditemukan tiga dari sepuluh
bayi yang di rawat inap perinatology dengan diagnosa ikterus neonatum, dimana ketiga bayi tersebut
sedang di fototerapi.

Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi
rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu memahami kasus hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.

b. Mampu menganalisa dan menegakan diagnosa keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di
instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.

c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap
perinatology di RSUD Pariaman.

d. Mampu melaksanakan rencana keperawatan yang telah disusun sesuai dengan rencana
keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.

e. Mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien
dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.

f. Mampu melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Konsep Dasar

1. Pengertian

Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai pada kulit, mukosa akibat akumulasi bilirubin
dan diberi istilah jaundice atau ikterus (Bobak, 2004).

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal
(Suriadi, 2001).

Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern icterus kalau tidak ditanggani dengan baik atau
mempunyai hubungan dangan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubin bila kadar
bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan dan 15 mg% pada bayi kurang bulan (Harison, et all, 2000).

Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang
menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2005).

2. Etiologi

Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :

1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah ibu dan
anak pada golongan rhesus dan ABO.

2. Gangguan konjugasi bilirubin.

3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.

4. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.

5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol).

6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI.

7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga icterus
hemolitik.
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya hiperbilirubin atau
karena pengaruh obat-obatan.

9. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau infeksi.

10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang
dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma, shypilis.

3. Anatomi Fisiologi

a. Gambar anatomi hepar

Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga perut dibawah diafragma.
Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah
tua karena kaya akan persendian darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan
oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan yang lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai tiga bagian
utama yaitu lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates (Price & Wilson, 2005).

Hati disuplai oleh pembuluh darah,yaitu :

1. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral.

2. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.

b. Fungsi hati

1. Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang disimpan dari suatu tempa dalam
tubuh dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya.

2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresikan dalam empedu dan urine.

3. Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.

4. Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk dalam retikulo endulium dialirkan ke
empedu

5. Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta vitamin yang larut dalam lemak
(vitamin A,D,E,K) glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dalam tubuh (seperti
peptisida).

6. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang sudah tua dan rusak.
7. Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di ubah menjadi ureum, dikeluarkan dari
darah oleh ginjal dalam bentuk urine.

8. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.

4. Patofisologi

Terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu, hemolysis, rusaknya sel-sel hepar, gangguan konjugasi
bilirubin. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi akan mengalami gangguan dalam
hati dan tidak bisa mengikat bilirubin dan mengakibatkan peningkatan bilirubin yang terkonjugasi dalam
darah yang mengakibatkan warna kuning pucat pada kulit (Haws Paulette S, 2007).

Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah oleh enzim glukoronil transferase
yang berfungsi untuk merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin konjugasi sehingga bilirubin
yang tak dapat diubah akan larut dalam lemak dan mengakibatkan ikterik pada kulit. Bilirubin yang tak
terkonjugasi tidak larut dalam air ini tidak bisa diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.
Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan bilirubin terhadap
hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan urine dan feses berwarna gelap (Price, Sylvia Anderson, 2006).

Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang larut dalam lemak akan memberikan
dampak yang buruk terhadap kerja hepar karna secara terus menerus melakukan transferase tanpa
adanya pembuangan melalui eliminasi, dan jika berlanjut akan menyebabkan hepatomegaly yang
mengakibatkan terjadinya rasa mual muntah, jadi dengan adanya peningkatan bilirubin didalam darah
maka akan menyebabkan terjadinya hiperbilirubin. apabila bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20
mg/dl maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut kernicterus jika tidak dengan segera maka akan
dapat mengakibatkan kejang , tonus otot kaku, spasme otot, reflek hisap lemah (Price, Sylvia Anderson,
2006).

5. Manifestasi klinis

a. Kulit jaundice (kuning)

b. Sklera ikterik

c. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dl pada neonatus yang cukup bulan dan 15 mg%
pada neonatus yang kurang bulan.

d. Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake kalori.

e. Asfiksia

f. Hipoksia
g. Sindrom gangguan nafas

h. Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit

i. Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat ditemukan adanya kejang

j. Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)

k. Terjadi pembesaran hati

l. Tidak mau minum ASI

m. Letargi

(AH Markum, 2002)

6. Klasifikasi

Ada 2 macam icterus menurut (Vian Nanny Lia Dewi, 2010) yaitu :

1. Ikterus fisiologi (direks)

a. Timbul pada hari ke-2 atau ke 3

b. kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 12 mg/dl pada bayi
kurang bulan

c. Peningkatan kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari

d. Ikterus hilang 10-14 hari

e. Tidak ada mempunyai hubungan dengan patologis

2. Ikterus patologis

a. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan

b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl atau lebih dalam 24 jam

c. Apabila kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 10 mg/dl pada
bayi kurang bulan

d. Ikterus menetap setelah 2 minggu

e. Mempunyai hubungan dengan hemolitik


7. Penatalaksanaan

Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney (2007), antara lain :

1. Memenuhi kebutuhan atau nutrisi

a. Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum, berikan berulang-ulang, jika tidak mau
menghisap dot berikan pakai sendok. Jika tidak dapat habis berikan melalui sonde.

b. Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI) mungkin perlu
ganti susu.

2. Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus

a. Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar pukul 1- 8 selama 30 menit)

b. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah7 mg% ulang esok harinya.

c. Berikan banyak minum

d. Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segara hubungi dokter, bayi perlu terapi

3. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan

a. Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan

b. Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lngkungannya

c. Mencegah terjadinya infeksi ( memperhatikan cara bekerja aseptik).

8. Komplikasi

a. Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).

b. Kernikterus, kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hyperaktif, bicara lambat, tidak
ada koordinasi otot dan tangisan melengking.

(Suriadi & Rita Yuliani, 2006)

9. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan pada bayi hiperbilirubin menurut Marilyn E. Dongoes, 2001 yaitu :


a. Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb indirek menandakan adanya
antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes comb direk menandakan
adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel darah merah dari neonatus.

b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.

c. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl, yang mungkin
dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi
praterm (tergantung BB bayi).

d. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan,
terutama pada bayi paterm.

e. Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena hemolisis. Hematokrit
mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan.

f. Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan hemolisis.

g. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.

h. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi sel darah merah
dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.

i. Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal atau imatur, eritroblastosis
pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompabilitas ABO.

j. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.

k. Ultrasonografi, digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan


ekstrahepatic.

l. Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar seperti diagnosa
membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan
seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatoma.

m. Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia billiari.

n. Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan bilirubin.


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

a. Identitas

meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat.

b. Riwayat kesehatan

1. Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya keadaan umum lemah , TTV tidak stabil terutama suhu tubuh. Reflek hisap menurun, BB turun,
pemeriksan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan, kulit tampak kunin, sclera
mata kuning, perubahan warna pada feses dan urine (Cecely Lynn Betz, 2009).

2. Riwayat kesehatan keluarga

Kemungkinan ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal icterus
yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah
suspect sph). Ada saudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau icterus (Haws Paulettet,
2007).

3. Riwayat kehamilan

a. Ketuban pecah dini, kesukaran dengan manipulasi berlebihan merupakan predisposisi terjadinya
infeksi.

b. Pemberian obat anastesi, analgesic yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas
(hypoksia), asidosis akan menghambat konjugasi bilirubin.

c. Bayi dengan APGAR score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia), asodosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin

d. Kelahiran premature berhubungan dengan prematuritas organ tubuh hepar.

(Haws Paulette , 2007)

c. Pemeriksaan Fisik

1. KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma


2. TTV

TD : -

N : biasanya 120-160x/i

R : biasanya 40x/i

S : biasanya 36,5 – 37 ºC

3. Kesadaran : biasanya apatis sampai koma.

4. Kepala, mata dan leher

Kulit kepala tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau terdapat caput. Biasanya
dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi icterus dengan
melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih (kuning) (Haws,
Paulette S.Hasws, 2007).

5. Hidung : biasanya tampak bersih

6. Mulut : ada lendir atau tidak, ada labiopalatoskisis atau tidak (Hidayat, 2009). Pada kasus mulut
berwarna kuning (Saifuddin, 2002).

7. Telinga : biasanya tidak terdapat serumen.

8. Thorak : Biasanya selain ditemukan tanpak icterus juga dapat ditemukan peningkatan frekuensi
nafas. Biasanya status kardiologi menunjukan adanya tachycardia, khususnya icterus disebabkan oleh
adanya infeksi.

9. Abdomen : Biasanya perut buncit, muntah, mencret merupakan akibat gannguan metabolism
bilirubin enterohepatik.

10. Urogenital : Biasanya feses yang pucat seperti dempul atau kapur akibat gangguan hepar atau atresia
saluran empedu.

11. Ekstremitas : Biasanya tonus otot lemah.

12. Integument : Biasanya tampak ikterik, dehidrasi ditunjukan pada turgor tangan jelek, elastisitas
menurun.

2. Diagnosa Keperawatan

Kemungkinan diagnosa yang mungkin muncul pada klien hiperbilirubin yaitu :

a. Hipertermia b/d paparan lingkungan panas (efek fototerapi), dehidrasi.


b. Resiko deficit volume cairan b/d kehilangan aktif volume cairan (evaporasi).

c. Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice), hipertermi, perubahan turgor kulit,
eritema.

d. Resiko terjadi cedera b/d fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.

3. Intervensi Keperawatan

NO.

Dx. Keperawatan

NOC

NIC

1.

Hipertermia b/d paparan lingkungan panas(fototerapi).

Thermoregulasi

- Suhu tubuh dalam rentang normal

- nadi , RR dalam rentang normal

- Tidak ada perubahan warna kulit.

- Monitor suhu minimal tiap 2 jam.

- Recanakan monitoring suhu secara kontinui

- Monitor warna dan suhu kulit

- Monitor tanda-tanda hipertermia & hipotermi.

- Monitor pola pernafasan abnormal.

- Berikan anti piretik

- tingkatkan sirkulasi udara

- monitor sianosis perifer


Defisit volume cairan b/d kehilangan aktif volume cairan (evaporasi).

Fluid balance

Hydrarin

Nutritional status : food and fluid intake.

- Mempertahankan urine output sesuai dengan BB, BJ urine normal, HT normal.

- Timbang popok jika diperlukan

- Pertahankn cacatan intake & output yang akurat.

- Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa ,nadi adekuat)

- Monitor vital sign

3.

Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice) hipertermi, perubahan turgor kulit, eritemia.

Tissue integrity : skin and Mucous membrance

- Suhu tubuh dalam rentang normal 36º C - 37º C.

- Hidrasi dalam batas normal

- Keutuhan kulit

- Pigmentasi dalam batas normal.

- hindari kerutan pada tempat tidur.

- jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.

- Mobilisasi klien setiap 2 jam sekali.

- Monitor adanya kemerahan.

- Oleskan lotin/baby oil pada daerah yang tertekan.

- Mandikan dengan air hangat.

4.

Resiko terjadi cedera b/d fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.

Risk control
- Tidak ada iritas mata

- Tidak ada tanda-tanda dehidrasi

- Suhu stabil

- Tidak terjadi kerusakan kulit.

- Letakkan bayi dekat cahaya.

- Tutup mata dengan kain yang dapat menyerap cahaya

- Matikan lampu dan buka penutup mata bayi setiap 8 jam, lakukan inspeksi warna sclera.

- Buk penutup matawaktu memberi makanan.

- Ajak bayi bicara selama perawatan.

4.Implementasi dan Evaluasi

No.

Dx. Keperawatan

Implementasi

Evaluasi

Ttd

1.

Hipertermia b/d paparan lingkungan panas(fototerapi).

- Memonitor suhu minimal tiap 2 jam.

- Memonitor warna dan suhu kulit

- Memonitor tanda-tanda hipertermia & hipotermi.

- Memonitor pola pernafasan abnormal.

- Memberikan anti piretik


- Mentingkatkan sirkulasi udara

- Memonitor sianosis perifer

S:

-Keluarga mengatakan kulit klien tampak kering dan memerah.

O:

-Kulit bayi tampak kering dan memerah.

A:

-Masalah belum teratasi

P:

-Intervensi dilanjutkan.

2.

Resiko deficit volume cairan b/d kehilangan aktif volume cairan (evaporasi).

1.Mempertahankan cacatan intke dan output yang akurat.

2. memonitor status hidrasi (kelembapan membrane mukosa).

3. Memonitor masukan cairan.

4. Memantau turgor kulit

5. Memonitor BB bayi

S : -Ibu mengatakan anaknya di fototerapi.

- ibu mengatakan anaknya mulai mau menyusu.

O:

-Turgor kult bayi tampak jelek.

- tampak membrane mukosa bayi kering.


- Bayi mendapatkan ASI

A:

-Masalah belum teratasi

P:

-Intervensi dilanjutkan

3.

Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice), hipertermi, perubahan turgor kulit.

1.Memakaikan pakaian yang longgar

2. Hindari kerutan pada tempat tidur.

3. Menjaga kebersihan kulit agar tetap bersih.

4. Memonitor kulit adanya kemerahan.

5. Mengoleskan baby oil pada daerah yang tertekan.

6. Memandikan bayi dengan air hangat.

S:

-Keluarga pasien mangatakan tubuh pasien masih menguning.

O:

-turgor kulit bayi tampak jelek

- Bayi tampak menguning

A:

-Masalah belum teratasi

P:

-Intervensi dilanjutkan
4.

Resiko terjadinya cidera b/d fototerapi (peningkatan kadar bilirubin).

1.Mengkaji hiperbilirubin 1x 4 jam.

2. Memberikan fototerapi.

3. Meletakkan bayi dekat sumber cahaya

4. Menutup mata dengan kain yang menyerap cahaya.

5. Mematikan lampu dan buka penutup mata bayi setiap 8 jam

S:

-keluarga mengtakan bagian tubuh pasien bertambah kuning.

O:

-Sclera tampak ikterik

-Total bilirubin 23,81 mg/dl.

A:

-Masalah belum teratasi

P:

-Intervensi dilanjutkan

Vous aimerez peut-être aussi