Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) dapat didefinisikan sebagai banyaknya yang meninggal sebelum usia 1 tahun
yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. AKB merupakan indikator yang
biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat (SDKI, 2011).
Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi, dilihat dari sisi penyebabnya kematian bayi ada dua
macam yaitu endogen dan eksogen. Faktor yang dapat dikaitkan dengan kematian bayi endogen dan
eksogen adalah kematian endogen atau yang umum disebut kematian neonatal adalah kematian bayi
yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang
dibawa sejak lahir yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Sedangkan kematian eksogen atau kematian postnatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia 1
bulan sampai menjelang usia 1 tahun yang disebabkan faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh
lingkungan luar akibat dari kurangnya pengetahuan orang tua dalam merawat bayinya (Depkes, 2007).
Menurut WHO 2009 angka kematian bayi di Negara tetangga tahun 2007 seperti singapura 3% per 1.000
kelahiran hidup, Malaysia 6,5% per 1.000 kelahiran hidup, Thailand 17% per 1.000 kelahiran hidup,
Vietnam 18% per 1.000 kelahiran hidup dan philipina 26% per 1.000 kelahiran hidup sedangkan angka
kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 46,5% per 1.000 kelahiran hidup (Depkes, 2011).
Ikterus merupakan salah satu fenomena yang sering ditemukan pada bayi baru lahir, kejadian ikterus
pada bayi baru lahir berkisar antara 25-50% pada bayi cukup bulan 80% pada bayi kurang bulan. Ikterus
ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan sebagian bersifat patologis (hiperbilirubinemia)
yang dapat menimbulkan dampak yang buruk (SDKI, 2011). Dampak buruk yang diderita bayi seperti :
kulit berwarna kuning sampai jingga, klien tampak lemah, urine menjadi berwarna gelap sampai
berwarna coklat dan apabila penyakit ini tidak ditangani dengan segera maka akan menimbulkan
dampak yang lebih buruk lagi yaitu kernicterus (kerusakan pada otak) yang ditandai dengan bayi tidak
mau menghisap, letargi, gerakan tidak menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku (Suriadi, 2006).
Peran perawat dalam keperawatan ini sebagai innovator, fasilitator dan pendidik dan sebagai pemberi
pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan dalam melakukan asuhan keperawatan kepada klien secara
menyeluruh baik biologis, psikologis, social, budaya dan spiritual yang meliputi beberapa aspek antara
lain aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dari aspek promotif adalah dimana perawat
berperan sebagai promotor kesehatan yang perlu memberikan informasi ataupun pendidikan kesehatan
tentang pentingnya hidup sehat dan melakukan pemeriksaan kandungan secara rutin. Perawat sebagai
aspek preventif adalah menganjurkan kepada ibu hamil untuk berhati-hati terhadap penggunaan obat-
obatan dan pemenuhan gizi yang baik untuk bayi. Aspek kuratif perawat berkolaborasi dalam pemberian
terapi (fototherapi,transfuse pengganti, infus albumin dan therapy obat). Peran perawat sebagai
rehabilitatif adalah perawat mengembalikan kondisi klien setelah mengalami penurunan kadar bilirubin
dan menginformasikan kepada ibu
Peran perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat sangat berguna untuk memberikan
asuhan keperawatan dan kode etik dalam menangani pasien dengan diagnosa hiperbilirubin. Pada
kenyataannya kita lihat dilapangan banyak pasien hiperbilirubin yang pemberian asuhan keperawatan
yang kurang maksimal, contohnya pada fototerapi, seharusnya mempunyai kontrol atau pengawasan,
tetapi banyak perawat yang lalai dalam hal tersebut. Pada saat pengkajian ditemukan tiga dari sepuluh
bayi yang di rawat inap perinatology dengan diagnosa ikterus neonatum, dimana ketiga bayi tersebut
sedang di fototerapi.
Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi
rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami kasus hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
b. Mampu menganalisa dan menegakan diagnosa keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di
instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap
perinatology di RSUD Pariaman.
d. Mampu melaksanakan rencana keperawatan yang telah disusun sesuai dengan rencana
keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
e. Mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien
dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
TINJAUAN TEORITIS
Konsep Dasar
1. Pengertian
Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai pada kulit, mukosa akibat akumulasi bilirubin
dan diberi istilah jaundice atau ikterus (Bobak, 2004).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal
(Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern icterus kalau tidak ditanggani dengan baik atau
mempunyai hubungan dangan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubin bila kadar
bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan dan 15 mg% pada bayi kurang bulan (Harison, et all, 2000).
Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang
menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2005).
2. Etiologi
1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah ibu dan
anak pada golongan rhesus dan ABO.
7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga icterus
hemolitik.
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya hiperbilirubin atau
karena pengaruh obat-obatan.
9. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau infeksi.
10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang
dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma, shypilis.
3. Anatomi Fisiologi
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga perut dibawah diafragma.
Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah
tua karena kaya akan persendian darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan
oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan yang lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai tiga bagian
utama yaitu lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates (Price & Wilson, 2005).
1. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral.
2. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
b. Fungsi hati
1. Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang disimpan dari suatu tempa dalam
tubuh dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya.
2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresikan dalam empedu dan urine.
4. Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk dalam retikulo endulium dialirkan ke
empedu
5. Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta vitamin yang larut dalam lemak
(vitamin A,D,E,K) glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dalam tubuh (seperti
peptisida).
6. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang sudah tua dan rusak.
7. Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di ubah menjadi ureum, dikeluarkan dari
darah oleh ginjal dalam bentuk urine.
4. Patofisologi
Terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu, hemolysis, rusaknya sel-sel hepar, gangguan konjugasi
bilirubin. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi akan mengalami gangguan dalam
hati dan tidak bisa mengikat bilirubin dan mengakibatkan peningkatan bilirubin yang terkonjugasi dalam
darah yang mengakibatkan warna kuning pucat pada kulit (Haws Paulette S, 2007).
Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah oleh enzim glukoronil transferase
yang berfungsi untuk merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin konjugasi sehingga bilirubin
yang tak dapat diubah akan larut dalam lemak dan mengakibatkan ikterik pada kulit. Bilirubin yang tak
terkonjugasi tidak larut dalam air ini tidak bisa diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.
Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan bilirubin terhadap
hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan urine dan feses berwarna gelap (Price, Sylvia Anderson, 2006).
Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang larut dalam lemak akan memberikan
dampak yang buruk terhadap kerja hepar karna secara terus menerus melakukan transferase tanpa
adanya pembuangan melalui eliminasi, dan jika berlanjut akan menyebabkan hepatomegaly yang
mengakibatkan terjadinya rasa mual muntah, jadi dengan adanya peningkatan bilirubin didalam darah
maka akan menyebabkan terjadinya hiperbilirubin. apabila bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20
mg/dl maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut kernicterus jika tidak dengan segera maka akan
dapat mengakibatkan kejang , tonus otot kaku, spasme otot, reflek hisap lemah (Price, Sylvia Anderson,
2006).
5. Manifestasi klinis
b. Sklera ikterik
c. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dl pada neonatus yang cukup bulan dan 15 mg%
pada neonatus yang kurang bulan.
d. Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake kalori.
e. Asfiksia
f. Hipoksia
g. Sindrom gangguan nafas
i. Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat ditemukan adanya kejang
m. Letargi
6. Klasifikasi
Ada 2 macam icterus menurut (Vian Nanny Lia Dewi, 2010) yaitu :
b. kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 12 mg/dl pada bayi
kurang bulan
2. Ikterus patologis
c. Apabila kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 10 mg/dl pada
bayi kurang bulan
Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney (2007), antara lain :
a. Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum, berikan berulang-ulang, jika tidak mau
menghisap dot berikan pakai sendok. Jika tidak dapat habis berikan melalui sonde.
b. Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI) mungkin perlu
ganti susu.
a. Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar pukul 1- 8 selama 30 menit)
b. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah7 mg% ulang esok harinya.
d. Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segara hubungi dokter, bayi perlu terapi
8. Komplikasi
b. Kernikterus, kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hyperaktif, bicara lambat, tidak
ada koordinasi otot dan tangisan melengking.
9. Pemeriksaan Diagnostik
c. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl, yang mungkin
dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi
praterm (tergantung BB bayi).
d. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan,
terutama pada bayi paterm.
e. Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena hemolisis. Hematokrit
mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan.
g. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
h. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi sel darah merah
dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
i. Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal atau imatur, eritroblastosis
pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
j. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
l. Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar seperti diagnosa
membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan
seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatoma.
m. Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia billiari.
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat kesehatan
Biasanya keadaan umum lemah , TTV tidak stabil terutama suhu tubuh. Reflek hisap menurun, BB turun,
pemeriksan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan, kulit tampak kunin, sclera
mata kuning, perubahan warna pada feses dan urine (Cecely Lynn Betz, 2009).
Kemungkinan ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal icterus
yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah
suspect sph). Ada saudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau icterus (Haws Paulettet,
2007).
3. Riwayat kehamilan
a. Ketuban pecah dini, kesukaran dengan manipulasi berlebihan merupakan predisposisi terjadinya
infeksi.
b. Pemberian obat anastesi, analgesic yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas
(hypoksia), asidosis akan menghambat konjugasi bilirubin.
c. Bayi dengan APGAR score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia), asodosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin
c. Pemeriksaan Fisik
TD : -
N : biasanya 120-160x/i
R : biasanya 40x/i
S : biasanya 36,5 – 37 ºC
Kulit kepala tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau terdapat caput. Biasanya
dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi icterus dengan
melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih (kuning) (Haws,
Paulette S.Hasws, 2007).
6. Mulut : ada lendir atau tidak, ada labiopalatoskisis atau tidak (Hidayat, 2009). Pada kasus mulut
berwarna kuning (Saifuddin, 2002).
8. Thorak : Biasanya selain ditemukan tanpak icterus juga dapat ditemukan peningkatan frekuensi
nafas. Biasanya status kardiologi menunjukan adanya tachycardia, khususnya icterus disebabkan oleh
adanya infeksi.
9. Abdomen : Biasanya perut buncit, muntah, mencret merupakan akibat gannguan metabolism
bilirubin enterohepatik.
10. Urogenital : Biasanya feses yang pucat seperti dempul atau kapur akibat gangguan hepar atau atresia
saluran empedu.
12. Integument : Biasanya tampak ikterik, dehidrasi ditunjukan pada turgor tangan jelek, elastisitas
menurun.
2. Diagnosa Keperawatan
c. Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice), hipertermi, perubahan turgor kulit,
eritema.
3. Intervensi Keperawatan
NO.
Dx. Keperawatan
NOC
NIC
1.
Thermoregulasi
Fluid balance
Hydrarin
3.
Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice) hipertermi, perubahan turgor kulit, eritemia.
- Keutuhan kulit
4.
Risk control
- Tidak ada iritas mata
- Suhu stabil
- Matikan lampu dan buka penutup mata bayi setiap 8 jam, lakukan inspeksi warna sclera.
No.
Dx. Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Ttd
1.
S:
O:
A:
P:
-Intervensi dilanjutkan.
2.
Resiko deficit volume cairan b/d kehilangan aktif volume cairan (evaporasi).
5. Memonitor BB bayi
O:
A:
P:
-Intervensi dilanjutkan
3.
Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice), hipertermi, perubahan turgor kulit.
S:
O:
A:
P:
-Intervensi dilanjutkan
4.
2. Memberikan fototerapi.
S:
O:
A:
P:
-Intervensi dilanjutkan