Vous êtes sur la page 1sur 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

Hepatocellular Carcinoma (HCC) adalah jenis tumor yang ditemukan di organ hati
yang dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Setiap tahun, karsinoma
hepatoseluler didiagnosis di lebih dari setengah juta orang di seluruh dunia, Dimana
sekitar tiga per empat kasus-kasus kanker hati ditemukan di Asia Tenggara (China,
Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Japan).

Hati terbentuk dari tipe-tipe sel yang berbeda (contohnya, pembuluh-pembuluh


empedu, pembuluh-pembuluh darah, dan sel-sel penyimpan lemak). Sel-sel hati
(hepatocytes) membentuk sampai 80% dari jaringan hati. Lebih dari 90% kanker-
kanker hati primer timbul dari sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular. Apabila
kanker yang dimulai dari area lain (seperti usus besar, paru-paru atau payudara)
kemudian menyebar ke hati disebut kanker hati sekunder, kondisi ini disebut sebagai
kanker metastatik.

Kanker hati primer yang berasal dari sel hati terbagi dalam beberapa tipe, antara lain :
1) Hepatocellular carcinoma (HCC). Kanker hati yang paling umum terjadi pada anak-
anak dan orang dewasa. Kanker ini dimulai dari hepatosit yang merupakan tipe utama
sel hati. 2) Cholangiocarcinoma. Kanker ini berasal dari saluran kantung empedu. 3)
Hepatoblastoma. Ini adalah tipe kanker langka yang menyerang anak-anak berusia 4
tahun ke bawah. Tipe kanker ini banyak yang berhasil disembuhkan. 4) Angiosarcoma
dan hemangiosarcoma. Tipe kanker langka ini dimulai di pembuluh darah di hati dan
tumbuh dengan sangat cepat.

Walaupun organ yang seringkali diperiksa baik melalui pemeriksaan rutin seperti
ultrasonografi ataupun melalui tes darah, ternyata mayoritas kasus hati dijumpai saat
stadium sudah lanjut. Hal inilah yang menyebabkan terapi dengan pembedahan
sebagian organ hati yang terkena tumor (partial hepatectomy) atau bahkan dengan
pencangkokan organ hati yang baru (liver transplantation) menjadi tidak
memungkinkan. Hal ini juga didukung karena banyak orang tidak memiliki tanda atau
gejala pada tahap awal kanker hati primer. Tetapi ketika memiliki tanda dan gejala,
maka yang mungkin terjadi antara lain : Penurunan berat badan,hilang nafsu makan,
sakit pada area perut bagian atas, mual dan muntah, kelelahan dan lemah, pembesaran
hati, bengkak pada area perut.

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko kanker hati antara lain jenis kelamin, usia,
infeksi kronis, sirosis, hemochromatosis, hepatitis dan Wilson’s disease, diabetes,
nonalcoholic fatty liver disease, dan aflatoxins.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit kanker hati ini
seperti vaksinasi , menghindari konsumsi alkohol, terapi dengan antivirus, melakukan
2

screening, Tumor Marker (AFP), Ultrasonography. 1) Vaksinasi, Vaksinasi yang


dilakukan sejak usia dini ternyata terbukti efektif dan aman dalam hal mencegah
timbulnya virus hepatitis B di tubuh. 2) Alkohol, hindari mengkonsumsi alkohol
terutama bila mengkonsumsi dalam jumlah banyak dalam jangka waktu yang lama.
Penelitian sekali lagi menunjukan bahwa penderita kronik hepatitis B dan C yang
mengkonsumsi alkohol akan mempercepat kerusakan sel-sel hati yang mengarah ke
sirosis dan kanker hati. 3) Antivirus, Berbagai penelitian menunjukkan bahwa bila
seseorang terkena hepatitis C kronik di usia muda, saat diterapi mampu menghilangkan
virusnya dengan cepat dan hasil laboratorium darah menunjukkan perbaikan fungsi
liver, maka golongan ini biasanya memberikan respons yang baik dengan terapi. 4)
Screening, tujuannya adalah mendeteksi adanya pertumbuhan kanker pada saat dini,
mengingat pilihan terapi termasuk pembedahan (reseksi) maupun transplantasi menjadi
tidak dimungkinkan bila ukurannya melewati batas yang sudah ditetapkan. 5)
Ultrasonography, Beberapa faktor sangat berperan pada peniliaian hasil USG,
Termasuk di sini adalah ketrampilan operator saat menggunakan alat USG, ukuran
tubuh penderita karena ukuran seseorang yang semakin gemuk akan semakin sulit
menilai kualitas gambar USG yang dihasilkan. Terutama untuk menemukan kanker hati
stadium dini atau awal.
3

BAB II
ISI

2.1 Epidemiologi Hepatocellular Carcinoma


Hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan jenis kanker hati yang paling sering
terjadi. Insidennya meningkat dan menjadi salah satu dari lima malignancy di seluruh
dunia dan penyebab kematian terbesar ketiga akibat kanker setelah kanker paru-paru
dan kanker gaster.1 Data dari WHO pada tahun 2002 menunjukkan terjadi 714.600
kasus HCC baru dimana 71% diantaranya adalah laki-laki, hal ini menunjukkan
terjadinya peningkatan yang signifikan dari 364.300 kasus pada tahun 2000.2

Estimasi insiden dari kasus terbaru adalah 500.000-1.000.000 kasus per tahun, dan
menyebabkan kira-kira 600.000 kematian di dunia. Secara geografis terjadi kematian
per tahunnya akibat HCC di afrika sebanyak 45.000 jiwa, di Amerika sebanyak 37.000,
di Timur Tengah sebanyak 15.000 jiwa, di Eropa sebanyak 67.0000 jiwa, di Asia
Tenggara sebanyak 61.000 jiwa, dan 394.000 jiwa di pasifik barat (termasuk Jepang
dan China).3 HCC merepresentasikan 6% dari semua kanker yang didiagnosis di
seluruh dunia, dengan lebih dari setengahnya terjadi di China. Insiden yang tinggi juga
ditemukan di Asia Tenggara dan Afrika di daerah sub sahara.4 Walaupun insiden di
negara-negara barat cenderung rendah tetapi terjadi tren peningkatan setiap tahunnya.
Di Amerika Serikat 90% dari penderita kanker hati primer merupakan HCC. Rate
insiden dari HCC berdasarkan overall age-adjusted meningkat menjadi tiga kali lipat
dari tahun 1975 sampai tahun 2005, meningkat dari 1,6 kasus per 100.000 penduduk
menjadi 4.9 kasus per 100.000 penduduk. Peningkatan tertinggi terjadi pada laki-laki.5
Prevalensi tertinggi dari kasus HCC terjadi pada usia diatas 65 tahun, tetapi terhadi
pergeseran insiden kearah umur yang lebih muda selama dua dekade terakhir.

2.2 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi dari HCC sangat bervariasi. Beberapa faktor yang berperan meliputi
paparan dari virus hepatitis, vinyl chloride, rokok, makanan yang terkontaminasi oleh
aflatoxin-b1 (AFB1), asupan alkohol yang berlebih, diabetes, obesitas, pola makan,
kopi, kontrasepsi oral, dan hemakromatosis. Secara umum, keberagaman faktor
tersebut bergantung pada variasi data yang dikumpulkan dari berbagai daerah.6 Namun,
berdasarkan penelitian hampir 80% dari kasus-kasus HCC berkembang dari individu
yang terinfeksi oleh virus hepatitis B atau C (HBV atau HCV) kronis, sirosis hati, dan
juga mereka yang terpapar oleh aflatoxin-b1 (AFB1).7,8 Berikut beberapa penjelasan
dari faktor predisposisi HCC yang paling berperan.
a. Infeksi HBV
Peran HBV sebagai faktor predisposisi dari HCC telah terbukti. Walaupun tidak
setiap pasien yang terinfeksi HBV pasti akan menderita HCC, American
Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) tetap merekomendasikan
deteksi dini kepada seluruh pasien hepatitis B ketika mereka mencapai usia tertentu
yang menyebabkan peningkatan risiko terserang HCC.9 Menurut penelitian, pasien
4

hepatitis B yang berisiko tinggi terserang HCC adalah laki-laki yang selain
terinfeksi HBV juga menderita sirosis hati serta memiliki riwayat keluarga
menderita kanker hati. Hal ini terjadi karena materi genetik dari HBV menyerupai
materi genetik dari sel kanker. Oleh karena itu, bagian spesifik dari genom HBV
(kode genetik) yang memasuki materi genetik dari sel hati akan menganggu materi
genetik normal dari sel tersebut sehingga menyebabkan sel hati menjadi ganas.10

b. Infeksi HCV
HCC lebih jarang terjadi pada pasien yang terinfeksi oleh HCV dibandingkan
pasien dengan infeksi HBV. Bila terserang HCC, pasien hepatitis C biasanya
memiliki faktor risiko lain, seperti sirosis hati, usia tua, jenis kelamin laki-laki,
peminum alkohol, kadar alpha-fetoprotein (AFP) tinggi, dan koinfeksi HBV.
Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa genotipe 1b pada HCV menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya HCC. Akan tetapi, bagaimana HCV dapat
menyebabkan terjadinya HCC belum terlalu dimengerti karena tidak seperti HBV,
materi genetik dari HCV tidak menyerupai materi genetik pada sel-sel hati.10

c. Alkohol
Pada negara berkembang, sirosis yang disebabkan oleh konsumsi alkohol kronis
erat kaitannya denga terjadinya HCC. Selain itu, sebagian besar dari peminum
alkohol tersebut juga terinfeksi oleh HCV. HCC ini biasanya terjadi pada peminum
alkohol yang menderita sirosis yang telah berhenti minum selama sepuluh tahun.
Karena ketika konsumsi alkohol dihentikan, hati berusaha memperbaiki sel-selnya
yang telah rusak akibat paparan alkohol melalui proses regenerasi sel secara aktif.
Selama proses tersebut, dapat terjadi mutasi genetik pada sel-sel hati. Maka dari itu,
HCC justru terjadi ketika alkohol berhenti dikonsumsi. 10

d. Aflatoxin-b1
Aflatoxin-b1 adalah segolongan senyawa toksik yang sangat berpotensi
menyebabkan HCC karena bersifat karsinogenik. Toksin ini merupakan produk dari
jamur Aspergillus flavus yang ditemukan pada makanan yang disimpan di
lingkungan panas ataupun lembab. Jamur ini sering ditemukan pada biji kacang-
kacangan, seperti kacang tanah, kacang kedelai, beras, jagung, maupun gandum.
Aflatoxin-b1 ini dapat menyebabkan mutasi gen p53 di sel hati. Gen p53 merupakan
gen penekan tumor yang sangat penting sehingga apabila terjadi mutasi pada gen ini
maka akan terjadi kerusakan siklus mitosis sel-sel hati.10

e. Hemakromatosis
HCC dapat berkembang pada 30% pasien yang menderita hemakromatosis
herediter. Hemakromatosis merupakan suatu kelainan dimana terjadi penyimpanan
zat besi yang berlebih di dalam tubuh, khususnya di hati. Pasien yang berisiko
tinggi terserang HCC adalah mereka yang juga mengalami sirosis disamping
hematokromatosis. Ketika mereka terserang sirosis, pembersihan zat besi yang
5

berlebih dari hati tidak akan menurunkan risiko terjadinya HCC pada pasien
tersebut.10

2.3 Patogenesis & Patofisiologi


2.3.1 Peran epigenetik, genetik, sitokin, dan infeksi HCV
Perjalanan alamiah (natural history) dari karsinoma hepatoselular dapat dibagi menjadi
3 fase yang berbeda, yaitu (1) fase molekuler (2) fase pra klinis (3) fase klinis atau
simtomatik.11

Pada fase molekuler, terjadi alterasi genom dari hepatosit, biliosit atau stem cell liver.
Alterasi genom pada hepatosit atau biliosit meliputi peningkatan daya proliferasi dan
penghambatan apoptosis sel. Sedangkan, alterasi genom pada stem cell berkaitan
dengan proses diferensiasi sel.

Fase pra klinis meliputi fase awal, yaitu tumor masih terlalu kecil untuk dideteksi
melalui teknik imaging, dan fase diagnostik pra klinis, yaitu tumor dapat dideteksi
melalui teknik imaging, namun masih asimtomatik.

Gambar 1. Natural history dari karsinoma hepatoseluler11

Selama fase pra neoplastik (hepatitis kronik dan sirosis), alterasi genetik hampir
sebagian besar secara kuantitatif, terjadi melalui mekanisme epigenetik tanpa adanya
perubahan struktural gen. Pada fase ini, hepatosit mengalami stimulasi mitogenik yang
intens oleh berbagai keadaan seperti peningkatan kadar growth factors (misalnya,
insulin-like growth factor (IGF)-2, transforming growth factor (TGF)-α) dan
peningkatan kadar sitokin pro inflamasi.11,12 Keadaan ini akan mengaktifkan jalur
persinyalan utama dalam proliferasi sel. Peningkatan ekspresi dari growth factor dan
sitokin dapat disebabkan oleh proses inflamasi, protein virus, dan respons regeneratif
terhadap kematian sel. Mekanisme dari semua faktor ini dalam mempengaruhi ekspresi
gen meliputi aktivasi cis- dan trans- serta metilasi dan asetilasi kromatin yang dapat
berdampak pada aktivasi atau inaktivasi promoter gen. Selain itu, protein yang
diproduksi oleh virus, seperti protein X (HBX) yang diproduksi oleh hepatitis B virus
(HBV) dapat secara langsung menstimulasi kaskade sinyal utama dari kinase sitosol.11
6

Gambar 2. Peran sitokin pro dan anti inflamasi terhadap respon imun host dan metastasis
karsinoma hepatoselular 12

Sedangkan, perubahan struktural pada gen dapat disebabkan oleh (1) infeksi HBV yang
secara langsung mutagenik setelah integrasi genom atau fragmennya dengan DNA sel
(2) produk molekuler dari HBV (HBX) dan HCV (inti, NS5A, NS3) dapat mengganggu
fungsi tumor suppressor p53 dan gen retinoblastoma serta mengganggu efisiensi enzim
yang berperan dalam mekanisme perbaikan dan stabilitas gen (3) Erosi dari panjang
telomer pada sel yang sangat replikatif menyebabkan disrupsi kromosom dan alterasi
mitosis (4) kerusakan oksidatif DNA dapat terjadi pada keadaan inflamasi kronik (5)
sifat genotoksik dari HBV dapat meningkat dengan adanya paparan terhadap aflatoxin
B, suatu mikotoksin kontaminasi yang ditemukan pada makanan pada wilayah tertentu
di dunia.11

Alterasi genom pada karsinoma hepatoselular sangat heterogen, hal ini menandakan
fenotipe neoplasma dapat berasal dari rute genom yang berbeda. Genomic loss atau
gain yang ditemukan pada beberapa lengan kromosom antara lain: 1p, 4q, 5q, 6q, 8p,
13q, 17q, 16p, 16q, 17p, 19p, 16q22, 5q34, 4q28, 13q21, (loss); 1p, 1q, 6p, 7q, 8q,
17q, 20q, 1q21, 11q12, 14q12, 12p11, 19q13.1 (gain).11,13 Beberapa dari lokus yang
hilang ini (delesi alel) mengkode tumor suppressor gene, seperti p53 pada 17p,
retinoblastoma pada 13q, axin1 pada 16p, Cdkn2A (pI6INK4) pada 9p, dan reseptor
IGF-2 pada 6q.11 Sedangkan gain dapat terjadi pada onkogen tertentu, seperti c-myc.11

Penyimpangan genetik dan epigenetik ini serta konsekuensinya terhadap jalur


persinyalan tertentu pada hepatokarsinogenesis meliputi: (1) inaktivasi tumor
suppressor gene p53 melalui mutasi dan interaksi pos transkripsi dengan protein virus
(2) aktivasi jalur Wnt/Frizzled/β-catenin melalui mutasi pada β-catenin atau pada
komponen lain dari kompleks hasil destruksinya (glycogen synthase kinase-
β/adenomatous polyposis coli protein/axin) atau melalui upregulasi elemen upstream,
7

seperti reseptor Frizzled (3) alterasi tumor suppressor retinoblastoma dan gen p16INK
melalui mutasi atau metilasi promoternya (4) alterasi jalur persinyalan
IGFs/IRS/MAPK melalui overekspresi IGFs, IRS, dan kemungkinan mutasi reseptor
IGF-2 (5) alterasi jalur persinyalan TGF-β (6) aktivasi jalur persinyalan PI3K/AKT dan
aktivasi transduser dan aktivator sinyal JAK melalui penyimpangan metilasi suppressor
dari gen yang mengkode sinyal untuk sitokin (7) upregulasi dari gen yang terlibat
dalam angiogenesis, seperti VEGF dan gen yang terlibat dalam metastasis, seperti
matrix metalloproteinase.11 Selain itu, mutasi inaktivasi dari gen yang mengatur
remodeling kromatin ARID2 juga ditemukan pada 4 subtipe utama karsinoma
hepatoselular.14

Kecepatan proliferasi hepatosit, pemendekan telomer, dan reekspresi telomer semakin


meningkat seiring dengan perubahan dari fase pra neoplastik menuju displasia dan pada
akhirnya karsinoma hepatoselular.

Cirrhosis
Non –cirrhotic pathway

Non –cirrhotic pathway

Gambar 3. Karsinogenesis hepar 15

Interaksi DNA dengan karsinogen dan reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan
selama metabolisme karsinogen dan inflamasi menandai tahap awal
hepatokarsinogenesis. Hal ini menyebabkan instabilitas genom yang menyebabkan
genom rentan terhadap akumulasi kerusakan DNA yang parah selama ekspansi klonal
dari sel yang terinisiasi. 8-hydroxy-2’-deoxyguanosine adalah produk utama dalam
kerusakan oksidatif DNA yang mengalami mispair dengan adenin selama replikasi
DNA, sehingga menyebabkan transversi GCTA.14 Infiltrasi liver oleh fagosit selama
liver injury merupakan sumber dari ROS yang menyebabkan kerusakan DNA, protein,
dan lipid ketika produksinya melebihi kemampuan antioksidan untuk mengatasinya.

Overproduksi sitokin inflamasi dan growth factor selama tahap awal


hepatokarsinogenesis menyebabkan terjadinya deregulasi inducible nitric oxide
synthase (iNOS), ikB kinase (IKK), dan nuclear factor kB (NF-kB). NO• menstimulasi
ekspresi protein IKK, yang kemudian memfosforilasi inhibitor kappa B (ikB-α),
sehingga menyebabkan ikB-α mengalami ubiquitinasi dan degradasi proteosomal.
Sebagai konsekuensinya, NF-kB family member dapat berakumulasi dalam sitoplasma
dan mencapai nukleus kemudian mentransaktivasi beberapa gen yang berkaitan dengan
pertumbuhan, meliputi c-MYC, cyclin, dan gen antiapoptosis (BCLxL) serta gen dari
8

inflammation-related nitiric oxide synthase family. Peningkatan produksi NO• juga


menstimulasi angiogenesis melalui aktivasi gen hypoxia inducible factor-1 (HIF-1) dan
targetnya, yaitu vascular endothelial growth factor-α (VEGF-α).15

Gambar 4. Jalur persinyalan yang diinduksi oleh iNOS15

Saat ini diketahui bahwa overekspresi iNOS, IKK, dan NF-kB pada lesi pra neoplastik
dan neoplastik yang diinduksi dengan bahan kimia pada tikus berhubungan dengan
deregulasi ikB-α, penurunan kompleks ikB-α/NF-kB, dan peningkatan binding NF-kB
pada DNA. iNOS, IKK/NF-kB, dan upregulasi RAS/extracellular signal-regulated
kinase (ERK) tertinggi pada karsinoma hepatoselular manusia dengan prognosis yang
lebih buruk dan memiliki korelasi positif dengan proliferasi tumor, instabilitas genom,
densitas pembuluh mikro, dan memiliki korelasi negatif dengan apoptosis.15

Kaskade MAPK adalah jalur persinyalan yang penting untuk proliferasi lesi hepar pra
neoplastik dan neoplastik. Jalur ini mentransduksi sinyal dari reseptor tirosin kinase,
seperti epidermal growth factor receptor (EGFR), insulin-like growth factor receptor
(IGFR), platelet derived growth factor receptor (PDGFR), hepatocyte growth factor
receptor (HGFR/MET), dan vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR)
melalui ligannya masing-masing. Pada jalur persinyalan ini, RAS yang teraktivasi
(GTP-RAS) akan memicu aktivasi sekuensial murine leukemia viral oncogene homolog
1 (RAF1), mitogen-activated protein kinase 1 1/2 (MEK 1/2), dan ERK 1/2. ERK 1/2
yang telah aktif mentransaktivasi beberapa gen yang berhubungan dengan
pertumbuhan, meliputi c-JUN, C-FOS, C-MYC, dan ETS.

Kebanyakan gen yang berhubungan dengan kaskade MAPK, seperti c-Ha-ras dan c-Ki-
ras, c-Raf, c-Fos, dan c-Jun mengalami overekspresi pada foci of altered hepatocytes
(FAH), nodul, dan karsinoma hepatoselular yang diinduksi pada tikus.15 Jalur PI3K
aktif melalui phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K) dan pembentukan phosphoinositol
3,4,5-triphosphate yang kemudian mengaktifkan serine/threonine kinase thymoma viral
protooncogene (AKT/PkB). AKT/PkB menghambat glycogen synthetase kinase-3β
(GSK3-β) yang berperan dalam fosforilasi β-catenin, sehingga memungkinkan
9

ubiquitinasi dan degradasinya. Ketika tidak didegradasi, β-catenin berinteraksi dengan


lymphoid enhancer factor/T cell factor (Lef/Tcf) dan kemudian ditranslokasikan ke
nukleus, sehingga mentransaktivasi beberapa gen pengatur pertumbuhan sel.
Upregulasi AKT/PkB dan hubungannya dengan inaktivitas Gsk3-β terjadi pada lesi
hepar pra neoplastik dan neoplastik di tikus.15

Gambar 5. Kaskade sinyal MAPK dan sinyal apoptosis5

Selain itu, AKT juga menyebabkan molekul pro apoptosis seperti BAD dibebaskan dari
mitokondria, sehingga menghambat apoptosis.15 Upregulasi jalur persinyalan
PI3K/AKT pada manusia memiliki korelasi dengan downregulasi ekspresi
metallothionein. Hal ini menunjukkan peran jalur persinyalan PI3K/AKT dalam
meregulasi metallothionein dan produksi ROS.

Tingkat ekspresi dual-specificity phosphatase 1 (Dusp1) memiliki korelasi invers


dengan ERK yang teraktivasi, begitu pula dengan indeks proliferasi sel, densitas
pembuluh mikro, dan secara langsung dengan apoptosis dan survival rate.15 Reaktivasi
Dusp1 menyebabkan supresi ERK, aktivitas CKS1 dan SKP2, inhibisi proliferasi dan
induksi apoptosis pada karsinoma hepatoselular dari garis keturunan sel manusia.

Faktor transkripsi Forkhead box M1B (FOXM1) dapat memicu aktivasi SKP2/CKS1
ubiquitin ligase yang kemudian akan mentarget protein P21WAF1, P27KIP1, p57KIP2 untuk
degradasi selama transisi fase G1-M siklus mitosis sel. Selain itu, FOXM1 juga
menginduksi transisi gen yang memicu progresi siklus sel (AURKA, CDC2, CYCLIN
B1, NEK2, dan CDC25B), supresor inhibitor siklus sel (SKP2, CKS1), dan inhibitor
apoptosis (SURVIVIN).15
10

2.3.2 Infeksi virus hepatitis C (HCV)


Virus hepatitis C (hepatitis C virus/HCV) adalah suatu virus berkapsul yang memiliki
genom positive-sense RNA, berasal dari famili Flaviridae, genus Hepativirus. Genom
virus mengkode poliprotein tunggal yang dapat dipecah menjadi 10 protein matur,
dengan susunan protein struktural terletak dekat dengan ujung 5’, sedangkan protein
fungsional terletak dekat ujung 3’ dari poliprotein tersebut.16

Protein struktural
Protein non struktural

Gambar 6. Struktur genom HCV16

Berbagai interaksi yang terjadi antara protein yang dikode oleh genom virus HCV
dengan proses seluler host mengakibatkan alterasi pada berbagai jalur persinyalan
seluler yang menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan sel hati
menuju karsinoma.

Tabel 1. Hipotesis interaksi antara HCV core dengan jalur persinyalan seluler host16
Protein seluler host yang Fungsi protein seluler host
yang berinteraksi dengan HCV core
PKR Apoptosis dan pertumbuhan sel
p53 dan p73 Protein tumor suppressor
p21WAF1/CIP1 Mencegah transisi fase G1/G2

TNFα Apoptosis

NFκβ Anti apoptosis, chemoattractant bagi sel


imun

LZIP Tumor suppressor

hnRNP K Menstimulasi promoter onkogen c-myc,


menghambat promoter timidin kinase yang
berperan dalam transisi G1/S

14-3-3ε Jalur Ras/Raf/MAPK

BCL-xL Anti apoptosis

Bax Pro apoptosis


11

TGF-β Menyebabkan cell cycle arrest pada fase G1,


fibrogenesis, membatasi respon antivirus
imun
Cyclin E
Proliferasi sel
Jalur MAPK
Proliferasi sel
Reseptor lymphotoxin β
Diferensiasi sel
Jalur Fas
Apoptosis

Tabel 2. Hipotesis interaksi NS5A dengan jalur persinyalan seluler host16


Protein seluler host yang Fungsi protein seluler host
yang berinteraksi dengan NS5A
PKR Apoptosis dan pertumbuhan sel
Growth factor receptor-bound Pertumbuhan sel
protein 2 (GrB2) Pertumbuhan, diferensiasi, dan
transformasi

Interleukin 8 Kemotaksis dan degranulasi PMN,


menghambat IFNα

PI3K Anti apoptosis

GSK-3β Proto onkogen

p53 Apoptosis dan menekan onkogenesis

p21WAF1/CIP1 Mencegah transisi fase G1/G2

TNFα Protein apoptosis

Human vesicle-associated Transpor vesikel


membrane protein-associated protein (hVAPA)

Bad Protein proto apoptosis

Bax Protein apoptosis

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis HCC bersifat tidak khas dan sangat bervariasi, tergantung stadium
penyakit HCC. Pada HCC stadium dini sering tidak dijumpai adanya gejala
(asimtomatik), tetapi pada stadium lanjut gejala sering sangat berat. Keluhan HCC yang
paling khas adalah rasa nyeri pada perut kuadran kanan atas. Rasa nyeri disertai rasa
sebah, perut cepat penuh jika diisi makanan dan keluhan berat badan yang menurun.
12

Gejala lain adalah adanya rasa nyeri tulang jika sudah terdapat metastase ke tulang.
Penurunan berat badan dan demam yang tidak dapat dijelaskan merupakan peringatan
kanker hati pada pasien dengan sirosis.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai hati yang membengkak (hepatomegali) yang dipalpasi
maka akan ditemukan tepi hati tumpul, konsistensi hati padat keras, dengan permukaan
yang berdungkul-dungkul, nyeri tekan tidak terlalu menyolok. Pada auskultasi di atas
hati dapat terdengar suara “bruit” akibat pembuluh darah yang sangat meningkat pada
HCC. Disamping itu dapat juga dijumpai tanda-tanda penyakit hati kronik atau sirosis
hati seperti ikterus (mata kuning) dan ascites.

Gejala klinis tidak khas tergantung stadium penyakit. Keluhan yang paling sering
adalah rasa nek dan nyeri pada perut kanan atas disertai hepatomegali dengan tepi
tumpul, permukaan berdungkul-dungkul dan konsistensi hati yang padat keras. Motola-
Kuba (2006) membuat ikhtisar gejala HCC yang berbeda di daerah dengan insiden
HCC tinggi dan daerah dengan insiden HCC rendah.17

Tabel 3. Perbedaan Gejala HCC di Daerah dengan Insiden Tinggi dan Rendah17
Daerah dengan Tingkat Insiden
Kriteria
Rendah Tinggi
A. Keluhan
Nyeri abdomen 53-58 % 62-95 %
Berat badan menurun 19 – 73% 19 – 73%
Massa pada abdomen 33 % 33 %
Anoreksia 33 % <33 %
Hematemesis 1-19 % 15 %
Nyeri tulang 3-12 % Tidak ada data
B. Gejala
Hepatomegali 56-74 % 86-98 %
Ascites 55-61 % 30-51 %
Splenomegali 15-48 % 27-57 %
Demam 10 % 38 %
Ikterus 44 % 25 %

2.5 Diagnosis
Untuk membuat diagnosis HCC dilakukan pemeriksaan:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan “imaging” dengan ultrasonografi (USG), CAT scanning, MRI
(magnetic resonance imaging), atau hepatic angiography.
3. Pemeriksaan penanda tumor (tumor marker) yaitu alpha feto protein (AFP)
4. Pemeriksan patologi anatomi setelah dilakukan biopsi hati.
13

Berdasarkan hasil anamnesis pasien biasanya datang dengan gejala sirosis hati. Sirosis
hati merupakan jenjang akhir dari proses fibrosis hati, yang merupakan konsekuensi
dari penyakit kronis hati yang ditandai dengan adanya penggantian jaringan normal
dengan jaringan fibrosa sehingga sel-sel hati akan kehilangan fungsinya. Secara umum,
etiologi sirosis apapun adalah faktor risiko utama untuk karsinoma hepatoseluler
Sekitar 80% dari pasien dengan karsinoma hepatoseluler baru didiagnosa telah ada
sebelumnya sirosis. Penyebab utama dari sirosis yang dikaitkan dengan alkohol, infeksi
hepatitis C, dan infeksi hepatitis.

Adapun gejala- gejala yang ditimbulkan akibat sirosis hati seperti rasa gatal dengan
atau tanpa adanya penyakit kulit yang tampak (pruritus), warna kekuningan di kulit dan
permukaan mukosa disebabkan karena adanya penumpukan bilirubin (jaundice),
pembesaran kelenjar limpa, pendarahan visceral, kehilangan nafsu makan dan
penurunan berat badan (Cachexia), meningkatnya lingkar abdomen (abdominal girth),
hepatic encephalopathy, serta sakit perut, terutama dibagian kanan atas disertai mual,
muntah, dan kelelahan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik biasanya ditemukannya warna kekuningan di kulit


dan permukaan mukosa, efusi dan pengumpulan cairan serosa dirongga abdomen,
pembesaran di daerah hati, alcoholic stigmata, gangguan motik yang ditandai dengan
penyimpangan intermiten dari postur yang diambil sebagai akibat dari hilang timbulnya
kontraksi terus menerus dari kelompok otot (asterixis), adanya pedal edema,
Periumbilikal colateral veins, dan pembesaran vena hemoroid.

Tes yang dapat digunakan untuk menegakkan kasus karsinoma hepatoseluler adalah
pemeriksaanan radiologi, biopsi, dan AFP serologi.18 Beberapa modalitas imaging
yang sering digunakan adalah CT scan dan MRI. Ini berguna untuk mengetahui
perluasan penyakitnya. Untuk menetapkan diagnosis HCC diperlukan serangkaian tes
tersebut tergantung dari ukuran lesi atau massa:

1. Lesi > 2cm pada diameter


Deteksi masa hepar dengan keadaan sirosis diketahui memiliki risiko tinggi untuk
terkena HCC. Jika AFP 200ng/ml dan hasil radiologi menunjukkan adanya massa
maka hal ini merujuk ke kasus HCC dengan adanya hipervaskularisasi arteri.
Konferensi EASL merekomendasikan diagnosis HCC dapat ditegakkan tanpa perlu
melakukan biopsy pada pasien yang memiliki ukuran lesi 2cm dengan
menunjukkan vaskularisasi arteri yang dapat ditemukan pada modalitas CT scan
ataupun MRI. Jika tidak diketahui karakteristik abnormalitas vaskularisasinya, dan
AFP < 200ng/ml maka biopsi direkomendasikan untuk dilakukan. Jika lesi
menunjukkan hipervaskularisasi dan washed out pada fase vena awal, untuk
menegakkan diagnosis hanya dibutuhkan satu modalitas imaging saja. Hal ini dapat
dilakukan dengan triphasic CT scan atau MRI dengan injeksi gadolinium. Beberapa
14

penelitian baru menunjukkan USG dengan kontras juga bisa digunakan sebagai
diagnosis non-invasif.

2. Lesi 1-2 cm pada diameter


Lesi yang berukuran 1-2 cm pada pasien sirosis hati, memiliki faktor risiko untuk
menjadi HCC. Level Alpha-fetoprotein mungkin normal atau meningkat namun
tidak memiliki kegunaan untuk menegakkan diagnosis. Konferensi EASL
merekomendasikan lesi dengan ukuran 1-2 cm dapat dilakukan dengan biopsi tanpa
memperhatikan pembuluh darah sekitarnya. Lebih dari 25 % lesi berukuran kurang
dari 2 cm dengan pelebaran arteri, tanpa washout venous pada sirosis hati akan
stabil atau malah bisa berkembang menjadi HCC. Biopsi sangat penting bagi pasien
yang hasil gambaran radiologisnya kurang baik. Pada nodul yang berukuran 2cm,
teknik imaging yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosisnya dapat
didasarkan pada pemeriksaan tunggal yang menunjukkan karakteristik pembuluh
darah melalui contrast-ultrasound, dynamic CT atau MRI, pada nodul yang
berukuran 1-2 cm pencitraan karakteristik vakularisasi hasilnya tidak telalu baik
sehingga untuk menegakkan diagnosis lebih baik digunakan 2 teknik imaging.19

3. Lesi kurang dari 1 cm pada diameter


Lesi yang berukuran 1 cm memiliki faktor risiko kecil menjadi HCC. Pada lesi
dengan ukuran tersebut kemungkinan menjadi maligna adalah kecil, walaupun CT
atau MRI menunjukkan nodul yang kecil dengan vaskularisasi arteri, namun hal ini
bukan fokus HCC. Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadinya keganasan dalam
perkembangan nodul tersebut. Oleh karena itu nodul-nodul tersebut perlu di follow
up setiap bulan dengan tujuan untuk mendeteksi transformasi keganasan. Apabila
dalam 1-2 tahun tidak tidak ada perubahan, hal ini bisa menunjukkan nodul tidak
bertransformasi menjadi HCC.19

Diagnosis klinis ditegakkan jika 2 pemeriksaan imaging memberikan hasil positif, atau
jika 1 hasil imaging disertai kadar AFP melebihi 400 ng/ml. Diagnosis pasti ditegakkan
jika hasil biopsi hati memberikan hasil pemeriksaan patologi anatomi positif.

2.5 Diagnosis Banding


2.5.1 Cholangiocarcinomas (CCC)
Cholangiocarcinomas (CCC) adalah keganasan pada sistem saluran biliaris yang
mungkin berasal dari hati dan saluran empedu ekstrahepatik, yang berakhir pada
ampula Vater. CCC ditemukan pada 3 wilayah: intrahepatik, ekstrahepatik (perihilar),
dan ekstrahepatik distal. Tumor perihilar adalah CCC yang paling umum, dan tumor
intrahepatik adalah yang paling jarang. Tumor perihilar terjadi pada percabangan
duktus hepar kanan dan kiri. Tumor ekstrahepatik distal terletak pada batas atas
pankreas dan ampula.
15

Cholangiocarcinomas cenderung tumbuh lambat dan menginfiltrasi dinding duktus.


Penyebaran local dapat mencapai hati, porta hepatis, dan kelenjar getah bening pada
celiac dan pancreaticoduodenal.

2.5.2 Sirosis
Sirosis menggambarkan bentuk akhir yang paling umum untuk berbagai macam
penyakit hati kronis. Secara histologi sirosis didefinisikan sebagai proses pada hati
yang menyebar yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan arsitektur hati yang normal
menjadi nodul yang abnormal sehingga sel-sel hati kehilangan fungsinya.
Perkembangan injury pada hati menjadi sirosis dapat terjadi selama beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Pasien dengan hepatitis C dapat menderita hepatitis kronis
selama 40 tahun sebelum menjadi sirosis.

Beberapa pasien dengan sirosis sepenuhnya asimtomatik dan memiliki harapan hidup
yang baik. Sedangkan yang lainnya memiliki banyak gejala berat stadium akhir
penyakit hati dan memiliki harapan kecil untuk bertahan hidup. Gejala dan tanda umum
mungkin berasal dari penurunan fungsi sintesis hati, penurunan kemampuan
detoksifikasi hati, atau hipertensi portal.

2.5.3 Hepatocellular adenomas (HAs)


Hepatocelluler adenomas (HAs) yang juga dikenal sebagai adenoma pada hati.
Merupakan tumor jinak yang kemungkinan berasal dari sel epitel dan terjadi kurang
dari 0,004% populasi beresiko. Adenoma hepatoseluler terutama terjadi pada wanita
usia produktif, kemungkinan karena penggunaan pil KB meningkatkan resiko
terjadinya tumor ini.

Adenoma pada hati melibatkan lembar hepatosit tanpa saluran empedu atau area portal.
Jika ada sel Kupffer, jumlahnya berkurang dan tidak fungsional. Adenoma hati
berwarna coklat, halus, berbatas jelas, tampang berdaging, dan ukuran bervariasi dari 1-
30 cm. Adenoma hati memiliki pembuluh darah yang besar di permukaannya, lesi
mendapatkan darah dari arteri yang menyebabkan nekrosis. Kapsul fibrosa bisa ada
atau tidak, jika tidak ada mungkin predisposisi pendarahan intrahepatik atau
ekstrahepatik. Kebanyakan ada sebagai lesi soliter pada lobus hati kanan maupun kiri
dan 20% kasus terdapat beberapa lesi.

2.6 Staging
Dalam menentukan prognosis dan pengobatan yang akan dijalani oleh pasien dengan
karsinoma hepatoseluler, diperlukan penentuan staging yang akurat20-23. Penentuan
staging dilihat dari ukuran tumor, penyebarannya, pengaruhnya terhadap pembuluh
darah di hati, adanya kapsul tumor, metastasis ekstrahepatik, nodul, dan sistem vaskular
dari tumor. Menurut EASL, penentuan staging karsinoma hepatoseluler dilihat dari
derajat tumor, derajat kerusakan fungsi hati, kondisi pasien dan efikasi dari pengobatan
yang dijalani oleh pasien23.
16

Tabel 4. Sistem Staging pada karsinoma hepatoseluler23

Kebanyakan TNM stage dilakukan dengan prosedur bedah berdasarkan derajat tumor.
Sehingga sering didapatkan prognosis yang buruk pada pasien yang menjalani reseksi
dan transplantasi hati. Ditemukan modifikasi dalam penelitian 557 pasien HCC yang
menjalani reseksi, yakni derajat tumor dan adanya fibrosis. Sehingga terbentuk 4 stage
yang telah diperbaharui walaupun belum dapat diaplikasikan pada pasien nonbedah.
TNM stage telah mendapat pengesahan dari American Joint Committee of Cancer
(AJCC). 20,23

2.7 Penatalaksanaan
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi.
Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran kanker, lokasi
kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau banyak
(multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker sudah
merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di
dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan
apakah sudah ada sirrhosis hati.24
Tahap tindakan pengobatan terbagi tiga, yaitu tindakan bedah hati digabung dengan
tindakan radiologi dan tindakan non-bedah dan tindakan transplantasi (pencangkokan)
hati.25

2.7.1 Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi


Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah yaitu
reseksi (pemotongan) bagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah
sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak
akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu
17

kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini
harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat.

Radiologi merupakan cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan
pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat
sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka harus
dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi. Dilakukan CT
angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker sehingga jelas terlihat
pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan makanan (feeding artery)
yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan
tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan
suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga
menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampuan hidup
(viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang. Sebelum
dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy (TAC) dengan
tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami racun
(chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai
makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi
dan bila selsel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah
tak mampu lagi tumbuh. Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC disebut
tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk
tujuan supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk
mengecilkan ukuran kanker. Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus
diperiksa dan ditentukan apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker. Kemudian
diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak
mampu lagi tumbuh berkembang biak. Pemberian Kemoterapi dilakukan secara intra
venous yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10 mg.
Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun 90%
dan per 10 tahun 80%.26

2.7.2 Tindakan Non-bedah Hati


Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium lanjut..
Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:
a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datangnya
bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel
baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi
banyak pembuluh darah baru (neovascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari
pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding
artery) Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan kateter
melalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh
nadi besar di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah
hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding
18

artery ini disumbat (diembolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran
darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke selsel
kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan
embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat
kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat
yang mematikan. Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar
terjamin mati dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi
kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih
cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan
cara ini per lima tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa
mencapai 50%.27

b. Infus Sitostatika Intra-arterial


Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari vena
porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan
oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor
maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut
akan mati.28

Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar
tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan
transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau karena
ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10 – 20 Mg
kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc.
Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil). Metoda ballon occluded intra
arterial infusion adalah modifikasi infuse sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang
dipakai adalah double lumen ballon catheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam
arteri hepatika. Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika
diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya
adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan
hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30%
dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah 20% dan 10%.28

c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)


Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua tindakan atau
pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu membiayai tindakan
lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-satunya. Tindakan injeksi
etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping ringan, biaya murah, dan
hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium
dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan
dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan
paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm. Pemeriksaan
19

histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang


lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini
dengan jumlah lesi tidak lebih dari 3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi
tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun
kelihatannya cara ini mugkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian yang
memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil
yang cukup menggembirakan.28

d. Terapi Non-bedah Lainnya


Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan bila terapi
bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial
Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi.
Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA), Proton Beam
Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang
kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan)
keseluruhannya.

2.7.3 Tindakan Transplantasi Hati


Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan ditemukan
kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hamper seluruh hati terkena kanker atau
sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka tidak
ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati adalah
tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang. Langkah ini
ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut
di atas tidak mampu lagi menolong pasien. Akan tetapi, langkah menuju transplantasi
hati tidak mudah, pasalnya ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit
diperoleh seiring kesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh. Selain itu,
biaya transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses transplantasi
harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh dan darah yang
tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan
pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa
penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan kerusakan
permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring keberhasilan tindakan
transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima tahun.

2.8 Prognosis
Beberapa data menyebutkan bahwa penyakit karsinoma hepatoseluler mempunyai
prognosis dubia ad malam, karena hanya 10-20% dari sel kanker ini dapat dihilangkan
melalui proses pembedahan. Jika sel-sel kanker ini tidak dapat dihilangkan seluruhnya,
penderita akan mengalami kematian rata-rata sekitar 3 sampai 6 bulan, namun beberapa
juga ditemukan dapat hidup lebih dari 6 bulan.
20

Hal ini sebagian besar dikarenakan karena keterlambatan dalam mendeteksi keberadaan
tumor terutama yang sudah mengalami pembesaran, kemampuan dari tenaga medis dan
fasilitas medis yang tersedia. Staging tumor, fungsi hati, dan status fisik sangat
berpengaruh juga dalam prognosis penderita HCC. Serta dampak pengobatan harus
selalu di pertimbangkan mengenai harapan hidup pasien.
21

BAB III
SIMPULAN

Karsinoma hepatoseluler (HCC) merupakan jenis kanker hati yang paling sering terjadi
dan merupakan penyebab kematian terbesar ketiga akibat kanker setelah kanker paru-
paru dan kanker gaster. Faktor predisposisi penting yang terlibat dalam perkembangan
HCC meliputi infeksi HBV atau HCV, intoksikasi aflatoksin-b1, konsumsi alkohol, dan
hemakromatosis. Mekanisme yang berperan dalam patogenesis HCC meliputi alterasi
epigenetik dan genetik, stimulasi sitokin, dan infeksi HBV atau HCV. Gejala klinis
HCC bersifat tidak khas dan sangat bervariasi, tergantung stadium penyakit HCC.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati dan pemeriksaan patologi anatomi.
Diagnosis banding HCC meliputi cholangiocarcinoma (CCC), sirosis hati, dan
adenoma hepatoseluler (HA). Stagging diperlukan untuk mengetahui prognosis serta
terapi yang diperlukan. Tindakan yang dapat dilakukan pada kasus HCC terdiri dari
tindakan bedah hati dengan kombinasi tindakan radiologi, tindakan non-bedah dan
tindakan transplantasi (pencangkokan) hati. Prognosis penderita HCC adalah dubia ad
malam, karena selain dari faktor predisposisi yang dimiliki penderita, keterlambatan
dalam mendeteksi keberadaan tumor dan kemampuan dari tenaga medis serta fasilitas
medis yang tersedia juga sangat menentukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, et al: Estimating the world cancer burden:
GLOBOCAN 2000. Int J Cancer. 2001; 94:153-156,
2. World Health Organization. Mortality database. Available from: URL:
http://www.who.int/whosis/en [Accessed Oct 1, 2011.]
3. Seeff LB, Hoofnagle JH. Epidemiology of hepatocellular carcinoma in areas
of low hepatitis B and hepatitis C endemicity. Oncogene. 2006; 25: 3771-3777
4. D.M. Parkin, F. Bray, J. Ferlay, P. Pisani, Global cancer statistics, 2002, CA Cancer
J. Clin. 2005; 55: 74–108.
5. Sean F. A. Katherine A. M., and Marsha E. R. Hepatocellular Carcinoma Incidence,
Mortality, and Survival Trends in the United States From 1975-2005. JCO. 2009;
27(9): 1485-1491.
6. Rajagopal N. Aravalli, Clifford J. Steer, Erik N. K. Cressman. Molecular
Mechanism of Hepatocellular Carcinoma. Hepatology. 2008; 48(6).
7. Mia Kumar, Xuelian Zhao, Xin Wei Wang. Molecular Carcinogenesis of
Hepatocellular Carcinoma and Intrahepatic Cholangiocarcinoma: One Step Closer
to Personalized Medicine. Cell & Bioscience. 2011; 1:5
8. Brian I. Carr. Hepatocellular Carcinoma: Current Management and Future Trends.
Gastroenterology. 2004;127: S218-S224
9. Morris Sherman. Risk of Hepatocellular Carcinoma in Hepatitis B and Prevention
through Treatment. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2009; 76.
10. Keith E. Stuart. 2011. Http://www.medicinenet.com/liver_cancer/article.htm
[Accessed Oct 1, 2011.]
11. Trevisani F, Cantarini MC, Wands JR, Bernardi M. Recent advances in the natural
history of hepatocellular carcinoma. Carcinogenesis 2008;29(7):1299-1305.
12. Budhu A, Wang XW. The role of cytokines in hepatocellular carcinoma. J. Leukoc.
Biol. 2006;80:1197-1213.
13. Pei Y, Zhang T, Renault V, Zhang X. An overview of hepatocellular carcinoma
study by omics-based methods. Acta Biochim Biophys 2009;41(1):1-15.
14. Axelrod DA, Geibel J, et al. Hepatocellular Carcinoma: Pathophysiology. Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/197319-overview#a0104. [Accessed Oct
1, 2011]
15. Feo F, Frau M, Tomasi ML, Brozzetti S, Pascale RM. Genetic and Epigenetic
Control of Molecular Alterations in Hepatocellular Carcinoma. Exp Biol Med.
2009;234:726-736.
16. Tran G. The role of hepatitis C virus in the pathogenesis of hepatocellular
carcinoma. Bioscience Horizons. 2008;1(2):167-175.
17. Motola-Kuba D, Zamon-Valdes D, Urike M, Mendez-Sanchez. Hepatocellular
carcinoma: An overview. Annals of Hepatology. 2006; 5: 16 – 24.
18. Parikh S, Hynan D. Hepatocellular cancer: a guide for the Internist. American
Journal of medicine. 2007; 120: 194 – 202.
19. Bruix J, Sherman M. Management of Hepatocellular carcinoma. Hepatology. 2005;
42: 1208 – 1236
20. Bhosale P, J Szklaruk, P M Silverman. Current Staging of Hepatocellular
Carcinoma: Imaging Implications. Cancer Imaging. 2006; 6: 83-94.
21. Dienstag Jules L, Kurt J Isselbacher, Dennis L. Kasper. Tumors of the Liver and
Biliary Tract, in HARRISON'S PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE. 2005;
533-536.
22. El-Serag Hashem B. Hepatocellular Carcinoma. New English Journal Medical.
2011; 365: 1118-1127.
23. Pons Fernando, Maria Varela, Josep M. Llovet. Staging System in Hepatocellular
Carcinoma. HPB. 2005; 7: 35-41.
24. Bruix J., Sherman M., Lovet J.M., et al. Clinical management of hepatocellular
carcinoma. Conclusions of the Barcelona-2000 EASL conference. European
Association for the Study of the Liver. J Hepatol. 2001; 35: 421 – 430.
25. S. D. Ryder. Guidelines for the diagnosis and treatment of hepatocellular carcinoma
(HCC) in adults. Gut 2003; 52 – 56.
26. Usatoff V., Habib N. Hepatic malignancy: challenges and oppurtunitties for the
surgeon. J.R.Coll.Surg. Edinb. 2000; 45: 99 – 109.
27. Marrero J.A., Hussain H.K., Nghiem H.V., et al. Improving the prediction of
hepatocellular carcinoma in cirrhotic patients with an arteriallyenhancing liver
mass. Liver Transpl. 2005; 11: 281 – 289.
28. Bartolozzi C., Lencioni R., Ricci P., et al. Hepatocellular carcinoma treatment with
percutaneus ethanol injection: evaluation with contrast enhanced color Doppler US.
Radiology.1998; 209:387 – 393.

Vous aimerez peut-être aussi