Vous êtes sur la page 1sur 16

ANALISIS KEPENDUDUKAN

ANALISIS FERTILITAS TERHADAP KESEHATAN

KELOMPOK 6

LIRIN NOVITASARI 25010114120090

RIKY WAHYU ADITIAS 25010114120094

NOOR ZAHROTUL MUNIROH 25010114120112

OKTAVINTA WARITS PUTRI P 25010114120120

AWWALIA VINA ZAKIYA 25010114120140

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
Komponen kependudukan merupakan unsur atau faktor yang
mempengaruhi perubahan penduduk dan berhuungan dengan jumlah, komposisi,
perkembangan, dan distribusi penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Secara
umum komponen kependudukan dapat dibagi menjadi dua variabel yaitu variabel
proses yang menyangkut kelahiran (fertility), kematian (mortality), dan migrasi
(migration) serta variabel struktur yang menyangkut jumlah, distribusi,
perkembangan dan komposisi.
Fertilitas adalah sama dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu
terlepasnya bayi dari rahim seoran perempuan dengan ada tanda-tanda kehidupan,
misalnya berteriak, bernafas, jantung berdenyut dan sebagainya. Apabila pada
waktu lahir tidak ada tanda-tanda kehidupan disebut dengan lahir mati (still birth)
yang di dalam demografi tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Disamping istilah fertilitas ada juga istilah fekunditas sebagai petunjuk kepada
kemampuan fiologi dan biologis seseorang perempuan untuk menghasilkan anak
lahir hidup.
Kelahiran atau fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil
reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata
lain fertilitas menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Fertilitas mempunyai
peranan pada perubahan penduduk. Tingginya jumlah penduduk wanita pada usia
subur berkaitan dengan pertumbuhan penduduk suatu negara. (Cahya, 2012).
Selain itu, fertilitas juga mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat.
Dimana munculnya fenomena tinggi atau rendahnya fertilitas dapat menyebabkan
gangguan pada lingkungan atau dapat menunjukkan adanya gangguan pada
system kehidupan. Bagan di bawah ini ialah perjalanan bagaimana tingginya
angka fertilitas dapat menurunkan derajat kesehatan pada masyarakat dengan
memunculkan penyakit-penyakit akibat lingkungan atau tidak tercukupinya
kebutuhan diri.
Indikator : CBR, GFR, ASFR, Fertilitas Tinggi :
TFR, CEB,CWR Kepadatan penduduk

Hasil riset Kementrian Lingkungan Hidup

Kebutuhan hidup
(sandang, pangan, papan)
meningkat

Malthusian
Indikator : Lapangan pekerjaan berkurang
Ketersediaan TPT (Tingkat Ketersediaan lahan
pangan berkurang Pengangguran Hasil riset BKKBN Gorontalo pemukiman berkurang
Terbuka)
Neo Malthusian
Pengangguran meningkat
Asupan makanan Indikator : GK Terjadi kerusakan
tidak tercukupi (Garis Kemiskinan) lingkungan
Kemiskinan meningkat

Gangguan : Terjadi gangguan Sanitasi lingkungan Gangguan :


Gizi Buruk kecukupan gizi Pendidikan rendah pemukiman buruk Vectorborne
Indikator :
(KEP, KEK, - Angka Partisipasi diseases (Malaria,
KVA, GAKI), Kasar & Murni DBD), TBC
- Angka Melek KB rendah
Anemia Zat Besi Huruf

Status kesehatan menurun


Dari bagan tersebut dapat diambil penjelasan sebagai berikut. Fertilitas
ialah salah satu faktor penambah jumlah penduduk, yang dapat mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat. Kelahiran bayi membawa konsekuensi pemenuhan
kebutuhan tumbuh kembang bayi tersebut, termasuk pemenuhan gizi dan
kecukupan kalori, perawatan kesehatan. Pada gilirannya, bayi ini akan tumbuh
menjadi anak usia sekolah yang menuntut pendidikan, lalu masuk angkatan kerja
dan menuntut pekerjaan. Bayi perempuan akan tumbuh menjadi remaja
perempuan dan perempuan usia subur yang akan menikah dan melahirkan bayi.
Tingkat kelahiran di masa lalu mempengaruhi tingginya tingkat fertilitas masa
kini. Jumlah kelahiran yang besar di masa lalu disertai dengan penurunan
kematian bayi akan menyebabkan bayi-bayi tersebut tetap hidup dalam jumlah
yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya di saat kematian
bayimasih tinggi. Lima belas tahun kemudian bayi-bayi ini akan membentuk
kelompok perempuan usia subur.
Fertilitas sebagai faktor penentu pertambahan jumlah penduduk, dapat
dihitung dengan dua pendekatan yakni yearly performance dan reproductive
history. Yearly performance atau ukuran fertilitas tahunan mengukur jumlah
kelahiran pada tahun tertentu dihubungkan dengan jumlah penduduk yang
mempunyai risiko untuk melahirkan pada tahun tersebut, meliputi angka fertilitas
kasar, angka fertilitas umum, dan angka fertilitas menurut umur.
1. Angka Fertilitas Kasar / Crude Birth Rate (CBR)
Rumus :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
𝐶𝐵𝑅 = 𝑥 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
Perhitungan ini menggambarkan angka kelahiran hidup dalam waktu satu tahun
tiap seribu penduduk pada pertengahan tahun dan merupakan angka paling
umum yang digunakan untuk menilai tingkat fertilitas penduduk. Interpretasi
dari rumus tersebut ialah tingginya angka CBR menggambarkan bahwa jumlah
wanita usia subur yang melahirkan pada periode dan wilayah tertentu tinggi.
2. Angka Fertilitas Umum / General Fertility Rate (GFR)
Rumus :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
𝐺𝐹𝑅 = 𝑥 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑤𝑎𝑛𝑖𝑡𝑎 𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑟𝑒𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
Perhitungan ini merupakan perbandingan jumlah kelahiran dengan jumlah
penduduk perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Perhitungan ini
bermanfaat untuk menggambarkan tingkat reproduksi aktual dari seluruh wnita
dalam masal mampu hamil, yakni usia 15-49 tahun. Interpretasi dari rumus ini
ialah menunjukkan angka kelahiran yang dikaitkan dengan tingkat
reproduktivitas wanita dalam status mampu hamil.
3. Angka Fertilitas Menurut Umur / Age Spesific Fertility Rate (ASFR)
Rumus :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑤𝑎𝑛𝑖𝑡𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
𝐴𝑆𝐹𝑅 = 𝑥 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑤𝑎𝑛𝑖𝑡𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
Perhitungan ini bermanfaat menggambarkan jumlah kelahiran wanita pada
kelompok umur tertentu dan dimungkinkan dapat digunakan untuk pembuatan
analisis perbedaan tingkat fertilitas dalam karakteristik tertentu pada wanita.
Interpretasi dari perhitungan ini ialah tingginya angka kelahiran menurut umur
menggambarkan bahwa tingkat kelahiran pada wanita usia tertentu tinggi
pula.
Reproductive history atau ukuran fertilitas kumulatif mengukur rata-rata jumlah
anak yang dilahirkan oleh wanita pada saat wanita tersebut memasuki usia subur
hingga melampaui batas reproduksinya (15-49 tahun) dan menunjukkan kumulatif
fertilitas selama masa reproduksinya, meliputi angka fertilitas total, angka
reproduksi bruto, dan angka reproduksi neto.
1. Angka Fertilitas Total / Total Fertility Rate (TFR)
Rumus :
𝑇𝐹𝑅 = 5 Σ 𝐴𝑆𝐹𝑅𝑖
Angka fertilitas total ialah jumlah kelahiran hidup laki-laki dan perempuan tiap
1000 perempuan yang hidup hingga akhir masa reproduksinya dengan catatan
tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengkahiri masa
ereproduksinya dan tingkat fertilitas menurut umur (ASFR) tidak berubah pada
periode tertentu. Dimana ASFRi menunjukkan angka kelahiran pada kelompok
umur tertentu. Perhitungan ini bermanfaat menggambarkan fertilitas yang
sebenarnya pada waktu tertentu dan mengetahui rata-rata jumlah anak yang
dilahirkan oleh wanita pada waktu wanita tersebut memasuki usia subur hingga
melampaui batas usia reproduksinya (15-49). Interpretasi dari rumus ini ialah
makin tinggi angka TFR menggambarkan rata-rata jumlah anak yang
dilahirkan tinggi pula.
2. Angka Reproduksi Bruto / Gross Reproduction Rate (GRR)
Rumus :
𝐺𝑅𝑅 = 5 Σ 𝐴𝑆𝐹𝑅𝑓𝑖
Perhitungan ini menggambarkan jumlah bayi perempuan yang dilahirkan oleh
sekelompok wanita. Sehingga, ASFRfi menunjukkan angka kelahiran menurut
umur dimana yang diperhatikan ialah hanya kelahiran bayi perempuan saja.
Hasil angka GRR menunjukkan bahwa akan ada bayi wanita sejumlah angka
tersebut yang kelak akan menggantikan 1000 ibu yang melahirkan tanpa
memperhitungkan kemungkinan kematian bayi wanita sebelum masa
reproduksinya.
3. Angka Reproduksi Neto / Net Reproductive Rate (NRR)
Rumus :
𝐵𝑓𝑖 𝐿𝑖
𝑁𝑅𝑅 = 5 Σ ( ) 𝑥 (5 )
𝑃𝑓𝑖 𝐿𝑜
NRR menggambarkan jumlah kelahiran bayi wanita dari 1000 wanita dengan
memperhitungkan kemungkinan meninggalnya bayi-bayi wanita itu sebelum
mengakhiri masa reproduksinya. Dimana 𝐵𝑓𝑖 menunjukkan banyaknya
kelahiran bayi wanita dari ibu yang berumur i tahun, 𝑃𝑓𝑖 menunjukkan
𝐿
banyaknya wanita berumur i tahun, dan 5 𝐿 𝑖 merupakan rasio bayi masih hidup
𝑜

sejak lahir sampai umur i tahun.


NRR merupakan ukuran kemampuan suatu penduduk untuk menggantikan
dirinya (remplacement level). Nilai NRR = 1, memiliki makna satu penduduk
digantikan dengan satu penduduk (exact rempalcement), dengan asumsi bayi
perempuan yang dilahirkan mengikuti pola fertilitas dan mortalitas ibunya.
Dengan perhitungan tersebut, tentu apabila fertilitas atau angka kelahiran
tinggi, maka secara otomatis akan terjadi penambahan penduduk yang dapat
menyebabkan kepadatan penduduk selama kurun waktu tertentu. Kepadatan
penduduk dibagi menjadi 3 jenis :
1. Kepadatan Penduduk Kasar (Crude Population Density), yaitu menunjukkan
banyaknya jumlah penduduk untuk setiap kilometer persegi luas wilayah.
2. Kepadatan Fisiologis (Physiological Density), yang menyatakan banyaknya
penduduk untuk setiap kilometer persegi wilayah lahan yang ditanami
(cultivable land).
3. Kepadatan Agraris (Agriculture Density), menunjukkan banyaknya penduduk
petani untuk setiap kilometer persegi wilayah cultivable land. Ukuran ini
menggambarkan intensitas pertanian dari petani terhadap lahan yang
mencerminkan efisiensi teknologi pertanian dan intensitas tenaga kerja
pertanian.
Kepadatan penduduk kasar merupakan ukuran persebaran penduduk yang umum
digunakan, karena selain data dan cara penghitungannya sederhana, ukuran ini
sudah distandarisasi dengan luas wilayah. Perhitungan kepadatan penduduk dapat
digunakan untuk mengetahui konsentrasi penduduk di suatu wilayah dan juga
sebagai acuan dalam rangka mewujudkan pemerataan dan persebaran penduduk
(program transmigrasi).
𝑃
𝐾𝑃 =
𝐴
KP : Kepadatan penduduk
P : Jumlah penduduk
A : Luas wilayah (km2)
Angka kepadatan penduduk menunjukan rata‐rata jumlah penduduk tiap 1
kilometer persegi. Semakin besar angka kepadatan penduduk menunjukan bahwa
semakin padat penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Misalnya kepadatan
penduduk Indonesia tahun 2009 sebesar 124 artinya bahwa secara rata‐rata tiap 1
kilometer persegi wilayah di Indonesia didiami oleh 124 penduduk.
Dengan tingginya fertilitas, maka bayi-bayi yang dilahirkan di saat terjadi
angka kelahiran yang tinggi tersebut, maka akan tumbuh menjadi pemudi-pemudi
usia produktif beberapa tahun kemudian. Di saat itulah akan terjadi persaingan
dalam segala hal dan sektor, karena menurut teori fisiologis dan sosial ekonomi
yang disampaikan oleh Emile Durkeim, adanya pertumbuhan penduduk yang
tinggi, akan timbul persaingan di antara penduduk untuk dapat mempertahankan
hidup.
Berdasarkan hasil riset Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2002,
bertambahnya penduduk harus diikuti dengan penyediaan berbagai sarana dan
prasarana seperti perumahan, sekolah, rumah sakit, penyediaan lapangan kerja.
Penyediaan kebutuhan seperti sandang, pangan, papan, dan berbagai sarana dan
prasana tersebut berarti akan menggunakan sumber daya alam lebih banyak,
sehingga eksploitasi terhadap sumber daya alam akan terus terjadi apabila tekanan
penduduk semakin besar.
Seperti dalam diagram di atas, meningkatnya kebutuhan hidup maka akan
menimbulkan beberapa masalah, diantaranya ketersediaan bahan pangan
berkurang, ketersediaan lahan pemukiman makin sedikit, dan juga lapangan
pekerjaan makin sempit. Hal tersebut dikarenakan setiap orang memang memiliki
kebutuhan dasar yang sama, sehingga kompetisi akan terus terjadi.
Kaitan kepadatan penduduk dengan berkurangnya bahan pangan sesuai
dengan teori Malthusian yang diungkapkan Thomas Robert Malthus, yakni
pertumbuhan penduduk sesuai deret ukur sementara pertumbuhan bahan makanan
sesuai deret hitung. Maksudnya ialah pertumbuhan bahan makanan jauh lebih
lambat dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Dengan demikian, maka
suatu ketika dapat muncul kasus tidak mencukupinya bahan makanan, terlebih
jika tidak didukung dengan teknologi yang ada. Dengan tidak tercukupinya
asupan makanan, maka akan muncul kasus-kasus kesehatan yang berkaitan
dengan tidak tercukupinya kebutuhan gizi atau yang sering dikenal sebagai gizi
buruk.
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi,
atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga
bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena
kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-
duanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan
ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu
kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan
lain status gizinya berada di bawah standar rata-rata.
Kepadatan penduduk juga berpengaruh pada lahan pemukiman karena
banyak orang yang membutuhkan tempat tinggal. Banyaknya orang yang
membangun pemukiman, tentunya banyak yang memanfaatkan lahan pertanian
atau perkebunan sehingga banyak terjadi kerusakan lingkungan juga pencemaran.
Hal tersebut sesuai dengan teori Neo-Malthusian oleh Paul Ehrlich yang
menyebutkan bahwa dunia ini telah terlalu banyak manusia, maka lingkungan
sudah banyak yang rusak dan tercemar. Kerusakan ataupun pencemaran
lingkungan rumah atau pun luar dapat dinilai antara lain dengan indikator berupa
kualitas udara, air, dan tanah.
1. Udara
Giddings (1973) mengemukakan bahwa atmosfir pada keadaan bersih dan
kering akan didominasi oleh 4 gas penyusun atmosfir, yaitu 78,09% N2;
20,95% O2; 0,93% Ar; dan 0,032% CO2; sedangkan gas-gas lainnya sangat
kecil konsentrasinya. Komposisi udara bersih yaitu semua uap air telah
dihilangkan dan relatif konstan. Menurut Kepmenkes RI No. 829 (1999),
kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut :
o o
a. Suhu udara nyaman berkisar 18 -30 C
b. Kelembaban udara berkisar antara 40%-70%
c. Konsentrasi gas SO2tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.
3
d. Pertukaran udara 5 kaki
e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam
2. Air
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.173/Men.Kes/Per/VII/
1977, penyediaan air harus memenuhi kuantitas dan kualitas, yaitu :
a. Aman dan higienis
b. Baik dan layak minum.
c. Tersedia dalam jumlah yang cukup.
d. Harganya relatif murah atau terjangkau oleh sebagian besar masyarakat
Parameter air bersih secara fisika dinilai dari kekeruhan, warna, rasa & bau,
endapan, dan temperatur.
3. Tanah
Kondisi tanah yang bagus terdiri dari udara 25%, bahan organik 5%, air 25%,
mineral 45%

Pencemaran lingkungan yang terjadi akibat kepadatan penduduk, tentunya


juga dapat menjadikan pemukiman penduduk yang ada memiliki sanitasi yang
kurang baik, bahkan bisa sangat buruk. Buruknya sanitasi dalam rumah tangga
atau kawasan pemukiman tersebut dapat menyebabkan ketidakseimbangan
lingkungan seperti meningkatnya agen penyebab penyakit, yang kemudian dapat
menimbulkan penyakit-penyakit seperti vectorborne diseases (DBD, Malaria,
Leptospirosis, dll)
Selain itu, kepadatan penduduk juga berpengaruh pada berkurangnya
lahan pekerjaan yang dapat menimbulkan banyak pengangguran, termasuk
pengangguran terbuka. Hal tersebut didapat dari hasil survei yang dilakukan oleh
BKKBN Provinsi Gorontalo pada tahun 2013, dimana kepadatan penduduk dapat
menimbulkan masalah pengangguran karena terlalu banyak sumber daya manusia
yang ada sementara lahan pekerjaan tidak bertambah. Pengangguran terbuka
adalah mereka yang sedang mencari kerja atau sedang menyiapkan usaha, atau
tidak mencari kerja karena merasa tidak mungkin memperoleh pekerjaan, atau
sudah diterima kerja tetapi belum mulai bekerja. Indikatornya dikenal dengan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), yaitu perbandingan antara jumlah
pengangguran dengan jumlah angkatan kerja, dan biasanya dinyatakan dalam
persen. TPT secara matematis dihitung dengan menggunakan pendekatan rumus
sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑟𝑎𝑛
𝑇𝑃𝑇 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah
masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut
disebabkan karena, pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan
dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya.
Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan
lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi. Pengangguran
merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek yang selalu dihadapi
setiap negara.
Dengan banyaknya pengangguran dan tidak bertambahnya lapangan
pekerjaan, tentu akan memunculkan masalah baru, yakni kemiskinan. Kemiskinan
umumnya dilukiskan sebagai rendahnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
pokok. Di Indonesia pengukuran kemiskinan menggunakan kriteria dari BPS.
BPS menentukan kriteria kemiskinan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs). Berdasarkan pendekatan tersebut, terdapat 3 indikator kemiskinan
yang digunakan, yaitu :
1. Headcount Index, digunakan untuk mengetahui persentase penduduk yang
dikategorikan miskin.
2. Indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index), merupakan ukuran
rata‐rata kesenjangan pengeluaran masing‐ masing penduduk miskin terhadap
garis kemiskinan.
3. Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index), memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran yang dikonseptualisasikan dengan Garis Kemiskinan (GK). GK
merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100
kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. GK yang
digunakan oleh BPS terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM), di mana GK merupakan
penjumlahan dari GKM dan GKNM. GK bermanfaat untuk mengukur beberapa
indikator kemiskinan, seperti jumlah dan persentase penduduk miskin (headcount
index–P0), indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index– P1), dan indeks
keparahan kemiskinan (poverty severity index–P2).
Rumus
GK = GKM + GKNM

GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan
GKM ialah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan
dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Sementara GKNM adalah kebutuhan
minimum untuk rumah, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Garis Kemiskinan
menunjukkan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per
kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Penduduk yang memiliki
rata‐rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Dengan meningkatnya angka kemiskinan, secara tidak langsung juga dapat
menurunkan kualitas pendidikan, yakni menjadikan seseorang berpendidikan
rendah. Terdapat beberapa indikator mengenai pendidikan, yaitu :
1. Angka Melek Huruf (AMH)
AMH adalah proprosi penduduk 15 tahun ke atas terhadap penduduk usia 15
tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis, tanpa harus mengerti apa
yang dibaca/ditulisnya. AMH digunakan untuk melihat pencapaian indikator
dasar yang telah dicapai oleh suatu daerah, karena membaca merupakan dasar
utama dalam memperluas ilmu pengetahuan. AMH merupakan indikator
penting untuk melihat sejauh mana penduduk suatu daerah terbuka terhadap
pengetahuan. Tingkat melek huruf yang tinggi (atau tingkat buta huruf rendah)
menunjukkan adanya sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif dan/atau
program keaksaraan yang memungkinkan sebagian besar penduduk untuk
memperoleh kemampuan menggunakan kata‐kata tertulis dalam kehidupan
sehari‐hari dan melanjutkan pembelajarannya.
2. Angka Partisipasi Kasar (APK)
APK ialah proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok
usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut terhadap penduduk pada
kelompok usia tertentu. Sejak tahun 2009 Pendidikan Non Formal (Paket A,
Paket B dan Paket C) turut diperhitungkan. APK digunakan untuk
menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum pada suatu tingkat
pendidikan. APK yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat partisipasi
sekolah, tanpa memperhatikan ketepatan usia sekolah pada jenjang
pendidikannya. Jika nilai APK mendekati atau lebih dari 100 persen
menunjukkan bahwa menunjukkan ada penduduk yang sekolah belum
mencukupi umur dan atau melebihi umur yang seharusnya. Hal ini juga dapat
menunjukkan bahwa wilayah tersebut mampu menampung penduduk usia
sekolah lebih daripada target yang sesungguhnya.
3. Angka Partisipasi Murni (APM)
APM adalah proporsi anak sekolah pada satu kelompok usia tertentu yang
bersekolah pada jenjang yang sesuai dengan kelompok usianya terhadap
seluruh anak pada kelompok usia tersebut. APM digunakan untuk mengukur
proporsi anak yang bersekolah tepat pada waktunya. APM menunjukkan
seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan
fasilitas pendidikan sesuai dengan usia pada jenjang pendidikannya.
4. Angka Partisipasi Sekolah (APS)
APS ialah proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada satu kelompok
umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. APS
digunakan untuk menunjukkan tingkat partisipasi pendidikan menurut
kelompok umur tertentu. APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang
yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum. Pada kelompok
umur mana peluang tersebut terjadi dapat dilihat dari besarnya APS setiap
kelompok umur.
5. Rata-rata Lama Sekolah
Merupakan jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah
diselesaikan dalam Pendidikan Formal (tidak termasuk tahun yang
mengulang). Untuk menghitung Rata‐rata Lama Sekolah dibutuhkan informasi
tentang :
- Partisipasi sekolah
- Jenjang dan jenis pendidikan tertinggi yang pernah/sedang diduduki
- Ijasah tertinggi yang dimiliki
- Tingkat/kelas tertinggi yang pernah/ sedang diduduki
Perhitungan ini berguna untuk melihat kualitas penduduk dalam hal
mengenyam Pendidikan Formal. Tingginya angka Rata‐rata Lama Sekolah
(MYS) menunjukkan jenjang pendidikan yang pernah/sedang diduduki oleh
seseorang. Semakin tinggi angka MYS maka semakin lama/tinggi jenjang
pendidikan yang ditamatkannya.
6. Angka Putus Sekolah
Merupakan proporsi anak menurut kelompok usia sekolah yang sudah tidak
bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan
tertentu. Adapun kelompok umur yang dimaksud adalah kelompok umur 7‐12
tahun, 13‐15 tahun, dan 16‐18 tahun. Perhitungan ini bermanfaat untuk
mengukur kemajuan pembangunan di bidang pendidikan dan untuk melihat
keterjangkauan pendidikan maupun pemerataan pendidikan pada masing‐
masing kelompok umur (7‐12, 13‐15, dan 16‐18 tahun). Semakin tinggi angka
putus sekolah menggambarkan kondisi pendidikan yang tidak baik dan tidak
merata. Begitu sebaliknya jika angka putus sekolah semakin kecil maka
kondisi pendidikan di suatu wilayah semakin baik.
Contoh APTS7-12 = 10,11% berati secara rata-rata dari 100 anak usia 7-12
tahun yang sedang atau pernah bersekolah terdapat 10 sampai 11 anak yang
putus sekolah dan lebih cenderung 10 anak yang putus sekolah.

Melonjaknya penduduk setiap tahunnya disebabkan oleh salah satu faktor


yaitu banyaknya fertilitas di kalangan rumah tangga miskin yang tak terbendung.
Ini dikarenakan anak dianggap sebagai barang produksi. Berdasarkan aspek
produksi utilitas anak lebih dilihat dari aspek kuantitas dan bukan kualitas
(Becker,1995). Namun teori yang di kemukakan diatas berbeda dengan teori yang
akan berkaitan langsung antara kemiskinan yang meningkat dangan tingkat
pendidikan yang rendah.
Proses terbentuknya kemiskinan yang di dasarkan pada konsep yang
dikemukakan oleh Chambers menerangkan bahwa bagaimana kondisi yang
disebut miskin di sebagian besar negara-negara berkembang dan dunia ketiga
adalah kondisi yang disebut kemiskinan. Besar kecilnya pendapatan sangat
berpengaruh dengan kualitas pendidikan. Pendidikan yang rendah disebabkan
karena keterbatasan pendapatan untuk mendapatkan pendidikan yang diinginkan
atau sesuai dengan standar pendidikan. Selain itu faktor gizi yang buruk akibat
kemiskinan berdampak besar juga dengan kecerdasan intelektual seseorang.
Secara teori pendidikan berpengaruh pada cara berfikir, kemampuan
menerima informasi dan pengambilan keputusan. Sebagaimana juga dikemukakan
oleh Green bahwa tingkat pendidikan merupakan struktur sosial yang menjadi
faktor predisposisi terjadinya suatu perilaku. Semakin tinggi pendidikan seseorang
kecenderungan melakukan perilaku yang semakin baik. Sesuai dengan hasil
penelitian, perilaku drop out KB paling banyak adalah pada kategori pendidikan
rendah sebesar 89.3%. Hal tersebut diperoleh dari penelitian mengenai “Analisis
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Drop Out KB di Desa
Caringin Kabupaten Pandeglang Banten” oleh dua dosen pengajar kebidanan
Poltekkes Banten. Dengan rendahnya KB, maka siklus dapat kembali naik,
fertilitas atau angka kelahiran akan menjadi tinggi kembali.
Semua variabel tersebut di atas, seperti kasus kurangnya asupan gizi dan
sanitasi lingkungan pemukiman yang buruk, apabila ditambah dengan tingginya
angka kemiskinan maka akan menurunkan status dan derajat kesehatan manusia
terus menurun. Hal ini dapat terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul akibat
masalah gizi dan lingkungan tidak teratasi karena terkendala masalah ekonomi,
yakni miskin.
DAFTAR PUSTAKA

Hasaroh, Yunita. 2010. Perubahan Berat Badan Anak Balita Gizi Buruk yang
dirawat di RSUP .H. Adam Malik Medan [Skripsi]. Medan : FKM USU
Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan
Kurniawati, Rery dan Yayah Rokayah. “Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh
terhadap Perilaku Drop Out KB di Desa Caringin Kabupaten Pandeglang
Banten”. JURNAL KESEHATAN Poltekkes Banten VOL 6, NO 1 (2015).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 173/Men.Kes/Per/VIII/77
tentang Pencemaran Air Dari Badan Air Untuk Berbagai Kegunaan yang
Berhubungan dengan Kesehatan
Purnami, Cahya Tri. 2012. Ilmu Kependudukan. Semarang : UPT UNDIP Press
Semarang
Teori Penduduk dalam http://elisa.ugm.ac.id/ diakses pada 10 September 2015
Utina, Ramli dan Dewi Wahyuni K.Baderan. Dampak Kepadatan Penduduk
terhadap Kondisi Biofisik Lingkungan Hidup di Provinsi Gorontalo. 2013.
Gorontalo : BKKBN Provinsi Gorontalo
Waluyo, Heru. “Tekanan Penduduk dan Dampak Terhadap Lingkungan”. Seminar
“Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup” 30 April 2002. Jakarta :
Kementrian Lingkungan Hidup
http://www.bps.go.id/ diakses pada 11 September 2015
http://data.tnp2k.go.id/ diakses pada 11 September 2015

Vous aimerez peut-être aussi