Vous êtes sur la page 1sur 33

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes adalah sekumpulan penyakit endokrin yang ditandai dengan


hiperglikemia yang merupakan manifestasi dari defek pada sekresi insulin, aksi
insulin atau keduanya. Diabetes memiliki banyak sekali komplikasi yang
ditimbulkannya, baik itu terjadi secara akut seperti hiperglikemik hiperosmolar
non-ketotik, ketoasidosis yang dapat membawa kematian, atau komplikasi yang
berjalan secara kronik seperti diabetik neuropati, makroangiopati, mikroangiopati,
dan sebagainya. Dalam bidang oftalmologi, komplikasi yang terpenting adalah
retinopati diabetik dan peningkatan progresifitas katarak yang telah terjadi.
Retinopati diabetik merupakan kelainan retina akibat dari komplikasi
diabetes yang menyebabkan kebutaan. Retinopati ini dapat dibagi dalam dua
kelompok berdasarkan klinis yaitu retinopati diabetik non proliferatif dan
retinopati diabetik proliferatif, dimana retinopati diabetik non proliferatif
merupakan gejala klinik yang paling dini didapatkan pada penyakit retinopati
diabetik.
Sedangkan katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya
jernih dan bening menjadi keruh. Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena
proses kongenital atau karena proses degeneratif. Begitu banyak yang faktor yang
mempengaruhi timbulnya katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit
sistemik yang mempercepat proses timbulnya katarak ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Retinopati Diabetikum


A. Anatomi Retina
Retina adalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas
penyebaran serabut-serabut saraf optik, letaknya antara badan kaca dan
koroid. Bagian anterior berakhir pada ora serata. Di bagian retina yang
letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan yang terdapat makula lutea
(bintik kuning) kira-kira berdiameter 1-2 mm yang berperan penting
untuk penglihatan.1,5
Kira-kira 3 mm ke arah nasal kutub belakang bola mata terdapat
daerah bulat putih kemerah-merahan, disebut papil saraf optik, yang di
tengahnya agak melekuk dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina sentral
bersama venanya masuk ke dalam bola mata di tengah papil saraf optik.
Arteri retina merupakan pembuluh darah terminal (lihat gambar 1).1,5
Retina mempunyai ketebalan sekitar 1 mm, terdiri atas lapisan:1,5
- Lapisan fotoreseptor merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel
batang dan sel kerucut dan merupakan lapisan penangkap sinar.
- Membran limitan eksterna merupakan membrane ilusi.
- Lapisan nukleus luar terutama terdiri atas nuklei sel-sel visual atau
sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat
metabolisme dari kapiler koroid.
- Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan
tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
- Lapisan nukleus dalam merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal
dan sel Muller. Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina
sentral.
- Lapisan pleksiform dalam merupakan lapis aselular merupakan
tempat sinaps sel bipolar, sel amkrin dengan sel ganglion.
- Lapisan sel ganglion merupakan lapisan sel saraf bercabang .

2
- Lapisan serabut saraf merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke
arah saraf optik dan di dalam lapisan ini dapat terletak sebagian besar
pembuluh darah retina.
- Membran limitan interna merupakan membrane hialin antara retina
dan badan kaca.

Gambar 2.1. Funduskopi okuli normal

B. Definisi Retinopati Diabetikum


Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang
ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus
retina. Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membran
basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit.1

C. Klasifikasi Retinopati Diabetikum


Secara umum klasifikasi retinopati diabetik dibagi menjadi:1,3
1) Retinopati Diabetik Non Proliferatif
Retinopati diabetic adalah suatu mikroangiopati progresif yang
ditandai oleh kerusakkan dan sumbatan pembuluh-pembuluh kecil.
Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membrane basal
endotel kapiler dan berkurangnya jumlah perisit. Kapiler membentuk
kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik yang disebut
mikroaneurisma. Perdarahan akan berbentuk nyala api karena

3
lokasinya berada di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi
horizontal.1
Retinopati nonproliferatif ringan ditandai oleh sedikitnya satu
mikroaneurisma. Pada retinopati nonproliferatif sedang, terdapat
mikroaneurisma luas, perdarahan intraretina, gambaran manik-manik
pada vena (venous beading), dan/atau bercak-bercak cotton wool.
Retinopati nonproliferatif berat ditandai oleh bercak-bercak cotton
wool, gambaran manik-manik pada vena dan kelainan mikrovaskular
intraretina (IRMA). Stadium ini terdiagnosis dengan ditemukannya
perdarahan intraretina di empat kuadran, gambaran manik-manik vena
di dua kuadran, atau kelainan mikrovaskular intraretina berat di satu
kuadran.1

Gambar 2.2. Retinopati Diabetik Non Proliferatif1

2) Retinopati Diabetik Proliferatif


Komplikasi mata yang paling parah pada diabetes mellitus adalah
retinopati diabetik proliferatif. Iskemia retina yang progresif akhirnya
merangsang pembentukkan pembuluh-pembuluh halus baru yang
menyebabkan kebocoran protein-protein serum (dan flouresens) dalam
jumlah besar. Retinopati diabetik proliferatif awal ditandai oleh
kehadiran pembuluh-pembuluh baru pada diskus optikus (NVD) atau
di bagian retina manapun (NVE). Cirri yang berisiko tinggi ditandai
oleh pembuluh darah baru pada diskus optikus yang meluas lebih dari

4
sepertiga diameter diskus, sembarang pembuluh darah baru pada
diskus optikus yang disertai perdarahan vitreus, atau pembuluh darah
baru di bagian retina manapun yang besarnya lebih dari setengah
diameter diskus dan disertai perdarahan vitreus.1
Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi ke pemukaan
posterior vitreus dan akan menimbul saat vitreus mulai berkontraksi
menjauhi retina. Apabila pembuluh tersebut berdarah, perdarahan
vitreus yang masif dapat menyebabkan penurunan penglihatan
mendadak. Sekali terjadi peelepasan total vitreus posterior, mata
berisiko mengalami neovaskularisasi dan perdarahan vitreus. Pada
mata retinopati diabetik proliferatif dan adhesi vitreoretinal persisten,
jaringan neovaskular yang menimbul dapat mengalami perubahan
fibrosa dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat, yang
menyebabkan traksi vitreoretina. Hal ini dapat menyebabkan ablatio
retinae akibat traksi progresif atau, apabila terjadi robekan retinae,
ablatio retinae regmatogenosa. Ablatio retinae dapat ditandai atau
ditutupi oleh perdarahan vitreus. Apabila kontraksi vitreus di mata
tersebut telah sempurna, retinopati proliferatif cenderung masuk ke
dalam stadium “involusional” atau burned-out. Penyakit mata diabetic
lanjut juga dapat disertai komplikasi neovaskularisasi iris (rubeosis
iridis) dan glaukoma neovaskular.1

Gambar 2.3. Retinopati Diabetik Proliferatif1

5
D. Patofisiologi Retinopati Diabetikum
Merupakan bentuk yang paling umum yang dijumpai dan merupakan
cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah
yang terkena. Disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler,
mekanisme perubahannya tidak diketahui tetapi telah diteliti adanya
perubahan endotel vaskuler (penebalan membran basalis dan hilangnya
perisit) dan gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi
platelet). Di sini perubahan mikrovaskuler pada retina terbatas pada
lapisan retina (intra retina). Karakteristik pada jenis ini adalah
dijumpainya mikroaneurisma multipel yang dibentuk kapiler-kapiler
yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti titik-titik,
vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan
intra retina. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan
berbentuk nyala api karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang
berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau
bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson
berorientasi vertikal.1,2
Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati
diabetik nonproliferatif. Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler
mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang lanjut disertai iskemik pada
dinding retina (cotton wall spot), infark pada lapisan serabut saraf. Hal
ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau
plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari edema makula adalah
cotton wall spot, intra retina mikrovaskuler abnormal (IRMA), dan
rangkaian vena yang seperti manikmanik. Bila satu dari keempatnya
dijumpai maka ada kecenderungan progresif.1,2
Retinopati diabetik non proliferatif dapat mempengaruhi fungsi
penglihatan melalui dua mekanisme yaitu:4
 Perubahan sedikit demi sedikit daripada pembentukan kapiler dari
intra retina yang menyebabkan iskemik makular.

6
 Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema
makular.

E. Hubungan Retinopati Diabetikum dengan Diabetes Mellitus


Retinopati diabetes adalah salah satu komplikasi mikrovaskular dari
diabetes melitus (DM). Penurunan penglihatan yang terjadi akibat
masalah vaskularisasi retina terjadi secara progresif. Retinopati
merupakan gejala DM yang paling utama pada mata. Gejala subjektif
yang umumnya ditemukan dapat berupa kesulitan membaca, penglihatan
kabur, penglihatan tibatiba menurun pada satu mata, melihat
lingkaranlingkaran cahaya atau bintik gelap. Secara objektif, pada RD
dapat ditemukan adanya mikroaneurisma terutama pada daerah vena,
perdarahan dalam bentuk titik, garis maupun bercak, dilatasi pembuluh
darah balik dengan lumen ireguler, hard exudate, soft exudates,
neovaskularisasi, edema retina dan hiperlipidemia pada retina.12
Menurut American Academy of Ophtamology, retinopati diabetes
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu retinopati diabetes non-proliferatif
dan retinopati diabetes proliferatif. Prevalensi terjadinya retinopati
diabetes proliferatif, karena retinopati diabetes proliferasi terjadi akibat
peningkatan kadar glukosa dalam darah diatas normal yang telah terjadi
lama sehingga terjadi kelainan metabolisme pada retina. Pada pasien
retinopati diabetes proliferative setidaknya 50% pasien akan mengalami
kebutaan stelah 5 tahun.12
Mekanisme terjadinya retinopati diabetes masih belum bisa dipahami
dengan sempurna. Beberapa penelitian pun telah dilakukan untuk
mengetahui patogenesis terjadinya retinopati diabetes. Mekanisme
terjadinya penyakit ini pun diketahui terdapat bermacam-macam.
Mekanisme retinopati diabetes ini dapat ditinjau dari beberapa aspek
seperti lesi anatomi dan mekanisme biokimia yang terlibat. Berdasarkan
lesi anatomis dari retinopati diabetes, setidaknya ada 2 bagian yang
terlibat yaitu membrana basalis dan sel perisit yang terdapat dalam

7
pembuluh kapiler retina. Membrana basalis kapiler bertindak seperti
rangka pada retina. Membrana basalis member struktur yang kaku pada
organ seperti pembuluh darah. Selain bertindak sebagai rangka,
membrana basalis retina juga memiliki fungsi diferensiasi dan proliferasi
sel dan mengikat faktorfaktor pertumbuhan, khususnya fibroblast growth
factor (FGFs). Pada retinopati diabetes, membrana basalis mengalami
penebalan akibat proses glikasi (baik enzimatik maupun non-enzimatik)
dan jalur sorbitol (sorbitol pathway). Penebalan membrana basalis dari
kepiler retina ini menyebabkan fungsi sirkulasi dari retina terganggu.
Mikroaneurisma juga dapat ditemukan dalam patogenesis retinopati
diabetes. Mikroaneurisma tumbuh dari dinding pembuluh darah yang
lemah akibat hilangnya perisit intramural, untuk kontraksi dinding
arteriol, akibat jalur sorbitol. Mikroaneurisma juga dapat terjadi karena
apoptosis dari sel-sel endotel. Adanya mikroaneurisma dapat
diidentifikasi dengan bintik merah dari hasil oftalmoskopi.
Mikroaneurisma akan terlihat seperti struktur anggur bila dilihat dibawah
mikroskop. Terdapat dua jenis mikroaneurisma dalam RD, yaitu
mikroanuerisma aselular dan mikroaneurisma aselular. Mikroaneurisma
aselular tejadi akibat apoptosis yang ekstensif dari sel-sel endotel dan
perisit, sedangkan mikroaneurisma selular terjadi akibat proliferasi sel
endotel dan efek antiproliferasi akibat hilangnya perisit. Menurunnya
fungsi retina akan selaras dengan penurunan fungsi makula. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan adaptometer,
fungsi makula pada retinopati diabetes mengalami penurunan
dibandingkan dengan orang normal.12

F. Manifestasi Klinis Retinopati Diabetikum


Gejala subjekif pada retinopati diabetikum yang dapat ditemui
berupa:1
 Kesulitan membaca
 Penglihatan kabur

8
 Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
 Melihat lingkaran cahaya
 Melihat bintik gelap dan kelap-kelip

Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:5


 Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama
daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak
dekat pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh
darah ini demikian kecilnya sehingga tidak terlihat. Mikroaneurisma
merupakan kelainan diabetes mellitus dini pada mata.5

Gambar 2.4. Mikroanuerisma dan perdarahan intraretina

Gambar 2.5. Blot Hemorrhages dan Microaneuysms

 Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurisma di polus posterior. Bentuk perdarahan

9
dapat memberikan prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas
memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan
perdarahan yang kecil. Perdarahan terjadi akibat gangguan
permeabilitas pada mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.5
- Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superficial, searah dengan nerve fiber.
- Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada
end artery, dilapisan tengah dan compact.
 Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang ireguler dan berkelok-
kelok. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi, dan kadang-kadang
disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.5

Gambar 2.6. Dilatasi pembuluh darah balik

 Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina.


Gamabarannya kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata,
membesar kemudian bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang
dalam beberapa minggu.5

10
Gambar 2.7. Edema macula dan hard exudates di fovea

 Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi


akan terlihat becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya
terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan
iskemia retina.5

 Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai


pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan ireguler.
Mula-mula terletak pada jaringan retina, kemudian berkembang
kearah preretinal, ke badan kaca. Jika pecah dapat menimbulkan
perdarahan retian, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun
perdarahan badan kaca.5

 Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama


daerah macula sehingga sangat mengganggu tajam pengelihatan.
Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak sebagai
retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat
intra retina. Dapat berbentuk zona-zona eksudat kuning kaya lemak,
berbentuk bundar disekitar kumpulan mikroaneurisma dan eksudat
intra retina.5

11
Gambar 2.8. Funduskopi edema makula

G. Pemeriksaan Klinis
Anamnesis
Pada tahap awal retinopathy DM tidak didapatkan keluhan. Pada
tahap lanjut dari perjalanan penyakit ini, pasien dapat mengeluhkan
penurunan tajam penglihatan serta pandangan yang kabur.

Pemeriksaan Oftalmologi
Temuan pemeriksaan oftalmologi pada retinopathy DM dapat
dibagi menurut Diabetic Retinopathy Severity Scale :
 Tidak tampak adanya tanda-tanda retinopathy
 Nonproliferative retinopathy
Retinopathy DM merupakan progressive microangiopathy yang
mempunyai karakteristik pada kerusakan pembuluh darah kecil dan
oklusi. Kelainan patologis yang tampak pada awalnya berupa
penebalan membran basement endotel kapiler dan reduksi dari jumlah
perisit. Kapiler berkembang dengan gambaran dot-like outpouchings
yang disebut mikroaneurisma. Perdarahan dengan gambaran flame-
shaped tampak jelas.6
- Mild nonproliferative retinopathy ditandai dengan ditemukannya
minimal 1 mikroaneurisma. Pada moderate nonproliferative
retinopathy terdapat mikroaneurisma ekstensif, perdarahan intra

12
retina, venous beading, dan/ atau cotton wool spots (Eva, Whitcher,
2007). Kriteria lain juga menyebutkan pada Mild nonproliferative
retinopathy: kelainan yang ditemukan hanya adanya
mikroaneurisma dan moderate nonproliferative retinopathy
dikategorikan sebagai kategori antara mild dan severe retinopathy
DM .6
- Severe nonproliferative retinopathy ditandai dengan ditemukannya
cotton-wool spots, venous beading, and intraretinal microvascular
abnormalities (IRMA). Hal tersebut didiagnosis pada saat
ditemukan perdarahan retina pada 4 kuadran, venous beading
dalam 2 kuadran atau IRMA pada 1 kuadran.6 Kriteria lain
menyebutkan proliferative diabetic retinopathy dikategorikan jika
terdapat 1 atau lebih: neovaskularisasi (seperti pada : iris, optic
disc, atau di tempat lain), atau perdarahan retina/ vitreus.6

 Proliferative Retinopathy
Komplikasi yang terberat dari DM pada mata pada proliferative
diabetic retinopathy. Iskemia retina yang progresif menstimulasi
pembentukan pembuluh darah baru yang menyebabkan kebocoran
serum protein yang banyak. Early proliferative diabetic retinopathy
memiliki karakteristik munculnya pembuluh darah baru pada papila
nervi optikus (new vessels on the optic disk (NVD)) atau pada tempat
lain di retina. Kategori high-risk ditandai dengan pembuluh darah baru
pada papila yang meluas melebihi satu per tiga dari diameter papila,
pembuluh darah tersebut berhubungan dengan perdarahan vitreus atau
pembuluh darah baru manapun di retina yang meluas melebihi
setengah diameter papila dan berhubungan dengan perdarahan
vitreus.6
Pembuluh darah baru yang rapuh berproliferasi pada sisi posterior
dari vitreus dan tampak terangkat ketika vitreus mulai menarik retina.
Apabila terjadi perdarahan maka perdarahan vitreus yang masif akan

13
menyebabkan hilangnya penglihatan yang mendadak. Resiko
berkembangnya neovaskularisasi dan perdarahan retina dimulai ketika
terjadinya complete posterior vitreous detachment. Pada mata dengan
proliferative diabetic retinopathy dan adhesi vitreoretinal yang
persisten dapat berkembang proses fibrotik dan membentuk ikatan
fibrovaskular yang menyebabkan traksi vitreoretina. Hal tersebut
dapat menyebabkan progressive traction retinal detachment atau
apabila terjadi robekan retina maka telah terjadi rhegmatogenous
retinal detachment.6
Perkembangan selanjutnya dari DM pada mata yaitu dapat terjadi
kompllikasi: iris neovascularization (rubeosis iridis) dan neovascular
glaucoma. Proliferative diabetic retinopathy berkembang pada 50%
penderita diabetes tipe I dalam waktu 15 tahun sejak timbulnya
penyakit sistemik mereka. Hal ini kurang lazim pada penderita
diabetes tipe II, tetapi karena ada lebih banyak pasien dengan diabetes
tipe II, lebih banyak pasien dengan proliferative diabetic retinopathy
memiliki tipe II dari tipe I diabetes.6

Gambar 2.9. Moderate nonproliferative diabetic retinopathy dengan mikroaneurisma dan


cotton-wool spots

14
Gambar 2.10. Proliferative Diabetic Retinopathy dengan neovaskularisasi dan scattered
microaneurysm

Gambar 2.11. Proliferative Diabetic Retinopathy dengan neovaskularisasi pada diskus


optikus

 Diabetic maculopathy dan Diabetic macular edema (DME)


Diabetic maculopathy tampak sebagai penebalan retina fokal atau
difus yang diakibatkan oleh rusaknya inner blood–retinal barrier pada
endotel kapiler retina yang memicu terjadinya kebocoran plasma ke
sekeliling retina. Hal tersebut lebih sering ditemukan pada DM tipe II
dan memmerlukan terapi. Diabetic maculopathy dapat diakibatkan
iskemia yang ditandai dengan edema makula, perdarahan yang dalam
dan eksudasi. FFA menunjukkan hilangnya kapiler retina dan
bertambah luasnya daerah avaskular pada fovea.6
Dapat terjadi pada tiap tahapan dari retinopathy DM. Edema
makula yang signifikan secara klinis (Clinically significant macular

15
edema (CSME)) ditetapkan apabila teradapat satu dari beberapa
kriteria berikut:6
 Penebalan retina dalam jarak 500 µm (satu per tiga ukuran disc)
dari fovea centralis.
 Hard exudates pada jarak 500 µm dari fovea centralis apabila
berhubungan dengan penebalan retina.
 Penebalan retina lebih besar dari ukuran disc dan bagian dari
penebalan itu mencakup area disc pada fovea centralis.6

Gambar 2.12. Nonproliferative Diabetic Retinopathy dengan edema macula


signifikan

Gambar 2.13. Gambaran edema makula

16
H. Pemeriksaan Penunjang
Optical coherence tomography sangat bermanfaat dalam menentukan
dan memantau edema macula. Umumnya, pengobatan diperlukan pada
penebalan retina lebih dari 300 mikron.1
Angiografi fluoresein berguna untuk menentukan kelainan
mikrovaskular pada retinopati diabetik. Defek pengisian yang besar pada
jalinan kapiler – “nonperfusi kapiler” – menunjukkan luas iskemia retina
perifer. Kebocoran fluoresensi yang disertai dengan edema retina,
mungkin membentuk gambaran petaloid edema macula kistoid atau
mungkin gambaran difus. Ini dapat membantu menentukan prognosis
serta luas dan penempatan terapi laser. Mata dengan edema macula dan
iskemia yang bermakna mempunyai prognosis penglihatan yang lebih
buruk, dengan atau tanpa terapi laser, dibandingkan mata edema dengan
perfusi yang relatif baik.1

Gambar 2.14. Angiografi fluoresein

I. Tatalaksana Retinopati Diabetikum


Progresivitas retinopati terutama dicegah dengan melakukan
pengendalian yang baik terhadap hiperglikemia, hipertensi sistemik, dan
hiperkolesterolemia.
Terapi pada mata tergantung dari lokasi dan keparahan retinopatinya.
Mata dengan edema macula diabetic yang belum bermakna klinis
sebaiknya dipantau secara ketat tanpa dilakukan terapi laser. Yang
bermakna klinis memerlukan focal laser bila lesinya setempat, dan grid

17
laser bila lesinya difus. Laser Argon pada macula sebaiknya hanya
cukup untuk menghasilkan bakaran sinar karena parut laser dapat meluas
dan mempengaruhi penglihatan. Terapi di bawah ambang – tidak tampak
adanya retina yang terbakar saat dilakukan terapi – dan micropulse laser
telah memberikan hasil sama efektif dengan parut lebih sedikit.
Penyuntikan intravitreal triamnicolone atau anti VGEF juga efektif.1
Dengan merangsang regresi pembuluh-pembuluh baru, fotokoagulasi
laser pan-retina (PRP) menurunkan insidens gangguan penglihatan berat
akibat retinopati diabetic proliferatif hingga 50%. Beberapa ribu bakaran
laser dengan jarak teratur diberikan di seluruh retina untuk mengurangi
rangsangan angiogenik dari daerah-daerah iskemik. Daerah sentral yang
dibatasi oleh diskus dan cabang-cabang pembuluh temporal utama tidak
dikenai. Yang beresiko besar kehilangan penglihatan adalah pasien
dengan cirri-ciri risiko tinggi. Jika pengobatan ditunda hingga cirri
tersebut muncul, fotokoagulasi laser pan-retina yang memadai harus
segera dilakukan tanpa penundaan lagi. Pengobatan pada retinopati
nonproliferatif berat belum mampu mengubah hasil akhir penglihatan;
namun pada pasien-pasien dengan diabetes tipe II, control gula darah
yang buruk, atau sulit dipantau dengan cermat, terapi harus diberikan
sebelum kelainan proliferatif muncul.1
Vitrektomi dapat membersihkan perdarahan vitreus dan mengatasi
traksi vitreoretina. Sekali perdarahan vitreus yang luas terjadi, 20% mata
akan menuju kondisi penglihatan dengan visus tanpa persepsi cahaya
dalam 2 tahun. Vitrektomi dini diindikasikan untuk diabetes tipe I dengan
perdarahan vitreus luas dan proliferatif aktif yang berat dan kapanpun
penglihatan mata sebelahnya buruk. Tanpa kondisi-kondisi tersebut,
vitrektomi dapat ditunda hingga setahun karena perdarahan vitreus akan
bersih secara spontan pada 20% mata. Vitrektomi pada retinopati diabetic
proliferatif dengan perdarahan vitreus minimal hanya bermanfaat untuk
mata yang telah mulai mengalami fibrosis. Mata dengan ablatio retinae
akibat traksi tidak memerlukan vitrektomi hingga pelepasan telah

18
mengenai fovea. Ablatio retinae regmatogenosa sebagai komplikasi
retinopati diabetik proliferatif membutuhkan vitrektomi segera.1
Komplikasi pasca vitrektomi lebih sering dijumpai pada pasien
diabetes tipe I yang menunda vitrektomi dan pada pasien diabetes tipe II
yang menjalani vitrektomi dini. Komplikasi tersebut antara lain ftisis
bulbi, peningkatan tekanan intraocular dengan edema kornea, ablatio
retinae, dan infeksi.1
Obat-obatan anti VGEF tampak menjanjikan sebagai tambahan
vitrektomi untuk membantu mengurangi perdarahan selama pembedahan
dan untuk mengurangi insidens perdarahan retina kekambuhan
pascaoperasi.1

Gambar 2.15. Terapi laser argon fokal

Gambar 2.16. Tanda laser daerah macula

19
2.2. Katarak
A. Anatomi dan Fisiologi Lensa
Pada manusia, lensa mata bikonveks, tidak mengandung pembuluh
darah (avaskular), tembus pandang, dengan diameter 9 mm dan tebal 5
mm yang memiliki fungsi untuk mempertahankan kejernihan, refraksi
cahaya, dan memberikan akomodasi.. Ke depan berhubungan dengan
cairan bilik mata, ke belakang berhubungan dengan badan kaca.
Digantung oleh Zunula zinii (Ligamentum suspensorium lentis), yang
menghubungkannya dengan korpus siliaris. Permukaan posterior lebih
cembung daripada permukaan anterior. Lensa diliputi oleh kapsula lentis,
yang bekerja sebagai membran yang sempermiabel, yang akan
memperoleh air dan elektrolit untuk masuk.1,5,8
Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa
lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-
serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan
menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk
dengan persambungan lamellae ini ujung ke ujung berbentuk ( Y ) bila
dilihat dengan slitlamp. Bentuk ( Y ) ini tegak di anterior dan terbalik di
posterior. Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamen yang dikenal zonula
zinii, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliaris dan
menyisip ke dalam ekuator lensa.1,5,8
Lensa terdiri atas 65% air dan 35% protein (kandungan tertinggi
diantara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang biasa
berada di dalam jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi
di lensa daripada dikebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan
glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada
serat nyeri, pembuluh darah atau saraf di lensa.1,5,8

20
Gambar 2.17. Anatomi Lensa

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina.


Untuk memfokuskan cahaya datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,
menegangkan serat zonula zinii dan memperkecil diameter
anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, dalam posisi ini
daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel akan
terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot
siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa
yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi
oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologis antar zonula, korpus
siliaris, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal
sebagai akomodasi.8,11
Pada orang dewasa lensanya lebih padat dan bagaian posterior
lebih konveks. Proses sklerosis bagian sentral lensa, dimulai pada masa
kanak-kanak dan terus berlangsung perlahan-perlahan sampai dewasa
dan setelah ini proses bertambah cepat, dimana nukleus menjadi besar
dan korteks bertambah tipis. Pada orang tua lensa lebih besar, lebih
gepeng, warnanya kekuningan, kurang jernih dan tampak seperti “ gray
reflek “ atau “senil reflek”, yang sering disangka katarak. Karna proses

21
sklerosis ini lensa menjadi kurang elastis dan daya akomodasinya
berkurang. Keadaan ini disebut presbiopia, dimana pada orang Indonesia
dimulai pada usia 40 tahun.8,11

B. Definisi Katarak
Katarak merupakan abnormalitas pada lensa mata berupa
kekeruhan lensa yang menyebabkan tajam penglihatan penderita
berkurang. Katarak lebih sering dijumpai pada orang tua, dan merupakan
penyebab kebutaan nomor 1 di seluruh dunia. Penuaan merupakan
penyebab katarak yang terbanyak, tetapi banyak juga faktor lain yang
mungkin terlibat, antara lain : trauma, toksin, penyakit sistemik (mis;
diabetes), merokok, dan herediter. Kata katarak berasal dari Yunani
“katarraktes” yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut
bular dimana seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak
sendiri sebenarnya merupakan kekeruhan pada lensa akibat hidrasi,
denaturasi protein, dan proses penuaan.sehingga memberikan gambaran
area berawan atau putih.1,5
Kekeruhan ini menyebabkan sulitnya cahaya untuk mencapai
retina, sehingga penderita katarak mengalami gangguan penglihatan
dimana objek terlihat kabur. Mereka mengidap kelainan ini mungkin
tidak menyadari telah mengalami gangguan katarak apabila kekeruhan
tidak terletak dibagian tengah lensanya.1,5

Gambar 2.18. Lensa pada pasien katarak

22
Gangguan penglihatan yang dirasakan oleh penderita katarak tidak
terjadi secara instan, melainkan terjadi berangsur-angsur, sehingga
penglihatan penderita terganggu secara tetap atau penderita mengalami
kebutaan. Katarak tidak menular dari satu mata ke mata yang lain, namun
dapat terjadi pada kedua mata secara bersamaan.1,5
Katarak biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun dan
pasen mungkin meninggal sebelum diperlukan pembedahan. Apabila
diperlukan pembedahan maka pengangkatan lensa akan memperbaii
ketajaman penglihtan pada > 90% kasus.sisanya mungkin mengalami
kerusakan retina atau mengalami penyulit pasca bedah serius misalnya
glaukoma, ablasio retina, atau infesi yang menghambat pemulihan daya
pandang.1,5

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab tersering dari katarak adalah proses degenerasi, yang
menyebabkan lensa mata menjadi keras dan keruh. Pengeruhan lensa dapat
dipercepat oleh faktor risiko seperti merokok, paparan sinar UV yang
tinggi, alkohol, defisiensi vit E, radang menahun dalam bola mata, dan
polusi asap motor/pabrik yang mengandung timbal.1,5
Cedera pada mata seperti pukulan keras, tusukan benda, panas yang
tinggi, dan trauma kimia dapat merusak lensa sehingga menimbulkan
gejala seperti katarak.5
Katarak juga dapat terjadi pada bayi dan anak-anak, disebut sebagai
katarak kongenital. Katarak kongenital terjadi akibat adanya
peradangan/infeksi ketika hamil, atau penyebab lainnya. Katarak juga
dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit infeksi dan metabolik lainnya
seperti diabetes mellitus.1

D. Patofisiologi
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya
transparansi. Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang

23
memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan
kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga
mengakibatkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke
retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal
disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa
yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan
bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari
degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan
tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.1,5
Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori
hidrasi dan sklerosis:
1. Teori hidrasi terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitellensa
yang berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak
dapatdikeluarkan dari lensa. Air yang banyak ini akan
menimbulkan bertambahnya tekanan osmotik yangmenyebabkan
kekeruhan lensa.7
2. Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula dimana
serabutkolagen terus bertambah sehingga terjadi pemadatan
serabut kolagendi tengah. Makin lama serabut tersebut semakin
bertambah banyak sehingga terjadilah sklerosis nukleus lensa.7

Perubahan yang terjadi pada lensa usia lanjut:8


a) Kapsula
a. Menebal dan kurang elastic (1/4 dibanding anak)
b. Mulai presbiopiac
c. Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
d. Terlihat bahan granular
b) Epitel-makin tipis
a. Sel epitel (germinatif pada ekuator bertambah besar dan berat)
b. Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
c) Serat lensa

24
A. Serat irregular
B. Pada korteks jelas kerusakan serat sel
C. Brown sclerotic nucleus, sinar UV lama kelamaan merubah
proteinnukelus lensa, sedang warna coklat protein lensa
nucleusmengandung histidin dan triptofan disbanding normal
D. Korteks tidak berwarna karenai kadar asam askorbat tinggi dan
menghalangi foto oksidasi.

Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda. Perubahan


fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparasi, akibat
perubahan pada serabut halus multipel yang memanjang dari badan siliar
ke sekitar daerah di luar lensa, misalnya menyebabkan penglihatan
mengalami distorsi. Pada protein lensa menyebabkan koagulasi, sehingga
mengakibatkan pandangan dengan penghambatan jalannya cahaya ke
retina.8

E. Hubungan Diabetes Melitus dengan Katarak


Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks
refraksi dan amplitudo akomodatifnya. Dengan peningkatan kadar gula
darah, juga diikuti dengan kadar glukosa pada aqueous humor. Karena
kadar glukosa darah yang meningkat pada aqueous humor dan glukosa
masuk ke dalam lensa melalui difusi, kadar glukosa dalam lensa akan
meningkat. Beberapa molekul glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh
enzim aldose reduktase yang tidak dimetabolisme namun menetap di
dalam lensa.9
Bersama dengan itu, tekanan osmotik akan menyebabkan influks dari
air ke dalam lensa yang menyebabkan pembengkakan dari serat-serat
lensa. Keadaan hidrasi lentikular dapat mempengaruhi
kemampuan/kekuatan refraksi lensa. Pasien dengan diabetes dapat
menunjukkan perubahan kekuatan refraksi berdasarkan perubahan pada
kadar glukosa darah yang dialami. Perubahan miopik akut dapat

25
mengindikasikan diabetes yang tidak terdiagnosa atau diabetes yang tidak
terkontrol. Seorang dengan diabetes memiliki amplitudo akomodasi yang
menurun dibandingkan dengan kontrol pada usia yang sama, dan
presbiopia dapat terjadi pada usia yang lebih muda pada pasien dengan
diabetes jika dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya. Bukti-bukti
eksperimental memperkirakan bahwa glikosilasi dari protein lensa terlibat
dalam proses pembentukan katarak. Glikosilasi dari protein lensa, di mana
glukosa atau gula-gula terreduksi lainnya bereaksi dengan grup e-amino
dari residu lisin atau amino terminal dari protein yang mengakibatkan
pembentukan basa schiff. Basa schiff ini akan mengalami perombakan
secara Amadori melalui reaksi Maillard yang akan menghasilkan ketoamin
yang lebih stabil dari produk Amadori (produk glikosilasi awal). Pada
tahap akhir, produk Amadori mengalami dehidrasi dan perombakan
kembali untuk membentuk lintas silang antara protein terkait,
menghasilkan agregat protein atau Advanced Glycocylated End Products
(AGEs). Dalam suatu eksperimen dengan mengumpulkan nukleus-nukleus
lensa dari setiap operasi ECCE (Extra Capsular Cataract Extraction)
dengan membandingkan kadar glukosa, protein dan protein terglikosilasi
antara dua populasi; katarak senilis dengan diabetes, dan katarak senilis
non-diabetik dari berbagai stadium. Dan hasil yang ditemukan adalah
kadar protein terglikosilasi tertinggi ditemukan pada katarak senilis
hipermatur (p<0,01) ketika dibandingkan dengan katarak tipe lainnya
termasuk dengan yang diabetik. Jansirani dkk menyimpulkan bahwa kadar
glukosa yang tinggi bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam
glikosilasi protein lensa.9
Katarak adalah penyebab tersering dari gangguan penglihatan pada
pasien dengan diabetes. Sekali pun terdapat dua tipe dari katarak yang
telah ditemukan, pola-pola yang lain dapat pula dijumpai. Katarak diabetik
sejati, atau snowflake cataract, terdiri dari perubahan bilateral tersebar
pada subkapsular lensa secara tiba-tiba, dan progresi akut yang secara
tipikal terdapat pada usia muda dengan diabetes mellitus yang tidak

26
terkontrol. Kekeruhan multipel abu-abu putih subkapsular dengan
penampilan seperti serpihan-serpihan salju terlihat pada korteks anterior
superfisial dan korteks posterior lensa. Vakuol-vakuol dapat tampak pada
kapsula lensa dan celah-celah terbentuk pada korteks. Intumesensi dan
maturitas dari katarak kortikal akan mengikuti setelahnya. Para peneliti
percaya bahwa perubahan metabolik yang mendasari terkait dengan
katarak diabetik sejati pada manusia sangat dekat sekali dengan katarak
sorbitol yang dipelajari pada binatang percobaan. Sekalipun katarak
diabetik sejati jarang sekali ditemukan pada praktek klinis saat ini, segala
macam bentuk maturitas progresif dari katarak bilateral kortikal pada anak
atau dewasa muda harus mengingatkan para dokter akan kemungkinan
diabetes mellitus. Resiko tinggi pada katarak terkait usia pada pasien
dengan diabetes dapat merupakan akibat dari akumulasi sorbitol dalam
lensa, perubahan hidrasi lensa, dan peningkatan glikosilasi protein pada
lensa diabetik. Klein, dkk menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa
diabetes mellitus terkait dengan insidens selama dari 5 tahun dari katarak
kortikal dan subkapsular posterior dan dengan progresi dari beberapa
kekeruhan minor kortikal dan subkapsular posterior lensa. Perubahan-
perubahan ini terkait dengan kadar glukosa darah.9

F. Klasifikasi Katarak
- Katarak insipien
Merupakan tahap dimana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan
adanya area yang jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari
ekuator ke arah sentral (kuneiform) atau dapat dimulai dari sentral
(kupuliform).1
- Katarak imatur
Kekeruhan pada katarak imatur belum mengenai seluruh bagian
lensa. Volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan
osmotik, bahan lensa yang degeneratif, dan dapat terjadi glaukoma
sekunder.1

27
- Katarak matur
Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian
lensa. Deposisi ion Ca dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh
pada derajat maturasi ini. Bila terus berlanjut, dapat menyebabkan
kalsifikasi lensa.1
- Katarak hipermatur
Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah
mencair. Cairan keluar dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi
mengerut.1

Tabel 2.1. Perbedaan stadium katarak5

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang (air keluar)
(air masuk)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test - + - Pseudops
Penyulit - Glaukoma - Uveitis + Glaukoma

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak
terjadi secara progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan
penglihatan bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak yang diderita
pasien.1
Gejala pada penderita katarak adalah sebagai berikut:1
- Penurunan visus
- Silau
- Perubahan miopik
- Diplopia monocular

28
- Halo bewarna
- Bintik hitam di depan mata

Tanda pada penderita katarak adalah sebagai berikut:1


- Pemeriksaan visus berkisar antara 6/9 sampai hanya persepsi cahaya
- Pemeriksaan iluminasi oblik
- Shadow test
- Oftalmoskopi direk
- Pemeriksaan sit lamp

H. Diagnosis
Diagnosa katarak senilis dapat dibuat dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk
mendeteksi adanya penyakit-penyakit yang menyertai, seperti DM,
hipertensi, dan kelainan jantung.1,7
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk
mengetahui kemampuan melihat pasien. Visus pasien dengan katarak
subcapsuler posterior dapat membaik dengan dilatasi pupil. Pemeriksaan
adneksa okuler dan struktur intraokuler dapat memberikan petunjuk
terhadap penyakit pasien dan prognosis penglihatannya.7
Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas
lensa tetapi dapat juga struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea,
iris, bilik mata depan. Ketebalan kornea harus diperiksa dengan hati-hati,
gambaran lensa harus dicatat dengan teliti sebelum dan sesudah pemberian
dilator pupil, posisi lensa dan intergritas dari serat zonular juga dapat
diperiksa sebab subluksasi lensa dapat mengidentifikasi adanya trauma
mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak hipermatur.
Pemeriksaan shadow test dilakukan untuk menentukan stadium pada
katarak senilis. Selain itu, pemeriksaan ofthalmoskopi direk dan indirek
dalam evaluasi dari intergritas bagian belakang harus dinilai.5

29
J. Tatalaksana
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
Bergantung pada integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa
yaitu intra capsuler cataract ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler cataract
ekstraksi (ECCE).5
- Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa
bersama kapsul. Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan
cryophake dan depindahkan dari mata melalui incisi korneal superior
yang lebar. Sekarang metode ini hanya dilakukan hanya pada keadaan
lensa subluksatio dan dislokasi. Pada ICCE tidak akan terjadi katarak
sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama
populer. ICCE tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien
berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen
hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini
astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.1,5,7

- Extra Capsular Cataract Extraction ( ECCE )


Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan
pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa
anterior sehingga massa lensa dan kortek lensa dapat keluar melalui
robekan. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien
dengan kelainan endotel, implantasi lensa intra ocular posterior,
perencanaan implantasi sekunder lensa intra ocular, kemungkinan
akan dilakukan bedah glukoma, mata dengan prediposisi untuk
terjadinya prolaps badan kaca, mata sebelahnya telah mengalami
prolap badan kaca, ada riwayat mengalami ablasi retina, mata dengan
sitoid macular edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit
pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca.
Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat
terjadinya katarak sekunder.1,5,7

30
K. Prognosis
Tindakan pembedahan secara defenitif pada katarak senilis dapat
memperbaiki ketajaman penglihatan pada lebih dari 90% kasus.
Sedangkan prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang
memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak
senilis. Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus
atau retina membatasi tingkat pencapaian pengelihatan pada kelompok
pasien ini. Prognosis untuk perbaikan ketajaman pengelihatan setelah
operasi paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling
baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang proresif
lambat.10

31
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes mellitus adalah sekumpulan penyakit endokrin yang ditandai


dengan hiperglikemia yang merupakan manifestasi dari defek pada sekresi insulin,
aksi insulin atau keduanya. Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko
yang berhubungan dengan penyakit mata. Penyakit mata yang yang berhubungan
dengan diabetes mellitus yaitu retinopati diabetik, katarak. Penyakit-penyakit
tersebut apabila tidak ditatalaksana dengan tepat dapat menyebabkan kebutaan.
Retinopati diabetikum adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus retina. Kelainan
patologik yang paling dini adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan
penurunan jumlah perisit. Retinopati diabetikum terdiri dari retinopati diabetikum
proliferatif dan retinopati diabetikum non proliferatif. Terapi pada mata
tergantung dari lokasi dan keparahan retinopatinya. Mata dengan edema macula
diabetic yang belum bermakna klinis sebaiknya dipantau secara ketat tanpa
dilakukan terapi laser. Yang bermakna klinis memerlukan focal laser bila lesinya
setempat, dan grid laser bila lesinya difus.1
Katarak merupakan abnormalitas pada lensa mata berupa kekeruhan lensa
yang menyebabkan tajam penglihatan penderita berkurang. Katarak lebih sering
dijumpai pada orang tua, dan merupakan penyebab kebutaan nomor 1 di seluruh
dunia. Penuaan merupakan penyebab katarak yang terbanyak, tetapi banyak juga
faktor lain yang mungkin terlibat, antara lain : trauma, toksin, penyakit sistemik
(mis; diabetes), merokok, dan herediter.1,5 Penatalaksanaan definitif untuk katarak
senilis adalah ekstraksi lensa. Bergantung pada integritas kapsul lensa posterior,
ada 2 tipe bedah lensa yaitu intra capsuler cataract ekstraksi (ICCE) dan ekstra
capsuler cataract ekstraksi (ECCE).5

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17.


Jakarta: EGC. 2009. Hal 190 – 193
2. Langston DB, Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 6th edition.
Boston: Little Brown Company. 2007. 145-7.
3. Kanski JJ. Clinical Opthalmology, 8th Edition. London: Butterworth
Heinemann. 2015.344-57
4. Basic of Clinical Science Course. Retina and Vitreus, Section 12. United
State: American Academy of Ophtalmologi. 2011.71-86
5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2005. 9,21820.
6. Eva PR., Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology.17th
Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.2008.
7. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment:. 2010. BR J
Ophthalmol. 2011.
8. Scanlon VC, Sanders T. Indra. In. : Komalasari R, Subekti NB, Hani A, editors. Buku
Ajar Anatomi dan Fisiologi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
9. Lukita, Sari. 2011. Katarak Diabetik. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 11 (1) : 42 – 47
10. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 7th ed. China:
Elsevier : 2011. (e-book)
11. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : W.B.
Saunders Company ; 2006.
12. Septadina, Indri Seta. 2015. Perubahan Anatomi Bola Mata pada Penderita Diabetes
Mellitus. Jurnal MKS. 2 (2) : 139 - 143

33

Vous aimerez peut-être aussi