Vous êtes sur la page 1sur 19

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

R
PADA KASUS CIDERA KEPALA

DI RUANG ACHMAD DAHLAN


RSU PKU MUHAMMADIYAH SRUWENG

Disusun Oleh :
Yudi Prasetyo ( A01301839 )

2C

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH GOMBONG
2014
LAPORAN PENDAHULUAN
KASUS CIDERA KEPALA

A. DEFINISI
a. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
b. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital
ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation of
America 2006).
c. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena
trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena
robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta
edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008).
d. Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara
penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan
jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

B. ETIOLOGI
Cedera kepala disebabkan oleh :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan kerja
5. Kecelakaan rumah tangga
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan bom
8. Cedera akibat kekerasan
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri yang menetap atau setempat
2. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah
3. Penurunan kesadaran
4. Pusing/berkunang-kunang
5. Absorbsi cepat dan penurunan volume intravaskuler
6. Peningkatan TIK
7. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremita
8. Peningkatan TD, nadi, nafas, penurunan frekuensi

D. PATFISIOLOGI
Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu: cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder:
Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi
secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak.
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi
segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) local, maupun
difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja
dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu
kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat
makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat
hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma,
misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum
tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada
ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
E. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat
dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala:
1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
2. Berdasarkan morfologi cedera kepala
Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi :
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,
connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.
Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar,
maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi
1. Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata
pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang
kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan
tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
2. Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg
tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala.
Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering
terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya
hematum epidural.
3. Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih
dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
4. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar
yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi
pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna
terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
5. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada
durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii
berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur
fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan
struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis
krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis
melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga
bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter.
Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
c. Cedera kepala di area intrakranial
Diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus Cedera otak
fokal yang meliputi:
1. Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu
ruang potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan durameter.
Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya
interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral.
Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural
yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-
vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya
lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada
perdarahan epidural.
3. Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural
lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali
dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural
akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah
atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam
(korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran
tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi
fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah
sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi
permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar
membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah
banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain
sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai
TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.
4. Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan
konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom
bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih
dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan
subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya
11 penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi
oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
5. Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah
kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma
dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan
subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan
pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas
akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan
iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

3. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya


Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut dapat diklasifikasikan
penilaiannya berdasarkan skor GCS:
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
1. Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5. Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon
yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
1. Amnesia paska trauma
2. Muntah
3. Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
4. Kejang
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
1. Penurunan kesadaran sacara progresif
2. Tanda neorologis fokal
3. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
F. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya pada cedera kepala meliputi:
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16 masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki
vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu
tahun jarang sembuh.
2. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
3. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf
yang lain.
4. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera.

G. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma
kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
b. Penatalaksaan medis medulla spinalis :
1. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang
menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih
lanjut. Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu
tulang – ) untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang
belakang untuk melindungi koral spiral.
2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal atau
debridement luka terbuka
3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang
belakang, cedera ligament tanpa fraktur, deformitas tulang belakang
progresif, cedera yang tak dapat direabduksi,dan fraktur non-union.
4. Terapi steroid,nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral
spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4
mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.Bila diberikan dalam 8 jam sejak
cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga
akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi
sensorik, motorik, dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau
asenden.
6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan
melacak keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji
dari badan ruas tulang belakang, fraktur proses transverses, spinosus dan
lainnya. Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang),
imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap
8. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur
memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.X
DENGAN KASUS CIODERA KEPALA

A. DATA SUBJEKTF
a. Biodata

Nama : Tn.R
Umur : 35tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Tani
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Ds.Sokka Tengah Rt 01/Rw 02 Kec. Sruweng, Kab. Kebumen
Diagnosa Medis : CKS
Nomor CM : 011 111213
b. Keluhan Utama : Nyeri kepala di sebelah kanan
c. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien Tn.R masuk ke RS PKU SRUWENG tanggal 19 November 2014 melalui
IGD diantar oleh masyarakat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Pada saat
di RS pasien masih tidak sadar dan mulai sadar setelah 1jam kemudian. Pada saat
sadar pasien mengeluh nyeri kepala terutama disebelah kanan, terasa cekat cekot,
sesak nafas, pasien juga muntah-muntah selama 2 hari, terutama pada pagi hari.
Dilakukan operasi kraniatomi pada tanggal 19 November 2014. Didapatkan hasil
TTV sebagai berikut : TD: 135/110 mmHg, RR: 24x/menit, S: 380C, N:
85x/menit. Pemeriksaan GCS didapat E: 2, V:3, M: 4 jumlah 9.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit menular dan menurun
3. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit menular dan menurun pada
umumnya.
d. Pengkajian Pola Pemenuhan Kebutuhan Dasar Virginia Henderson
1. Pola oksigenasi
- Sebelum sakit pasien mengatakan dapat bernapas secara normal.
- Selama sakit pasien mengatakan tidak dapat bernapas secara normal.
2. Pola nutrisi
- Sebelum sakit pasien mengatakan makan 3 x/ hari dan minum 3 botol AQUA
ukuran 600ml/ hari.
- Selama sakit pasien mengatakan tidak nafsu makan dan sering mual muntah.
3. Pola eliminasi
- Sebelum sakit pasien mengatakan BAB 2xsehari dengan konsistensi lembek
dengan warna kuning , BAK 4xsehari tidak terlalu banyak dan berwarna
kuning pekat.
- Selama sakit pasien mengatakan susah untuk BAB (konstipasi) dan BAK
terpasang kateter.
4. Pola aktivitas
- Sebelum sakit pasien mengatakan aktivitasnya dilakukan sendiri.
- Selama sakit pasien mengatakan merasa lemah, lelah, kaku, hilang
keseimbangan, sehingga aktivitas seperti seka dibantu oleh keluarga.
5. Pola istirahat
- Sebelum sakit pasien mengatakan pola istirahatnya teratur (sekitar jam 21.00
sudah tidur), dan tidurnya nyenyak jika di rumah (lamanya tidur 7-8 jam).
- Selama sakit kesulitan tidur, karena sering pusing dan sakit kepala post op
kraniotomi.
6. Pola berpakaian
- Sebelum sakit pasien mengatakan bisa berpakaian sendiri, pakaian ganti 2x.
- Selama sakit pasien mengatakan membutuhkan bantuan orang lain untuk
berpakaian, dan baru 1x mengganti baju.
7. Pola suhu tubuh
- Sebelum sakit pasien mengatakan saat merasa kepanasan pasien memakai
pakaian tipis, saat kedinginan pasien menggunakan pakaian yang tebal.
- Selama sakit pasien mengatakan saat merasa kepanasan pasien memakai
pakaian tipis, saat kedinginan pasien menggunakan pakaian yang tebal. Suhu
badan 38o C.
8. Pola personal hygiene
- Sebelum sakit pasien mengatakan mandi 2xsehari, keramas 2xseminggu,
gosok gigi 2xsehari dan memotong kuku 1minggu sekali.
- Selama sakit pasien mengatakan tidak mandi hanya disekah 1xsehari, tidak
gosok gigi dan belum pernah dikeramasi dan memotong kuku saat di rumah
sakit.
9. Pola Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman
- Sebelum sakit pasien mengatakan lebihnyaman dengan keluarga.
- Selama sakit pasien mengatakan aman dan nyaman bersama keluarga.
10. Pola komunikasi
- Sebelum sakit pasien mengatakan dalam berkomunikasi dengan orang lain
merasa nyaman dan lancar.
- Selama sakit pasien mengatakan jarang berkomunikasi dan saat
berkomunikasi merasa kurang nyaman karena sering pusing dan sakit kepala
post op kraniotomi, lemas.
11. Pola spiritual
- Sebelum sakit pasien mengatakan melakukan sholat 5 waktu dan dapat
berwudlu seperti biasanya dan kadang melakukan sholat sunnah.
- Selama sakit tidak sholat karena tidak bisa sholat dengan berbaring.
12. Pola rekreasi
- Sebelum sakit pasien mengatakan menonton tv di rumah tetangganya dan
belum pernah ke tempat rekreasi.
- Selama sakit pasien mengatakan tidak mendapatkan hiburan di rumah sakit.
13. Pola bekerja
- Sebelum sakit pasien mengatakan bekerja sebagai petani jagung.
- Selama sakit pasien mengatakan tidak bekerja.
14. Pola belajar
- Sebelum sakit pasien mengatakan belum mengetahui tentang penyakit cidera
kepala seperti yang dideritanya.
- Selama sakit pasien mendapatkan informasi tentang penyakitnya dari perawat.
B. DATA OBJEKTIF
a. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : Lemah
2. TD : 135/110 mmHg
3. N : 85x/menit
4. S : 38 °C
5. RR : 22x/menit
b. Pemeriksaan Fisik
1. Umum : Lemah
2. Kesadaran : Sopor, GCS : E: 2, V:3, M: 4 = 9
3. Tanda-tanda vital : TD: 135/110 mmhg, N: 85x/menit, RR: 22X/menit, S:
38oC.
4. Kepala : Bentuk mesochepal, terdapat edema diparietal kanan,,
rambut pendek dan berketombe.
5. Mata : Simetris, pupil normal, isokor, fungsi baik, sklera
tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis.
6. Hidung : Simetris, polip (-), cuping hidung (-), fungsi baik.
7. Telinga : Simetris, sekret (-), fungsi cukup baik.
8. Mulut dan gigi : Kotor dengan bau khas, mukosa cukup, gigi ada
beberapa yang sudah tanggal.
9. Thorak Dada : I: simetris, menggunakan alat bantu nafas, Pa: tidak
ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran jantung, Pe: suara paru resonan, A:
bunyi normal sinus rytm (NSR) 92x/menit.
10. Jantung : I: Normal (ictus cordis), Pe: Pekak, Pa: Tidak ada
nyeri tekan, A: S1 Lub, S2 Dub.
11. Abdomen : I: Simetris, A: Bising usus (10x/menit), Pa: Tidak ada
nyeri tekan, tidak kembung, Pe: Tidak ada pembesaran hepar
12. Genetalia : Normal tidak ada kelainan
13. Ekstremitas : Tidak terdapat odema di ekstremitas, reflek patella
(+), tdk terdapat deformitas.
c. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
No Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

1. Hemoglobin 9,4 L: 12-14


2. Leukosit 21.200 4000-10000
3. Hematokrit 3,3 14-18gram/dl
4. Trombosit 180.000 200000-400000ml

b. Pemeriksaan CT-Scan
Terdapat edema serebral pada daerah kepala Tn.R
c. Terapi medis
1. IVFD RL 30 tts/m
2. Dexametahson 3x1, injeksi ampul (iv)
3. Citicolin 3x1 ampul, injeksi (iv)
4. Asam transamin 3x1 ampul, injeksi (iv)
5. Vit k 3x1 ampul , injeksi (iv)
6. Keterolac 3x1 ampul, injeksi(iv)
7. Cefotaxime 2x1 gr, injeksi ST (-) / IV
8. Kateter polay
C. ANALISA DATA
No Tgl/jam Data Fokus Problem Etiologi Nama
& Ttd

1. Rabu,19 DS : Nyeri akut Peningkatan


Nov 2014 - Pasien mengatakan nyeri TIK (Tekanan
(15:40 WIB) kepala terutama disebelah Intra Kranial)
kanan, terasa cekat cekot
P: Nyeri kepala di sebelah
kanan temporal
Q: Cekot- cekot
R: Temporal dekstra
S: 6 (skala 1-10)
T: Hilang timbul.
DO :
- Pasien tampak menahan sakit
- Skala nyeri 6
- Pasien tampak meringgis
kesakitan
- Muka Topeng

2. Rabu,19 DS: Gangguan Peningkatan


Nov 2014 - Klien mengatakan kepala perfusi TIK (Ttekanan
(15:45 WIB) terasa berat, pusing, KU jaringan intracranial)
lemah serebral
D O:
- Tingkat kesadaran sopor
- GCS: (E 2, V3, M4) = 9
- Akral dingin
- CRT > 3 detik
3. Rabu,19 DS: Ketidakefektif Penurunan
Nov 2014 - Klien mengatakan dadanya an pola nafas kesadaran
(15:50 WIB) sesak nafas
- Keadaan umum melemah
DO:
- Klien tanpak ekspirasi
memanjang
- Klien mengalami penuruntan
kesadaran dari (9) menjadi (7)
guanakan otot
- Pasien tampak menggunakan
otot bantu pernafasan
4. Rabu,19 DS: Resiko infeksi Trauma
Nov 2014 - Klien mengatakan merasa jaringan
(15:55 WIB) gatal pada luka post op-nya (Tindakan
- Klien mengatakan perih di Operasi)
daerah post-op
DO:
- Kepala kotor
- Terdapat tanda inflamasi
(kemerahan)

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
I. Nyeri akut b.d peningkatan TIK
II. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intracranial
III. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kesadaran
IV. Resiko infeksi b.d trauma jaringan (Tindakan Operasi)
E. INTERVENSI
Tgl/jam No. Tujuan Intervensi Nama
dx & Ttd
Rabu,19 Nov I. Setelah dilakukan  Beri posisi yang nyaman
2014 (15:40 tindakan keperawatan  Observasi keluhan nyeri
WIB) selama 2x24 jam nyeri dengan menggunakan skala
teratasi KH: nyeri
 Menyatakan rasa  Bedrest
nyaman setelah  Beri analgetik
nyeri berkurang  Distraksi relaksasi
 Skala nyeri  Beri massase
berkurang  Lakukan terapi music
 Klien dapat  Kontrol lingkungan yang
beristirahat dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan

Rabu,19 Nov II. Setelah dilakukan  Berikan posisi 15-30 tanpa


2014 (15:45 tindakan keperawatan mengguanakan bantal
WIB) selama 3x24 jam  Hindari hal- hal yang dapat
gangguan perfusi meningkatkan TIK
jaringan serebral  Ciptakan Lingkungan yang
teratasi KH: nyaman dan tenang
 Mendemonstrasikan  Hindari tangisan
status sirkulasi  Hindari mengejan
 Mendemonstrasikan  Beri Oksigen sesuai terapi
kemampuan kognitif  Hindari percakapan yang
emosional

Rabu,19 Nov III. Setelah dilakukan  Posisikan pasien untuk


2014 (15:50 tindakan keperawatan memaksimalkan ventilasi
WIB) selama 2x24 jam  Indikasi pasien untuk
ketidakefektifan pola pemasangan alat bantu
nafas teratasi KH: pernafasan
 Mendemonstrasika  Auskultasi suara nafas, catat
n batuk efektif dan adanya suara tambahan
suara nafas yang  Atur intake cairan untuk
bersih mengoptimalkan
 Menunjukan jalan keseimbangan
nafas yang paten.  Pertahankan jalan nafas yang
 Tanda-tanda vital paten
dalam rentang  Monitor respirasi dan status
normal O2

Rabu,19 Nov IV. Setelah dilakukan  Melakukan perawatan luka


2014 (15:55 tindakan keperawatan dengan baik dan benar 1x
WIB) selama 2x24 jam sehari
resiko infeksi teratasi.  Bersihkan lingkungan setelah
KH: dipakai pasien lain
 Klien bebas dari  Pertahankan teknik isolasi
tanda dan gejala  Batasi pengunjung bila perlu
infeksi  Cuci tangan sebelum dan
 Menunjukan sesudah tindakan
kemampuan untuk  Tingkatkan personal hygiene
mencegah  Dorong masukan nutrisi yang
timbulnya infeksi adekuat
 Intruksikan pasien untuk
meminum antibiotic sesuia
intruksi
 Ajarkan cara menghindari
infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Capernito, L.J. 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Doengoes, M.E. 2003, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi keempat, Buku Kedua. Jakarta :EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC

Vous aimerez peut-être aussi