Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-
penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan (Djojodibroto,
2009). Keterbatasan aliran udara ini biasanya bersifat progresif dan terkait dengan respon inflamasi
dari paru akibat dari gas atau partikel berbahaya (GOLD, 2007). Berbagai akibat yang ditimbulkan
karena adanya respon inflamasi tersebut yaitu gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi
sputum yang meningkat (PDPI, 2011).
PPOK saat ini merupakan penyakit pernapasan yang merupakan penyebab utama angka
kesakitan dan kematian di dunia (Russell, 2002). Perkembangan gejala dari penyakit ini progresif
sehingga menimbulkan kerugian yang besar terhadap kualitas hidup penderita dan menjadi beban
ekonomi bagi bangsa dan negara (IPCRG, 2006). Data yang dikeluarkan oleh World Health
Organization (WHO) mengemukakan bahwa pada tahun 2010 PPOK telah menempati peringkat
keempat sebagai penyakit penyebab kematian, dan penyakit paru ini semakin menarik untuk
dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat (Sudoyo et al, 2007).
PPOK merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar didunia. WHO memprediksi
pada tahun 2020, PPOK akan meningkat dari peringkat 12 menjadi peringkat 5 penyakit terbanyak
dan dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 penyebab kematian diseluruh dunia (PDPI, 2011). Di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat
dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan
perokok (PDPI, 2011)
Berdasarkan data di atas, maka diperlukan pengetahuan dan pengelolaan yang tepat kepada
pasien dengan PPOK.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada pasien PPOK
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep teori PPOK
b. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien PPOK.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan suatu kondisi irreversible yang
berkaitan dengan dipsnue saat beraktifitas dan penurunan masuk serta keluarnya udara paru-
paru (Smeltzer and Bare, 2008). Price & Wilson (2006) juga menyebutkan PPOK merupakan
suatu istilah digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai
dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai patofisiologi utamanya. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah bronkitis kronis,
emfisema paru dan asma bronkial. Bronkitis kronis adalah suatu gangguan klinis yang ditandai
dengan pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dimanifestasikan sebagai batuk
kronis dan pembentukan mukus mukoid ataupun mukopurulen sedikitnya 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut. Definisi ini mempertimbangkan bahwa
penyakit-penyakit seperti bronkiektasis dan tuberkulosis paru juga menyebabkan batuk kronis
dan produksi sputum tetapi keduanya tidak termasuk dalam kategori ini. Emfisema paru
merupakan suatu perubahan anatomi parenkin paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan
duktus alveolaris, serta destruksi dinding alveolar. Sedangkan asma merupakan suatu penyakit
yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis
rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran nafas secara
periodik dan reversible akibat bronkospasme, oedem mukosa dan hipersekresi mukus (Price &
Wilson, 2006). GOLD (2006) menjelaskan asma tidak termasuk kedalam PPOK, meskipun pada
sebagian referensi memasukkan asma dalam kelompok PPOK. Asma merupakan sumbatan
saluran napas yang intermitten dan mempunyai penanganan berbeda dengan PPOK.
Hiperresponsif bronkial didefinisikan sebagai perubahan periodik pada Forced Expiratory
Volume dalam waktu 1 detik (FEV1), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya
dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma
merupakan obstruksi saluran napas reversible, sedangkan PPOK merupakan obstruksi saluran
napas yang bersifat permanen atau irrebersible. Dalam hal patofisiologi asma dan PPOK juga
berbeda. Peradangan akut asma dari hasil produksi eosinofil, sementara peradangan PPOK
terutama melibatkan produksi neutrofil dan makrofag yang terjadi selama bertahun-tahun.
Namun demikian, pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya dapat menyebabkan
perubahan struktur dan obstruksi saluran napas yang permanen, sehingga dalam kasus seperti
ini asma telah berevolusi menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok. Orang yang terpapar
agen berbahaya seperti asap rokok dapat mengalami keterbatasan aliran udara yang intermitten
ataupun menetap (campuran antara seperti asma ataupun seperti PPOK). Pada pasien PPOK
sendiri mungkin memiliki fitur seperti asma terdapat pola inflamasi campuran dengan eosinofil
yang meningkat. Berdasarkan alasan inilah sebagian ilmuwan tidak memasukkan asma dalam
kelompok PPOK (GOLD, 2006; American Thoracic Society, 2005). Penggolongan asma yang
tidak termasuk PPOK juga ditegaskan oleh World Health Organization (WHO) Geneva (2004)
dalam International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem (ICD-
10), yang menyampaikan bahwa asma tidak termasuk dalam PPOK kecuali asma karena
obstruktif. Serangan asma akut, asma karena alergi dan non alergi, ataupun status asmatikus
merupakan chronic lower respiratory disease yang berdiri sendiri diluar PPOK.
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan penyakit saluran pernafasan obstruktif
kronis (chronic obstructive airway disease (COAD) adalah istilah yang bisa saling
menggantikan. Gangguan progresif lambat kronis ditandai oleh obstruksi saluran pernafasan
yang menetap atau sedikit reversibel, tidak seperti obstruksi saluran pernafasan reversibel pada
asma. (Patrick Davey. 2005)
B. Etiologi
1. Faktor lingkungan : merokok merupakan penyebab utama, disertai resiko tambahan akibat
polutan udara di tempat kerja atau didalam kota. Sebagian pasien memiliki asma kronis yang
tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
2. Genetik : defisiensi α1-antitripsinmerupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini.
(Patrick Davey. 2005)
C. Klasifikasi PPOK
WHO melalui Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) (2006)
melakukan pengklasifikasian terhadap PPOK, sebagai berikut:
1. Klasifikasi Tingkat Keparaan Berdasarkan Spirometri
Spirometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, diperlukan untuk
mendiagnosis dan memberikan gambaran keparahan patofisologi yang disebabkan oleh PPOK.
Berdasarkan pengukuran fungsi paru dengan menggunakan spirometri, PPOK diklasifikasikan
sebagai berikut:
Tabel 2.1
Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Spirometri
Tahap Keterangan
Tahap I : Mild FEV1/FVC < 0,70
FEV1 ≥ 80% predicted
Tahap II : Moderate FEV1/FVC < 0,70
50% ≤ FEV1< 80% predicted
Tahap III : Severe FEV1/FVC < 0,70
30% ≤ FEV1< 50% predicted
Tahap IV: Very Savere FEV1/FVC < 0,70
FEV1< 30% predictedor FE1< 50% predicted plus
chronic respiratory predicted plus chronic
respiratory
Table 2.2
Klasifikasi PPOK Berdasarkan Tahapan Penyakit
Tahap Keterangan
Tahap I : Mild Keterbatasan aliran udara ringan FEV1/FVC< 0,70 FEV1
≥ 80%
Gejala batuk kronis
Sputum produktif
Pasien tidak menyadari adanya penurunan fungsi paru
Tahap II : Moderate Keterbatasan aliran udara buruk FEV 1/FVC < 0,70; 50%
≤ FEV1< 80%
Batuk kronis
Sputum produktif
Sesak nafas saat aktifitas
Pasien mulai mencari pelayanan kesehatan karena
keluhannya
Tahap III : Severe Keterbatasan aliran udara buruk FEV 1/FVC < 0,70; 30%
≤ FEV1< 50%
Batuk kronis
Sputum produktif
Sesak nafas sangat berat
Mengurangi aktifitas, kelelahan
Eksaserbasi berulang
Mengurangi kualitas hidup
Tahap IV : Very Savere Keterbatasan aliran udara sangat buruk FEV 1/FVC < 0,70;
30% ≤ FEV1< 50% ditambah kegagalan nafas kronis
Gagal nafas (PaO2: <60 mmHg, dengan atau tanpa Pa
CO2 . 50 mmHg
Batuk kronis
Sputum produktif
Sesak nafas sangat berat
Eksaserbasi beralang
Mengurangi kualiatas hidup
Terjadi komplikasi gagal jantung
Mengancam nyawa
F. Patologi
Merokok menyebabkan hipertropi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus,
menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis (batuk produktif > 3 bulan/tahun selama
> 2 tahun) perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu, terjadi destruksi
jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal (emfisema), yang menyebabkan hilangnya
elastic recoil, hiperinflasi, terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk bernapas,
sehingga terjadi sesak nafas. Dengan berkembangnya penyakit kadar CO2 meningkat dan
dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia. Jika oksigen tambahan menghilangkan
hipoksemia, dorongan pernafasan juga mungkin akan hilang, sehingga memicu terjadinya
gagal nafas. (Patrick Davey. 2005)
G. Komplikasi PPOK
1. Insufisiensi pernapasan
Pasien PPOK dapat mengalami gagal nafas kronis secara bertahap ketika struktur paru
mengalami kerusakan secara irreversible. Gagal nafas terjadi apabila penurunan oksigen
terhadap karbondioksida dalam paru menyebabkan ketidakmampuan memelihara laju
kebutuhan oksigen. Hal ini akan mengakibatkan tekanan oksigen arteri kurang dari 50 mm Hg
(hipoksia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia)
(Smelzer & Bare, 2008).
2. Atelektasis
Obstruksi bronkial oleh sekresi merupakan penyebab utama terjadinya kolap pada alveolus,
lobus, atau unit paru yang lebih besar. Sumbatan akan mengganggu alveoli yang normalnya
menerima udara dari bronkus. Udara alveolar yang terperangkap menjadi terserap kedalam
pembuluh darah tetapi udara luar tidak dapat menggantikan udara yang terserap karena
obstruksi. Akibatnya paru menjadi terisolasi karena kekurangan udara dan ukurannya menyusut
dan bagian sisa paru lainnya berkembang secara berlebihan (Smelzer & Bare (2008).
3. Pneumoni
Pneumoni adalah proses inflamatori parenkim paru yang disebabkan oleh agen infeksius. PPOK
mendasari terjadinya pneumoni karena flora normal terganggu oleh turunnya daya tahan hospes.
Hal ini menyebabkan tubuh menjadi rentan terhadap inferksi termasuk diantaranya mereka yang
mendapat terapi kortikosteroid dan agen imunosupresan lainnya (Smelzer & Bare (2008).
4. Pneumotorak
Pneumotorak spontaneous sering terjadi sebagai komplikasi dari PPOK karena adanya ruptur
paru yang berawal dari pneumototak tertutup (Black & Hawk, 2005). Pneumotorak terjadi
apabila adanya hubungan antara bronkus dan alveolus dengan rongga pleura, sehingga udara
masuk kedalam rongga pleura melalui kerusakan yang ada (Price & Wilson, 2006).
5. Hipertensi paru
Hipertensi pulmonal ringan atau sedang meskipun lambat akan muncul pada kasus PPOK karena
hipoksia yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah kecil paru. Keadaan ini akan
menyebabkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan hipertrophi atau
hiperplasia otot halus. Pada pembuluh darah saluran udara yang sama akan mengalami respon
inflamasi dan sel endotel mengalami disfungsi. Hilangnya pembuluh darah kapiler paru pada
emfisema memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan sirkulasi paru. Hipertensi
pulmonal yang progesif akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya
menyebabkan gagal jantung kanan (cor pulmonale) (GOLD, 2006).
6. Masalah sistemik
PPOK dalam perjalanan penyakitnya melibatkan beberapa efek sistemik terutama pasien dengan
penyakit berat. Hal ini akan berdampak besar pada kelangsungan hidup bagi pasien PPOK.
Kakeksia sering dijumpai pada PPOK berat, hal ini disebabkan karena kehilangan massa otot
rangka dan kelemahan sebagai akibat dari apoptosis yang meningkat dan atau otot yang tidak
digunakan. Pasien dengan PPOK juga mengalami peningkatan terjadinya osteoporosis, depresi
dan anemia kronis. Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-α, IL-6, dan
turunan dari radikal bebas oksigen lainnya, dapat memediasi beberapa efek sistemik untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular, yang berhubungan dengan peningkatan Protein C-Reaktif
(CRP) (GOLD, 2006).
H. Pemeriksaan penunjang
1. Tes fungsi paru menunjukkan obstruksi aliran nafas dan menurunnya pertukaran udara akibat
destruksi jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang
terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien mengalami perbaikan
dari pemberian bronkodilator.
2. Foto toraks bisa normal, namun pada emfisema, akan menunjukkan hiperinflasi disertai
hilangnya batas paru serta jantung tampak kecil.
3. Computed tomography bisa memastikan adanya bula emfisematosa.
4. Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal nafas. Pada hiposemia kronis
kadar hemoglobin bisa meningkat. (Patrick Davey. 2005)
I. Penatalaksanaan PPOK
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi
seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat kembali normal. Keadaan ini diusahakan
dan dipertahankan untuk menghindari perburukan penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan
PPOK dibagi menjadi 4 kelompok, sebagai berikut:
1. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien dan keluarga, menghentikan merokok
dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi, menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi
kebutuhan cairan, mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi pasien
yang punya riwayat alergi.
2. Pemberian obat-obatan
a. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi obstruksi saluran nafas yang
terdapat pada penyakit paru obstruktif. Obat-obatan golongan bronkodilator adalah obat-obat
utama untuk manajemen PPOK. Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai terutama jenis
long acting karena lebih efektif dan nyaman, pilihan obat diantarnya adalah golongan β2 Agonis,
Antikolinergik, Teofilin atau kombinasi. (GOLD, 2006; Sharma, 2010)
b. Antikolinergik
Golongan antikolinergik seperti Patropium Bromide mempunyai efek bronkodilator yang lebih
baik bila dibandingkan dengan golongan simpatomimetik. Penambahan antikolenergik pada
pasien yang telah mendapatkan golongan simpatomimetik akan mendapatkan efek
bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010).
c. Metilxantin
Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase yang
menginaktifkan siklik AMP. Pemberian kombinasi xantin dan simpatomimetik memberikan
efek sinergis sehinga efek optimal dapat dicapai dengan dosis masing-masing lebih rendah dan
efek samping juga berkurang. Golongan ini tidak hanya bekerja sebagai bronkodilator tetapi
mempunyai efek yang kuat untuk meningkatkan kontraktilitas diafragma dan daya tahan
terhadap kelelahan otot pada pasien PPOK (Sharma, 2010).
d. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengelolaan eksaserbasi PPOK, dengan memperpendek
waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru dan mengurangi hipoksemia. Disaxmping itu
Glukokortikosteroid juga dapat mengurangi risiko kekambuhan yang lebih awal, kegagalan
pengobatan dan memperpendek masa rawat inap di RS (GOLD, 2006).
e. Obat-obat lainnya
- Vaksin
Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit yang parah dan menurunkan
angka kematian sekitar 50 %. Vaksin mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif
diberikan kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu tahun sekali. Vaksin
Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk pasien PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2006)
- Alpha-1 Antitripsin
Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan usia muda yang mengalami
defisiensi enzim Alpha 1 Antitripsin sangat berat. Namum terapi ini sangat mahal dan belum
tersedia disetiap negara (GOLD, 2006).
- Antibiotik
Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya berasal dari Streptococcus
Pneumonia, Haemophilus Influenza dan Moraxella Catarrhlis. Diperlukan pemeriksaan kultur
untuk mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan pemberian antibiotika adalah untuk
mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi akut, yang ditandai oleh peningkatan produksi
sputum, dipsnue, demam dan leukositosis (GOLD, 2006; Sharma, 2010).
- Mukolitik
Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan sputum. Sputum kental pada
pasien PPOK terdiri dari derivat glikoprotein dan derivate lekosit DNA (GOLD, 2006)
- Agen antioksidan
Agen antioksidan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan mengurangi frekuensi eksaserbasi
pada pasien PPOK (GOLD, 2006).
- Imunoregulator
Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK dapat menurunkan angka
keparahan dan frekuensi eksaserbasi (GOLD, 2006).
- Antitusif
Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang merepotkan, tetapi batuk mempunyai
peran yang signifikan sebagai mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan antitusif
secara rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil (GOLD, 2006).
- Vasodilator
Berbagai upayaa pada hipertensi pulmonal telah dilakukan diantaranya mengurangi beban
ventrikel kanan, meningkatkan curah jantung, dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan.
Hipoksemia pada PPOK terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan antara ventilasi dan
perfusi bukan karena peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru
nonkardiogenik) dimana pemberian oksida nityrat dapat memperburuk keseimbangan ventilasi
dan perfusi. Sehingga oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil (GOLD, 2006).
- Narkotin (Morfin)
Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi dipsnue pada pasien PPOK pada
tahap lanjut. Nikotin juga diberikan sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan
sindrom paska merokok (GOLD, 2006; Sharma, 2010).
3. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksema progesif, pemberian terapi oksigen bertujuan
untuk mempertahankan hemodinamika paru. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh The British
Medical Research Council (MRC) dan the National Heart, Lung, and Blood Institute's
Nocturnal Oxygen Therapy Trial (NOTT) menunjukkan bahwa terapi oksigen jangka panjang
dapat meningkatkan kelangsungan hidup 2 kali lipat pada hipoksemia pasien PPOK.
Hipoksemia didefinisikan sebagai Pa O2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi oksigen kurang
dari 90%. Gejala gangguan tidur, gelisah, sakit kepala mungkin merupakan petunjuk perlunya
oksigen tambahan. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus
menerus dapat memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola
tidur. Terapi oksigen bertujuan memperbaiki kandungan oksigen arteri dan memperbanyak
aliran oksigen ke jantung, otak serta organ vital lainnya, memperbaiki vasokonstriksi pulmonal
dan menurunkan tekanan vaskular pulmonal. (Shama, 2010).
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi pulmonal melibatkan berbagai multidisiplin keilmuan termasuk diantaranya dokter,
perawat, fisioterapis pernapasan, fisioterapi secara umum, okupasional terapi, psikolog dan
pekerja soisal. Sharma (2010) menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif
adalah meliputi sebagai berikut:
a. Exercise training dan respiratory muscle training
Latihan otot ekstremitas maupun latihan otot pernapasanmerupakan latihan dasar dari proses
rehabilitasi paru. Latihan ditargetkan mencapai 60% dari beban maksimal selama 20-30 menit
diulang 2-5 kali seminggu. Latihan mengacu pada otot-otot tertentu yang terlibat dalam aktifitas
kesehariannya, terutama otot lengan dan otot kaki (Sharma, 2010).
b. Pendidikan kesehatan
1) Konservasi energy dan penyederhanaan kerja
Prinsip ini membantu pasien PPOK untuk mempertahankan aktifitas sehari-hari dan
pekerjaannya. Metode kegiatannya meliputi latihan pernafasan, optimalisasi mekanika tubuh,
prioritas kegiatan dan penggunaan alat bantu (Sharma, 2010).
2) Obat dan terapi lainnya
Pendidikan kesehatan tentang obat-obatan termasuk didalamnya jenis, dosis, cara penggunaan,
efek samping merupakan hal penting untuk diketahui oleh pasien PPOK (Sharma, 2010).
3) Pendidikan kesehatan mempersiapkan akhir kehidupan
Risiko kegagalan pernapasankarena ventilasi mekanik yang memburuk pada PPOK
mengakibatkan penyakit ini bersifat progesif. Pendidikan kesehatan tentang bagaimana
melakukan perawatan diri yang tepat dalam mempertahankan kehidupan perlu dilakukan kepada
pasien PPOK (Sharma, 2010).
c. Penatalaksanaan fisik
- Fisioterapi dada dan teknik pernapasan
Ada 2 teknik utama pernapasanyang dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut:
Pursed lip breathing
Pasien menghirup nafas melalui hidung sambil menghitung sampai 3 (waktu yang dibutuhkan
untuk mengatakan “smell a rose”). Hembuskan dengan lambat dan rata melalui bibir yang
dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen (merapatkan bibir meningkatkan tekanan
intratrakeal, menghembuskan udara melalui mulut memberikan tahanan lebih sedikit pada udara
yang dihembuskan). Hitung hingga 7 sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang
dirapatkan yang dibutuhkan untuk menagatakan ‘blow out the candle”. Sambil duduk dikursi
lipat tangan diatas abdomen, hirup nafas melalui hidung sambil menghitung hingga 3,
membungkuk kedepan dan hembuskan dengan lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil
menghitung hingga 7. Pernafasan bibir akan memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan
tekanan jalan nafas selama ekspirasi sehingga mengurangi jumlah udara yang terjebak dan
jumlah tahanan jalan nafas (Black, 2005; Ignatavicius & Workman, 2006). Teknik melakukan
Pursed Lip Breathing dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1
Pursed Lip Breathing Technique
COPD Foundation, 2010
Diaphragmatic breathing
Pasien diminta meletakkan satu tangan diatas abdomen (tepat dibawah iga) dan tangan lainnya
ditengah-tengah dada untuk meningkatkan kesadaran diafragma dan fungsinya dalam
pernapasan. Nafaslah dengan lambat dan dalam melalui hidung, biarkan abdomen menonjol
sebesar mungkin. Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan sambil mengencangkan
(mengkonstraksi) otot-otot abdomen. Tekan dengan kuat kearah dalam dan kearah atas pada
abdomen sambil menghembuskan nafas. Ulangi selama 1 menit, ikuti dengan periode istirahat
selama 2 menit. Lakukan selama 5 menit, beberapa kali sehari (sebelum makan dan waktu tidur).
Pernapasandiafragma dapat menguatkan diafrgama selama pernapasansehingga meningkatkan
asupan oksigen (Black & Jacob, 2005; Ignatavicius & Workman, 2006). Teknik melakukan
Diaphragmatic Breathing dapat dilihat pada gambar. 2
Gambar 2
Diaphragmatic Breathing Technique
COPD Foundation,
2010
- Nutrisi
Penurunan berat badan pada pasien dengan penyakit pernapasankronis menunjukkan prognosis
yang buruk. Pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit sebanyak 50% dilaporkan kekurangan
gizi kalori dan protein. Ketidakseimbangan energi dan penurunan berat badan progresif terjadi
karena asupan makanan yang tidak memadai, pengeluaran energi yang meningkat dan kegagalan
respon adaptif gizi. Pemeliharaan status gizi yang memadai sangat penting bagi pasien PPOK
untuk menjaga berat badan dan massa jaringan otot (Sharma, 2010). Diet cukup protein 1,2-1,5
gr/BB, karbohidrat 40-55% dari total kalori, lemak mudah dicerna 30-40%, cukup vitamin dan
mineral untuk memenuhi asupan nutrisi (Taatuji, 2004).
d. Penatalaksanaan psikososial
Kecemasan, depresi dan ketidakmampuan dalam mengatasi penyakit kronis memberikan
kontribusi terjadinya kecacatan. Intervensi psikososial dapat diberikan melalui pendidikan
kesehatan secara individu, dukungan keluarga ataupun dukungan kelompok sosial yang
berfokus pada masalah pasien. Relaksasi otot progresif, pengurangan stress dan pengendalian
panik dapat menurunkan dipsnue dan kecemasan (Sharma, 2010).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PPOK
A. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Pasien
Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, suku
bangsa, agama, No.registrasi, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal dan
jam masuk Rumah Sakit.
b. Identitas penanggung jawab
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status bangsa, status
perkawinan, hubungan dengan klien dan alamat.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien Bronkhitis biasanya mengeluh adanya sesak nafas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat sekarang berisi tentang perjalanan penyakit yang dialami pasien dari rumah
sampai dengan masuk ke Rumah Sakit.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien sebelumnya pernah mengalami Bronkhitis atau penyakit
menular yang lain.
5. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota keluraga ada yang pernah
mengalami sakit yang sama dengan pasien atau penyakit yang lain yang ada di dalam keluarga.
6. Pola fungsi kesehatan
Pengorganisasian data berdasarkan pola fungsi kesehatan menurut Gordon :
a. Persepsi terhadap kesehatan
Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS akan menimbulkan perubahan terhadap
pemeliharaan kesehatan.
Penurunan kemampuan
untuk mengeluarkan secret
3. DS : Intoleransi aktivitas
Bersihan jalan napas tidak
Klien mengatakan tidak
efektif
bisa beraktivitas
Klien mengatakan
sesaknya bertambah Akumulasi sekret pada
saat beraktivitas jalan napas
DO :
Nampak aktivitas klien
Gangguan pertukaran gas
dibantu
Klien nampak sesak saat
beraktivitas
Peningkatan penggunaan
energy untuk bernapas
Penurunan energy
cadangan
Kelemahan
Intoleransi aktivitas
4 DS : Gangguan Pola
Akumulasi sekret pada
Klien mengatakan batuk Tidur
jalan napas
berdahak
DO :
Klien nampak batuk Bersihan jalan napas tidak
berdahak efektif
Adanya batuk terus
menerus
Gangguan
Pola Tidur
D. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mucus yang berlebihan
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi paru
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor fisiologis (batuk).
4. Intoleransi aktifitas beruhungan dengan penurunan energi cadangan, kelemahan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif,
artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari
tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai
faktor berperan pada perjalanan penyakit ini. Maka untuk melakukan penatalaksaan PPOK
perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.
B. Saran
Petugas kesehatan hendaknya memahami apa sebenarnya PPOK itu sehingga dapat
memberikan asuhan keperawatan secara tepat pada pasien PPOK
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S., & Bare. (2008). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical nursing.
Philadelphia: Lippincott.
Price, S.A & Wilson. (2006). Patofisiologi konsep klinik proses-proses penyakit. Buku 2.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. (2006). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD).http://www.acofp.org/education/LV_10/handouts/Fri_3_19_10/11am_Willsie_Sand
ra_COPD.pdf. Diperoleh tanggal 18 Pebruari 2016
Ignatavicius D., & Workman. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking
forcollaborative care. 5th. St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
Black, J.M., & Hawk,J.H. (2005). Medical surgical nursing clinical management
forcontinuity of care. 7th Edition, St. Louis: Elsevier Saunders
Patrick Davevy. (2005). At a Glance MEDICINE. Alih bahasa Annisa Rahmalia, Cut
Novianty. Jakarta: Erlanga.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
(PPOK)
A. DEFINISI/ PENGERTIAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang
mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang menimbulkan obstruksi saluran
napas, termasuk didalamnya ialah asma, bronkitis kronis.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi
paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya penyempitan
saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu.
Penyakit paru obtruksi menahun (PPOK) adalah aliran udara mengalami obstruksi yang
kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan. PPOK sesungguhnya merupakan
kategori penyakit paru-paru yang utama dan bronkitis kronis, dimana keduanya menyebabkan
perubahan pola pernafasan (Reeves, 2001 : 41).
Penyakit Paru Obsruksi Kronik menurut Niluh G. Yasin (2003) adalah kondisi obstruksi
irevisibel progresif aliran udara dan ekspirasi biasanya ditandai dengan kesulitan bernafas,
batuk produktif, serta intolenransi aktifitas.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit Paru Obstruksi Kronik
merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis, bronkietaksis dan emfisema,
obstruksi tersebut bersifat progresif disertai hiperaktif aktivitas bronkus.
B. PENYEBAB/ ETIOLOGI
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Arief
Mansjoer (2002) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi Udara
3. Paparan Debu, asap
4. Gas-gas kimiawi akibat kerja
5. Riwayat infeki saluran nafas
6. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin
Sedangkan penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut David Ovedoff
(2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena polusi udara dari bahan kimiawi
akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga berkaitan dengan virus hemophilus influenza dan
strepto coccus pneumonia.
Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F. Gordan (2002)
bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama membangkitkan penderita penyakit
PPOK, yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.
2. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita
3. Merokok
4. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
5. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus
8. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru obstuksi kronik.
9. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya
melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini dapat
terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok.
D. PATHOFISIOLOGI
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut,
kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang
diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat
hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan
oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan
juga menimbulkan kerusakan apda dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan
terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau
obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada
saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya
obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan
pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun
perfusi darah akan mengalami gangguan.
E. GEJALA KLINIS
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang- kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak
napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala
sesak menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD,
2009).
Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1
tingkat
3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit
5 Sesak bila mandi atau berpakaian
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus
menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal
b. Corak paru yang bertambah
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga
fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
A. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang dikumpulkan
atau dikaji meliputi :
1. Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama,
suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor registrasi, pekerjaan pasien, dan
nama penanggungjawab.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau
berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan Penyakit Paru Obstriksi Kronik (PPOK)
didapatkan keluhan berupa sesak nafas.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan PPOK biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak
nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. Perlu juga
ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk
menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah masuk RS dengan keluhan yang sama.
e. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana
perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
3. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
a. Bernafas
Kaji pernafasan pasien. Keluhan yang dialami pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
ialah batuk produktif/non produktif, dan sesak nafas.
b. Makan dan Minum
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan PPOK
akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur
abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit.
c. Eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest
sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen
menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
d. Gerak dan Aktivitas
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Pasien akan cepat
mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
e. Istirahat dan tidur
Akibat sesak yang dialami dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan
rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir,
berisik dan lain sebagainya.
f. Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus dibantu oleh orang
lain.
g. Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C), hiperpireksia=40°C<
ataupun hipertermi <35,5°C.
h. Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Nyeri dada meningkat
karena batuk berulang (skala 5)
i. Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakit yang dialaminya
j. Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakan pasien dapat berkomunikasi dengan perawat dan keluarga atau temannya.
k. Bekerja
Tanyakan pada pasien, apakan sakit yang dialaminya menyebabkan terganggunya pekerjaan
yang dijalaninya.
l. Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kali pasien sembahyang, dll.
m. Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja meluangkan waktunya untuk
rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik yang tepat saat depresi.
n. Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi sesak yang dirasakan. Disinilah peran
kita untuk memberikan HE yang tepat dan membantu pasien untuk mengalihkan sesaknya
dengan metode pemberian nafas dalam.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi
sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan
jalan napas.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak, pengaturan posisi
dan pengaruh lingkungan.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
C. INTERVENSI
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi
sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
a. Menunjukkan jalan nafas yang paten
b. Mampu mengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
c. Suara nafas bersih, tidah ada sianosis dan dyspneu(mampu bernafas dengan mudah)
Intervensi :
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
Rasional:
Mencegah terjadinya dehidrasi
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
Rasional :
Mengajarkan cara batuk efektif
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
Rasional :
Mengatasi sesak yang dialami pasien
d. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim,
dan asap.
e. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera:
peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek,
rasa sesak didada, keletihan.
Rasional :
Pemberian tindakan pengobatan selanjutnya
f. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan
jalan napas.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan ketidakefektifan pola nafas pasien dapat
teratasi
Kriteria Hasil :
a. Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal
b. Bunyi nafas terdengar jelas.
Intervensi :
a. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
Rasional :
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh
mana perubahan kondisi pasien.
b. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur
ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional :
Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
c. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).
Rasional :
Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
d. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional :
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta
abdomen membuat batuk lebih efektif.
e. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan
Rasional :
Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis
akibat hiponia.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak, pengaturan posisi
dan pengaruh lingkungan.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan istirahat dan tidur pasien
terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak sesak nafas
b. Pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan
c. Pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit
d. Pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.
Intervensi :
a. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasional :
Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2 dan CO2.
b. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien sebelum
dirawat.
Rasional :
Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan mengganggu proses tidur.
c. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional :
Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
d. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional :
Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan asupan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
a. Peningkatan berat badan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Intervensi :
a. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional :
Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama, ekonomi
dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
b. Auskultasi suara bising usus.
Rasional :
Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada fungsi
pencernaan.
c. Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional :
Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
d. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional :
Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.
e. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional :
Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan memudahkan reflek.
f. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP.
Rasional :
Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan antibody karena diet
TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.
g. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya (zevity, ensure, socal,
putmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.
Rasional :
Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak dalam tubuh.
C. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap
pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan
diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ; ketrampilan
interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang
tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon
pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi
yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien
(Budianna Keliat, 1994,4).
D. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota
tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk,
1989).
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien :
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Jual. Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Darmojo; Martono. (1999). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai
penerbit FKUI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, edisi ketiga. Jakarta: balai Penerbit FKUI.
Price, Sylvia A. Dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanna C. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddarth Edisi 8
Volume 2. Jakarta : EGC.