Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Dosen :
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2017/2018
Website : www.unpam.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “REVISI UU
TERORISME SEBAGAI UPAYA PREVENTIVE MENCEGAH TERORISME DI
NEGARA NKRI”
Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan menyangkut hukum yang berlaku di Negara tercinta ini.
Kami pun menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan
saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Kami berharap makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya
bagi para pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata
yang kurang berkenan, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….. ii
BAB 1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………....... 1
BAB II
PEMBAHASAN……...……………………………….………………………...................………
3
BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………………………………
13
Daftar
Pustaka…………………………………………………………………………………….
14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kejahatan akhir-akhir ini, tidak hanya berbentuk kejahatan-kejahatan konvensional
misalnya seperti pencurian , perampokan, pemerkosaan dan sebagainya, tetapi sudah
mengarah kepada organized crime, white collar crime, top hat crime, cyber crime,
korupsi, terrorisme dan sebagainya. Kejahatan-kejahatan model terakhir ini tidak
dapat ditanggulangi hanya dengan peraturan perundang-undangan konvensional
biasa, karena kejahatan tersebut merupakan “extra ordinary crimes” yang
membutuhkan “extra ordinary measures” pula.
Kejahatan “extra ordinary crime” yang akhir-akhir ini menjadi sorotan, tidak hanya
pemerintah Indonesia tetapi juga sorotan dunia internasional, adalah terorisme.1 Hal
ini karena teroris adalah “hostes humanis generis” musuh umat manusia. 2 Upaya
menentang terorisme tak ubahnya berperang melawan kelompok gerilya dengan
lawan dan strategi lawan yang tak jelas.3 Pemerintah sempat dibuat tidak siap pada
aksi terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Kondisi tersebut cukup beralasan
karena Indonesia memang saat itu belum mempunyai undang-undang yang
mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme. Namun sekarang sejak tanggal 18
Oktober 2002 telah diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan
dilengkapi dengan Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (Sekarang telah diperkuat menjadi Undang-Undang denganUndang-
Undang No. 15 Tahun 2003, sedangkan Perppu No. 2 Tahun 2002 ditingkatkan
menjadi UndangUndang dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 (Undang-
Undang Terorisme) pada Peristiwa Peledakan Bom Bali Tangal 12 Oktober 2002.
Setelah Bom Bali tersebut tindakan terorisme terus menerus masih berlangsung
meskipun dalam skala yang lebih kecil. Pemerintah akhirnya mulai mengambil sikap
untuk berencana melakukan revisi terhadap Undang-Undang Terorisme.
1
Bryan A. Garner, 1999, Black's Law Dictionary (seventh edition), West Group, St. Paull. Minn. hlm. 1484.
Lihatjuga M. Riza Sihbudi, 1991, Bara Timur Tengah:Islam, Dunia Arab, Iran, Bandung, Mizan, hlm 94.
2
Muladi, “Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dalam kerangka Hak Azasi Manusia”,
Makalah disampaikan pada Kuliah Umum, S 1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 21 April 2003
3
Nunung Prajarto, “Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan Media”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol. 8, No. L, Juli 2004, hlm 37.
1
Berdasarkan uraian tersebut maka penting untuk melakukan kajian tentang sejauh
mana urgensi revisi Undang-Undang Terorisme saat ini dan kelemahan-kelemahan
dari Undang-Undang Terorisme sehingga perlu untuk dilakukan revisi.
2
BAB II
2.1 PEMBAHASAN
Selama satu minggu, tujuh hari berturut-turut, Indonesia diserbu teror. Dari kerusuhan
di Rutan Mako Brimob yang menewaskan lima polisi, hingga bom bunuh diri tiga
keluarga di Surabaya. Selasa, 8 Mei hingga Senin 14 Mei adalah pekan yang penuh
ketegangan dan teror. Narapidana terorisme mengambil alih Rutan Mako Brimob,
Depok. Dan di Surabaya, untuk pertama kalinya di Indonesia, bom bunuh diri dilakukan
sekeluarga inti, ayah, ibu yang membawa serta anak-anak mereka.
Definisi terorisme ini menjadi pembahasan yang paling alot dan yang paling terakhir
disepakati oleh pemerintah dan DPR.
3
Pada akhirnya, terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau
fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Pasal ini mengatur, setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut
orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan pengadilan sebagai organisasi
terorisme dipidana paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun. Pendiri, pemimpin,
pengurus, atau orang yang mengendalikan kegiatan korporasi juga bisa dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.
Dengan pasal ini, Kapolri mengaku akan segera menyeret JAD (Jamaah Ansharut
Daulah) dan JI (Jemaah Islamiyah) ke pengadilan.
Pasal ini mengatur setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan,
atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau
melakukan tindak pidana terorisme atau ikut berperang di luar negeri untuk tindak
pidana terorisme, dipidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
Dengan pasal ini, maka WNI yang selama ini banyak mengikuti pelatihan di Suriah bisa
dijerat pidana.
Pasal 13 A: Penghasutan
Pasal ini mengatur, setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme
dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan
dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan
4
kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme,
dipidana paling lama 5 tahun.
Pasal ini mengatur, setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme dengan
melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah sepertiga. Pasal ini dibuat dengan
berkaca pada banyaknya aksi teror yang melibatkan anak di luar negeri.
Namun, belakangan teror dengan melibatkan anak juga terjadi saat aksi bom bunuh diri
di tiga gereja dan Mapolrestabes Surabaya.
Pasal ini mengatur tersangka teroris bisa ditahan dalam waktu yang lebih lama. Jika
sebelumnya penahanan seorang tersangka untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan hanya bisa dilakukan dalam waktu 180 hari atau 6 bulan, kini menjadi 270
hari atau 9 bulan. Kendati demikian, pasal ini juga mengatur bahwa penahanan harus
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Setiap penyidik yang melanggar ketentuan tersebut bisa dipidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini mengatur polisi memiliki waktu yang lebih lama untuk melakukan
penangkapan terhadap terduga teroris sebelum menetapkannya sebagai tersangka atau
membebaskannya. Jika sebelumnya polisi hanya memiliki waktu 7 hari, kini bisa
diperpanjang sampai 21 hari. Namun, pasal ini juga mengatur bahwa penangkapan
terduga teroris harus menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Setiap penyidik yang melanggar ketentuan tersebut bisa dipidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5
Pasal 31 dan 31A: Penyadapan
Pasal ini mengatur, dalam keadaan mendesak penyidik kepolisian bisa langsung
melakukan penyadapan kepada terduga teroris. Setelah penyadapan dilakukan, dalam
waktu paling lama tiga hari baru lah penyidik wajib meminta penetapan kepada ketua
pengadilan negeri setempat.
Izin penyadapan dari ketua pengadilan negeri kini dapat diberikan untuk jangka waktu
paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1
tahun. Hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan
penyidikan tindak pidana terorisme. Penyadapan juga wajib dilaporkan kepada atasan
penyidik dan dilaporkan ke kementerian komunikasi dan informatika.
Selain menyadap, penyidik juga bisa membuka, memeriksa, dan menyita surat dan
kiriman dari pos atau jasa pengiriman lain.
Pasal ini mengatur penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan
petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara terorisme wajib diberi
perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan atau hartanya. Perlindungan diberikan baik sebelum, selama, maupun sesudah
proses pemeriksaan perkara.
Empat tambahan pasal baru ini mengatur secara lebih komprehensif hak korban
terorisme. Ada enam hak korban yang diatur, yakni berupa bantuan medis, rehabilitasi
psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian
restitusi dan kompensasi.
6
Sebelumnya hanya dua hak korban yang diatur di UU yang lama, yaitu kompensasi dan
restitusi.
Pasal ini mengatur bahwa pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana
terorisme. Dalam upaya pencegahan ini, pemerintah melakukan langkah antisipasi
secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan
prinsip kehati-hatian.
Pasal 43 I: TNI
Tambahan satu pasal ini mengatur tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme
merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Dalam mengatasi aksi terorisme
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional
Indonesia.Ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan TNI ini akan diatur dengan
Peraturan Presiden . Pasal 43J Pasal ini mengatur DPR untuk membentuk tim pengawas
penanggulangan terorisme.
7
Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas ini diatur dengan Peraturan DPR.
Revisi yang telah disahkan ini dibuat sebagai upaya preventive untuk mencegah adanya
terorisme. Dengan maksud adanya revisi yang telah disahkan ini tidak ada lagi kasus
serupa yang akan di alami oleh masyarakat Indonesia.
Masalah radikalisme dan terorisme saat ini memang sudah marak terjadi di mana-mana,
termasuk di Indonesia sendiri. Pengaruh radikalisme yang merupakan suatu
pemahaman baru yang dibuat-buat oleh pihak tertentu mengenai suatu hal, seperti
agama, sosial, dan politik, seakan menjadi semakin rumit karena berbaur dengan tindak
terorisme yang cenderung melibatkan tindak kekerasan. Berbagai tindakan terror yang
tak jarang memakan korban jiwa seakan menjadi cara dan senjata utama bagi para pelaku
radikal dalam menyampaikan pemahaman mereka dalam upaya untuk mencapai sebuah
perubahan.
Pengaruh ISIS tidak hanya di Timur Tengah tetapi sudah mencapai Eropa, Amerika, dan
Indonesia. Dunia internasional perlu bersatu untuk menyusun strategi dan
melaksanakan pencegahan dan penanganan terorisme demi kepentingan perdamaian
dunia dan kehidupan manusia damai dan bermartabat.
8
mempunyai motif ganda, tidak hanya persoalan politik atau ideologi tetapi juga motif
sakit hati atas perlakuan penanganan terorisme.
Kontra Narasi
9
penting untuk dilakukan pada tahap ini untuk pencegahan jika skenario kontra narasi
gagal dilakukan.
Deradikalisasi
Orang atau kelompok yang sudah terpapar narasi radikal dan akhirnya berpikir dan
bertindak radikal perlu ditangani secara khusus agar kembali normal. Penormalan
kembali orang yang sudah berpikir dan bertindak radikal ini biasa dikenal dengan
deradikalisasi. Sasaran langkah ini tentu saja diperoleh dari hasil pemetaan terhadap
orang/kelompok yang sudah berpikir dan berperilaku radikal.
Program deradikalisasi lebih mudah diterima jika dilakukan oleh lembaga non
pemerintah. Fungsi pemerintah dalam program deradikalisasi sebaiknya pada anggaran,
pengawasan, dan perlindungan hukum. Kelompok atau perorangan yang sudah
berperilaku radikal namun tidak bisa menerima program akan berpotensi melakukan
teror untuk memaksakan kehendaknya. Jika hal ini yang terjadi maka langkah
penindakan dan pemberantasan dapat dilakukan dengan kontra terorisme.
Kontra Terorisme
10
bagi masyarakat. Kepentingan masyarakat secara umum diutamakan daripada
kepentingan kelompok atau perorangan yang radikal.
Kontra terorisme tidak dapat langsung menghentikan terorisme. Kontra teror lebih
pada mencegah dan melumpuhkan pelaku teror. Dampak negatifnya adalah pemikiran
radikal cenderung akan bertambah kuat pada keluarga atau teman-teman pelaku teror
yang ditangkap jika terjadi tindakan aparat keamanan yang cukup keras.
Langkah kontra terorisme bagaimanapun juga tetap harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya aksi teror di masyarakat, Hal ini juga dilakukan untuk melindungi masyarakat
secara umum dari korban aksi teror oleh kelompok/perorangan yang berpikiran radikal.
Namun dampak munculnya paham radikal yang lebih kuat bagi orang-orang disekitar
orang yang terkena tindakan kontra terorisme harus dipikirkan dan dikelola dengan
baik.
Untuk mencegah semakin meluasnya paham radikal sebagai implikasi rasa sakit hati
yang muncul karena orang terdekat atau keluarganya terkena tindakan hukum, maka
sebaiknya ada penanganan yang intens terhadap orang dekat disekitar pelaku yang
terkena tindakan hukum. Hal yang bisa dilakukan misalnya melakukan program
pemberdayaan terhadap keluarga inti pelaku teror yang terkena tindakan hukum. Istri
dan anak dari pelaku sebaiknya didampingi untuk tetap berdaya dan tidak menjadi
korban lanjutan karena dampak penegakan hukum. Tujuannya agar keluarga pelaku
11
teror dan mantan pelaku teror tidak kembali berpikiran radikal dan melakukan aksi teror
lagi.
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
DAFTAR PUSTAKA
13
www.kompas.com
http://aceh.tribunnews.com/2018/05/27/revisi-undang-undang-terorisme-disahkan
Bryan A. Garner, 1999, Black's Law Dictionary (seventh edition), West Group, St. Paull.
Minn. hlm. 1484. Lihatjuga M. Riza Sihbudi, 1991, Bara Timur Tengah:Islam, Dunia Arab,
Iran, Bandung, Mizan, hlm 94.
Nunung Prajarto, “Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan Media”, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8, No. L, Juli 2004, hlm 37.
14