Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun

1989 menetapkan bahwa segala kegiatan pendidikan di Indonesia

dilaksanakan dalam suatu sistem yang mengupayakan secara

maksimal tercapainya tujuan pendidikan nasional, yaitu

mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan

dan martabat manusia Indonesia, baik sosial, intelektual, spiritual,

maupun kemampuan profesional.

Upaya menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan nasional

tersebut merupakan esensi dari program manajemen mutu di

bidang pendidikan. Konsep manajemen mutu menetapkan bahwa

fungsi manajemen yang dilaksanakan para manajer diarahkan agar

semua layanan yang diberikan dapat memuaskan atau melebihi

harapan kastemer (pelanggan), antara lain: siswa, orang tua, ataupun

guru dan masyarakat (stakeholders).

Sejalan dengan hal tersebut, maka dapat dipahami

apabila penyelenggaraan pendidikan perlu memperhatikan

karakteristik, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat, di mana transaksi

layanan tersebut dilakukan. Pendidikan hendaknya mampu

memberikan respon kontekstual sesuai dengan orientasi

pembangunan daerah. Ini berarti bahwa perumusan kebijakan

dan pembuatan keputusan-keputusan pendidikan hendaknya

1
2

memperhatikan aspirasi yang berkembang di daerah itu.

Dengan kata lain upaya untuk mendekatkan stakeholders

pendidikan agar akses terhadap perumusan kebijakan dan

pembuatan keputusan yang menyangkut pemerataan dan perluasan

layanan, mutu, relevansi dan efisiensi pengelolaan pendidikan

sangatlah beralasan. Inilah gagasan yang melatarbelakangi

paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan, yang seperti

telah disebutkan di atas, sangatlah erat kaitannya dengan gagasan

desentralisasi pengelolaan pendidikan, yang ketentuannya telah

ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun

2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah

Otonom.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan kurikulum pendidikan (K-13 dan KKNI)?

2. Bagaimana kebijkan komite sekolah?

3. Bagaimana kebijakan 12 tahun wajid belajar?

4. Bagaimana kebijakan pendidikan karakter?

C. Tujuan
1. Mengetahui kebijakan kurikulum pendidikan (K-13 dan KKNI).

2. Mengetahui kebijakan komite sekolah.

3. Mengetahui kebijakan 12 tahun wajib belajar.

4. Mengetahui kebijakan pendidikan karakter.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kebijakan Kurikulum (K-13 dan KKNI)

Kurikulum memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dan

strategis. Meskipun bukan satu-satunya faktor utama keberhasilan proses

pendidikan, kurikulum menjadi petunjuk dan arah terhadap keberhasilan

pendidikan. Kurikulum menjadi penuntun (guide) para pelaksana pendidikan-


pendidik, tenaga kependidikan untuk mengembangkan kreativitas dan

kemampuannya dalam mengembangkan dan menjabarkan berbagai materi dan

perangkat pembelajan. Oleh karena itu, pendidik dan tenaga kependidikan

yang baik adalah yang mampu memahami kurikulum dan

mengimplementasikannya pada proses pembelajaran.

Namun demikian, perubahan, pengembangan, dan perbaikan terus

dilakukan seiring dengan tututan dan perubahan zaman dalam berbagai aspek

kehidupan globalisasi. Pergulatan perubahan kurikulum sangat nampak pada

tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994, yang menuai berbagai dikritik karena

dinilai terlalu banyak mata pelajaran dan terlalu padat materi. Padatnya

kurikulum berdampak pada padatnya informasi dalam buku teks.

Pada tahun 1975, pembaruan kurikulum didasarkan pada

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat itu, sehingga

pembaruan tersebut menghasilkan kurikulum 1975 yang sangat sarat beban

dan sarat muatan, bahan-bahan yang berat dan sangat berorientasi pada

sasaran hasil. Hal ini dipengaruhi oleh paradigma kerangka instruksional,

yang sangat mendasarkan diri pada sasaran, instruksi dan evaluasi.


Pembaharuan Kurikulum tahun 1984 berusaha menyederhanakan itu semua.

3
4

Pembaruan tahun 1994 memadukan teknologi melalui pemecahan masalah,

berfikir kritis, dan keterampilan bertanya dalam praktik di kelas.1

Kehadiran kurikulum 2013 diharapkan mampu melengkapi

kekurangan-kekurangan yang ada pada kurikulum sebelumnya. Kurikulum

2013 disusun dengan mengembangkan dan memperkuat sikap, pengetahuan,

dan keterampilan secara berimbang. Penekanan pembelajaran diarahkan pada

penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan sikap

spiritual dan sosial sesuai dengan kerakteristik Pendidikan Agama Islam dan

Budi Pekerti diharapkan akan menumbuhkan budaya keagamaan (religious

culture) di sekolah.

Perubahan Kurikulum 2013 merupakan wujud pengembangan dan

penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya kurikulum KTSP tahun 2006

yang dalam implementasinya dijumpai beberapa masalah yaitu:

1. Konten kurikulum terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya

matapelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya

melampaui tingkat perkembangan usia anak.

2. Belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan

tujuan pendidikan nasional.

3. Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap,

keterampilan, dan pengetahuan.

4. Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan

kebutuhan misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif,

keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan belum

terakomodasi di dalam kurikulum.

1
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Agama Islam, Pedoman
Umum Implementasi Kurikulum 2013 (Jakarta; Kementerian Agama RI, 2013), h. 1.
5

5. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi

pada tingkat lokal, nasional, maupun global.

6. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran

yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam

dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru.

7. Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi

(proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi

secara berkala.

8. Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar

tidak menimbulkan multitafsir.

Titik tekan pengembangan Kurikulum 2013 ini adalah penyempurnaan

pola pikir, penguatan tata kelola kurikulum, pendalaman dan perluasan materi,

penguatan proses pembelajaran, dan penyesuaian beban belajar agar dapat

menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.

Oleh karena itu, implementasi Kurikulum 2013 diyakini sebagai langkah

strategis dalam menyiapkan dan menghadapi tantangan globalisasi dan

tuntutan masyarakat Indonesia masa depan.

Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai

tantangan yang dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal.

Dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman, diperlukan adanya

penyempurnaan pola dan penguatan tata kelola kurikulum serta pendalaman

dan perluasan materi. Di samping itu, penguatan proses pembelajaran dan

penyesuaian beban belajar perlu pula mendapatkan perhatian agar dapat

menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang akan

dihasilkan. Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan

dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan Standar


6

Nasional Pendidikan, yang meliputi Standar Isi, Standar Proses, Standar

Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar

Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar

Penilaian Pendidikan.2

Tantangan internal lainnya adalah terkait dengan faktor perkembangan

penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif.

Terkait dengan perkembangan penduduk, saat ini jumlah penduduk Indonesia

usia produktif 15-64 tahun lebih banyak dari usia tidak produktif anak-anak

berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas. Jumlah penduduk

usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat

angkanya mencapai 70%. Pada tahun 2020-2035 Sumber Daya Manusia

(SDM) Indonesia usia produktif akan melimpah.3 SDM yang melimpah ini

apabila memiliki kompetensi dan keterampilan akan menjadi modal

pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun, apabila tidak memiliki

kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban pembangunan.

Oleh sebab itu, tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana

mengupayakan agar SDM usia produktif yang melimpah ini dapat

ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan

melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.

Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan antara lain

berkaitan dengan tantangan masa depan, kompetensi yang diperlukan di masa

depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta

berbagai fenomena yang mengemuka. Tantangan masa depan antara lain

2
PadaTahun 2013 Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 inidisempurnakanmenjadi
PP nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
3
Proyeksi demografis Badan Pusat Statistik dan Statistik PBB.
7

terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah

lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri

kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Di

era globalisasi juga akan terjadi perubahan-perubahan yang cepat.

Dunia akan semakin transparan, terasa sempit, dan seakan tanpa batas.

Hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi menjadikan satu sama lain

menjadi dekat sebagai akibat dari revolusi dan hasil pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Arus globalisasi juga akan menggeser pola hidup

masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat

industri dan perdagangan modern seperti dapat terlihat di WTO, ASEAN

Community, APEC, dan AFTA. Tantangan masa depan juga terkait dengan

pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta

mutu, investasi, dan transformasi pada dunia pendidikan.

C. Kebijakan Komite Sekolah

1. Konsep dasar komite sekolah

Komite Sekolah merupakan nama baru pengganti Badan Pembantu

Penyelenggara Pendidikan (BP3). Secara substansial kedua istilah tersebut

tidak begitu mengalami perbedaan. Yang membedakan hanya terletak pada

pengoptimalan peran serta masyarakat dalam mendukung dan

mewujudkan mutu pendidikan.

Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta

masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi

pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra

sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah


(Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
8

Tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah:

a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam

melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan

pendidikan.

b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

c. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan

demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang

bermutu di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).4

Adapun fungsi Komite Sekolah, sebagai berikut:

a. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap

penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.

b. Melakukan kerjasama dengan masyarakat

(perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah

berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.

c. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai

kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.

d. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan

pendidikan mengenai:

1) Kebijakan dan program pendidikan.

2) Rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS).

3) Kriteria kinerja satuan pendidikan.

4) Kriteria tenaga kependidikan.

4
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah.
9

5) Kriteria fasilitas pendidikan.

6) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan

e. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan

guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.

f. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan

penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

g. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program,

penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan

(Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).5

2. Peranan komite sekolah

Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai:

a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan

pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.

b. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial,

pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di

satuan pendidikan.

c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan

akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan

pendidikan.

d. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan

pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).

Depdiknas dalam bukunya Partisipasi Masyarakat, menguraikan

tujuh peranan Komite Sekolah terhadap penyelenggaraan sekolah, yakni:

5
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah.
10

a. Membantu meningkatkan kelancaran penyelenggaraan kegiatan

belajar-mengajar di sekolah baik sarana, prasarana maupun teknis

pendidikan.

b. Melakukan pembinaan sikap dan perilaku siswa. Membantu usaha

pemantapan sekolah dalam mewujudkan pembinaan dan

pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

pendidikan demokrasi sejak dini (kehidupan berbangsa dan bernegara,

pendidikan pendahuluan bela negara, kewarganegaraan, berorganisasi,

dan kepemimpinan), keterampilan dan kewirausahaan, kesegaran

jasmani dan berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta apresiasi seni

dan budaya.

c. Mencari sumber pendanaan untuk membantu siswa yang tidak mampu.

d. Melakukan penilaian sekolah untuk pengembangan pelaksanaan

kurikulum, baik intra maupun ekstrakurikuler dan pelaksanaan

manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa, dan

karyawan.

e. Memberikan penghargaan atas keberhasilan manajemen sekolah.

f. Melakukan pembahasan tentang usulan Rancangan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

g. Meminta sekolah agar mengadakan pertemuan untuk kepentingan

tertentu (Depdiknas, 2001:17).6

Mengacu pada peranan Komite Sekolah terhadap peningkatan

mutu pendidikan, sudah barang tentu memerlukan dana. Dana dapat

diperoleh melalui iuran anggota sesuai kemampuan, sumbangan sukarela

6
Depdiknas. 2001. Partisipasi Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.
11

yang tidak mengikat, usaha lain yang tidak bertentangan dengan maksud

dan tujuan pembentukan Komite Sekolah.

3. Hubungan sekolah dengan komite sekolah

Sekolah bukanlah suatu lembaga yang terpisah dari masyarakat.

Sekolah merupakan lembaga yang bekerja dalam konteks sosial. Sekolah

mengambil siswanya dari masyarakat setempat, sehingga keberadaannya

tergantung dari dukungan sosial dan finansial masyarakat. Oleh karena itu,

hubungan sekolah dan masyarakat merupakan salah satu komponen

penting dalam keseluruhan kerangka penyelenggaraan pendidikan.

Adanya hubungan yang harmonis antar sekolah dan masyarakat

yang diwadahi dalam organisasi Komite Sekolah, sudah barang tentu

mampu mengoptimalkan peran serta orang tua dan masyarakat dalam

memajukan program pendidikan, dalam bentuk:

a. Orang tua dan masyarakat membantu menyediakan fasilitas

pendidikan, memberikan bantuan dana serta pemikiran atau saran yang

diperlukan sekolah.

b. Orang tua memberikan informasi kepada sekolah tentang potensi yang

dimiliki anaknya.

c. Orang tua menciptakan rumah tangga yang edukatif bagi anak

(Depdiknas, 2001:19).7

7
Depdiknas. 2001. Partisipasi Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.
12

Berkenaan dengan peningkatan hubungan sekolah dengan

masyarakat, subtansi pembinaannya harus diarahkan kepada meningkatkan

kemampuan seluruh personil sekolah dalam:

a. Memupuk pengertian dan pengetahuan orang tua tentang pertumbuhan

pribadi anak.

b. Memupuk pengertian orang tua tentang cara mendidik anak yang baik,

dengan harapan mereka mampu memberikan bimbingan yang tepat

bagi anak-anaknya dalam mengikuti pelajaran.

c. Memupuk pengertian orang tua dan masyarakat tentang program

pendidikan yang sedang dikembangkan di sekolah.

d. Memupuk pengertian orang tua dan masyarakat tentang hambatan-

hambatan yang dihadapi sekolah.

e. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta

memajukan sekolah.

f. Mengikutsertakan orang tua dan tokoh masyarakat dalam

merencanakan dan mengawasi program sekolah (Depdiknas, 2001:20).

D. Kebijakan 12 Tahun Wajib Belajar

1. Dasar kebijakan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Pemerintah

Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Peraturan

Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekosentrasi dan Tugas

Pembantuan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010

tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)


Tahun 2010-2014.
13

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 69 Tahun 2009

tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Tahun 2009 Untuk Sekolah

Dasar/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah

Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),

Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar

Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

44 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Permendiknas No 2 Tahun 2010

tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-

2014.8

2. Keunggulan

a. Untuk menghadapi krisis ekonomi dunia pendidikan dituntut

mempertahankan hasil pembangunan pendidikan.

b. Mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut mempersiapkan

Sumber Daya Manusia yang kompeten agar mampu bersaing di era

global.

c. Perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional proses

pendidikan lebih demokratis, memperhatikan kebutuhan atau keadaan

daerah peserta didik serta peningkatan partisipasi masyarakat.

d. Memajukan dan mencerdaskan Sumber Daya Manusia yang memiliki

keunggulan komparatif yang didapat dari kualitas Sumber Daya

Manusianya, sehingga dapat menghasilkan teknologi canggih yang

bermutu tinggi.

8
Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009 ditepakan pada 5 Oktober 2009 oleh Menteri
Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.
14

e. Untuk mewujudkan layanan pendidikan SM yang terjangkau dan

bermutu bagi semua lapisan masyarakat dalam rangka mendukung

Rintisan Program Sekolah Menengah Universal (Wajib Belajar) 12

Tahun.

f. Mengurangi angka putus sekolah SM.

g. Meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa SM.

h. Membebaskan (fee waive) dan atau membantu (discount fee) tagihan

biaya sekolah bagi siswa miskin SM.

i. Mewujudkan keberpihakan pemerintah (affimative action) bagi siswa

miskin di bidang pendidikan SM.

j. Memberikan kesempatan yang setara (equal opportunity) bagi siswa

miskin SM untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terjangkau

dan bermutu.9

3. Kelemahan

a. Waktu 12 tahun belajar terlalu lama buat belajar sehingga

menimbulkan rasa bosan.

b. Memerlukan banyak biaya yang harus dikeluarkan.

c. Pemerintah harus mempertimbangkan anggaran yang harus

dikeluarkan meliputi penyediaan sarana prasarana pendidikan seperti

ruang kelas, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, gaji

guru dan karyawan, serta biaya operasional sekolah.

d. Terbatasnya daya tampung pendidikan menengah. 1,2 juta siswa

lulusan SLTP tidak tertampung di SM, selain itu diperkirakan sekitar

159 ribu siswa SM putus sekolah (2011).

9
https://www.scribd.com/doc/91636836/Kebijakan-Wajib-Belajar-12-Tahun.
15

e. Layanan pendidikan yang ditawarkan secara umum sudah lepas dari

visi pendidikan, dan cenderung komersil. Siswa kaya lebih mempunyai

kesempatan untuk menikmati layanan pendidikan yang bermutu,

sedangkan siswa miskin tidak (unequal opportunity).

4. Cara mengatasi

a. Efisiensi waktu, dapat ditempuh SD menyelesaikan 5 tahun, SMP 2

tahun, SMA 2 tahun.

b. Efisiensi ruang, pelaksanaan kegiatan belajar bisa diluar kelas,peserta

didik bisa belajar pagi dan siang.

c. Efisiensi pemakaian otak, yang diberikan mata pelajaran pokok saja,

mata pelajaran tambahan bisa digabung.

d. Efisiensi manajemen, pengorganisasian manajemen agar tidak salah

fungsi.

e. Efisiensi finansial, perlu peninjauanpembiayaan pendidikan

menyangkut biaya operasional per peserta didik yang disiapkan,

contohnya buku bisa digunakan berkali kali dalam kurun waktu

tertentu.

f. Sasaran program adalah siswa miskin dengan pengalokasian dana

bantuan untuk SMA Negeri dan Swasta di seluruh Indonesia.

g. Diberikan dana BOS dengan sasaran siswa miskin untuk SMA/SMK

Negeri dan swasta seluruh Indonesia, Satuan biaya (unit cost) program

Rintisan BOS SM sebesar Rp. 120.000/siswa/tahun.10

E. Kebijakan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter telah menjadi polemik di berbagai negara.

Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan karakter sejak

10
https://www.scribd.com/doc/91636836/Kebijakan-Wajib-Belajar-12-Tahun.
16

lama. Sejatinya, pendidikan karakter merupakan bagian esensial yang menjadi

tugas sekolah, tetapi selama ini kurang perhatian. Akibat minimnya perhatian

terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan, sebagaimana

dikemukakan Lickona telah menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit

sosial di tengah masyarakat. Idealnya, sekolah tidak hanya berkewajiban

meningkatkan pencapaian akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam

membentuk karakter peserta didik. Namun,tuntutan ekonomi dan politik

pendidikan menyebabkan penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan

idealitas peran sekolah dalam pembentukan karakter.

Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate us of all

dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita

secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu

pengembangan karakter dengan optimal). Hal ini berarti untuk mendukung

perkembangan karakterpeserta didik harus melibatkan seluruh komponen di

sekolah baik dari aspek isi (the content of the curriculum), proses

pembelajaran (the procces of instruction), kualitas hubungan (the quality of

relationships), penanganan mata pelajaran (the handlingof discipline),

pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta etos seluruh lingkungan sekolah

(Zubaedi, 2011:14).11

Menurut David Elkind dan Freddy Sweet (dalam Zubaedi, 2011:15)

character education is the deliberate effort to help people understand, care

about, and act upon core ethical value (pendidikan karakter adalah usaha

sengaja (sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli, dan

11
Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam lembaga
Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), h. 34.
17

melaksanakan nilai-nilai etika inti). Ketika kita berpikir tentang jenis karakter

yang kitainginkan bagi anak-anak, maka jelas bahwa kita mengharapkan

mereka mampu menilai apakah kebenaran, peduli secara sungguh-sungguh

terhadap kebenaran, dan kemudian mengerjakan apa yang diyakini sebagai

kebenaran, bahkan ketika menghadapi tekanan dari luar dan upaya dari dalam.

Karakter didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin (dalam Ahmad Tafsir,

2011) mengandung tiga unsur pokok,yaitu mengetahui kebaikan (knowing the

good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing

the good). Dalam pendidikan karakter kebaikan itu sering kali dirangkum

dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, maka pendidikan karakter

adalah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar baku.

Upaya inijuga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai

pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada

tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan yang penting

yang mencakup perkembangan sosial siswa.12

Homby dan Parnwell (dalam Ahmad Tafsir, 2011) karakter adalah

kualitas mental, kekuatan moral, nama atau reputasi. Hermawan Kertajaya

mendefinisikan karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda

atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar padakepribadian

benda atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong bagaimana

seorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespon sesuatu.13

12
Ahmad Tafsir. Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 23.

13
Ahmad Tafsir. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, h. 26.
18

Dinamika pemahaman pendidikan karakter berproses melalui tiga

momen: momen historis, momen reflektif, dan momen praktis. Momen

historis, yaitu usaha merefleksikan pengalaman umat manusia yang bergulat

dalam menghidupi konsep dan praksis pendidikan khususnya dlam jatuh

bangun mengembangkan pendidikan karakter bagi anak didik sesuai dengan

konteks zamannya. Momen reflektif, sebuah momen yang melalui pemahaman

intelektualnya manusia mencoba melihat persoalan metodologis, filosofis, dan

prinsipil yang berlaku bagi pendidikan karakter. Momen praktis, yaitu dengan

bekal pemahaman teroretis konseptual itu, manusia mencoba menemukan

secara efektif agar proyek pendidikan karakter dapat efektif terlaksana di

lapangan (Masnur Muslich, 2011).14

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan

pendidikan karakter.

1. Keberhasilan pendidikan karakter dapat diketahui melalui beberapa

faktor pendukung sebagai berikut:

a. Mengamalkan ajaran agama sesuai dengan tahap perkembangan

remaja.

b. Memahami kekurangan dan Kelebihan diri sendiri, Menunjukkan

sikap percaya diri.

c. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku di lingkungan yang

lebih luas.

14
Masnur Muslich. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h.
19

d. Menghargai keberagaman beragama, Menunjukkan kemampuan

berpikir logis,kritis, dan kreatif.

e. Terbentuknya budaya sekolah yang kondusif.

2. Faktor penghambat sebagai bagian dari kegagalan pendidikan karakter,

antara lain:

a. Adanya pengaruh negatif Televisi.

b. Dampak pergaulan bebas.

c. Dampak buruk tempat wisata.

d. Mengaungkan Hedonisme.

e. Hilangnya jiwa perjuangan dan pengabdian.

f. Lebih suka menjadi konsumen dari pada produsen.

g. Suka memburu tren negatif.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai


tantangan yang dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal.
Dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman, diperlukan adanya
penyempurnaan pola dan penguatan tata kelola kurikulum serta pendalaman
dan perluasan materi.

Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta

masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi

pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra

sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah.

Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of

school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari

seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu pengembangan karakter dengan

optimal).

20
DAFTAR RUJUKAN

Aqib Zinal. Menjadi Guru Profesional Berstandar Nasional, Bandung: Yrama

Widya, 2009.

Nasution Wahyuddin Nur. Teori Belajar dan Pembelajaran, Medan: Perdana

Publishing, 2011.

Yusuf Syamsu & Sugandhi Nani. Perkembangan Peserta Didik, Cet. III; Jakarta:

Rajawali Press, 2012.

Ahmadi Abu & Supriyono Widodo. Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta,
1991.

Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah

(Buku 1). Jakarta : Depdiknas.

Depdiknas. 2001. Partisipasi Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan

Pendidikan dan Komite Sekolah.

Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis

Multidimensional, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.

Tafsir, Ahmad. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011.

Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam lembaga

Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011.

https://www.scribd.com/doc/91636836/Kebijakan-Wajib-Belajar-12-Tahun.

21

Vous aimerez peut-être aussi