Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
AIK III
2012
Disusun oleh :
Dunia pendidikan kita ternyata masih jauh dari harapan. Baik media pendidikan,
kualitas pendidikan, pengajar dan pelajar serta fasilitas belajar mengajar yang belum saling
mendukung. Orientasi dunia belajar mengajar belum memberikan efek yang positif bagi
prilaku, budaya ilmiah, baik itu membaca dan menulis serta sederetan aktivitas keilmuan
lainnya. Akhirnya, berita tawuran, berita seks bebas serta penyalahgunaan narkoba
menjadi berita yang tidak asing di dunia pendidikan kita.
Pertanyaan sederhananya, apa tujuan menyekolahkan anak secara formal? Hal ini
setidaknya akan melanjutkan fase ontologisnya pencarian hakikat tujuan bersekolah.
Sebab tingginya jenjang pendidikan yang dijalani tidak atau belum menjamin kualitas diri
kemanusiaan orang tersebut. Bagusnya kualitas sebuah sekolah yang dimasuki ternyata
juga tidak menjamin keberhasilan seseorang tersebut. Meski ukuran keberhasilan akan
sangat relative.
Tidak salah jika dikatakan bahwa "budaya mengikat keberlangsungan sesuatu pada
masanya" artinya, berlangsungnya kehidupan masyarakat akan mengikuti nilai budaya
yang sedang berkembang pada masa itu. Oleh karenanya, tidak akan representative jika
dilakukan perbandingan kualitas pendidikan pada masa lalu dengan masa sekarang serta
ramalan pendidikan masa akan datang. Sebab, budaya yang mengikat masa lalu, kini dan
akan datang pasti akan berbeda.
Jika kita mendengar cerita orang orang yang bersekolah di era tahun 60 hingga 70-
an, akan tergambar secara umum tentang keseriusan, keinginan bersekolah yang sangat
antusias dari masyarakat ketika itu. Terlebih ketika bercerita tentang persaingan antara
sekolah yang berada di bawah naungan Belanda pada tahun 50-an dengan sekolah pribumi
yang hanya mengandalkan guru guru lokal. Tetap akan ada usaha untuk merasa seimbang
tanpa melihat kasta tersebut. Nilai yang terbudaya di era 60 hingga 70 an menggambarkan
suasana pendidikan formal yang jauh dari nuansa glamour dan pendidikan yang terkesan
"formalitas". Itu dulu, pendidikan Indonesia saat ini tentunya telah jauh mengalami
perkembangan.
Meski informasi yang didapat Pak Farid menyebutkan bahwa Indonesia masih
berada diurutan ke 40 dari 40 negara dalam hal matematika dan IPA. Namun, beberapa
dari pelajar Indonesia telah menunjukkan hasil positif dengan meraih juara di tingkat
internasional. Sebuah prestasi yang harus menjadi kebanggaan dan motivasi untuk
meningkatkannya terus. Namun, ada hal yang perlu di evaluasi bersama tentang
pendidikan yang terbudaya terhadap pelajar dan proses belajar mengajar kita di Indonesia
ini. Hal ini yang akhirnya mengikat nilai pendidikan kita sesuai dengan masanya. Sesuatu
yang terbudaya tersebut antara lain budaya glamour, budaya hura hura, budaya rutinitas
yang tak berpendidikan serta budaya " formalitas " yang sekarang sering disandingkan di
beberapa fasilitas pendidikan di Indonesia. Kastaisasi pendidikan saat ini juga seolah mulai
terbudaya. Bahkan ada kesan ini sekolah untuk kelas menengah keatas, dan ini pendidikan
untuk sekolah menengah kebawah. Pendidikan yang terbudaya seiring waktu dan masa
yang berlaku. Jika ini menjadi sebuah kepatutan, maka jangan salahkan ada pendidikan
yang berkualitas dan tidak berkualitas. Maka tidak heran jika tuntutan anak anak saat ini
bukan lagi pada hal yang sifatnya menambah kualitas pendidikan, namun tuntutan fasilitas
pendidikan. Mulai dari handphone yang saat ini semua kalangan bebas umur memakai alat
komunikasi tersebut.
Dari handphone tersebutlah sekarang justru banyak menyebar virus yang tidak
mendidik. Gambar porno,video porno, dan segala macam yang memang jauh dari nilai nilai
pendidikan. Tuntutan kenderaan, baik roda dua maupun empat. Maka tidak jarang dilihat
seorang pelajar SMP dan SMU sudah mengendarai motor dan mobil. Tuntutan uang saku
yang berlebih untuk biaya nongkrong dengan teman teman juga menjadi sebuah
pendidikan yang terbudayakan di tengah tengah dunia pendidikan kita.
Siapa yang disalahkan untuk kasus ini. Budaya, sekolah pengajar, pelajar atau orang
tua dan pemerintah juga ikut bertanggung jawab atas pendidikan yang terbudaya tersebut.
Para pelajar baik di tingkat menengah atas dan bahkan di tingkat perguruan tinggi saat ini
seakan sudah memiliki rutinitas dan aktivitas sendiri dalam membangun paradigm tentang
sebuah sekolah. Sekolah seakan tidak lagi sebagai tempat belajar, menuntut ilmu
pembenahan prilaku, pembenahan spiritual. Namun sekolah tempat berteman,
bergaul, mencari popularitas dan bahkan sekolah sudah ada menjadi tempat transaksi
narkoba dan seks bebas. Istilah ayam kampus justru lahir di tengah tengah kampus. Ini
menandakan pendidikan yang terbudaya melalui budaya yang berkembang selama ini.
Indonesia secara umum mengenal dua model system pendidikan, pertama model
pendidikan nasional dan dua model pendidikan local. Model pendidikan nasional
artinya system pendidikan yang kurikulum, penilaian, pengawasan dan untuk
mengukur taraf pendidikan bangsa dikelola, diawasi oleh Negara. Sedangkan
pendidikan local merupakan pendidikan yang dikembangkan oleh individu-individu
masyarakat baik kurikulum, system penilaian bahkan evaluasinya. Dalam kaitan dengan
pengertian ini, maka tulisan ini igin melihat potret umum kedua pendidikan terutama
pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Negara dan pendidikan non formal yang
diselenggarakan oleh pesantren.
Ditilik dari perjalanannya maka pendidikan pesantren sebenarnya jauh telah ada
sebelum Negara Indonesia lahir, sedangkan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh
Negara baru berkembang pesat pada kira-kira tahun 70-an. Pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat masa itu mengalami kejayaannya baik dari sisi jumlah
murid maupun kualitasnya, tetapi semenjak dibukanya secara besar-besaran program
sekolah negeri dan pendanaan yang dicurahkan untuk sekolah negeri termasuk model
sekolah inpres maka lambat laun sekolah masyarakt ini banyak yang tenggalam dan nota
bene merupakan sekolah-sekolah Islam.