Vous êtes sur la page 1sur 3

Dominasi lingkungan dan kekerasan di Indonesia

“Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan”-Durruti. Slogan tersebut
menjadi agitasi tersendiri bagi kelompok anarkisme yang setiap kali dalam bertindak selalu
menjadi hal yang tidak relevan dengan paradigma ideal masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara saat ini. Dalam kurung waktu beberapa tahun ini, begitu banyak fenomena dan
peristiwa yang mempertontonkan tindakan-tindakan kekerasan baik itu dikemas dalam bentuk
aksi demonstrasi, tawuran hingga pertikaian kelompok. Ironisnya, pertunjukan tersebut secara
bebas menjadi komsumsi khalayak yang tidak mengenal usia, sehingga hal tersebut yang tentu
menjadi hegemoni tertutup (meminjam istilah Gramschi) bagi para remaja dan anak-anak untuk
melakukan tindakan yang sama yang mana belum memiliki filterisasi yang memadai.

Potensi Dominasi Lingkungan

Fenomena tersebut akan terus berefek domino ketika kita tak mampu mengurai akar masalah
hingga dapat mengambil tindakan preventif atas setiap prilaku-prilaku kekerasan yang sering
terjadi. Mengutip dalam buku Sosiology lingkungan karya Rachmad K. Dwi Susilo di kajian
dominasi lingkungan kita akan menemukan korelasi antara kondisi lingkungan dengan tindakan
atau prilaku kekerasan di masyarakat. Ibnu khaldun menjelaskan dalam Madjid Fakhry bahwa
bentuk- bentuk persekutuan hidup manusia muncul sebagai akibat dari interaksi iklim, geografi,
dan ekonomi. Ketiga bagian dari lingkungan itu juga bersifat sangat menentukan corak
temperamen manusia.

Sementara itu, Donald L. Hardisty juga menyatakan bahwa lingkungan fisik memainkan peran
dominan sebagai pembentuk kepribadian, moral, budaya, politik dan agama. Pandangan tersebut
muncul tidak lepas dari asumsi bahwa tubuh manusia ada tiga komponen dasar yakni bumi, air,
dan tanah yang merupakan unsur-unsur penting lingkungan. Adanya komposisi yang berbeda
dari masing-masing komponen, menyebabkan perbedaan fisik, kepribadian dan tingkah laku
manusia. Sehingga teori ini dapat membenarkan watak-watak manusia. Mereka yang tinggal di
lingkungan beriklim panas, akan berwatak keras, temperamental, kasar dan pemalas. Sebaliknya
mereka yang tinggal di lingkungan yang beriklim dingin cenderung memiliki watak yang halus,
rajin dan lembut.

Indonesia sendiri, adalah wilayah yang secara geografis beriklim tropis, iklim tropis di Indonesia
bersifat panas yang menyebabkan munculnya dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Iklim
tropis terjadi di daerah panas dengan ketinggian antara 0-6000 meter dari permukaan laut.
Kondisi panas di Indonesia terus diperparah akibat pemanasan global, yang mengakibatkan suhu
rata-rata global dalam kurung waktu 50 tahun ini saja meningkat sebesar 2,5 derajat celcius.

Kondisi lingkungan Indonesia yang seperti ini, adalah kondisi yang mana dapat menjadi salah
satu faktor penyebab munculnya pertikaian-pertikaian dan prilaku kekerasan di tataran
masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kedua entitas tersebut dengan naïf kita
anggap saja sebagai sesuatu yang irrasional yang tidak memiliki hubungan ? ataukah hal tersebut
menjadi salah satu solusi dalam mengurai persoalan peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi
belakangan ini ?

Setelah mencoba untuk sedikit mengkaji akar dari permasalahan kekerasan yang marak terjadi di
Indonesia belakangan ini seperti tawuran antar mahasiswa di berbagai universitas negeri dan
swasta, tawuran antar pelajar/siswa di beberapa sekolah di kota Jakarta, aksi demostrasi yang
berujung pada kerusuhan dan pertikaian kelompok masyarakat yang hampir terjadi di seluruh
wilayah Indonesia, penulis menemukan beberapa variabel yang menjadi pemicu perilaku-
perilaku tersebut. Seperti misalnya, disorientasi pendidikan, demokrasi Indonesia yang masih
mencari bentuk idealnya, kepemimpinan bangsa yang kehilangan kepercayaan publik, supremasi
hukum yang setengah-setengah serta tentu lebih jauh penulis menemukan dominasi lingkungan
yang membentuk watak kekerasan di Indonesia.

Di permukaan mungkin kita akan mudah meletakkan pendidikan, demokrasi, kepemimpinan


bangsa dan aparat penegak hukum yang setengah-setengah sebagai pihak yang patut bertanggung
jawab atas perilaku kekerasan yang terjadi, sebab secara empiris dan sederhana kita terlalu
banyak mengkomsumsi opini dominan tentang disorientasi pendidikan, ketidakberesan
pemerintah, ketidaktegasan aparat penegak hukum dan kelemahan demokrasi yang sebenarnya
hal tersebut hanya bersembunyi dibalik agenda pertarungan-pertarungan politik yang tiada
hentinya. Terlepas dari hal tersebut diatas, kita mesti juga melihat variabel yang juga menjadi
pendukung munculnya tindakan-tindakan kekerasan, bahwa lingkungan juga memiliki peran
dalam membentuk karakter kepribadian dan watak manusia. Pertanyaan kemudian yang muncul
adalah bagaimana membentuk karakter kepribadian dan watak yang lembut, halus dan rajin
masyarakat Indonesia yang berada dalam lingkungan beriklim panas ?

Menjaga lingkungan dan membentuk karakter masayarakat

Dalam kurung waktu beberapa tahun ini, Indonesia berada dalam kondisi cuaca yang tidak
menentu. Hal tersebut akibat adanya perubahan iklim yang secara ekstrem terjadi di seluruh
belahan dunia. Sebagai salah satu contoh, Indonesia sebagai Negara yang memiliki hutan tropis
terluas di Asia, bahkan hutan Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia, yang mana 57%
dari luas daratan Indonesia berwujud hutan. Mirisnya Indonesia juga menempati peringkat
pertama di dunia dalam hal kerusakannya akibat laju deforestasi yang tak pernah berhenti demi
kepentingan kaum pemodal.

Dengan hutan sebesar itu, Indonesia mampu menciptakan kondisi lingkungan yang bersahabat
dan tidak panas, dengan catatan semua stakeholder ekonomi, Politik dan pemerintah mampu
mendukung hal tersebut. Ketika semua stakeholders bisa lebih sadar dalam memanfaatkan alam,
maka dengan itu pula kita dapat menciptakan lingkungan yang bersahabat yang dapat
memberikan keuntungan pada dua hal yaitu, pelestarian alam demi menjaga kehidupan makhluk
hidup di sekitarnya dan secara tidak langsung membentuk karakter manusia yang halus dan
lembut. Jauh di alam bawah sadar kita lingkungan yang asri dan bersahabat itu mempengaruhi
pembentukan karakter kepribadian manusia yang lebih halus dan lembut sehingga mampu
menekan peristiwa-peristiwa kekerasan yang sering terjadi di tataran masyarakat.
Ketidakpedulian kita terhadap pelestarian alam dan lingkungan adalah salah satu efek yang
bersifat latensi terhadap munculnya karakter-karakter dan watak keras masyarakat.

Apa yang penulis bahas diatas adalah upaya untuk mencoba memberikan satu perspektif yang
mungkin tidak begitu relevan dan taktis bagi masyarakat awam, tetapi penulis menganggap
bahwa kadang kita tidak begitu tuntas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa
termasuk kekerasan, hal tersebut disebabkan karena kita terlalu dini mengambil kesimpulan
dengan sangat sederhana tanpa memperhatikan sebab-sebab yang melatensi dari setiap kejadian
dan peristiwa yang terjadi, sehingga yang terjadi adalah persoalan-persoalan kekerasan yang ada
tak terselesaikan sampai ke akarnya. Oleh sebab itu, kepedulian kita terhadap lingkungan untuk
menghindari dominasi lingkungan yang secara tidak sadar membentuk karakter kepribadian dan
watak masyarakat dapat diminimalisir walaupun merupakan usaha yang keras dan membutuhkan
waktu yang relatif panjang untuk mewujudkan hal tersebut, paling tidak ada upaya untuk
menciptakan karakter masayarakat Indonesia yang halus dan lembut di masa depan.

Tentunya kesemua hal tersebut diatas masih sangat perlu untuk kemudian dikaji kembali menjadi
salah satu perspektif yang utuh untuk perbaikan kondisi kebangsaan kita, diluar berbagai
perspektif pendidikan, politik dan kebudayaan yang telah banyak kita komsumsi.

*Faursyah Rosyidin / Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makassar Timur, Pemerhati
Lingkungan.

Vous aimerez peut-être aussi