Vous êtes sur la page 1sur 19

Askep Fraktur Femur

January 10th, 2011

Askep Fraktur Femur


.

Definisi Fraktur Femur

Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang /
osteoporosis.

Anatomi Fisiologi Fraktur

Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur,
terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari
femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi
oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang
penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri
retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah
tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.

Klasifikasi Fraktur

Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :


1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
• Melalui kepala femur (capital fraktur)
• Hanya di bawah kepala femur
• Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
• Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil
/pada daerah intertrokhanter.
• Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter
kecil.

Patofisiologi Fraktur

Penyebab Fraktur Adalah Trauma


Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa
yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
• Osteoporosis Imperfekta
• Osteoporosis
• Penyakit metabolik

Trauma
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring
dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh
terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

Tanda Dan Gejala Fraktur

• Nyeri hebat di tempat fraktur


• Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
• Rotasi luar dari kaki lebih pendek
• Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis
pada fraktur terbuka, deformitas.

Penatalaksanaan Medik Fraktur

• X.Ray
• Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
• Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
• CCT kalau banyak kerusakan otot.

Traksi

Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu
sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.

Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila
tidak diteruskan dengan pemasangan gips.

Traksi Skeletal

Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan
metal.

Kegunaan Pemasangan Traksi

Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
• Mengurangi nyeri akibat spasme otot
• Memperbaiki dan mencegah deformitas
• Immobilisasi
• Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
• Mengencangkan pada perlekatannya.

Macam – Macam Traksi

Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.

Traksi Ekstension (Buck’s Extention)


Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk
immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.

Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi
nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal
pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.

Traksi khusus untuk anak-anak


Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen,
dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah
ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai
tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.

Askep Fraktur Femur


Pengkajian Keperawatan

1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat perjalanan penyakit
• Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan
• Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma
• Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak
• Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
• Kehilangan fungsi
• Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
• Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama
• Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita
• Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
• Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan
• Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di bawah tulang
yang fraktur sebelum dipindahkan
• Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema
2. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
- Deformitas yang nampak jelas
- Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
- Laserasi
- Perubahan warna kulit
- Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi
• Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
• Krepitasi
• Nadi, dingin
• Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

Diagnosa Keperawatan pada Fraktur Femur

1. Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak


2. Gangguan rasa nyaman: Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak,
pemasangan back slab, stress, dan cemas, Potensial infeksi sehubungan dengan luka terbuka.
3. Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri,
immobilisasi.
4. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengobatan sehubungan dengan
kesalahan dalam penafsiran, tidak familier dengan sumber informasi.
Rencana Keperawatan

Diagnosa 1
Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
Intervensi
Indenpenden:
a)Observasi tanda-tanda vital.
b)Mengkaji sumber, lokasi, dan banyaknya per darahan
c)Memberikan posisi supinasi
d)Memberikan banyak cairan (minum)
Kolaborasi:
a)Pemberian cairan per infus
b)Pemberian obat koagulan sia (vit.K, Adona) dan penghentian perdarahan dgn fiksasi.
c)Pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht)
Rasional:
a)Untuk mengetahui tanda-tanda syok sedini mungkin
b)Untuk menentukan tindak an
c)Untuk mengurangi perdarahan dan mencegah kekurangan darah ke otak.
d)Untuk mencegah kekurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang)
e)Pemberian cairan perinfus.
f)Membantu proses pembekuan darah dan untuk menghentikan perdarahan.
g)Untuk mengetahui kadar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.

Diagnosa 2
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan
cemas
Intervensi
Independen:
a) Mengkaji karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri
(0-10)
b) Mempertahankan immobilisasi (back slab)
c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas
Kolaborasi:
e) Pemberian obat-obatan analgesik
Rasional
a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindak annya.
b) Mencegah pergeseran tulang dan penekanan pada jaringan yang luka.
c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan mengurangi nyeri.
d) Untuk mempersiapkan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan
dilakukan.
e) Mengurangi rasa nyeri

Diagnosa 3
Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri,
immobilisasi.
Independen:
a) Kaji tingkat immobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang
immobilisasi tersebut.
b) Mendorong partisipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora, dll ).

c) Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang
tidak.

d) Membantu pasien dalam perawatan diri

e) Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.

f) Memberikan diit tinggi protein , vitamin , dan mineral.

Kolaborasi:

a) Konsul dengan bagian fisioterapi

Pasien akan membatasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak proposional)

b) Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memusatkan perhatian, meningkatkan


perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.
c) Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan mobilitas sendi, mencegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak
digunakan.
d) Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam mengontrol situasi,
meningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.
e) Bedrest, penggunaan analgetika dan perubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik
usus dan konstipasi.
f) Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi
biasanya terjadi penurunan BB (20 – 30 lb).
Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.

Untuk menentukan program latihan.

Diagnosa 4

Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan
kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.
Independen:
a) Menjelaskan tentang kelainan yang muncul prognosa, dan harapan yang akan datang.
b) Memberikan dukungan cara-cara mobilisasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh
bagian fisioterapi.
c) Memilah-milah aktifitas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.

d) Mengidentifikasi pelayanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga
(home care)
e) Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.

Rasional:

a) Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentukan pilihan.
b) Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses penyembuhan
sehingga keterlambatan penyembuhan disebabkan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.
c) Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya. (apakah
fisioterapi, perawat atau keluarga).
d) Membantu meng- fasilitaskan perawatan mandiri memberi support untuk mandiri.

e) Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu
disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien koopratif.

Daftar Kepustakaan

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Tags: askep fraktur, askep fraktur femur, fraktur femur

Askep Cedera Kepala


August 30th, 2010

Askep Cedera Kepala


Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Cedera Kepala

Pengertian Cedera Kepala


Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

Etiologi Cedera Kepala

 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

 Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

 Cedera akibat kekerasan.

Patofisiologi Cedera Kepala


Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua :

1. Cedera Kepala Primer


Adalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi –
decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak
c. Laserasi
2. Cedera Kepala Sekunder

Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul
setelah trauma.
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
a. Hipotensi sistemik
b. Hipoksia
c. Hiperkapnea
d. Udema otak
e. Komplikasi pernapasan
f. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):


1. Cedera Kepala Ringan

 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2. Cedera kepala Sedang

 GCS 9 – 12

• Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

 Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Cedera Kepala Berat

 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Proses-proses fisiologi yang abnormal:

- Kejang-kejang

- Gangguan saluran nafas

- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:

 edema fokal atau difusi


 hematoma epidural
 hematoma subdural
 hematoma intraserebral
 over hidrasi

- Sepsis/septik syok

- Anemia

- Syok

Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cedera otak dan sangat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.

Perdarahan yang sering ditemukan:

 Epidural hematom:

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya
pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh
darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa
jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.

Tanda dan gejala:

penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral,
pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

 Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Tanda dan gejala:

Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

 Perdarahan intraserebral

Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.

Tanda dan gejala:

Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi


pupil, perubahan tanda-tanda vital.
 Perdarahan subarachnoid:

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak,
hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Tanda dan gejala:

Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

Penatalaksanaan Cedera Kepala

Konservatif

 Bedrest total
 Pemberian obat-obatan
 Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.

Pengkajian Cedera Kepala

Breathing

Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi
perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes
atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena
aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

Blood:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat
vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).

Brain

Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat
cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai
batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :

 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan


masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
 Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, foto fobia.
 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
 Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
 Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan
kompresi spasmodik diafragma.
 Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi,
disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

Blader

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan
menahan miksi.

Bowel

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil),
kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya
proses eliminasi alvi.

Bone

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama
dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan
antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.

Pemeriksaan Diagnostik:

 CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran


ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

 Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan


otak akibat edema, perdarahan, trauma.
 X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
 Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
 Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.

Prioritas perawatan pada Cedera Kepala:

1. memaksimalkan perfusi/fungsi otak


2. mencegah komplikasi
3. pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
5. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi.

Diagnosa Keperawatan Pada Cedera Kepala:

1) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma);
edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)

2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.

3) Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit
neurologis).

4) Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.

5) Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan


kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.

6) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan
kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)

7) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.

8) Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang
hasil/harapan.

9) Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan,


tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

Rencana Tindakan Keperawatan Pada Cedera Kepala

1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung)

Tujuan:

 Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi


motorik/sensorik.

Kriteria hasil:
 Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi :

1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan


potensial peningkatan TIK.

Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah


serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.

2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.

Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.

Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan
apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara
persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).

4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.

Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat
mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan
peningkatan TIK.

5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.

Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi
jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat
mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan
berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.

6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.

Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan
istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.

7. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.


Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat
meningkatkan TIK.

8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.

Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan
oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.

9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan


fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.

10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume
darah serebral yang meningkatkan TIK.

11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif,
antipiretik.

Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan
edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema
jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik
untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan
metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.

Tujuan:

 mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi:

 bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi:

1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.


Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan
lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanis.

2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi
jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.

Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan


jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan
atau intubasi.

3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.

Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya


kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.

Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.

5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter,
warna dan kekeruhan dari sekret.

Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi
dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau
meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
cukup besar pada perfusi jaringan.

6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak
normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.

Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau
obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya
infeksi paru.

7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri

Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan
terapi.

8. Lakukan ronsen thoraks ulang.

Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang


misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
9. Berikan oksigen.

Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia.
Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.

10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut
tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan
membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan
(penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)

Tujuan:

Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi:

Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

Intervensi :

1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.

Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.

Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan
segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.

3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan kesadaran).

Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi


atau tindakan dengan segera.

4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus. Observasi karakteristik sputum.

Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko
terjadinya pneumonia, atelektasis.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.

Daftar Pustaka

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI –
Traumatologi , Surabaya.

Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita


dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press

Vous aimerez peut-être aussi