Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Anti depresan trisiklik merupakan anti depresan generasi pertama untuk mengatasi pasien
depresi. Belakangan ini kedudukan antidepresan trisiklik telah digeser oleh anti depresan baru
karena tolerir dengan lebih baik dan faktor keamanan. Pemberian antidepresan trisiklik secara
oral diserap dengan baik dan level puncak dalam plasma dicapai setelah 2-6 jam, namun
reaksi klinik optimun setelah 2-4 minggu pemberian.
A. Cara kerja
1. Menghambat uptake neurotransmitter
TCA menghambat ambilan norepinefrin dan serotonin neuron masuk ke terminal
saraf prasinaptik. Dengan menghambat jalan utama pengeluaran neurotransmitter,
TCA akan meningkatkan konsentrasi monoamin dalam celah sinaptik,
menimbulkan efek antidepresan. Teori ini dibantah karena beberapa pengamatan
seperti potensi TCA menghambat ambilan neorutransmitter sering tidak sesuai
dengan efek entidepresan yang dilihat di klinik. Selanjutnya, penghambatan
ambilan neurotransmitter terjadi segera setelah pemberian obat sedangkan efek
antidepresan TCA memerlukan beberapa waktu setelah pengebotan terus menerus.
Hal ini menunjukkan ambilan neurotransmitter yang menurun hanyalah satu
peristiwa awal yang tidak ada hubungan dengan efek antidepresan. Diperkiran
bahwa densitas reseptor monoamin dalam otak dapat berubah setelah 2-4 minggu
penggunaan obat dan mungkin penting dalam mulainya kerja obat.
2. Penghambatan reseptor
TCA juga menghambat reseptor serotonik, adrenergik, histamin dan muskarinik.
B. Kerja
TCA meningkstksn pikirsn, memperbsiki kewaspadaan mental, meningkatkan aktivitas
fisisk dan mengurangi angka kesakitan depresi utama sampai 50-70 % pasien.
Peningkatan perbaikan alam pikiran lambat, memerlukan 2 minggu atau lebih. Obat-obat
ini tidak menyebabkan stimulasi SSP atau peningktan pikiran pada orang normal.
Toleransi terhadap sifat antikolinergik TCA berkembang dalam waktu singkat. Beberapa
toleransi terhadap efek autonom TCA juga terjadi. Ketergantungan fisik dan psikologik
telah dilaporkan. Obat dapat digunakan untuk memperpanjang pengobatan depresi tanpa
kehilangan efektivitas.
C. Penggunaan dalam terapi
Antidepresan trisiklik efektif mengobati depresi mayor yang erat. Beberapa gangguan
panik juga responsif dengan TCA, imipramin telah digunakan untuk mengontrol
“ngompol” (kencing ditempat tidur) anak-anak (lebih tua dari 6 tahun) karena obat ini
menyebabkan kontraksi sfingter interna kandung kencing. Pada waktu ini digunakan
secara hati-hai karena terjadi aritmia jantung dan masalah kardiovaskuler lainnya yang
berbahaya. Indikasi TCA yaitu untuk depresi berat termasuk depresi psikotik kombinasi
dengan pemberian antipsikotik, depresi melankolik dan beberapa jenis ansietas.
Klomipramin banyak digunakan untuk gangguan obsesif kompulsif penggunaan lainnya
adalah untuk migren, sakit kepala, enuresis dan myeri kronik.
D. Farmakokinetik
1. Absorbsi dan distribusi
TCA mudah diabsorbsi peroral dan karena bersifat lipofilik, tersebar luas dan
mudah masuk SSP. Pelarutan lipid ini menyebabkan obat mempunyai waktu paruh
panjang, misalnya 4-17 jam untuk imipramin. Akibat berbagai variasi metabolisme
first pass pada hati, TCA mempunyai ketersediaan hayati yang rendah dan tidak
tetap. Karena itu, respons pasien digunakan untuk menenapkan dosis. Periode
pengobatan awal biasanya 4-8 minggu. Dosis dapat dikurangi perlahan kecuali bila
terjadi relaps.
2. Nasib
Obat-obat ini dimetabolisme oleh sistem mirosomal hati dan dikonjugasi dengan
asam glukuronat. Akhirnya, TCA dikeluarkan sebagai metabolit non-aktif melalu
ginjal.
E. Efek samping
1. Efek antimuskarinik
Penghambatn reseptor asetilkolin menyebabkan penglihatan kabur, xerostomi
(mulut kering), retensi urine, konstipasi dan memperberat galukoma dan epilepsi.
2. Kardiovaskular
Peningkatan aktivitas katekolamin menyebabkan stimulasi jantung berlebihan yang
dapat membahayakan jika takar lajak dari salah satu obat dimakan. Perlambatan
konduksi atrioventrikular di antara pasien tua yang depresi perlu mendapat
perhatian.
3. Hipotensi ortostatik
TCA menghambat reseptor a-adrenergik sehingga terjadi hipotensi ortostatik dan
takikardia yang refleks. Pada prkatik klinik, masalah ini sangat penting terutama
untuk orang tua.
4. Sedasi
Sedasi dapat menonjol, terutama selama beberapa minggu pertama pengobatan
5. Perhatian
Antidepresan trisiklik harus digunakan berhati-hati pada pasien mania depresi,
karena dapat menutupi tingkah maniak. Pemberian pada pasien usia lanjut dan
penderita kondisi medis lain khususnya penderita jantung juga harus berhati-hati.
Usia lanjut sangat sensitif terhadap efek samping berkaitan dnegan interaksi TCA
denga reseptor kolinergik dan alpha adrenergik sehingga menyebabkan pasien jatuh
dan patah tulang. Antidepresan trisiklik mempunyai indeks terapi yang sempit
sehingga berbahaya bila mengalami overdosis. Misalnya 5-6 kali dosis maksimal
harian imipramin dapat letal. Pasien depresi yang ingin bunuh diri harus diberikan
obat secara terbatas dan perlu dimonitor.
F. Cara pemberian
Pemberian TCA dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara bertahap setelah
7-10 hari tidak ada reaksi. Bila setelah 2 minggu masih tidak ada reaksi, dosis boleh
ditingkatkan lagi. Reaksi klinik mungin terlambat dan dicapai setelah 4 imnggu
pemberian. Pada usia lanjut dan pasien dengan gagal ginjal dan hepar, berikan dalam
dosis kecil dan titrasi yang lebih bertahap untuk meminimalkan toksisitas. Penghentian
obat secara mendadak dapat menyebabkan fenomena rebound pada efek samping
kolinergik, oleh karena itu, ................................................ secara bertahap sebanyak 25-50
mg setiap 3-7 hari.
Selective serotonin reuptake inhibitor
A. Penggunaan dalam terapi
SSRI sangat efektif digunakan untuk mengobati depresi dan beberapa jenis gangguan
cemas (misalnya gangguan obsesif konvulsif, gangguan panik dan sosial fobia). SSRI
juga efektif digunakan pada komorbiditas depresi dengan gangguan fisik, misalnya
penyakit jantung, kejang dan trauma kepala, stroke, demensia, penyakit parkinson, asma
glaukoma dan kanker.
B. Farmakokinetik
C. Efek samping
SSRI yang ada di Indonesia fluoxelin, paroxetin, fluvoxamin dan sertalin. SSRI diserap
baik dengan pemberian oral, level puncak dalam darah setelah 6 jam. Penyerapan di usus
tidak dipengaruhi oleh makanan. SSRI secara selektif menghambat ambilan kembali
serotonin dan dapat menyebabkan efek samping saluran cerna dan penundaan orgasme:
oabt ini relatif aman pada overdosis. Golongan antidepresan antagonis 5-HT 2
(nefazodone), SNRI (venlafaxine), NARI (reboxetine) dan NaSSA (mirtazapine) juga
menyebabkan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antidepresan trisiklik, dan
juga relatif aman pada overdosis.
Dizzines sementara, mengantuk, tremor, berkeringat, sakit kepala, mulut kering, diare,
mual, muntah, penurunan berat badan (sementara), difungsikan seksual. SSRI kadang-
kadang juga menyebabkan efek samping cemas dan insomnia ( fluoxetin), somnolen atau
mengantuk berat (paroxetin), diare (sertalin). Pada minggu pertama terapi dengan SSRI,
sering menimbulkan gejala cemas, gelisah, insomnia, dan gangguan pada pencernaan.
Apabila tidak dijelaskan kepada pasien bahwa gejala tersebut akan menghilang dengan
berlalunya waktu, pasien sering kali memperhatiakn obat. Pemberian benzodiazepin
sementara (misalnya alprazolam) dapat mengurangi lama dan beratnya gejala.
SSRI lebih lama dibandingkan dengan antidepresan TCA bila terjadi overdosis.
Penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan gejala yang bersifat sementara,
misalnya lemas, anggota gerak kesemutan, dizzines dan lain-lain. Fluoxetin dapat
menyebabkan hipoglikemia oleh karena itu pada pasien yang mendapat terapi insulin
harus ada penyesuaian dosis.
D. Cara pemberian
Pemberian SSRI dimulai dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap 2-3
minggu. Reaksi optimal didapat setelah 4-6 minggu. Pada pasien usia lanjut, disfungsi
ginjal dan hepar, diberiakn dosis rendah, dimulai dengan dosis tunggal 10 mg paa pagi
hari. Reaksi klinis setelah beberapa minggu pemberian. Dosis dapat ditingkatkan secara
bertahap setelah 2 mnggu pemberian menjadi 20 mg, 40 mg dan dosis maksimal adalah
60 mg. Untuk bulimia nervosa dosis awal 60 mg/hari.
E. Fluoksetin
a) Efek : fluoksetin merupakan contoh antidepresan yang selektif menghambat ambilan
serotonin. Fluoksetin sama manfaatnya dengan antidepresan trisiklik dalam
pengobatan depresi major. Obat ini bebas dari efek samping antidepresan trisiklik,
termasuk efek antikolinergik, hipotensi ortosiatik dan peningkatan barat badan.
Dokter umum yang banyak menulis resep antidepresan lebih menyukai fluoksetin
dibanding antidepresan trisiklik. Dengan demikian, fluoksetin sekarang paling
banyak diresepkan di AS sebagai antodepresan.
b) Penggunaan dalam terapi: indikasi utama fluoksetin. Yang lebih unggul daripada
antidepresan trisiklik, adalah depresi. Digunakan pula untuk mengobati bulimia
nervosa dan gangguan obsesif konvulsif. Untuk berbagai indikasi lain, termasuk
anoreksia nervosa, gangguan panik, nyeri neuropati diabetik dan sindrom
premenstrual.
c) Farmakokinetik: fluoksetin dalam terapi terdapat sebagai campuran R dan
enantiomer S yang lebih aktif. Kedua senyawa mengalami dementilasi menjadi
metabolit aktif, norfluoksetin. Fluoksetin dan norfluoksetin dikeluarkan secara
lambat dari tubuh dengan waktu paruh 1 sampai 10 hari untuk senyawa asli dari 3-30
hari untuk metabolit aktif. Dosis terapi fluoksetin diberikan oral dan konsentrai
plasma yang mantap tercapai setelah beberapa minggu pengobatan. Fluoksetin
merupakan inhibitor kuat untuk isoenzim sitokrom P-450 hati yang berfungsi untuk
mengeliminasi obat antidepresan trisiklik, obat neuroleptika dan beberapa obat
antiaritmia dan antagonis B-adrenergik. Sekitar 7% kulit putih tidak mempunyai
enzim P-450 sehingga metabolisme fluoksetin sangat lambat.
d) Efek samping yang sering diakibatkan fluoksetin disimpulkan. Efek-efek seperti
hilang libido, ejakulasi terlambat dan anorgasme barangkali sedikit dilaporkan
sebagai efek samping yang sering ditemukan dokter, dan tidak ditonjolkan dalam
daftar standar efek smaping. Takar jalak fluoksetin tidak menyebabkan aritmia
jantung tetapi dapat menimbulkan kejang. Misalnya, laporan pasien yang minum
overdosis fluoksetin (sampai 1200 mg dibanding 20 mg/hari sebagai dosis terapi)
kira-kira separuh diantaranya tidak memperlihatkan gejala. Antidepresan lain yang
mempengaruhi ambilan serotonin adalah trazodon, fluvoksamin, nefazodon,
paroksetin, sertralin dan venlafaksin. Obat-obat SSRRI ini berbeda dngean fluoksetin
dalam efek relatif pada ambilan serotonin dan norepinefrin. Obat-obat ini tidak lebih
efektif dari fluoksetin tetapi bentuk efek samping agak berbeda. Eliminsai obat antar
pasian (termasuk fluoksetin) bervariasi besar. Kegagalan dalam tolerasi salah satu
obat tidak perlu menghalangi percobaan SSRI lain.
Fluvoxamine : dosis awal untuk gangguan obsesif-konvulsif adalah 50
mg/hari. Dinaikkan secara bertahap 50 mg/hari setiap 4-7 hari. Dosis maksimum 300
mg/hari. Bila perlukan dosis melebihi 100 mg/hari maka dosis dibagi dlam 2 kali
pemberian untuk mengurangi efek samping.
Proxetin: dosis awal untuk depresi 20 mg dosis tunggal di pagi hari. Bila
reaksi kurang memadai setelahnpemberian 2-3 minggu dosis dapat dinaikkan 10
mg/hari sampai dosis maksimum 50 mg/hari. Dosis awal untuk gangguan panik 10
mg/hari, dosis tunggal di pagi hari ditingkatkan 10 mg/hari setiap minggu, dosis
maksimal 40 mg/hri. Dosis awal untuk gangguan osesif konvulsif, dosis tunggal 20
mg di pagi hari, ditingkatkan setiap mimggu 10 mg/hari sampai dosis maksimal 60
mg/hari. Dosis awal untuk gangguan fobia sosial 20 mg/hari, dosisi tunggal di pagi
hari, ditingkatkan 20 mg/hari minggu sampai dosis maksimal 60 mg./hari.
Sertralin: dosis awal 50 mg/hari diberikan sebagai dosis tunggal di pagi atau
sore ahri. Bila reaksi belum efektif setelah pemberian 1 minggu atau lebih, dosis
dapat dinaikkan secara bertahap sampai dosis maksimal 200 mg. Pada pasien usia
lanjut atau gagal ginjal dan hepar mulai dengan dosis 25 mg di pagi hari.
Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka waktu yang cukup
(sekitar 3 bulan) tidak eefektif, dapat beralih ke pilihan kedua, golongaan trisiklik, yang
spektrum anti depresinyajuga luas tetapi efek sampingnya relatif lebih berat.
Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spectrum anti
depresinya lebih sempit, dan juga efek samping lebih ringan dibandingkan trisiklik, yang
teringan adalah golongan MAOI.
Pemberian dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Eek sekunder (efek samping) : sekitar 12-24 jam
Waktu paruh : 12-48 jam (pemberiaan 1-2 kali perhari)
a. Initiating dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama minggu I.
Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari pada hari III dan IV,
100 mg/hari pada hari V dan VI.
b. Titrating dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis efektif
kmudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin150 mg/hari selama 7 sampai
15 hari (minggu II), kemudian minggu III 200 mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.
c. Stabilizig dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan.
Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai
dosis pemeliharaan.
d. Maintining dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis
pemelihaaraan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari.
e. Tappering dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari initiating
dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari...100 mg/hari seelama 1 minggu, 100
mg/hari...75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari...50 mg/hari selama 1 minggu,
50 mg/hari...25 mg/hari selama 1 minggu.
Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau kemudian
sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pada dosis
pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (singel dose one hour before sleep),
untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi
hari setelah sarapan. Pemberian obat anti depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh
karena “addection potential”-nya sangat minimal.
Kegagalan terapi
Kegagalan terapi pada umumnya disebabkan :
1. Kepatuhan pasien menggunakan obat (compliance), yang dapat hilang oleh karena
adanya efek samping, perlu diberikaan edukasi dan informasi
2. Pengaturan dosis obat belum adekuat
3. Tidak cukup lama mempertahankan pada dosis minimal
4. Dalam menilai efek obat terpengaruh oleh persepsi pasien yang tendensi negative,
sehingga penilaian menjadi “bias”.