Vous êtes sur la page 1sur 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena


mempengaruhi sistim urat syaraf dan otot. Gejala tetanus umumnya diawali
dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut)
bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher,
bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan
atas dan paha.
Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Clostridium
tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin.
Tetanospasmin menempel pada urat syaraf di sekitar area luka dan dibawa ke
sistem syaraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada
aktivitas normal urat syaraf. Terutama pada syaraf yang mengirim pesan ke otot.
Infeksi tetanus terjadi karena luka. Entah karena terpotong, terbakar, aborsi ,
narkoba (misalnya memakai silet untuk memasukkan obat ke dalam kulit) maupun
frosbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup di
sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi tempat
berkembang biaknya bakteria tetanus.
Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala
yang mulai timbul di hari ketujuh. Dalam neonatal tetanus gejala mulai pada dua
minggu pertama kehidupan seorang bayi. Walaupun tetanus merupakan penyakit
berbahaya, jika cepat didiagnosa dan mendapat perawatan yang benar maka
penderita dapat disembuhkan. Penyembuhan umumnya terjadi selama 4-6
minggu. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian dari
imunisasi DPT. Setelah lewat masa kanak-kanak imunisasi dapat terus dilanjutkan
walaupun telah dewasa. Dianjurkan setiap interval 5 tahun : 25, 30, 35 dst. Untuk
wanita hamil sebaiknya diimunisasi juga dan melahirkan di tempat yang terjaga
kebersihannya.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, maka rumusan


masalah makalah ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Apa definisi Tetanus?

2. Apa etiologi Tetanus?

3. Bagaimana tanda dan gejala Tetanus?

4. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi Tetanus?

5. Bagaimana stadium Tetanus?

6. Bagaimana prinsip-prinsip umum profilaksis untuk pasien Tetanus?

7. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien Tetanus?

8. Bagaimana tes sensitivitas terhadap ATS?

9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Tetanus?

1.3 Tujuan Penulisan


Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini
adalah.
1. untuk mengetahui definisi Tetanus,

2. untuk mengetahui etiologi Tetanus,

3. untuk mengetahui tanda dan gejala Tetanus,

4. untuk mengetahui patogenesis dan patofisiologi Tetanus,

5. untuk mengetahui stadium Tetanus,

6. untuk mengetahui prinsip-prinsip umum profilaksis untuk pasien


Tetanus,

2
7. untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien Tetanus,

8. untuk mengetahui tes sensitivitas terhadap ATS, dan

9. untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien Tetanus.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Tetanus

Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh


infeksi Clostridium tetani, pada kulit/ luka. Tetanus merupakan manifes dari
intoksikasi terutama pada disfungsi neuromuscular, yang disebabkan oleh
tetanospasmin, toksin yang dilepaskan oleh Clostridium tetani. Keadaan sakit
diawali dengan terjadinya spasme yang kuat pada otot rangka dan diikuti adanya
kontraksi paroksismal. Kekakuan otot terjadi pada rahang (lockjaw) dan leher
pada awalnya, setelah itu akan merata ke seluruh tubuh (Brook I, 2002).

2.2 Etiologi Tetanus

Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Kuman ini


banyak terdapat dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi, kuda, dan lain-
lain sehingga luka yang tercemar dengan kotoran hewan sangat berbahaya bila
kemasukan kuman tetanus. Tusukan paku yang berkarat sering juga membawa
clostridium tetani kedalam luka lalu berkembang biak. Bayi yang baru lahir ketika
tali pusarnya dipotong bila alat pemotong yang kurang bersih dapat juga
kemasukan kuman tetanus.

3
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh
genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini
mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-
mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya
tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang
dalam dengan perawatan yang salah.

2.3 Tanda dan Gejala Tetanus

 Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul:


1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaran
membuka mulut (trismus)
2. Pembengkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot:
a. Otot leher
b. Otot dada
c. Merambat ke otot perut
d. Otot lengan dan paha
e. Otot punggung, seringnya epistotonus
3. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
4. Iritabilitas
5. Demam
 Gejala penyerta lainnya:
1. Keringat berlebihan
2. Sakit menelan
3. Spasme tangan dan kaki
4. Produksi air liur
5. BAB dan BAK tidak terkontrol
6. Terganggunya pernapasan karena otot laring terserang

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Tetanus

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua


jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk,
luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan

4
sebagainya. Pada 60% dari pasien tetanus, port d’entre terdapat di daerah kaki
terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus sesudah
persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium tetani dapat
melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis
antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre,
bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai
tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan
kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di
daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam
eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam
percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan
tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk
berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik
terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf
motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat.
Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin
tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi,
lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri gram positif


anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu
setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa
inkubasi). Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi
sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke
seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut
akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk
otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal
dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan
secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum
tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari

5
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok
pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak
terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu
untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma
aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat
sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks
respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat
masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot
bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai
korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot
agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf
tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi
wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.

.1. 2.5 Stadium Tetanus

Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi


stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.

 Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :

Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm) belum ada kejang
rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang,
dan kejang spontan.

 Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :

Stadium 1 : trismus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
6
Stadium 4 : kejang spontan

2.6 Prinsip-Prinsip Umum Profilaksis Tetanus

 Pertimbangan individual penderita. Pada setiap penderita luka


harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis terhadap tetanus
dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka, dan riwayat imunisasi.
 Debridemen. Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi
jaringan yang nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua
jenis luka.
 Imunisasi aktif. Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap
tetanus) diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x
sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
 DPT (Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada
anak. Diberikan pada usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc
IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. Booster diberikan
pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 – 6 tahun 1
x 0,5 cc IM.
 Tetanus toksoid. Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang
diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. Booster (penguat)
diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar,
selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster di atas.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat
cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali
bila penderita telah mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi
dasar dalam 5 tahun, terakhir.
 Imunisasi Pasif. ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan
antitoksin bovine (asal lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda).
Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan
untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di
pasaran dengan nama Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang
dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS), sedang
untuk anak – anak adalah 125 IU per IM. Hypertet diberikan bila
penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.

7
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi
penderita, dan status imunisasi.
Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM,
jangan sekali – kali secara IV.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan
keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.

 Tindakan profilaksis
Belum IA atau Mendapat IA yang lengkap
Jenis Luka
sebagian 1 – 5 tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun
Ringan, bersih Mulai atau - Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
melengkapi IA toks.
0,5 cc hingga lengkap
Berat, bersih, atau ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
cenderung tetanus Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
Cenderung tetanus, ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
debrimen terlambat,m Toks. 0,5 cc ABT Toks. 0,5 cc
atau tidak bersih Hingga lengkap ABT ABT
 Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250
IU.
Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani

2.7 Penatalaksanaan Tetanus

1. Pemberian antitoksin tetanus. Pemberian serum dalam dosis


terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar 10.000 – 20.000
IU IM dan untuk anak – anak sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi

8
orang dewasa adalah sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak
sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5
hari berturut – turut.
2. Penatalaksanaan luka. Eksisi dan debridemen luka yang
dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi sera (pemberian
antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol. Luka
dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu di sekitar
luka dapat disuntikan ATS.
3. Pemberian antibiotika. Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis
yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM,
selama 5 hari, sedang untuk anak – anak adalah sebesar 50.000 IU/kg
BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan
tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x
500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk
vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk
membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak
ada lagi sumber eksotoksin.
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan
dengan susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan
saraf pusat akan menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS /
HTIG tak dapat menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya
eksotoksin baru maka sumbernya yaitu kuman clostridium tetani harus
dilumpuhkan, dengan antibiotik.
4. Penanggulangan Kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara
dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi
sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai
maka kejang dapat dicegah.
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang Dewasa
Fenobarbital Mula – mula 60 – 100 mg IM, 3 x 100 mg IM
(Luminal) kemudian 6 x 30 mg per oral.
Maksimum 200 mg/hari
Klorpromazin 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – mula IM, 3 x 25 mg IM
(Largactil) kemudian per oral

9
Diazepam Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB IM, 3 x 10 mg IM
(Valium) kemudian per oral 1,5 – 4 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 6 dosis
Klorhidrat - 3 x 500 – 100 mg per
rectal
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot
(muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini
hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit)
dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi.
5. Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde,
dengan asupan sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan sebesar
100 kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan nafas secara
teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda –
tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut
nadi, kecepatan pernapasan), trismus (diukur dengan cm setiap hari),
asupan / keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur,
elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke
bagian lain bila perlu.
6. Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan (1)
pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, (2) jalan
napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba
endotrakheal) atau lakukan trakheotomi berencana, (3) pemberian
oksigen.
Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang
teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.

2.8 Tes Sensitivitas terhadap ATS

Dilakukan untuk mengetahui apakah seorang penderita tahan terhadap


ATS hewan atau tidak. Untuk melakukan tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit
(skin test dan tes mata / eye test).
1. Tes kulit. Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata).
Caranya yaitu 0,1 cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan
NaC1 0,9 % menjadi 1 cc. Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah

10
diencerkan tadi pada lengan bawah sebelah voler secara intrakutan,
tunggulah selama 15 menit. Reaksi positif (penderita hipersensitif
terhadap serum) bila terjadi infiltrat / indurasi dengan diameter lebih
besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.
2. Tes mata. Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum
pada mata, tunggulah 15 menit. Reaksi positif bila mata merah dan
bengkak.
 Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan. Pada
penderita ini terdapat 3 kemungkinan, yaitu : (1) pemberian hypertet
(HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara desensitisasi (cara Besredka),
(3) ATS tidak diberikan.
 Desensitisasi cara Besredka
Adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap
penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal.
Dalam hal ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan
kemungkinan terjadinya tetanus pada luka besar. Pada cara Besredka ini,
pengawasan dilakukan bertahap. Bila timbul reaksi hebat, pemberian
tidak boleh diteruskan.
 Cara pemberiannya sebagai berikut :
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan
secara subkutanm tunggulah selama 30 menit.
2. Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc
akuades atau NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit.
Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda – tanda penderita
hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik), hentikan
pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid. Rawat
penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum
dapat disuntikkan secara intramuskuler.
Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan
harinya atau hari – hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut)
perlu dilakukan suntikan ulangan, maka cara Besredka tak perlu diulangi.
Pada cara Besredka, sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yag
diperlukan untuk menanggulangi syok anafilaktik tetap tersedi

11
2.9 Asuhan Keperawatan

1. PENGKAJIAN
(1) Anamnesa
* Biodata : Terjadi pada semua golongan umur.
* Keluhan Utama : Kesukaran membuka mulut, kejang.
* Riwayat Penyakit Sekarang : Klien datang ke Rumah Sakit paling
sering terjadi kekakuan rahang dan mulut terkunci kemudian otot
leher, Columnus Vertrebralis dan dinding abdomen serta diikuti
kejang menyeluruh.
* Riwayat Penyakit Dahulu : Adanya factor predisposisi terjadinya
Tetanus antara lain adanya luka, radang gigi, luka kotor, benda
asing dalam luka yang menyembuh, korek-korek telinga dalam.
* Riwayat Penyakit Keluarga : Adanya factor predisposisi
terjadinya tetanus antara lain pada ibu hamil yang tidak imunisasi
TT/ anak yang belum dapat imunisasi DPT.
(2) ADL (Activity Daily Live).
* Pola Nutrisi : Sering terjadi gangguan pemenuhan nutrisi karena
sukarnya membuka mulut dan gangguan menelan.
* Pola Istirahat Tidur : Tidur kurang dari kebutuhan dari kebutuhan
karena terjadi kejang yang terus menerus.
* Pola Eliminasi : Terjadi spasme pada sfingter kandung kemih,
sehingga mengakibatkan retensi urin.
* Pola Aktivitas : Keterbatasan aktivitas karena kekakuan otot dan
kejang.
* Pola Personal Hygiene : Klien tidak dapat mengurus dirinya
sendiri.
2. PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan Fisik
 Kepala, Wajah spasme, otot muka/ alis tertarik keatas,
sudut mulut tertarik keluar dan kebawah dan bibir tertekan kuat
pada gigi (risussardonikus), mata : foto fobia, mulut: kesukaran
menelan.

12
 Leher, Kaku kuduk sampai epistotonus (karena
ketergantungan otot erector truner).
 Dada, Terlihat tarikan interkostae, paru : spasme otot laring
dan otot pernafasan sehingga dapat menyebabkan gangguan
menelan dan asfiksia.
 Perut, Otot dinding perut tegang (kaku seperti papan)
kandung kencing teraba penuh.
 Ekstremitas, Spasme yang khas yaitu kaku dengan
epistotonus ekstremitas inferior dalam keadan eksterna lengan dan
tangan mengepal kuat.
 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laborat, Kurang menunjang dalam diagnosis,
pada pemeriksaan darah putih tidak didapatkan nilai yang spesifik,
leukosit dapat normal atau tidak meningkat.
 Pemeriksaan Mikrobiologi, Bahan diambil dari pus atau
jaringan nekrosis kemudian dibiakkan pada kultur, pada
pemeriksaan mikrobiologi PP hanya 30 % kasus ditemukan
Clostridium Tetani.

13
2. DIAGNOSA DAN IMTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan askep … jam Airway manajemenn
nafas tidak Status respirasi: terjadi kepatenan Bebaskan jalan nafas dengan posisi leher ekstensi jika memungkinkan.
efektif b/d jalan nafas dg KH:Pasien tidak Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
banyaknya scret sesak nafas, auskultasi suara paru Identifikasi pasien secara actual atau potensial untuk membebaskan jalan nafas.
mucus bersih, tanda vital dbn.  Pasang ET jika memeungkinkan
 Lakukan terapi dada jika memungkinkan
 Keluarkan lendir dengan suction
 Asukultasi suara nafas
 Lakukan suction melalui ET
 Atur posisi untuk mengurangi dyspnea
 Monitor respirasi dan status oksigen jika memungkinkan

Airway Suction
 Tentukan kebutuhan suction melalui oral atau tracheal
 Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction
 Informasikan pada keluarga tentang suction
 Masukan slang jalan afas melalui hidung untuk memudahkan suction
 Bila menggunakan oksigen tinggi (100% O2) gunakan ventilator atau rescution
manual.
 Gunakan peralatan steril, sekali pakai untuk melakukan prosedur tracheal suction.

14
 Monitor status O2 pasien dan status hemodinamik sebelum, selama, san sesudah
suction.
 Suction oropharing setelah dilakukan suction trachea.
 Bersihkan daerah atau area stoma trachea setelah dilakukan suction trachea.
 Hentikan tracheal suction dan berikan O2 jika pasien bradicardia.
 Catat type dan jumlah sekresi dengan segera
2 Nyeri akut Setelah dilakukan Asuhan Manajemen nyeri :
berhubungan keperawatan …. jam tingkat Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
dengan agen kenyamanan klien meningkat dg frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
injury: fisik KH:  Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
 Klien melaporkan nyeri Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
berkurang dg scala 2-3 sebelumnya.
 Ekspresi wajah tenang  Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
 klien dapat istirahat dan tidur pencahayaan, kebisingan.
 v/s dbn  Kurangi faktor presipitasi nyeri.
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..
 Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
 Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
 Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak
berhasil.

Administrasi analgetik :.
 Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.

15
 Cek riwayat alergi..
 Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
 Monitor TV
 Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.

3 Perfusi jaringan Setelah dilakukan askep … jam Perawatan sirkulasi : arterial insuficiency
tidak efektif b/d terjadi peningkatan Status Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi periper. (cek nadi
kerusakan sirkulasi priper,oedema, kapiler refil, temperatur ekstremitas).
transport Dg KH: Perfusi jaringan adekuat, Evaluasi nadi, oedema
oksigen melalui tidak ada edem palpebra, akral Inspeksi kulit dari luka
alveolar dan atau hangat, kulit tdk pucat, urin Palpasi anggota badan dengan lebih
membran kapiler output adekuat respirasi normal.  Kaji nyeri
 Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk memperbaiki sirkulasi.
 Berikan therapi antikoagulan.
 Rubah posisi pasien jika memungkinkan
 Monitor status cairan intake dan output
 Berikan makanan yang adekuat untuk menjaga viskositas darah
4 Ketidak Setelah dilakukan askep .. jam Managemen nutrisi
seimbangan terjadi peningkatan status nutrisi Kaji pola makan klien
nutrisi kurang dg KH:  Kaji kebiasaan makan klien dan makanan kesukaannya
dari kebutuhan Mengkonsumsi nutrisi yang Anjurkan pada keluarga untuk meningkatkan intake nutrisi dan cairan
tubuh b/d adekuat.  kelaborasi dengan ahli gizi tentang kebutuhan kalori dan tipe makanan yang

16
ketidakmampuan Identifikasi kebutuhan nutrisi. dibutuhkan
pemasukan b.d Bebas dari tanda malnutrisi.  tingkatkan intake protein, zat besi dan vit c
faktor biologis  monitor intake nutrisi dan kalori
 Monitor pemberian masukan cairan lewat parenteral.

Nutritional terapi
 kaji kebutuhan untuk pemasangan NGT
 berikan makanan melalui NGT k/p
 berikan lingkungan yang nyaman dan tenang untuk mendukung makan
 monitor penurunan dan peningkatan BB
 monitor intake kalori dan gizi

5 Gangguan sete lah dilakukan askep ... jam Mewasdai aspirasi


menelan status menelan pasien dapat  monitor tingkat kesadaran
berhubungan berfungsi  monitor status paru-paru
dengan  monitor jalan nafas
kerusakan  posisikan 900 /semaksimal mungkin
neuromuskuler  berikan makan dalam jumlah sedikit
otot menelan
 cek NGT sebelum memberikan makanan
 hindari memberikan makan bila masih banyak
 siapkan peralatan suksion k/p
 tawarkan makanan atau cairan yang dapat dibentuk menjadi bolus sebelum ditelan
 potong makanan kecil-kecil

17
 gerus obat sebelum diberikan
 atur posisi kepala 30-450 setelah makan
Terapi menelan
 Kolaborasi dengan tim dalam merencanakan rehabilitasi klien
 Berikan privasi
 Hindari menggunakan sedotan minum
 Instruksikan klien membuka dan menutup mulut untuk persiapan memasukkan
makanan
 Monitor tanda dan gejala aspirasi
 Ajarkan klien dan keluarga cara memberikan makanan
 Monitor BB
 Berikan perawatan mulut
 Monitor hidrasi tubuh
 Bantu untuk mempertahankan intake kalori dan cairan
 Cek mulut adakah sisa makanan
 Berikan makanan yang lunak.
6 Gangguan Setelah dilakukan askep .. jam Konstipation atau impaction management
eliminasi BAB pasien tdk mengalami konstipasi  Monitor tanda dan gejala konstipasi
berhubungan dg KH:  Monitor pergerakan usus, frekuensi, konsistensi
dengan  Pasien mampu BAB lembek  Identifikasi diet penyebab konstipasi
kerusakan tanpa kesulitan  Anjurkan pada pasien untuk makan buah-buahan dan makanan berserat tinggi
sensori motor  Mobilisasi bertahab
 Anjurkan pasien u/ meningkatkan intake makanan dan cairan

18
 Evaluasi intake makanan dan minuman
 Kolaborasi medis u/ pemberian laksan kalau perlu
7 Sindrom defisit Setelah dilakukan asuhan Bantuan perawatan diri
Self care b.d keperawatan …. jam kebutuhan Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
kelemahan, ps sehari hari terpenuhi dengan Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan
penyakitnya criteria hasil :  Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
 Pasien dapat melakukan aktivitas Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.
sehari-hari makan, moblisasi Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
secara minimal, kebersihan, Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
toileting dan berpakaian bertahap
 Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
 Kebersihan diri pasien terpenuhi
 Berikan reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam melakukan perawatan diri
sehari hari.
8 Kurang Setelah dilakukan askep … jam Mengajarkan proses penyakit
pengetahuan pengetahuan keluarga klien Kaji pengetahuan keluarga tentang proses penyakit
keluarga tentang meningkat dg KH:  Jelaskan tentang patofisiologi penyakit dan tanda gejala penyakit
penyakit dan Keluarga menjelaskan tentang Beri gambaran tentaang tanda gejala penyakit kalau memungkinkan
perawatannya penyakit, perlunya pengobatan Identifikasi penyebab penyakit
b/d kurang dan memahami perawatan  Berikan informasi pada keluarga tentang keadaan pasien, komplikasi penyakit.
paparan dan Keluarga kooperativedan mau Diskusikan tentang pilihan therapy pada keluarga dan rasional therapy yang
keterbatasan kerjasama saat dilakukan tindakan diberikan.
kognitif
 Berikan dukungan pada keluarga untuk memilih atau mendapatkan pengobatan lain
yang lebih baik.
 Jelaskan pada keluarga tentang persiapan / tindakan yang akan dilakukan
9 Kerusakan Setelah dilakukan askep … jam, Mendengar aktif:

19
komunikasi kemamapuan komunikasi verbal jelaskan tujuan interaksi
verbal b.d meningkat, dg KH:  Perhatikan tanda non verbal klien
penurunan Penggunaan isyarat  Klarifikasi pesan bertanya dan feedback.
sirkulasi ke otak. Nonverbal  Hindari barrier/ halangan komunikasi
Penggunaan bahasa tulisan,
gambar Peningkatan komunikasi: Defisit bicara
 Peningkatan bahasa lisan  Libatkan keluarga utk memahami pesan klien
 Sediakan petunjuk sederhana
 Perhatikan bicara klien dg cermat
 Gunakan kata sederhana dan pendek
 Berdiri di depan klien saat bicara, gunakan isyarat tangan.
 Beri reinforcement positif
 Dorong keluarga utk selalu komunikasi denga klien

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Tetanus (rahang terkunci [lockjaw]) adalah penyakit akut, paralitik yang


disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gambaran penyakit ini berupa : trismus (kaku pada
rahang~sulit membuka rahang bawah), rhesus sardonicus (muka seperti monyet
meringis), kaku kuduk (leher kaku, tidak bisa untuk mengangguk), opistotonus
(badan kaku seperti busur), kaku perut, kejang, dan kemungkinan adanya luka
sebagai tempat masuknya kuman. Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah
yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan kebersihan dan perawatan
luka yang buruk.
Pengobatannya dengan merawat pasien di ruang yang tenang, kemudian
diberikan Anti Tetanus Serum (ATS) sesuai berat badannya secara intravena dan
sisanya intramuscular. Kejang diatasi dengan pemberian anti kejang (misal
diazepam) secara intravena. Juga diberikan antibiotika. Perawatan pasien ini
mungkin melibatkan berbagai bidang kedokteran, misalnya penyakit dalam,
bedah, gigi, dan THT.

3.2 Saran

Saran dan kritik untuk perbaikan makalah ini sangat penulis harapkan
dari semua pihak khususnya rekan-rekan mahasiswa dan dosen mata kuliah ini.
Hal tersebut bertujuan untuk memberikan masukan untuk penulisan makalah-
makalah berikutnya.

21
DAFTAR RUJUKAN

Brook, I., 2002. Pediatric Anaerobic Infections : Diagnosis and Management 3th
edition, Marcell-Dekker, Inc. : New York, p. 531-544

Dr. Rusepno Hasan, dkk. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jilid II. Cetakan kesebelas Jakarta.

Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. 2000. Dalam Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Hal.1004-07 Edisi 15. Jakarta : EGC.

22

Vous aimerez peut-être aussi