Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
2
7. untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien Tetanus,
BAB II
PEMBAHASAN
3
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh
genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini
mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-
mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya
tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang
dalam dengan perawatan yang salah.
4
sebagainya. Pada 60% dari pasien tetanus, port d’entre terdapat di daerah kaki
terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus sesudah
persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium tetani dapat
melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis
antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre,
bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai
tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan
kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di
daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam
eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam
percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan
tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk
berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik
terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf
motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat.
Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin
tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi,
lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.
5
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok
pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak
terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu
untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma
aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat
sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks
respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat
masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot
bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai
korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot
agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf
tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi
wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm) belum ada kejang
rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang,
dan kejang spontan.
Stadium 1 : trismus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
6
Stadium 4 : kejang spontan
7
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi
penderita, dan status imunisasi.
Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM,
jangan sekali – kali secara IV.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan
keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Tindakan profilaksis
Belum IA atau Mendapat IA yang lengkap
Jenis Luka
sebagian 1 – 5 tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun
Ringan, bersih Mulai atau - Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
melengkapi IA toks.
0,5 cc hingga lengkap
Berat, bersih, atau ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
cenderung tetanus Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
Cenderung tetanus, ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
debrimen terlambat,m Toks. 0,5 cc ABT Toks. 0,5 cc
atau tidak bersih Hingga lengkap ABT ABT
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250
IU.
Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani
8
orang dewasa adalah sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak
sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5
hari berturut – turut.
2. Penatalaksanaan luka. Eksisi dan debridemen luka yang
dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi sera (pemberian
antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol. Luka
dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu di sekitar
luka dapat disuntikan ATS.
3. Pemberian antibiotika. Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis
yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM,
selama 5 hari, sedang untuk anak – anak adalah sebesar 50.000 IU/kg
BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan
tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x
500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk
vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk
membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak
ada lagi sumber eksotoksin.
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan
dengan susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan
saraf pusat akan menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS /
HTIG tak dapat menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya
eksotoksin baru maka sumbernya yaitu kuman clostridium tetani harus
dilumpuhkan, dengan antibiotik.
4. Penanggulangan Kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara
dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi
sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai
maka kejang dapat dicegah.
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang Dewasa
Fenobarbital Mula – mula 60 – 100 mg IM, 3 x 100 mg IM
(Luminal) kemudian 6 x 30 mg per oral.
Maksimum 200 mg/hari
Klorpromazin 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – mula IM, 3 x 25 mg IM
(Largactil) kemudian per oral
9
Diazepam Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB IM, 3 x 10 mg IM
(Valium) kemudian per oral 1,5 – 4 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 6 dosis
Klorhidrat - 3 x 500 – 100 mg per
rectal
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot
(muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini
hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit)
dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi.
5. Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde,
dengan asupan sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan sebesar
100 kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan nafas secara
teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda –
tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut
nadi, kecepatan pernapasan), trismus (diukur dengan cm setiap hari),
asupan / keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur,
elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke
bagian lain bila perlu.
6. Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan (1)
pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, (2) jalan
napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba
endotrakheal) atau lakukan trakheotomi berencana, (3) pemberian
oksigen.
Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang
teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.
10
diencerkan tadi pada lengan bawah sebelah voler secara intrakutan,
tunggulah selama 15 menit. Reaksi positif (penderita hipersensitif
terhadap serum) bila terjadi infiltrat / indurasi dengan diameter lebih
besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.
2. Tes mata. Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum
pada mata, tunggulah 15 menit. Reaksi positif bila mata merah dan
bengkak.
Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan. Pada
penderita ini terdapat 3 kemungkinan, yaitu : (1) pemberian hypertet
(HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara desensitisasi (cara Besredka),
(3) ATS tidak diberikan.
Desensitisasi cara Besredka
Adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap
penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal.
Dalam hal ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan
kemungkinan terjadinya tetanus pada luka besar. Pada cara Besredka ini,
pengawasan dilakukan bertahap. Bila timbul reaksi hebat, pemberian
tidak boleh diteruskan.
Cara pemberiannya sebagai berikut :
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan
secara subkutanm tunggulah selama 30 menit.
2. Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc
akuades atau NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit.
Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda – tanda penderita
hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik), hentikan
pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid. Rawat
penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum
dapat disuntikkan secara intramuskuler.
Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan
harinya atau hari – hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut)
perlu dilakukan suntikan ulangan, maka cara Besredka tak perlu diulangi.
Pada cara Besredka, sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yag
diperlukan untuk menanggulangi syok anafilaktik tetap tersedi
11
2.9 Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
(1) Anamnesa
* Biodata : Terjadi pada semua golongan umur.
* Keluhan Utama : Kesukaran membuka mulut, kejang.
* Riwayat Penyakit Sekarang : Klien datang ke Rumah Sakit paling
sering terjadi kekakuan rahang dan mulut terkunci kemudian otot
leher, Columnus Vertrebralis dan dinding abdomen serta diikuti
kejang menyeluruh.
* Riwayat Penyakit Dahulu : Adanya factor predisposisi terjadinya
Tetanus antara lain adanya luka, radang gigi, luka kotor, benda
asing dalam luka yang menyembuh, korek-korek telinga dalam.
* Riwayat Penyakit Keluarga : Adanya factor predisposisi
terjadinya tetanus antara lain pada ibu hamil yang tidak imunisasi
TT/ anak yang belum dapat imunisasi DPT.
(2) ADL (Activity Daily Live).
* Pola Nutrisi : Sering terjadi gangguan pemenuhan nutrisi karena
sukarnya membuka mulut dan gangguan menelan.
* Pola Istirahat Tidur : Tidur kurang dari kebutuhan dari kebutuhan
karena terjadi kejang yang terus menerus.
* Pola Eliminasi : Terjadi spasme pada sfingter kandung kemih,
sehingga mengakibatkan retensi urin.
* Pola Aktivitas : Keterbatasan aktivitas karena kekakuan otot dan
kejang.
* Pola Personal Hygiene : Klien tidak dapat mengurus dirinya
sendiri.
2. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik
Kepala, Wajah spasme, otot muka/ alis tertarik keatas,
sudut mulut tertarik keluar dan kebawah dan bibir tertekan kuat
pada gigi (risussardonikus), mata : foto fobia, mulut: kesukaran
menelan.
12
Leher, Kaku kuduk sampai epistotonus (karena
ketergantungan otot erector truner).
Dada, Terlihat tarikan interkostae, paru : spasme otot laring
dan otot pernafasan sehingga dapat menyebabkan gangguan
menelan dan asfiksia.
Perut, Otot dinding perut tegang (kaku seperti papan)
kandung kencing teraba penuh.
Ekstremitas, Spasme yang khas yaitu kaku dengan
epistotonus ekstremitas inferior dalam keadan eksterna lengan dan
tangan mengepal kuat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laborat, Kurang menunjang dalam diagnosis,
pada pemeriksaan darah putih tidak didapatkan nilai yang spesifik,
leukosit dapat normal atau tidak meningkat.
Pemeriksaan Mikrobiologi, Bahan diambil dari pus atau
jaringan nekrosis kemudian dibiakkan pada kultur, pada
pemeriksaan mikrobiologi PP hanya 30 % kasus ditemukan
Clostridium Tetani.
13
2. DIAGNOSA DAN IMTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan askep … jam Airway manajemenn
nafas tidak Status respirasi: terjadi kepatenan Bebaskan jalan nafas dengan posisi leher ekstensi jika memungkinkan.
efektif b/d jalan nafas dg KH:Pasien tidak Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
banyaknya scret sesak nafas, auskultasi suara paru Identifikasi pasien secara actual atau potensial untuk membebaskan jalan nafas.
mucus bersih, tanda vital dbn. Pasang ET jika memeungkinkan
Lakukan terapi dada jika memungkinkan
Keluarkan lendir dengan suction
Asukultasi suara nafas
Lakukan suction melalui ET
Atur posisi untuk mengurangi dyspnea
Monitor respirasi dan status oksigen jika memungkinkan
Airway Suction
Tentukan kebutuhan suction melalui oral atau tracheal
Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction
Informasikan pada keluarga tentang suction
Masukan slang jalan afas melalui hidung untuk memudahkan suction
Bila menggunakan oksigen tinggi (100% O2) gunakan ventilator atau rescution
manual.
Gunakan peralatan steril, sekali pakai untuk melakukan prosedur tracheal suction.
14
Monitor status O2 pasien dan status hemodinamik sebelum, selama, san sesudah
suction.
Suction oropharing setelah dilakukan suction trachea.
Bersihkan daerah atau area stoma trachea setelah dilakukan suction trachea.
Hentikan tracheal suction dan berikan O2 jika pasien bradicardia.
Catat type dan jumlah sekresi dengan segera
2 Nyeri akut Setelah dilakukan Asuhan Manajemen nyeri :
berhubungan keperawatan …. jam tingkat Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
dengan agen kenyamanan klien meningkat dg frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
injury: fisik KH: Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
Klien melaporkan nyeri Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
berkurang dg scala 2-3 sebelumnya.
Ekspresi wajah tenang Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
klien dapat istirahat dan tidur pencahayaan, kebisingan.
v/s dbn Kurangi faktor presipitasi nyeri.
Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..
Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak
berhasil.
Administrasi analgetik :.
Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
15
Cek riwayat alergi..
Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
Monitor TV
Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
3 Perfusi jaringan Setelah dilakukan askep … jam Perawatan sirkulasi : arterial insuficiency
tidak efektif b/d terjadi peningkatan Status Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi periper. (cek nadi
kerusakan sirkulasi priper,oedema, kapiler refil, temperatur ekstremitas).
transport Dg KH: Perfusi jaringan adekuat, Evaluasi nadi, oedema
oksigen melalui tidak ada edem palpebra, akral Inspeksi kulit dari luka
alveolar dan atau hangat, kulit tdk pucat, urin Palpasi anggota badan dengan lebih
membran kapiler output adekuat respirasi normal. Kaji nyeri
Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk memperbaiki sirkulasi.
Berikan therapi antikoagulan.
Rubah posisi pasien jika memungkinkan
Monitor status cairan intake dan output
Berikan makanan yang adekuat untuk menjaga viskositas darah
4 Ketidak Setelah dilakukan askep .. jam Managemen nutrisi
seimbangan terjadi peningkatan status nutrisi Kaji pola makan klien
nutrisi kurang dg KH: Kaji kebiasaan makan klien dan makanan kesukaannya
dari kebutuhan Mengkonsumsi nutrisi yang Anjurkan pada keluarga untuk meningkatkan intake nutrisi dan cairan
tubuh b/d adekuat. kelaborasi dengan ahli gizi tentang kebutuhan kalori dan tipe makanan yang
16
ketidakmampuan Identifikasi kebutuhan nutrisi. dibutuhkan
pemasukan b.d Bebas dari tanda malnutrisi. tingkatkan intake protein, zat besi dan vit c
faktor biologis monitor intake nutrisi dan kalori
Monitor pemberian masukan cairan lewat parenteral.
Nutritional terapi
kaji kebutuhan untuk pemasangan NGT
berikan makanan melalui NGT k/p
berikan lingkungan yang nyaman dan tenang untuk mendukung makan
monitor penurunan dan peningkatan BB
monitor intake kalori dan gizi
17
gerus obat sebelum diberikan
atur posisi kepala 30-450 setelah makan
Terapi menelan
Kolaborasi dengan tim dalam merencanakan rehabilitasi klien
Berikan privasi
Hindari menggunakan sedotan minum
Instruksikan klien membuka dan menutup mulut untuk persiapan memasukkan
makanan
Monitor tanda dan gejala aspirasi
Ajarkan klien dan keluarga cara memberikan makanan
Monitor BB
Berikan perawatan mulut
Monitor hidrasi tubuh
Bantu untuk mempertahankan intake kalori dan cairan
Cek mulut adakah sisa makanan
Berikan makanan yang lunak.
6 Gangguan Setelah dilakukan askep .. jam Konstipation atau impaction management
eliminasi BAB pasien tdk mengalami konstipasi Monitor tanda dan gejala konstipasi
berhubungan dg KH: Monitor pergerakan usus, frekuensi, konsistensi
dengan Pasien mampu BAB lembek Identifikasi diet penyebab konstipasi
kerusakan tanpa kesulitan Anjurkan pada pasien untuk makan buah-buahan dan makanan berserat tinggi
sensori motor Mobilisasi bertahab
Anjurkan pasien u/ meningkatkan intake makanan dan cairan
18
Evaluasi intake makanan dan minuman
Kolaborasi medis u/ pemberian laksan kalau perlu
7 Sindrom defisit Setelah dilakukan asuhan Bantuan perawatan diri
Self care b.d keperawatan …. jam kebutuhan Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
kelemahan, ps sehari hari terpenuhi dengan Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan
penyakitnya criteria hasil : Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
Pasien dapat melakukan aktivitas Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.
sehari-hari makan, moblisasi Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
secara minimal, kebersihan, Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
toileting dan berpakaian bertahap
Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kebersihan diri pasien terpenuhi
Berikan reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam melakukan perawatan diri
sehari hari.
8 Kurang Setelah dilakukan askep … jam Mengajarkan proses penyakit
pengetahuan pengetahuan keluarga klien Kaji pengetahuan keluarga tentang proses penyakit
keluarga tentang meningkat dg KH: Jelaskan tentang patofisiologi penyakit dan tanda gejala penyakit
penyakit dan Keluarga menjelaskan tentang Beri gambaran tentaang tanda gejala penyakit kalau memungkinkan
perawatannya penyakit, perlunya pengobatan Identifikasi penyebab penyakit
b/d kurang dan memahami perawatan Berikan informasi pada keluarga tentang keadaan pasien, komplikasi penyakit.
paparan dan Keluarga kooperativedan mau Diskusikan tentang pilihan therapy pada keluarga dan rasional therapy yang
keterbatasan kerjasama saat dilakukan tindakan diberikan.
kognitif
Berikan dukungan pada keluarga untuk memilih atau mendapatkan pengobatan lain
yang lebih baik.
Jelaskan pada keluarga tentang persiapan / tindakan yang akan dilakukan
9 Kerusakan Setelah dilakukan askep … jam, Mendengar aktif:
19
komunikasi kemamapuan komunikasi verbal jelaskan tujuan interaksi
verbal b.d meningkat, dg KH: Perhatikan tanda non verbal klien
penurunan Penggunaan isyarat Klarifikasi pesan bertanya dan feedback.
sirkulasi ke otak. Nonverbal Hindari barrier/ halangan komunikasi
Penggunaan bahasa tulisan,
gambar Peningkatan komunikasi: Defisit bicara
Peningkatan bahasa lisan Libatkan keluarga utk memahami pesan klien
Sediakan petunjuk sederhana
Perhatikan bicara klien dg cermat
Gunakan kata sederhana dan pendek
Berdiri di depan klien saat bicara, gunakan isyarat tangan.
Beri reinforcement positif
Dorong keluarga utk selalu komunikasi denga klien
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Saran dan kritik untuk perbaikan makalah ini sangat penulis harapkan
dari semua pihak khususnya rekan-rekan mahasiswa dan dosen mata kuliah ini.
Hal tersebut bertujuan untuk memberikan masukan untuk penulisan makalah-
makalah berikutnya.
21
DAFTAR RUJUKAN
Brook, I., 2002. Pediatric Anaerobic Infections : Diagnosis and Management 3th
edition, Marcell-Dekker, Inc. : New York, p. 531-544
Dr. Rusepno Hasan, dkk. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jilid II. Cetakan kesebelas Jakarta.
Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. 2000. Dalam Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Hal.1004-07 Edisi 15. Jakarta : EGC.
22