Vous êtes sur la page 1sur 3

RESISTENSI ANTIBIOTIK

Sudah sering dong dengar istilah antibiotik? Pasti banyak pembaca juga yang sudah
pernah menggunakannya, terutama ketika sakit. Tapi sudah pernah dengar
resistensi antibiotik? Mungkin ada yang sudah pernah dengar dan ada juga yang
belum. Dan bagi yang sudah pernah dengar, tahu tidak kalau resistensi antibiotik
itu merupakan masalah serius?
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat melaporkan
kasus di mana seorang wanita dari Nevada meninggal akibat resistensi terhadap 26
jenis antibiotik. Resistensi terhadap antibiotik telah membunuh 700.000 orang di
seluruh dunia setiap tahun. Sekarang, untuk pertama kalinya, WHO akan
mempertimbangkan apakah perlu untuk memerangi ancaman ini, dan memutuskan
resistensi ini menjadi prioritas internasional atau justru diabaikan dari kebijakan.
Antibiotik adalah kelompok obat yang dimaksudkan untuk mengobati dan dalam
beberapa kasus dia digunakan untuk mencegah infeksi bakteri. Alexander Flaming,
penemu dari penicillin (Antibiotik pertama yang digunakan) menyadari bahwa
Antibiotik adalah obat yang berbeda dengan jenis obat yang lain. Obat ini bisa
kehilangan efikasinya seiring berjalannya waktu. Jadi, semakin sering orang
menggunakan Antibiotik, semakin cepat Antibiotik itu kehilangan efektifitasnya.
Dan penggunaan Antibiotik oleh seseorang, akan mempengaruhi efektifitas
Antibiotik itu terhadap orang lain.
Resistensi adalah kebalnya suatu organisme pada obat tertentu. Sehingga
gampangnya, orang yang terinfeksi bakteri yang resisten ini tidak akan bisa
disembuhkan dengan Antibiotik yang kuman itu resisten. Contohnya, bila
seseorang terinfeksi Escherichia coli yang resisten terhadap ampisilin, ko-
trimoksasol, kloramfenikol, siprofloksasin, dan gentamisin maka orang tersebut
harus mendapat pengobatan selain jenis Antibiotik yang sudah disebutkan. Dan itu
biasanya adalah Antibiotik dengan potensi yang lebih tinggi, dengan tingkat
keamanan yang masih diteliti, atau dengan harga yang lebih mahal.
Antibiotik, antifungi dan antivirus jelas berbeda. Oleh sebab itu penggunaannya
pun berbeda. Contoh sederhana, jika seseorang menderita influenza tapi diberikan
Amoxicillin, jelas tidak berguna karena influenza disebabkan virus sementara
Amoxicillin adalah antibakteri/antibiotik. Pun sebaliknya, jika seseorang menderita
infeksi saluran kemih karena bakteri tapi diberikan Acyclovir, tidak akan sembuh
karena infeksinya disebabkan bakteri dan bukan virus. Oleh sebab itu dalam
menggunakan antibiotik/antivirus/antifungi harus jelas dulu penyebabnya, baru
dokter akan meresepkan obat yang benar.
Tapi saat ini, tren swamedikasi (pengobatan oleh diri sendiri) sudah banyak
dilakukan masyarakat. Kita memilih tidak ke dokter melainkan langsung membeli
obat di apotek/toko obat (banyak faktor yang menyebabkan hal ini). Namun apa
yang terjadi ketika mereka membeli antibiotik? Tidak bisa dipungkiri, tidak semua
pasien mendapat informasi yang lengkap tentang penggunaan antibiotik dan tidak
semua pasien juga yang mengerti meski sudah dijelaskan.
Penggunaan antibiotik sangat bervariasi. Ada yang diminum tiga kali sehari selama
tiga sampai lima hari, ada yang diminum sekali sehari selama lima hari, ada juga
yang harus diminum hingga seminggu bahkan hingga enam bulan berturut-turut
(misalnya antituberculosis/TBC).
Lalu faktor apa saja yang menyebabkan resistensi antibiotik?
1. Dari sisi tenaga kesehatan (dokter/apoteker). Tidak semua dokter/apoteker
melakukan kewajibannya untuk memberikan penjelasan lengkap tentang
penggunaan antibiotik. Diminum kapan, berapa kali, berapa lama, dan
sebagainya
2. Dari sisi kepatuhan pasien. Ada pasien yang bandel dengan tidak menuruti
instruksi dokter/apoteker dalam mengkonsumsi antibiotik. Misalnya
seharusnya diminum hingga lima hari, tetapi karena setelah tiga hari pasien
sudah merasa sembuh, obat tidak dihabiskan. Padahal antibiotik harus
diminum sampai habis sesuai dengan yang diresepkan. Sudah begitu, ia
memberikan pula sisa antibiotik tersebut kepada anggota keluarganya yang
sakitnya mirip seperti dia. Biasanya yang menderita batuk, sering kali
seperti ini. Selain kepatuhan, ekonomi juga berpengaruh. Karena tidak
punya cukup uang, pasien tidak menebus seluruh obatnya. Jadi obat yang
diterima juga tidak lengkap.
Lalu apa setelah itu pasien langsung mengalami resisten? Tentu tidak. Kejadian
yang berulanglah yang akan menyebabkan pasien resisten. Ketika pasien tidak
menghabiskan antibiotiknya, mikrorganisme yang bertahan akan mengubah dirinya
sendiri menjadi lebih kuat. Jika seorang pasien sudah mengalami resistensi
antibiotik tertentu, maka akibatnya penyakit pasien tersebut akan lebih lama
sembuh, sehingga ia harus lebih sering kembali berobat ke dokter. Selain itu, ia juga
harus menggunakan antibiotik dari golongan yang lebih tinggi sehingga bisa jadi
biayanya akan lebih mahal. Itu pun jika antibiotiknya tersedia. Bagaimana jika
antibiotik yang golongannya lebih tinggi itu tidak tersedia dan masih dalam proses
pengembangan.
Lalu bagaimana cara mencegah resistensi antibiotik? Baik tenaga kesehatan
maupun pasien harus terlibat, antara lain:
1. Dokter/apoteker tidak boleh lupa dan diharuskan memberikan informasi
lengkap bagi pasien yang menggunakan antibiotik.
2. Jadilah pasien cerdas dan patuh. Jika diberi resep, tanya apakah ada
antibiotik dan pastikan Anda mengerti cara menggunakannya. Jika Anda
terpaksa membeli sendiri di apotek/toko obat (meskipun peraturannya
mengharuskan untuk menyertai resep dokter), tanya pada apotekernya
tentang cara penggunaannya. Jangan sekali-kali tidak menghabiskan obat
sesuai petunjuk tenaga kesehatan, apalagi sharing dengan orang lain. Perlu
diketahui juga, janganlah menganggap antibiotik seperti vitamin. Sakit
sedikit, minum antibiotik.
3. Pendamping pasien harus rajin mengingatkan pasien untuk meminum
obatnya secara teratur.
Efektifitas antibiotik untuk mengobati penyakit infeksi di dunia dapat dengan cepat
menurun. Obat yang kita gunakan untuk menangani infeksi semakin berkurang
kinerjanya. Jika kecenderungan ini terus berlanjut tanpa kita melakukan intervensi,
kita mungkin akan mendapati bahwa tidak ada satu antibiotik pun yang tersisa
untuk menangani semua tipe infeksi bakteri.
Sejalan dengan motto Klinik Tazkiya ‘Continous Improvement is Our Custom’
dalam memberikan pelayanan ke masyarakat, marilah kita seluruh dokter/apoteker
dan karyawan Klinik Tazkiya serta seluruh masyarakat turut berperan aktif untuk
mencegah resistensi antibiotik dengan penggunaan antibiotik secara bijak sesuai
anjuran dokter agar terwujudnya masyarakat yang sehat dan berkualitas .

https://www.medscape.com/viewarticle/729196
Evan Martens & Arnold L Demain. The antibiotic resistance crisis, with a focus on
the United States. The Journal of Antibiotics (2017) 70, 520–526 (2017).

Vous aimerez peut-être aussi