Vous êtes sur la page 1sur 3

ASAL USUL PASAR PENTUNGAN

(Cerita rakyat dari wilayah kec. Magersari/Kab. Rembang)

Konon pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit, di sebuah tempat terdapatlah


seorang guru ulung bernama Warok Suro,enggolo. Sang guru ulung ini mempunyai 5
murid terpilih. Masing-masing bernama Ki Sondong, Ki Makerti, Ki Kubi,Ki Sawung
Ludiro, dan Ki Gagak Matram.

Warok Suromenggolo mempunyai sahabat karib bernama Ronggo Lawe yang


menjadi Bupati di Tuban. Karena Ronggo Lawe sedang punya masalah dengan raja di
Majapahit, kelima murid Warok Suromenggolo diperintahkan untuk pergi ke Tuban guna
membantu Ronggo Lawe yang sedang punya masalah dengan kerajaan Majapahit. Maka
berangkatlah mereka berlima ke Tuban untuk melaksanakan tugas sang guru.

Ketika mereka berlima sampai di Tuban, disana sedang terjadi pertempuran


sengit antara kabupaten Tuban dan kerajaan Majapahit. Bahkan Ronggo Lawe sedang
bertempur sengit satu lawan satu dengan Ki Kebo Anabarang, Senopati perang dari
majapahit. Melihat kenyataan ini mereka berlima hanya dapat menyaksikan dengan harap-
harap cemas. Lebih-lebih setelah bebrapa saat kemudian Ki Kebo Anabarang berhasil
menikam perut Ronggo Lawe hingga akhirnya tewas seketika.

Setelah Ronggo Lawe gugur di medan perang, mereka berlima langsung berlari
untuk menyelamatkan diri. Dari pada mati konyol menjadi korban kemarahan prajurit
Majapahit, lebih baik menghindar cari selamat. Mereka berlari dengan arah yang
terpencar-pencar. Hal ini dimaksudkan agar tidak mudah terkejar oleh musuh yang
memburunya.

Dalam pelarian mereka berlima secara terpencar untuk menyelamatkan diri, salah
seorang di antara mereka yang bernama Ki Sondong sampailah ke sebuah desa Jeruk yang
menjadi wilayah kekuasaan Wedana Yuyu Rumpung. Di desa Jeruk ini Ki Sondong
bermaksud menetap di desa tersebut. Karena itu ia segera melapor kepada Wedana Yuyu
Rumpung.

Begitu Ki Sondong menghadap kepada Wedana Yuyu Rumpung dan mengatakan


maksudnya akan tetap tinggal di desa Jeruk, Wedana Yuyu Rumpung tidak keberatan,
tetapi ada syaratnya. Adapun syarat yang diminta oleh Wedana Yuyu Rumpung, Ki
Sondong boleh menetap di desa Jeruk asalkan Ki Sondong berhasil menyerahkan pusaka
milik Sukmoyono, seorang berhasil menyerahkan pusaka milik Sukmoyono, seorang
wedana yang berkuasa di kawedanan Majasemi. Dengan kata lain, Ki Sondong boleh
tinggal di desa Jeruk asalkan mau mencurikan pusaka milik Wedana Majasemi untuk
diserahkan kepada Wedana Yuyu Rumpung di Maguan. Atas persyaratan yang diminyta
oleh Yuyu Rumpung ini, Ki Sondong menyatakan sanggup. Karena itu Ki Sondong
segera berangkat ke Majasemi untuk mencuri pusaka milik Sukmoyono.

Sementara itu teman seperguruan Ki Sondong yang berpisah sejak dari Tuban,
yaitu Ki Makerti, dalam pelariannya juga sampai di kawedanan Majasemi. Oleh wedana
Majasemi, yaitu Ki Sukmoyono, Ki Mkaerti diterima dengan baik tanpa syarat. Bahkan
atas kedatangan Ki Makerti ini sang wedana merasa memperoleh tambahan kekuatan di
kawedanan. Tugas yang diberikan oleh Sukmoyono kepada Ki Makerti adalah menjaga
tempat pusaka milik kawedanan Majasemi.

Pada suatu hari, Ketika Ki Makerti sedang melaksanakan tugas , tiba-tiba di


dalam gedung pusaka terdapat seseorang yang masuk gedung untuk mencuri pusaka.
Orang tersebut adalah Ki Sondong. Hal ini mengakibatkan mereka berdua yang ternyata
teman dekat saudara seperguruan itu terjadi pertengkaran seru. Mereka masing-msing
merasa memiliki kebenaran karena melaksanakan tugas. Ki Sondong merasa menerima
tugas dari Wedana Yuyu Rumpung sedangkan Ki Makerti merasa mendapat tugas dari
Wedana Sukmoyono.

Karena mereka berdua adalah saudara seperguruan,yang mana satu sama lain
saling mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing, Pertengkaran pun tak ada
yang menang dan tak ada yang kalah. Yang terjadi berikutnya hanyalah saling kejar
mengejar. Demikian juga pusaka yang diperebutkan masih dikuasai oleh Ki Sondong.
Hingga akhirnya mereka berdua hanya saling berebut dan berkejar-kejaran.

Kejar mengejar yang dilakukan oleh Ki Sondong dan Ki Makerti akhirnya sampai
pada suatu tempat. Di tempat itu banyak orang melakukan jual beli. Karena keduanya
hanya saling mempertahankan kebenaran yang diakui, berada di dekat orang-orang yang
sedang melakukan jual beli itu pun mereka masih tetap melanjutkan pertengkarannya.
Jika semula hanya bertengkar dengan menggunakan tangan kosong,kini keduanya malah
saling membawa kayu pemukul. Keduanya pun saling beradu pukul. Sesekali Ki Sondong
dipukul keras-keras oleh Ki Makerti. Tetapi pukulan keras ini seakan tidak terasa sama
sekali oleh Ki Sondong. Demikian juga sebaliknya, jika Ki Makerti dipukul keras-keras
oleh Ki Sondong, pukulan keras itu tidak dirasakan sama sekali.

Melihat pertengkaran tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang ini,mereka
yang sedang melakukan jual beli saling ketakutan. Mereka saling berlari untuk
menyelamatkan diri. Menghindar karena takut terkena pukulan. Dengan adanya peristiwa
itu diantara para pedagang itu ada yang ngomel. Dalam bahasa jawa.”Iki ngono pasar
nggone wong dodolan.Lhah kok dinggo penthung-penthungan.” Artinya, ini adalah pasar
tempat orang berjualan . Kok dipakai saling memukul. Akhirnya untuk mengingat-ingat
peristiwa tersebut, sejak peristiwa itu terjadi hingga sekarang, pasar tersebut dinamakan
PASAR PENTHUNGAN. Terletak di desa Magersari Kec.Kota Rembang Kab.Rembang.
Itulah cerita yang terjadi secara turun temurun dari mulut ke mulut tentang terjadinya
Pasar Pentungan yang hingga sekarang diyakini kebenarannya.

Vous aimerez peut-être aussi