Vous êtes sur la page 1sur 12

GEJALA KESEMUTAN MORBUS HANSEN PADA

PENGOBATAN BULAN KE 12

Agus Haerani
Suswardana

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN PENYAKIT KELAMIN


RUMAH SAKIT TNI-AL Dr. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
PERIODE 4 JUNI– 21 JULI 2018

1
GEJALA KESEMUTAN MORBUS HANSEN PADA
PENGOBATAN BULAN KE 12

Agus Haerani1, Suswardana2

1
Dokter Muda Fakultas Kedokteran Trisakti di

SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSAL dr. Mintohardjo

2
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSAL dr. Mintohardjo

ABSTRAK

Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium lepra yang bersifat intraseluler obligat.1 Di mana
kerentanan terhadap mikobakteri dan manifestasi klinis dikaitkan dengan respon imun host .
Meskipun prevalensi kusta telah menurun secara dramatis , tingginya jumlah kasus baru
menunjukkan transmisi aktif . Kusta adalah salah satu penyebab paling umum dari neuropati
perifer nontraumatic di seluruh dunia . Proporsi pasien dengan cacat dipengaruhi oleh jenis
kusta dan keterlambatan diagnosis . Dilaporkan kasus seorang perempuan berumur 20 tahun
dengan diagnosis Morbus Hansen tipe MB . Gambaran klinis dengan mengeluh bercak ungu
kehitaman yang terasa kesemutan pada lengan kanan terjadi setelah 12 bulan pengobatan,
adapun pada daerah tangan kiri, wajah, telinga, dan kaki terlihat makula hiperpigmentasi
tanpa adanya kesemutan, Pemeriksaan KOH negatif . Pemeriksaan BTA lengan kanan positif,
lesi posotif. Pengobatan yang diberikan MDT MB, Rifampisin 600 mg 1x1, Ofloxasin 400mg
1x1, Minosiklin 100mg 1x1, Neurodex 1x1, Vaselin album 30gr dioles pagi dan malam. dan
kontrol poliklinik setelah 1 bulan . Prognosis pasien ini baik .

Kata kunci : Kusta, multibasiler dan pausibasiler

ABSTRACT
Leprosy / Leprosy / Morbus Disease Hansen, is a chronic infectious disease caused by the
obligate intracellular Mycobacterium lepros1.1 Where susceptibility to mycobacteria and
clinical manifestations is associated with host immune response. Although the prevalence of
leprosy has decreased dramatically, the high number of new cases indicates active

2
transmission. Leprosy is one of the most common causes of peripheral nontraumatic
peripheral neuropathy worldwide. The proportion of patients with disabilities is affected by
the type of leprosy and the delay of diagnosis. Reported case of a 20-year-old woman with a
diagnosis of Morbus Hansen type MB. Clinical features with complaints of blackish purple
spots that felt tingling in the right arm occurred after 12 months of treatment, while in the left
hand area, face, ears, and legs seen macular hyperpigmentation without any tingling, KOH
negative examination. Right positive arm-side AFTA examination, posotive lesion.
Treatment given MDT MB, Rifampicin 600 mg 1x1, Ofloxasin 400mg 1x1, Minocycline
100mg 1x1, Neurodex 1x1, Vaseline album 30gr dioles morning and night. and polyclinic
control after 1 month. The patient's prognosis is good.
Keywords: Leprosy, multibacillary and pausibasiler

PENDAHULUAN

Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium lepra yang bersifat intraseluler obligat.1 Mikroba ini
berkembang biak dengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti kulit, saraf perifer,
saluran pernafasan atas dan testis. Jalur transmisi masih belum jelas, diperkirakan transmisi
terjadi melalui droplet, vektor serangga atau kontak dengan tanah dengan mikroba yang
bersangkutan, tinggal diarea endemis, kontak dengan pengidap lepra dan kemiskinan.
Dimana gambaran klinis dan gejalanya meliputi keluhan kelainan saraf tepi, , kulit, rambut,
otot, tulang, mata, dan testis, yang dalam hal ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati
rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan
pengeluaran kelenjar keringat.

LAPORAN KASUS

Seorang pasien permpuan berinisial Nn. D , berusia 20 tahun, beralamat di Jl kebon Jahe
Petojo Selatan Gambir Jakarta Pusat datang ke Poli Kulit dan kelamin RS AL pada tanggal 5
Juli 2018 pukul 11.15 WIB dengan mengeluh bercak ungu kehitaman yang terasa kesemutan
pada lengan kanan terjadi setelah 12 bulan pengobatan, adapun pada daerah tangan kiri,
wajah, telinga, dan kaki terlihat makula hiperpigmentasi tanpa adanya kesemutan,. Keluhan
lain seperti demam, nyeri didaerah bekas kemerahan diseluruh tubuh, kerontokan bulu-bulu
tangan, alis, dan penglihatan kabur pun disangkal.

3
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan, kesadaran
Compos Mentis. TD : 110/90 mmHg, Nadi: 90x/menit, RR: 22x/menit, Suhu: 36,5’C. Lesi
kulit pada pasien tersebut ditemukan makula hiperpigmentasi menyebar didaerah regio
antebrachii, berbatas tegas, ukuran polimorfik, berbentuk anular. dan disekitarnya sudah tidak
terdapat bulu-bulu halus, ditemukannya pembesaran nervus ulnaris antebrachii dextradan
pada pemeriksaan bakteriologis didapatkan BTA + didaerah lengan kanan pasien. Pada
pasien ini diberikan Pengobatan yang diberikan MDT MB , Rifampisin 600 mg 1x1, Ofloxasin
400mg 1x1, Minosiklin 100mg 1x1, Neurodex 1x1, Vaselin album 30gr dioles pagi dan malam.

4
PEMBAHASAN

Penyakit Kusta atau Lepra atau Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri M. leprae, menyerang kulit dan saraf perifer. Pada tahun 2010, tercatat
17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk
sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi
8,03 per 100.000 penduduk.4,5

Progresivitas penyakit ini berjalan lambat dan bersifat kronis dengan masa inkubasi rata-rata selama
3 tahun. Morbus hansen dapat terjadi pada semua usia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kemungkinan yang sama besar untuk menderita penyakit ini. Sumber penularan adalah kuman kusta
solid yang berasal dari pasien Morbus Hansen tipe MB (Multibasiler) yang belum diobati atau tidak
teratur berobat. Penularan terjadi melalui kontak langsung dalam jangka waktu yang lama dan
melalui inhalasi. Berdasarkan penelitian terdapat tiga kemungkinan pintu keluar kuman M. leprae
dari tubuh yaitu melalui kulit, traktus gastrointestinal, dan traktus respiratorius.4,6

Berdasarkan umur penderita yang didiagnosis MH, paling banyak ditemukan pada kelompok umur
25-44 tahun, yaitu sebesar 46,4% dari total pasien yang terdiagnosis morbus hansen. Sebesar 5,4%
pada pasien yang berusia 5-14 tahun, 18,8% pada pasien yang berusia 15-24 tahun, 46,4% pada
pasien yang berusia 25-44 tahun, dan 21,4% pada pasien yang berusia 45-64 tahun.7,8

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien perempuan berusia 20 tahun dengan
mengeluh tangan kesemutan dan kaku pada jari manis dan kelingking kedua tangan. Keluhan
tersebut merupakan salah satu tanda utama atau cardinal sign dari morbus hansen yaitu ditemukan
lesi kulit berupa bercak eritematous ataupun bercak hipopigmentasi, hipoestesi ataupun anestesi
pada bercak tersebut

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pada regio fasialis, abdomen, lumbal, ekstremitas superior, dan
ekstremitas inferior terdapat plak eritema multipel, bentuk irreguler, ukuran numular hingga plakat
dengan tepi lebih aktif daripada bagian tengahnya. Pada pemeriksaan sensibilitas didapatkan
anestesi pada kedua tangan.

Pada pemeriksaan sensibilitas ditemukan adanya gangguan sensibilitas berupa anestesi pada kedua
tangan. Hal ini merupakan salah satu tanda dari cardinal sign, yaitu ditemukannya penebalan saraf
tepi disertai gangguan fungsi saraf yang dapat berupa gangguan sensoris (anestesi), motoris
(parese/paralisis), otonom (gangguan kelenjar minyak, kulit kering). Pasien didiagnosis dengan kusta
atau morbus hansen karena memenuhi kriteria diagnosis untuk penyakit kusta, yaitu terdapat salah
satu atau lebih gejala kardinal, yaitu kelainan kulit pada kusta dengan disertai hilangnya sensasi,
penebalan saraf tepi, dan ditemukan adanya M, leprae pada kulit.9

Gejala kusta mirip dengan gejala tinea korporis dan psoriasis. Pada tinea korporis didapatkan lesi
berbentuk makula atau eritem atau hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan central healing, pada tepi
luka dijumpai papul eritematosa dan vesikel. Diagnosis tinea korporis dapat disingkirkan karena pada
tinea korporis tidak ada anestesi pada lesi sedangkan pada pasien didapatkan adanya anestesi.
Selain itu juga gejala mirip dengan psoriasis yaitu dengan gambaran berupa makula eritematosa
yang besarnya bervariasi dari miliar sampai numular dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat
arsinar, sirsinar, polisiklis, atau geografis. Makula berbatas tegas ditutupi oleh skuama kasar tebal
berwarna putih mengkilat. Diagnosis psoriasis dapat disingkirkan karena pada penderita tidak
ditemukan makula yang ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih keperakan.4

5
Kusta atau morbus hansen menurut WHO terbagi menjadi 2 tipe yaitu multibasiler (MB) dan
pausibasiler (PB) yang dibedakan berdasarkan lesi kulit dan kerusakan saraf. Untuk kusta tipe MB
jumlah bercak yang mati rasa lebih dari 5 dan penebalan saraf tepi terjadi pada lebih dari satu saraf
sedangkan untuk tipe PB jumlah bercak yang mati rasa yaitu 1-5 dan penebalan saraf tepi hanya
pada satu saraf. Pada pasien ini didapatkan lesi kulit lebih dari 5 dengan distribusi yang simetris,
hilangnya sensasi kurang jelas, dan menyerang banyak cabang saraf sehingga pasien termasuk
kedalam kusta tipe MB.10

Menurut penelitian, tipe PB ditandai dengan demam ringan yang disusul dengan munculnya bercak
kulit berwarna putih yang lama kelamaan berwarna merah, bengkak, berkilat dan hangat, serta
dapat timbul bercak baru di area kulit lainnya. Tipe ini tidak terjadi peradangan pada organ lain,
sehingga pada tipe ini kemungkinan cacat sangat tipis. Sedangkan penyakit kusta tipe MB ditandai
dengan demam tinggi serta kelemahan pada fisik yang kemudian disusul dengan kemunculan nodul
kemerahan, lunak, nyeri tekan, dan dapat pecah. Pada tipe ini terjadi nyeri saraf dan gangguan
fungsi saraf dengan peradangan pada organ lain seperti sendi. Kusta tipe MB ini memiliki
kemungkinan yang besar untuk terjadi cacat dan bersifat lebih mudah menular.7

Pada kasus ini ditemukan adanya polineuropati sensorimotor (negatif fokal dan kelemahan distal). Untuk
mengetahui status DM, pasien seharusnya diperiksa kadar gula darah. Tetapi pada ND tidak ditemukan adanya
pembesaran saraf seperti yang dialami pasien. Dengan demikian diagnonis banding ND dapat disingkirkan pada
kasus ini.

Keterlibatan saraf pada kusta merupakan salah satu bentuk neuropati perifer. Penyakit lain dengan neuropati
perifer yang paling sering terjadi adalah ND.20,21 Penyebab lain neuropati perifer dapat dilihat pada tabel 1
(lampiran). Neuropati diabetika (ND) adalah adanya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer pada pasien
diabetes setelah eksklusi penyebab lainnya. Kriteria diagnosis ND adalah: 1. Pasien menderita diabetes melitus
(DM) berdasarkan the National Diabetes Data Group; 2. hiperglikemi kronis berkepanjangan; 3. Pasien
mengalami predominan polineuropati sensorimotor distal pada ekstremitas bawah; 4. Retinopati atau neuropati
diabetika timbul seperti polineuropati; 5. Penyebab lain polineuropati sensorimotor telah disingkirkan. 22 Gejala
ND meliputi gejala sensoris yaitu positif (burning, pricking pain, dan tightness) atau negatif (kebal, deadness,
trauma tidak nyeri), difus atau fokal motoris (kelemahan distal, proksimal, atau fokal), dan otonom, yaitu
sudomotor (kulit kering, jarang berkeringat), pupillary, urinary, gastrointestinal, dan seksual.23 Biopsi n.suralis
menunjukkan kumpulan limfosit di sekitar pembuluh darah kecil epineural. Gambaran EMG menunjukkan
velositas konduksi saraf motor yang tidak kurang dari 50% normal dan denervasi 11,12

Pasien pada kasus ini mengalami reaksi kusta. Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi
kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon imun seluler atau respon
imun humoral), dengan akibat yang merugikan penderita. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum,
selama, untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan
melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Namun
pasien dengan tangan dan kaki yang tidak sensitif terhadap luka dan tidak mengetahuinya, akan
menyebabkan luka tersebut terinfeksi dan seiring berjalannya waktu mengakibatkan terjadinya
deformitas yang ireversible1,4,14

Pada kasus ini prognosis quo ad vitam bonam karena tidak mengancam nyawa, prognosis ad
functionam dubia ad bonam karena warna kemerahan pada lesi-lesi kulit atau sesudah pengobatan
dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi menjadi 2, yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II.
Reaksi kusta tipe I disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai dengan
lesi kulit memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis, dan gangguan fungsi saraf, serta dapat terjadi
demam. Sedangkan reaksi tipe II merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul
kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi, dan adanya komplikasi pada
organ tubuh lainnya. Pada pasien ini terjadi reaksi kusta tipe I karena berdasarkan anamnesis dan

6
pemeriksaan fisik, didapatkan lesi memerah, bengkak, dan terasa panas selain itu juga terdapat
riwayat demam sebelumnya pada pasien.

Tujuan utama pengobatan kusta yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, serta mencegah timbulnya komplikasi.
Regimen pengobatan yang dapat diberikan sebagai antikusta MDT tipe multibasilar yaitu Dapson
100 mg/hari, Rifampisin 600 mg/bulan, Lampren (Klofazimin) 50 mg/hari. Lama pengobatan 12 dosis
ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis obat ini pasien dinyatakan
Release From Treatment (RFT), yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan
secara pasif untuk kusta yaitu 5 tahun.4,13

Untuk penatalaksanaan reaksi kusta tipe 1 diberikan prednisolon 1 mg/kg BB/hari dengan tappering
off selama 2-3 bulan. Pada pasien diberikan metil prednisolon 32 mg/hari dalam dosis terbagi.
Sehingga pemberian metil prednisolon sudah tepat karena dosis yang diberikan sudah sesuai. Cara
terbaik dapat mengganggu penampilan pasien dan anestesi pada tangan dapat mengganggu pasien
dalam melaksanakan pekerjaan sehari- hari di rumah serta prognosis quo ad sanationam adalah
dubia ad bonam karena reaksi reversal dapat kambuh di kemudian hari walaupun sudah diterapi.
Kemungkinan untuk terjadi reinfeksi kembali akan terjadi jika pengobatan dilakukan tidak teratur
dan menghentikan pengobatan sebelum terjadi eleminasi dari kuman.15

Kesimpulan

Adapun simpulan yang dapat dikemukakan pada laporan kasus ini yaitu: Kusta atau lepra atau
morbus hansen adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri M. leprae yang
menyerang kulit dan saraf. Reaksi kusta adalah episode akut pada perjalanan kronis penyakit kusta,
salah satu bentuk reaksi kusta adalah reaksi kusta tipe 1. Tujuan utama pengobatan kusta, yaitu
memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, serta mencegah timbulnya komplikasi. Kecacatan dapat timbul apabila
penyakit kusta tidak ditangani secara cepat dan tepat.

Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit
infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.[1] Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah
pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan
jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak
116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena
kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara

7
dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan
9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah
penderita sebanyak 22.175 (WHO).
Mikroba ini berkembang biak dengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti
kulit, saraf perifer, saluran pernafasan atas dan testis. Jalur transmisi masih belum jelas,
diperkirakan transmisi terjadi melalui droplet, vektor serangga atau kontak dengan tanah
dengan mikroba yang bersangkutan, tinggal diarea endemis, kontak dengan pengidap lepra
dan kemiskinan.
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2
dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae
akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan
makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenali bagian self atau nonself sehingga
akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga
terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni,
8:2009).
Kusta memiliki gambaran klinis yang khas dimana Ridley and Jopling meng
klasifikasikan nya menjadi 5 tipe yaitu tipe Tuberkuloid/TT, tipe Borderline tuberkuloid/BT,
tipe Mild borderline/BB, tipe Borderline lepromatosus/BL, dan tipe Lepromatous leprosy.
Pada pasien ini didapatkan lesi makula hiperpigmentasi menyebar didaerah regio
antebrachii, berbatas tegas, ukuran polimorfik, berbentuk anular dan disekitarnya sudah tidak
terdapat bulu-bulu halus, tetapi ditemukan kesemutan dan hipertrofi nervus ulnaris dextra.
Sebelum melakukan pengobatan Lesi awalnya muncul sebagai ruam kemerahan yang terasa
nyeri tetapi saat dicubit terasa baal, semakin hari ruam kemerahanpun meluas didaerah
tersebut sampai menimbulkan keram dan lemas pada daerah jari-jari tangan kelingking,
jempol dan jari tengan pada saat menggenggam sesuatu, hal ini disebabkan karna sudah
adanya gangguan lesi kulit berupa eritematous dan fungsi saraf berupa kerusakan saraf
sensoris, motoris dan otonom dan kerusakan saraf yang ada didaerah pergelangan tangan
tersebut antara lain nervus ulnaris yang ditandai sudah adanya anestesia pada ujung jari
anterior kelingking, jari manis atrofi hipotenar dan otot interosseus serta kedua otot
lumbrikalis medial yang ditandai dengan clawing kelingking dan jari manis, nervus medianus
yang ditandai sudah adanya anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan

8
jari tengan, tidak mampunya adduksi ibu jari, bisa dikarenakan juga sudah atrofi otot tenar
dan kedua otot lumbrikalis lateral yang ditandai dengan clawing ibu jari, telunjuk dan jari
tengah, nervus radialis yang ditandai sudah adanya anestesia dorsum manus dan ujung
proksimal jari telunjuk, tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan yang ditandai
dengan wrist drop. Ada pun kelainan kulit pada pasien seperti hiperpigmentasi adalah salah
satu efek dari pengobatan dari lampren yang pada pasien morbos hansen yang belum
melakukan pengobatan cenderung mengalami hipopigmentasi atau eritematous dan keluhan
kesemutan pada pasien ini bisa dikarenakan telah terjadinya reaksi kusta ditandai dengan
neuritis yang terjadi pada Morbus Hansen tipe MB.
Diagnosa Morbus Hansen dapat ditegakan melalaui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang cermat. Adapun dasar diagnosis yang dapat kita tegakan untuk
mengetahui tipe dari morbus hansen anatar lain dapat memakai klasifikasi WHO yaitu
dengan menghitung jumlah bercak kusta, jumlah penebalan saraf dengan gangguan fungsinya
dan sediaan apusan BTA. Riwayat kontak sebelumnya penting untuk ditanyakan mengingat
penyakit morbus hansen salah satunya ditularkan melalui droplet, vektor serangga atau
kontak dengan tanah dengan mikroba yang bersangkutan, tinggal diarea endemis, kontak
dengan pengidap lepra dan kemiskinan. Pada pasien ini terdapat 6 bercak hiperpigmetasi dan
2 kelainan saraf anatara lain nervus ulnaris dan medianus dengan ditandai parestesia tangan
sebelah kanan, serta pada sediaan apusan BTA didapatkan hasil + pada daerah tangan dan
punggung sebelah kanan. Adapun riwayat kontak ataupun keluarga yang menderita morbus
hansen disangkal oleh pasien, tetapi pasien mengaku pernah menjalani PKL didaerah jakarta
selatan ketika saat sekolah menengah. Dari hasil pemeriksaan tersebut kami menduga pada
pasien ini mengalam morbus hansen tipe multibasiler.
Upaya pengobatan Morbus hansen yang terpenting adalah mengidentifikasi penyakit
ini sedini mungkin dan langsung diberikan pengobatan untuk mencegah kecacatan lebih
lanjut. Terapi awal morbus hansen harus segera diobati jika sudah terdiagnosa karna
meminimalisir kecacatan dan penularan, pengobatan disesuaikan dengan tipe morbus hansen
itu sendiri yaitu terdiri dari tipe pausibasiler dan multibasiler. Terapi pausibasiler yang
diminum didepan petugas Rifampisin 600mg/bulan, DDS 100mg/bulan dan diminum
dirumah adalah DDS 100mg/hari, jangka waktu pengobatan 6-9 bulan pengobatan sedang
terapi multibasiler yang diminum didepan petugas Rifampisin 600mg/bulan, DDS
100mg/bulan, Clofazamin 300mg/bulan dan yang diminum dirumah adalah DDS 100mg/hari,
Clofazimine 50mg/hari, jangka waktu pengobatan 12-18 bulan pengobatan. Pada pasien ini
diberikan MDT MB, Rifampisin 600 mg 1x1, Ofloxasin 400mg 1x1, Minosiklin 100mg 1x1, Neurodex

9
1x1, Vaselin album 30gr dioles pagi dan malam. Prognosis umumnya baik apabila dilakukan
pengobatan yang tepat. Akan teteapi, perlu dilakukan upaya pencegahan serta deteksi dini
terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.

KESIMPULAN
Penyakit Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium lepra yang bersifat intraseluler obligat.1 Mikroba ini berkembang
biak dengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti kulit, saraf perifer, saluran
pernafasan atas dan testis. Jalur transmisi masih belum jelas, diperkirakan transmisi terjadi
melalui droplet, vektor serangga atau kontak dengan tanah dengan mikroba yang
bersangkutan, tinggal diarea endemis, kontak dengan pengidap lepra dan kemiskinan.
Dimana gambaran klinis dan gejalanya meliputi keluhan kelainan saraf tepi, , kulit, rambut,
otot, tulang, mata, dan testis, yang dalam hal ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati
rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan
pengeluaran kelenjar keringat. Adapun dasar diagnosis yang dapat kita tegakan untuk
mengetahui tipe dari morbus hansen anatar lain dapat memakai klasifikasi WHO yaitu
dengan menghitung jumlah bercak kusta, jumlah penebalan saraf dengan gangguan fungsinya
dan sediaan apusan BTA. adapun pengobatan Morbus hansen yang terpenting adalah
mengidentifikasi penyakit ini sedini mungkin dan langsung diberikan pengobatan untuk
mencegah kecacatan lebih lanjut. Terapi awal morbus hansen harus segera diobati jika sudah
terdiagnosa karna meminimalisir kecacatan dan penularan, pengobatan disesuaikan dengan
tipe morbus hansen itu sendiri yaitu terdiri dari tipe pausibasiler dan multibasiler.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. 11. Suneetha S, Sigamoni A, Kurian N, Chacko CJG. The development of cutaneous lesions during follow-up of
patients with primary neuritic leprosy. Int J Dermatol, 2005; 44: 224-9.

1. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2006. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta. 2008.

2. 3. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta tahun 2012.Kementrian


Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan:
Jakarta. 2012

3. Kosasih A, dkk. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta.FKUI. 2007
: 73-88
4. WHO. Guide to Eliminate Leprosy as A Public Health Problem. First Edition. World
Health Organization : USA. 2000. Accessed on February 20, 2013. Available at :
http://www.who.int/lep/resources/Guide_Int_E.pdf
5. ILEP. How to Diagnose and Treat Leprosy. The International Federation of Anti-
Leprosy Association : London. 2002. Accessed on February 20, 2013. Available at :
http://www.ilep.org.uk/fileadmin/uploads/Documents/Learning_Guides/lg1eng.pdf

6. Wolff, K. Goldsmith, L.A. Katz, S.I. Gilchrest, B.A. Paller, A.S. Leffel, D.J. editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill :
New York. 2008
7. 4. Delphine JL, Thomas HR, Rea LM. Leprosy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6.
New York: McGraw Hill; 2008. hlm. 1962-72.
8. 5. World Health Organization [internet]. Geneva: World Health Organization; 2012 [diakses
tanggal 15 Agustus 2016]
9. 6. Suardi S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta di Kabupaten
Biak Numfor [thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2012.
10. 7. Tiwow PI, Kandou RT, Pandaleke HEJ. Profil penderita morbus hansen (mh) di poliklinik
kulit dan kelamin blu rsup prof. Dr. R. D. Kandou manado periode Januari- Desember 2012

11
11. 8. Lestari W. Kondisi psikososial dan ekonomi penderita penyakit kusta (studi pada penderita
penyakit kusta di Kelurahan Kampung Sawah, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kota
Bandar Lampung [skripsi]. Lampung: Universitas Lampung; 2015.
12. 9. Kumar B, Dogra S. Leprosy: a disease with diagnostic and management challenges! Indian
J Dermatol Venereol Leprol. 2009; 75:111-5.

12

Vous aimerez peut-être aussi