Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu
penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi
kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing
(mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai
dengan limitasi aliran udara ekspiratori. International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan
obstruksi saluran respiratori dan hiper-responsif bronkus, yang secara klinis ditandai
dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang. Prevalens asma pada anak
sangat bervariasi di antara negara negara di dunia, berkisar antara 18%. Jika tidak ditangani
dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari,
mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, Dan menyebabkan prestasi akademik
di sekolah menurun. Bagi keluarga dan sektor pelayanan kesehatan, asma yang tidak terkendali
akan meningkatkan pengeluaran biaya.1,2
Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah sama. Namun,
ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai pada dewasa karena
bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan
menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi yang
sering tidak dapat diprediksi sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada anak
usia balita (<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh berbagai
keadaan yang terkait dengan patogenesis dan patofisiologinya.1
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak maupun
dewasa, dengan gejala utama wheezing. Sejarah penyakit asma mengindikasikan bahwa asma
merupakan penyakit yang kebanyakan terjadi di negara yang telah berkembang dengan
pendapatan tinggi high income countries, seperti Amerika. Diperkirakan secara global, terdapat
334 juta orang penderita asma di dunia. Global disease burden penyakit asma kebanyakan
terdapat di negara berkembang dengan pendapatan yang rendah. 1
Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat menyerang anak-anak hingga
orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak. Menurut para ahli,
prevalensi asma akan terus meningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk dunia terserang asma
dengan penambahan 180.000 setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi asma menurut data
Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 sebesar 4%. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi asma untuk seluruh kelompok usia sebesar 3,5%
dengan prevalensi penderita asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun
sebesar 2,0%.3
Untuk dapat mengetahui prevalensi asma di seluruh dunia, maka disusunlah kuesioner
International Study on Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) dengan salah satu tujuannya
adalah untuk membandingkan prevalensi asma di suatu negara. Survei dengan menggunakan
kuesioner ISAAC telah dilakukan di 155 pusat asma yang berada di 56 negara salah satunya
adalah Indonesia. Kuesioner ISAAC ditujukan pada kelompok usia 6 - 7 tahun dan usia 13 - 14
tahun. Hasil dari survei tersebut bervariasi di beberapa negara dengan prevalensi asma antara 2,1
- 32,2%. Hasil survei dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada siswa usia 13 - 14 tahun di
Indonesia menunjukkan bahwa di Jakarta Timur prevalensi asma pada tahun 2001 sebesar 8,9%
dan meningkat menjadi 13,4% pada tahun 2008. Survei yang sama dilakukan pada kelompok
usia 13 - 14 tahun di Jakarta Barat, hasilnya adalah prevalensi asma sebesar 13,1%.3
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non-genetik.
Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara, asap rokok, makanan
cepat saji, berat lahir, cooking fuel, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah yang tidak
memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi. Penelitian yang dilakukan di
Padang memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk memengaruhi timbulnya
asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah atau ibu, diikuti faktor berat lahir,
kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian obat parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan
kontak dengan unggas merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma.1
Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan, hanya saja penyakit ini dapat dikontrol
sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian asma dilakukan dengan
menghindari faktor pencetus, yaitu segala hal yang menyebabkan timbulnya gejala asma.
Apabila anak menderita serangan asma terus-menerus, maka mereka akan mengalami gangguan
proses tumbuh kembang serta penurunan kualitas hidup.3
1.2 Batasan Penulisan
Case Report Session ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi,
patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan Asma bronkial.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis
tentang Asma bronkial.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang Asma bronkial.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma adalah suatu penyakit heterogen, umumnya ditandai dengan inflamasi kronik saluran
pernapasan. Asma ditandai dengan adanya riwayat gejala-gejala pada saluran pernafasan seperti
mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi sepanjang waktu dan juga
intensitasnya, disertai adanya keterbatasan aliran udara yang bervariasi yang timbul secara
kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan
biasanya timbul jika ada pencetus misalnya olahraga, papatan alergen atau iritan, perubahan
cuaca, atau infeksi viral pernapasan.2
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan pengobatan dan dapat
menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi lain, pasien juga dapat mengalami
beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam nyawa dan dapat
memberikan beban yang signifikan bagi pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan
hiperesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi
jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala dan
fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi.2
2.1 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak maupun dewasa,
dengan gejala utama wheezing. Sejarah penyakit asma mengindikasikan bahwa asma merupakan
penyakit yang kebanyakan terjadi di negara yang telah berkembang dengan pendapatan tinggi
high income countries, seperti Amerika diperkirakan secara global, terdapat 334 juta orang
penderita asma di dunia. Global disease burden penyakit asma kebanyakan terdapat di negara
berkembang dengan pendapatan yang rendah. Angka ini didapatkan dari analisis komprehensif
mutakhir Global Burden of Disease study (GBD) yang dilakukan pada tahun 2008-2010.1
Pada paruh ke dua abad 20, prevalensi asma di negara industri meningkat bermakna, namun
penyebab kenaikan prevalens ini tidak jelas. Kini diketahui bahwa penyakit asma sering
ditemukan baik di negara dengan pendapatan tinggi maupun rendah, dan prevalensi asma ringan
sedang dan asma berat meningkat lebih cepat dinegara dengan pendapatan rendah dan
menengah. Diperkirakan prevalensi asma di berbagai negara dengan pendapatan rendah dan
menengah terus meningkat. Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan penelitian
tentang prevalensi asma anak di seluruh dunia.1
Prevalensi asma meningkat 5—30% dalam satu dekade terakhir. World Health Organisation
(WHO) memperkirakan 235 juta penduduk dunia menderita asma dan paling sering terjadi pada
anak. Studi retrospektif yang dilakukan oleh The UK wide National Asthma Management Study
bersama dengan Tayside Asthma Management Initiative yang melibatkan 12.203 responden
menunjukkan serangan asma tersering terjadi pada kelompok anak usia kecil dari lima tahun
(37%).4
Salah satu faktor demografi yang berpengaruh terhadap prevalensi asma adalah jenis
kelamin. Studi yang dilakukan oleh Osman menggambarkan prevalensi asma pada laki-laki lebih
tinggi dibandingkan perempuan sebelum usia pubertas (16:9) dan sebaliknya setelah usia
pubertas, yang kemudian disebut dengan reversal phenomenon. Pertumbuhan paru anak laki-laki
relatif lebih lambat dibandingkan wanita sehingga Expiratory Air Flow Rates (EFR) laki-laki
lebih rendah dari wanita. Perlu diketahui bahwa gejala obstruksi saluran napas akan muncul
apabila telah mencapai baseline dan disinilah kerugian EFR yang rendah pada anak laki-laki
apalagi jika telah diinduksi infeksi virus. Namun disaat mencapai usia pubertas, pada anak laki-
laki terjadi akselerasi dari seluruh fungsi paru sehingga insiden asma menurun.4
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995, dari 14,3 menjadi 20,6
per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per juta.
Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang tua
>65 tahun, dan dua per tiga diantaranya wanita.1
2.3 Etiologi
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non-
genetik. Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara, asap rokok,
makanan cepat saji, berat lahir, cooking( fuel,( rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah
yang tidak memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi. Penelitian
yang dilakukan di Padang memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk
memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah atau
ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu. Sedangkan, pemberian ASI
merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma.1
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa setiap unsur di udara yang kita hirup dapat
mencetus kambuhnya asma pada penderita. Faktor pencetus asma dibagi dalam dua kelompok,
yaitu genetik, di antaranya atopi/alergi bronkus, eksim; faktor pencetus di lingkungan, seperti
asap kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur, pembakaran sampah, kelembaban dalam
rumah, serta alergen seperti debu rumah, tungau, dan bulu binatang.3
2.5 Patogenesis
Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering berawal pada anak usia dini.
Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan sehingga upaya
dikerahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat dimodifikasi untuk pencegahan.
Banyak pedoman menyebutkan bahwa faktor tersebut antara lain infeksi, pajanan mikroba,
alergen, stres, polusi, dan asap tembakau. Perkembangan alergen IgE spesifik, terutama jika
terjadi pada awal kehidupan, merupakan faktor risiko penting berkembangnya asma.1
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma
adalah untuk mengatasi bronkospasme.5,6
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan
dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas
saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel
mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi
ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.5,6
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi
memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.5,6
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat
pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari
alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi
sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin
D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot
bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini
akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan. 5,6
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses
reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada
proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor
(EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia,
pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel
yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia
kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini
tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang
persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.5,6
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak
diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi
saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata
ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa
proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila
intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat
untuk mencegah terjadinya proses remodeling.2,5,6
Hal berikut merupakan tanda tanda asama, dan, jika ada, meningkatkan kemungkinan untuk
pasien menderita asma2
1. Lebih dari satu gejala (wheeze atau mengi, nafas pendek- pendek, batuk dan sesak pada
dada) khususnya pada dewasa.
2. Gejala sering memberat pada malam hari atau pagi hari.
3. Gejala berlangsung lama
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, olahraga, pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa
atau iritan semisal debu, asap dan bau-bauan yang kuat.
Hal berikut merupakan gejala respiratorik yang jika dijumpai mengurangi kecurigaan terhadap
asma 2
minggu
Persisten sedang Episode gejala asma > 1x seminggu namun tidak setiap hari
1. Anamnesis1
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktorpencetus.
- Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan,
pewarna makanan.
- Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
- Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
- Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian
obat pereda asma.
2. Pemeriksaan fisik1
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti
dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic
shinersatau geographictongue.
3. Pemeriksaan penunjang2
a. Test Fungsi Paru untuk mendokumentasikan bermacam keterbatasan aliran udara
ekspirasi
Forced expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dari spirometri lebih dipercaya daripada
peak expiratory flow (PEF). Penurunan FEV1 dapat ditemukan dengan beberapa penyakit
paru,, namun penurunan rasio dari FEV1 banding FVC mengindikasikan keterbatasan
aliran udara. Biasa,ya, FEV1/FVC rasio normalnya lebih dari 0.75 sampai 0.80 dan
biasanya lebih dari 0.90 pada anak anak.
Pada praktik klinis sekali obstructive sudah terkonfirmasi, variasi keterbatasan aliran
udara meliputi FEV1 dan PEF. Variasi ini dapat terindentifikasi pada pemeriksaan pada
satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, dari visit kevisit, atausecara musiman.
Pada pasien dengan gejala respiratorik, menghasilkkan dasardari variasi yang berbagai
macam dari fungsi ekspirasi paru adalah komponen penting untuk mendiagnosis asma,
beberapa contoh spesifik adalah :
- Peningkatan fungsi parusetelah pemberian bronchodilator, atau setelah mendapat
terapi kontroler.
- Penurunan pada fungsi paru setelah olahraga atauselama tes provokasi bronkial.
- Vaiasi pada fungsi paru diatas rerata normal ketika diulangi dari waktuke watu, visit
berbeda atau monitoring di rumah selama 1-2 minggu.
Pada pasien dengan gejala respiratorik, makin besar variasi pada fungsi paru, atau lebih
banyak variasi yang terlihat, makin membuktikan diagnosis asma. Secara umum, pada
dewasa dengangejala respirasi tipikal asma, peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan
> 200ml dari baseline, atau perubahan dalam PEF paling sedikit 20% dapat didiagnosis
sebagai asma.
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin
dicapai adalah: 1
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi,
terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tatalaksananyaperlu dievaluasi kembali. 1
3.1 Identitas
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 00.64.14.36
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
- Anak sudah dikenal menderita asama sejak usia 3 tahun, serangan ke dua, ketiga, dan
keempat saat usia 7 tahun (3 kali setahun), pada serangan ke empat pasien dirawat di RS.
Serangan terakhir 15 hari yang lalu, anak masuk IGD, dilakukan nebulisasi 3 kali,
kemudian anak dipulangkan. Anak tidak pernah kontrol ke poli anak.
- Anak alergi cuaca dingin, makanan dan minuman manis, terutama coklat.
Riwayat Persalinan
Panjang lahir : 48 cm
Saat Lahir : Lansung menangis kuat
Bayi
Anak
Riwayat Imunisasi
- BCG : 1 bulan
Riwayat Keluarga
AYAH IBU
Nama Rafles Yasmaiyeni
Umur 42 42
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Buruh Harian IRT
Perkawinan Ke I I
Penyakit Tidak Ada Tidak Ada
Saudara Kandung
Sampah :Dibakar
Vital Sign
Kesadaran : Sadar
TD : 110/70 mmHg
Pernafasan : 35 x/i
Suhu : 37˚C
BB : 38 kg
TB : 146 cm
BB/U : 101,3%
TB/U : 103, 1%
BB/TB :91%
Status Generalis
Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, pupil isokor 2mm/2mm, reflek
cahaya +/+ normal
Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, Simetris kiri dan kanan, retraksi epigastrium dan interkostal
Perkusi : Sonor
Jantung
Perkusi : Batas atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial l LMCS RIC V
Abdomen
Perkusi : timpani
Genitalia : A1M2P1
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah
(29/07/2018)
Hb : 13,1 gr/dl
Ht : 40 %
Leukosit : 18.280 /mm3
Trombosit : 398.000/mm3
Hitung jenis : 0/0/1/89/7/3
Diagnosa kerja :
Tatalaksana :
- O2 2L/ menit
- Drip aminofilin 200 mg dalam D5% 500 cc (selama 6 jam) dilanjutkan IVFD KaEN
1 B 56 cc/jam
- Dexametason 3 x 6 mg (IV)
- Nebu Ventolin / 4 jam, 1 Resfull
- Teofilin 3x115 mg po
Follow up (28/07/2018)
S : anak terpasang O2 nasal,
tidak demam, tidak kejang, sesak nafas berkurang, anak masih dalam drip aminofilin,
sementara puasa
BAK ada, jumlah dan warna biasa
BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
TD : 110/70mmHg, Nadi : 100x/ menit
P: - O2 2L/ menit
- IVFD D5 % + aminofilin 200 mg drip 27 tpm (makro) selama 6 jam, dilanjutkan
IVFD kaEN 1B 56 cc/jam
- Dexametason 3 x 6 mg (IV)
- Nebu Ventolin 1 resfull tiap 4 jam
- Teofilin 3x115 mg po
Follow up (29/07/2018)
S :
- tidak demam
-tidak kejang,
- Sesak nafas berkurang, dan tidak menciut
-Sementara puasa
-BAK ada, jumlah dan warna biasa
-BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
TD : 115/70mmHg, Nadi : 84 x/ menit