Vous êtes sur la page 1sur 42

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu
penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi
kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing
(mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai
dengan limitasi aliran udara ekspiratori. International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan
obstruksi saluran respiratori dan hiper-responsif bronkus, yang secara klinis ditandai
dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang. Prevalens asma pada anak
sangat bervariasi di antara negara negara di dunia, berkisar antara 18%. Jika tidak ditangani
dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari,
mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, Dan menyebabkan prestasi akademik
di sekolah menurun. Bagi keluarga dan sektor pelayanan kesehatan, asma yang tidak terkendali
akan meningkatkan pengeluaran biaya.1,2
Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah sama. Namun,
ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai pada dewasa karena
bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan
menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi yang
sering tidak dapat diprediksi sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada anak
usia balita (<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh berbagai
keadaan yang terkait dengan patogenesis dan patofisiologinya.1
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak maupun
dewasa, dengan gejala utama wheezing. Sejarah penyakit asma mengindikasikan bahwa asma
merupakan penyakit yang kebanyakan terjadi di negara yang telah berkembang dengan
pendapatan tinggi high income countries, seperti Amerika. Diperkirakan secara global, terdapat
334 juta orang penderita asma di dunia. Global disease burden penyakit asma kebanyakan
terdapat di negara berkembang dengan pendapatan yang rendah. 1
Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat menyerang anak-anak hingga
orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak. Menurut para ahli,
prevalensi asma akan terus meningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk dunia terserang asma
dengan penambahan 180.000 setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi asma menurut data
Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 sebesar 4%. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi asma untuk seluruh kelompok usia sebesar 3,5%
dengan prevalensi penderita asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun
sebesar 2,0%.3
Untuk dapat mengetahui prevalensi asma di seluruh dunia, maka disusunlah kuesioner
International Study on Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) dengan salah satu tujuannya
adalah untuk membandingkan prevalensi asma di suatu negara. Survei dengan menggunakan
kuesioner ISAAC telah dilakukan di 155 pusat asma yang berada di 56 negara salah satunya
adalah Indonesia. Kuesioner ISAAC ditujukan pada kelompok usia 6 - 7 tahun dan usia 13 - 14
tahun. Hasil dari survei tersebut bervariasi di beberapa negara dengan prevalensi asma antara 2,1
- 32,2%. Hasil survei dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada siswa usia 13 - 14 tahun di
Indonesia menunjukkan bahwa di Jakarta Timur prevalensi asma pada tahun 2001 sebesar 8,9%
dan meningkat menjadi 13,4% pada tahun 2008. Survei yang sama dilakukan pada kelompok
usia 13 - 14 tahun di Jakarta Barat, hasilnya adalah prevalensi asma sebesar 13,1%.3
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non-genetik.
Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara, asap rokok, makanan
cepat saji, berat lahir, cooking fuel, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah yang tidak
memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi. Penelitian yang dilakukan di
Padang memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk memengaruhi timbulnya
asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah atau ibu, diikuti faktor berat lahir,
kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian obat parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan
kontak dengan unggas merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma.1
Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan, hanya saja penyakit ini dapat dikontrol
sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian asma dilakukan dengan
menghindari faktor pencetus, yaitu segala hal yang menyebabkan timbulnya gejala asma.
Apabila anak menderita serangan asma terus-menerus, maka mereka akan mengalami gangguan
proses tumbuh kembang serta penurunan kualitas hidup.3
1.2 Batasan Penulisan
Case Report Session ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi,
patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan Asma bronkial.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis
tentang Asma bronkial.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang Asma bronkial.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma adalah suatu penyakit heterogen, umumnya ditandai dengan inflamasi kronik saluran
pernapasan. Asma ditandai dengan adanya riwayat gejala-gejala pada saluran pernafasan seperti
mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi sepanjang waktu dan juga
intensitasnya, disertai adanya keterbatasan aliran udara yang bervariasi yang timbul secara
kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan
biasanya timbul jika ada pencetus misalnya olahraga, papatan alergen atau iritan, perubahan
cuaca, atau infeksi viral pernapasan.2
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan pengobatan dan dapat
menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi lain, pasien juga dapat mengalami
beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam nyawa dan dapat
memberikan beban yang signifikan bagi pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan
hiperesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi
jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala dan
fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi.2

2.1 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak maupun dewasa,
dengan gejala utama wheezing. Sejarah penyakit asma mengindikasikan bahwa asma merupakan
penyakit yang kebanyakan terjadi di negara yang telah berkembang dengan pendapatan tinggi
high income countries, seperti Amerika diperkirakan secara global, terdapat 334 juta orang
penderita asma di dunia. Global disease burden penyakit asma kebanyakan terdapat di negara
berkembang dengan pendapatan yang rendah. Angka ini didapatkan dari analisis komprehensif
mutakhir Global Burden of Disease study (GBD) yang dilakukan pada tahun 2008-2010.1
Pada paruh ke dua abad 20, prevalensi asma di negara industri meningkat bermakna, namun
penyebab kenaikan prevalens ini tidak jelas. Kini diketahui bahwa penyakit asma sering
ditemukan baik di negara dengan pendapatan tinggi maupun rendah, dan prevalensi asma ringan
sedang dan asma berat meningkat lebih cepat dinegara dengan pendapatan rendah dan
menengah. Diperkirakan prevalensi asma di berbagai negara dengan pendapatan rendah dan
menengah terus meningkat. Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan penelitian
tentang prevalensi asma anak di seluruh dunia.1
Prevalensi asma meningkat 5—30% dalam satu dekade terakhir. World Health Organisation
(WHO) memperkirakan 235 juta penduduk dunia menderita asma dan paling sering terjadi pada
anak. Studi retrospektif yang dilakukan oleh The UK wide National Asthma Management Study
bersama dengan Tayside Asthma Management Initiative yang melibatkan 12.203 responden
menunjukkan serangan asma tersering terjadi pada kelompok anak usia kecil dari lima tahun
(37%).4
Salah satu faktor demografi yang berpengaruh terhadap prevalensi asma adalah jenis
kelamin. Studi yang dilakukan oleh Osman menggambarkan prevalensi asma pada laki-laki lebih
tinggi dibandingkan perempuan sebelum usia pubertas (16:9) dan sebaliknya setelah usia
pubertas, yang kemudian disebut dengan reversal phenomenon. Pertumbuhan paru anak laki-laki
relatif lebih lambat dibandingkan wanita sehingga Expiratory Air Flow Rates (EFR) laki-laki
lebih rendah dari wanita. Perlu diketahui bahwa gejala obstruksi saluran napas akan muncul
apabila telah mencapai baseline dan disinilah kerugian EFR yang rendah pada anak laki-laki
apalagi jika telah diinduksi infeksi virus. Namun disaat mencapai usia pubertas, pada anak laki-
laki terjadi akselerasi dari seluruh fungsi paru sehingga insiden asma menurun.4
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995, dari 14,3 menjadi 20,6
per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per juta.
Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang tua
>65 tahun, dan dua per tiga diantaranya wanita.1

2.3 Etiologi
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non-
genetik. Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara, asap rokok,
makanan cepat saji, berat lahir, cooking( fuel,( rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah
yang tidak memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi. Penelitian
yang dilakukan di Padang memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk
memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah atau
ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu. Sedangkan, pemberian ASI
merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma.1
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa setiap unsur di udara yang kita hirup dapat
mencetus kambuhnya asma pada penderita. Faktor pencetus asma dibagi dalam dua kelompok,
yaitu genetik, di antaranya atopi/alergi bronkus, eksim; faktor pencetus di lingkungan, seperti
asap kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur, pembakaran sampah, kelembaban dalam
rumah, serta alergen seperti debu rumah, tungau, dan bulu binatang.3

2.5 Patogenesis
Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering berawal pada anak usia dini.
Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan sehingga upaya
dikerahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat dimodifikasi untuk pencegahan.
Banyak pedoman menyebutkan bahwa faktor tersebut antara lain infeksi, pajanan mikroba,
alergen, stres, polusi, dan asap tembakau. Perkembangan alergen IgE spesifik, terutama jika
terjadi pada awal kehidupan, merupakan faktor risiko penting berkembangnya asma.1
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma
adalah untuk mengatasi bronkospasme.5,6
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan
dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas
saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel
mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi
ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.5,6
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi
memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.5,6
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat
pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari
alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi
sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin
D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot
bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini
akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan. 5,6

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan


proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan
membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel,
penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik
maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka
terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung
terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.5,6

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses
reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada
proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor
(EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia,
pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel
yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia
kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini
tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang
persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.5,6
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak
diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi
saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata
ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa
proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila
intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat
untuk mencegah terjadinya proses remodeling.2,5,6

2.6 Manifestasi Klinis


• Wheezing dan atau Batuk Kronik Berulang (BKB) dapat menjadi petunjuk awal
adanya asma1
• Karasteristik yang mengarah ke asma1
• Gejala episodik / berulang
• Variabilitas, intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, biasanya lebih berat
pada malam hari (nokturnal)
• Reversibilitas : membaik secara spontan atau dengan obat
• Timbul bila ada faktor pencetus:
o Iritan: asap rokok, asap obat nyamuk, asap bakaran sampah, suhu dingin,
udara kering, makan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan,
pewarna makanan
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari,
o Infeksi respiratori akut karena virus
o Aktifitas fisik : berlarian, berteriak, menangis atau tertawa berlebihan
• Riwayat alergi pada pasien / keluarga

Hal berikut merupakan tanda tanda asama, dan, jika ada, meningkatkan kemungkinan untuk
pasien menderita asma2
1. Lebih dari satu gejala (wheeze atau mengi, nafas pendek- pendek, batuk dan sesak pada
dada) khususnya pada dewasa.
2. Gejala sering memberat pada malam hari atau pagi hari.
3. Gejala berlangsung lama
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, olahraga, pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa
atau iritan semisal debu, asap dan bau-bauan yang kuat.

Hal berikut merupakan gejala respiratorik yang jika dijumpai mengurangi kecurigaan terhadap
asma 2

1. Batuk tanpa gejala respiratorik lain.


2. Produksi sputum yang kronis
3. Pemendekan nafas yang berhubungan dengan pusing, sakit kepala ringan atau paresthesia
4. Nyeri dada
5. Dyspnea yang dipicu olahraga
Klasifikasi Asma:1
1. Berdasarkan serangan asma

2. Berdasarkan kekerapan asma

Derajat Asma Keterangan

Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥ 6

minggu

Persisten ringan Episode gejala asma > 1x sebulan, < 1x seminggu

Persisten sedang Episode gejala asma > 1x seminggu namun tidak setiap hari

Persisten berat Episode gejala asma hampir setiap hari

3. Berdasarkan derajat kendali


Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah asma
yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
• Asma terkendali penuh (well controlled)
- Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/ sedang/berat)
• Asma terkendali sebagian (partly controlled)
• Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana
yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step-up), pemeliharaan (maintenance)
atau turun jenjang (step-down) tata laksana yang akan diberikan.
Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab. Karakteristik
demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe asma. Berikut ini adalah beberapa
fenotipe asma.2
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya muncul pada anak-anak
dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis alergi, eczema atau alergi makanan.
Pemeriksaan sputum pada pasien tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan
nafas eosinofilik. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap terapi
kortikosteroid inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya dapat ditemui
neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel inflamasi. Asma jenis ini tidak
berespon baik terhadap kortikosteroid inhalasi.
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama kali pada saat dewasa,
biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi
4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang sangat menonjol dan
sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik
2.7 Diagnosis

1. Anamnesis1
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktorpencetus.
- Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan,
pewarna makanan.
- Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
- Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
- Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian
obat pereda asma.
2. Pemeriksaan fisik1
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti
dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic
shinersatau geographictongue.
3. Pemeriksaan penunjang2
a. Test Fungsi Paru untuk mendokumentasikan bermacam keterbatasan aliran udara
ekspirasi
Forced expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dari spirometri lebih dipercaya daripada
peak expiratory flow (PEF). Penurunan FEV1 dapat ditemukan dengan beberapa penyakit
paru,, namun penurunan rasio dari FEV1 banding FVC mengindikasikan keterbatasan
aliran udara. Biasa,ya, FEV1/FVC rasio normalnya lebih dari 0.75 sampai 0.80 dan
biasanya lebih dari 0.90 pada anak anak.
Pada praktik klinis sekali obstructive sudah terkonfirmasi, variasi keterbatasan aliran
udara meliputi FEV1 dan PEF. Variasi ini dapat terindentifikasi pada pemeriksaan pada
satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, dari visit kevisit, atausecara musiman.
Pada pasien dengan gejala respiratorik, menghasilkkan dasardari variasi yang berbagai
macam dari fungsi ekspirasi paru adalah komponen penting untuk mendiagnosis asma,
beberapa contoh spesifik adalah :
- Peningkatan fungsi parusetelah pemberian bronchodilator, atau setelah mendapat
terapi kontroler.
- Penurunan pada fungsi paru setelah olahraga atauselama tes provokasi bronkial.
- Vaiasi pada fungsi paru diatas rerata normal ketika diulangi dari waktuke watu, visit
berbeda atau monitoring di rumah selama 1-2 minggu.

Pada pasien dengan gejala respiratorik, makin besar variasi pada fungsi paru, atau lebih
banyak variasi yang terlihat, makin membuktikan diagnosis asma. Secara umum, pada
dewasa dengangejala respirasi tipikal asma, peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan
> 200ml dari baseline, atau perubahan dalam PEF paling sedikit 20% dapat didiagnosis
sebagai asma.

b. Tes Provokasi Bronkial


Keterbatasan aliran udara dapat hilang pada pemeriksaan awal. Dokumentasi variasi
keterbatasan aliran udara adalah bagian yang menjadi kunci untuk pembuktian diagnosis
asma, salah satu pilihanyang disarankan untuk memeriksa hipersensitivitas jalan nafas
adalah tes provokasi bronkial. Ini lebih seding diakui dengan methacoline inhalasi,
namun histamine, olahraga, atau mannitol inhalasi dapat digunakan juga. Tes ini cukup
sensitive untuk diagnosis asma namun mempunya spesifisitas yang terbatas. Sebagai
contoh, hipersensitivitas jalan nafas yang dipengaruhi oleh methacholin inhalasi telah
dideskripsikan pada pasien denggan alergi rhinitis, fibrosis kistik, dysplasia
bronkopulmoner, dan PPOK. Ini berarti dengan hasil uji negative pada pasien tidak
mengonsumsi kontikosteroid inhalasi dapat membantu mengeksklusikan asma, namun
dengan hasil positif tidak selalu berarti bahwa pasien tersebut mempunyai asma.
c. Tes Alergi
Keberadaan atopi meningkatkan kemungkinan pasien dengan gejala respirasi memiliki
asma alergi, namun ini tidka spesifik untuk asma. Status atopi dapat diidentifikasi dengan
skin prick testatau mengukur jumlah IgE serum. Skin prick test dengan allergen
lingkungan sederhana dan cepat dilakukan, tidka mahal, dan memiliki sensitivitas tinggi.
Mengukur jumlah serum IgE tidak lebih dipercaya daripada skin prick test dan lebih
maahal, namun bias dilakukan pada pasien yang tidka kooperatif, seseorang dengan
penyakit kulit menyeluruh, atau riwayat anafilaksis.
Gambaran Klinis yang Mendukung Asma pada Balita2

Gambaran Klinis Karakteristik yang mendukung asma

Batuk Batuk berulang atau persisten non produktif


yang dirasakan lebih berat pada malam hari
disertai dengan wheezing dan atau sesak.
Batuk terjadi pada saaat aktivitas, tertawa,
menangis atau terpajan asap rokok tanpa
infeksi saluran napas
Wheezing Terjadi berulang, pada saat tidur atau
dicetuskan oleh infeksi virus, aktivitas,
tertawa, menangis atau terpajan asap rokok
atau polusi udara (dalam ruangan atau luar
ruangan)
Kesulitan bernapas Terjadi pada saat demam, aktivitas, tertawa
atau menangis
Aktivitas terbatas Tidak dapat berlari, bermain atau tertawa
dengan intensitas yang sama dengan anak lain,
mudah lelah pada saat berjalan (selalu ingin
digendong)
Riwayat keluarga Penyakit alergi lain (dermatitis atopi dan
rinitis) Asma pada orang tua atau saudara
kandung
Uji terapi dengan steroid Klinis membaik selama 2-3 bulan dengan obat
inhalasi dosis rendah dan pengendali dan memburuk ketika pengobatan
pemberian agonis β2 dihentikan
kerja pendek bila
diperlukan
Kriteria diagnosis Asma untuk dewasa, dan anak anak 6-11 tahun.2

1. Riwayat gejala-gejala respiratorik


Mengi (Wheeze), pemendekan nafas,  Secara umum lebih dari satu
sesak pada dada dan batuk tipedari gejala-gejala repiratorik
 Gejala terjadi pada waktu yang
cukup lama
 Gejala sering memburuk pada
malam hari atau ketika bangun
 Gejala dipicu oleh olahraga,
tertawa, allergen, dan cuaca
dingin
 Gejala muncul atau tambah
buruk saat infeksi viral
Keterbatasan aliran udara
Dokumentasikan hasil tes fungsi paru Lebih banyak variasi yang terlihat,
dan keterbatasan aliran udara makin yakin diagnosisnya

Paling tidak sekali saat proses


diagnostic ketika FEV1 rendah,
dikonfisrmasi dengan menurunnya
FEV1/FVC (normal : >0,75-0,80 pada
dewasa, >0.9 pada anak anak)

Positive bronchodilator (BD) reversible Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan


test (seringkali positif jika BD diberikan >200 mL dari baseline, 10 -15 menit
sebelum uji: SABA ≥ 4 jam, LABA ≥15 setelah 200-400 mcg albuterol
jam) Anak : peningkatan FEV1 >12%
Perubahan PEF yang signifikan 2x Dewasa : rerata perubahan harian PEF
sehari selama lebih dari 2 minggu diurnal >10%
Anak : rerata perubahan harian PEF
diurnal >13%
Peningkatan fungsi paru yang signifikan Dewasa : Peningkatan FEV1 >12% dan
setelah 4 minggu pengobatan anti- >200 mL dari baseline setelah 4 minggu
inflamasi pengobatan, tanpa infeksi saluran nafas.
Uji Olahraga Poditif Dewasa : jatuh FEV1 >10% dan
>200mL dari baseline
Anak : jatuh FEV1>12% atau PEF
>15%
Uji Bronchial challenge FEV1 jatuh dari baseline >20% dengan
methacholine atau histamine dosis
standar, atau dengan ≥15% dengan
hiperventilasi yang terstandarisasi, salin
hipertonik.

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin
dicapai adalah: 1
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi,
terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tatalaksananyaperlu dievaluasi kembali. 1

Tata laksana yang dapat dilakukan pasien/orang tua di rumah:1


Jika tidak ada keadaan seperti berikan berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek, via nebulizer atau
dengan MDI + spacer, sebagai berikut:
A. Jika diberikan via nebulizer
1. Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas dan wheezing)
menghilang, cukup diberikan satu kali.
2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via nebulizer belum membaik, segera
bawa ke fasyankes.
B. Jika diberikan via MDI + spacer
1. Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot. Berikan satu
semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui antar muka (interface) spacer
berupa masker atau mouthpiece. Bila belum ada respons berikan semprot berikutnya dengan
siklus yang sama.
2. Jika membaik dengan dosis ≤ 4 semprot, inhalasi dihentikan.
3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis <4 semprot, segera bawa ke fasyankes.
Tata laksana di Ruang Rawat Inap 1
Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawat inap:
• Pemberian oksigen diteruskan.
• Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi asidosisnya.
• Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena adalah 0,5-1
mg/kgBB/hari.
• Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida dengan oksigen
dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
• Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
- Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal (inisial)
sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau
mikroburet.
- Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis rumatan
sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan
separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam).
- Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20
mcg/ml.
- Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah mual,
muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia,
hipotensi, dan kejang.
• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai 24 jam,
dan steroid serta aminofilin diganti dengan pemberian peroral.
• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat agonis β2
(hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tata
laksana.
Pengobatan dan Strategi Mengontrol Gejala Asma serta Menurunkan Risiko2
Terapi farmakologi untuk pengobatan jangka panjang dibagi menjadi tiga kategori
utama:
1. Controller: Pengobatan ini bertujuan menurunkan inflamasi pada airway, mengontrol
gejala, dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru
2. Reliever: Pengobatan ini digunakan pada semua pasien untuk meredakan gejala
termasuk ketika kondisi eksaserbasi. Pengobatan ini direkomendasikan untuk
mencegah bronkokonstriksi. Menurunkan dan idealnya menghilangkan pengobatan
reliver yang menjadi tujuan dan kesuksesan utama manajemen asma
3. Terapi tambahan pada pasien asma berat: diberikan ketika pasien memiliki gejala
persisten dengan/atau eksaserbasi meskipun telah diberikan pengobatan controller
dosis tinggi
Dosis Kortikosteroid Inhalasi2
Langkah 1: Kebutuhan Reliever
Kebutuhan inhalasi short-acting beta2-agonist (SABA)
SABA sangat efektif dan cepat dalam meredakan gejala asma. Tetapi rendahnya evidens
terkait keamanan meredakan asma dengan SABA tunggal, menyebabkan perlunya
penanganan terutama pada pasien dengan gejala asma <2 bulan, dengan tanpa terbangun
malam hari dan fungsi paru normal serta faktor risiko eksaserbasi (FEV1 <80% sebelum
12 bulan). Maka dari itu perlu diberikan terapi controller.
Tidak Direkomendasikan: Pada usia dewasa, inhalasi antikolinergik seperti ipratoprium,
oral SABA atau short acting teofilin berpotensi sebagai alternatif SABA untuk meredakan
gejala asma namun memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan SABA. Onset cepat
LABA, formoterol, efektif sebagai SABA untuk meredakan asma pada anak dan dewasa,
namun penggunaan reguler LABA tanpa ICS dapat berisiko mengalami eksaserbasi.
Langkah 2: Controller Dosis Rendah dan Reliever
Pengobatan ICS dosis rendah dapat menurunkan gejala asma, peningkatan fungsi paru,
memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan risiko eksaserbasi dan hospitalisasi atau
kematian.
Leukotriene receptor antagonist (LTRA) memiliki efektifitas lebih rendah dibanding ICS.
Agen ini cocok diberikan sebagai inisial controller pada pasien dengan kontraindikasi ICS
atau pada pasien dengan rinitis alergi konkomitan
Tidak direkomendasikan: Teofilin memiliki efikasi lemah pada asma dan terkait efek
samping pada dosis tinggi. Chromones (sodium nedokromil dan sodium kromoglikat)
memiliki efikasi yang rendah.
Langkah 3: Satu atau Dua Controller dan Reliever
Dewasa: Kombinasi dosis rendah ICS/LABA sebagai maintenance ditambah dengan
SABA atau kombinasi dosis rendah ICS/formoterol (budesonide atau beclometasone)
keduanya sebagai maintenance dan ditambah reliever.
Langkah 4: Dua atau lebih Controller dan Reliever
Dewasa: Kombinasi dosis rendah ICS/formoterol sebagai maintenance dan reliever atau
kombinasi dosis medium ICS/LABA dengan SABA
Opsi lain: Tiotropium (long acting muscarinic antagonist) sebagai inhaler dapat digunakan
pada pada dewasa atau remaja dengan riwayat eksaserbasi; tidak diindikasikan pada anak
usia <12 tahun
Langkah 5: Pengobatan Tinggi dengan/atau Terapi Tambahan
Rujuk spesialis untuk investigasi dan terapi tambahan. Pasien dengan gejala persisten atau
eksaserbasi meskipun telah diberikan terapi adekuat. Terapi yang diberikan
a. Tiotropium pada pasien >12 tahun
b. Anti-immunoglobulin E (anti-IgE)(omalizumab) untuk pasien >6 tahun dengan asma
moderat atau berat
c. Anti-interleukin-5 (subkutan mepolizumab, intavena reslizumab) untuk pasien usia >12
tahun dengan asma eosinofilia berat
d. Bronkial termoplasti
e. Kortikosteroid oral dosis rendah (≤7.5mg/hari prednison)
Panduan Edukasi dan Latihan Manajemen Asma2
1. Penggunaan Inhaler yang Efektif

2. Pemberian Info Asma


Tatalaksana yang dapat dilakukan jika terjadi asma eksaserbasi akut:2
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi paru dari
keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis pertama dari asma. Istilah
“episode”, “serangan”, atau “asma berat akut” sering digunakan, tapi pengertiannya
berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali, dan
diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko kematian akibat
asma:
a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan intubasi dan ventilasi
b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12 bulan terakhir
c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid
e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih dari 1
canister/bulan
f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
h. Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana mandiri dan
berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui tatalaksana dari gejala
yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam
rumah sakit.
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat asma sehingga
dapat memudahkan mengenali dan menangani asma.
a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana mengganti obat
controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke perawatan medis
jika gejala tidak berespons dengan terapi.
b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk pergi ke instalasi
medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF (pada dewasa).
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, berikut
adalah tatalaksananya:
a) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak nafas, laju
pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru, sambil memulai terapi short-
acting beta2 agonist (SABA) dan terapi oksigen
b) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai adanya tanda tanda
eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan kesadaran atau silent chest. Saat
pemindahan pasien, inhalasi SABA, ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan
kortikosteroid sistemik jika diperlukan
c) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan MDI atau spacer),
atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian oksigen terkendali jika tersedia.
Penilaian ulang respons gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus
dilakukan tiap 1 jam
d) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi berat
e) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan eksaserbasi
berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
f) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
g) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status klinis, fungsi paru,
respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan kemampuan untuk mengendalikan asma
di rumah
h) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana selanjutnya, termasuk
pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi controller untuk 2-4 minggu,
dan penurunan reliever sesuai penggunaan sebutuhnya.
i) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma
2.9 Prognosis
Penghindaran pencetus asma merupakan bagian dari tata laksana non-medikamentosa pada
asma anak selain tata laksana komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), baik pada pasien
maupun keluarganya. Serangan asma bisa terjadi akibat dua faktor, yaitu kegagalan dalam
farmakoterapi jangka panjang dan kegagalan menghindari faktor pencetus, ketika faktor pencetus
ini bisa menyebabkan keadaan yang tidak ada gejala menjadi bergejala atau yang gejalanya
ringan menjadi berat. Telah diketahui banyak faktor risiko terhadap kejadian asma pada anak,
tetapi ada dua faktor besar yang dipercaya sangat berperan pada kejadian asma, yaitu faktor
genetik dan lingkungan.1
Anggapan bahwa asma dapat disembuhkan atau dikendalikan hanya dengan obat-obatan
akan membuat penyakit asma semakin parah karena penghindaran faktor pencetus ini
merupakan upaya utama dalam tata laksana asma. Dengan penghindaran pencetus yang
adekuat, kebanyakan asma dapat dikendalikan walau terkadang tanpa obat asma.1
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Syifa Ashari

Tanggal Lahir : 28 Mei 2007

Umur : 11 Tahun 2 Bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

No. RM : 00.64.14.36

Nama Ibu Kandung : Yasmaiyeni

Tanggal Masuk : 28 Juli 2018

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Bertambah Sesak sejam 10 jam sebelum masuk Rumah Sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

- Anak sudah dikenal menderita asma sejak 8 tahun yang lalu.


- Batuk sejak 2 hari yang lalu, berdahak warna putih dan disertai pilek.
- Sesak Nafas sejak 1 hari yang lalu, berbunyi menciut, dipengaruhi oleh cuaca dingin,
makanan manis (terutama coklat) dan bulu kucing. Anak bertambah sesak sejak 10 jam
yang lalu, anak terbangun dari tidurnya karna sesak, Anak hanya bisa bicara 1-2 kata,
dengan posisi duduk bertopang. Dan anak gelisah. Anak telah dinebu sebanyak 3 kali
dirumah dengan nebu ventolin dan kombivent. Pertama jam 23.00, kemudian jam 03.00
dan terakhir jam 06.00 pagi. Keluhan berkurang, namun kembali kambuh dan lansung
dibawa ke IGD RSUP DR M Djamil. Di IGD anak telah de nebu sebanyak 2 kali dengan
fentolin dan combivent namun sesak tidak berkurang.
- Anak mengeluh nyeri ulu hati dan nafsu makan berkurang sejak 1 hari yang lalu.
- riwayat atopi dalam keluarga ada, kakek dari ayah menderita Asma.
- Demam dan kejang idak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- BAK jumlah dan warna biasa
- BAB warna kan konsistensi biasa

Riwayat Penyakit Dahulu

- Anak sudah dikenal menderita asama sejak usia 3 tahun, serangan ke dua, ketiga, dan
keempat saat usia 7 tahun (3 kali setahun), pada serangan ke empat pasien dirawat di RS.
Serangan terakhir 15 hari yang lalu, anak masuk IGD, dilakukan nebulisasi 3 kali,
kemudian anak dipulangkan. Anak tidak pernah kontrol ke poli anak.
- Anak alergi cuaca dingin, makanan dan minuman manis, terutama coklat.

Riwayat Penyakit Keluarga

- Kakek dari ayah pasien menderita Asma

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

- Anak seorang pelajar SD kelas V

Riwayat Persalinan

Lama hamil : 36-37 minggu

Cara lahir : Operasi Caesar

Ditolong oleh : Dokter

Indikasi : Ketuban Pecah Dini

Berat Lahir : 2800 gram

Panjang lahir : 48 cm
Saat Lahir : Lansung menangis kuat

Kesan : Riwayat kelahirsan kurang bulan

Riwayat Makan dan Minuman

 Bayi

ASI : 0-2 tahun

Susu Formula : dari umur 2 bulan- umur 5 tahun

Bubur Susu : umur 6 bulan

Nasi Tim : umur 9 bulan

 Anak

Makanan Utama : 3 x/hari enghabiskan 1 porsi

Daging : 1 kali seminggu

Ikan : 3 kali seminggu

Telur : 3 kali perminggu

Sayur : 3 kali perminggu

Buah : 3 kali perminggu

Kesan : kualitas dan kuantitas cukup

Riwayat Imunisasi

- BCG : 1 bulan

- DPT : 2,4,6 bulan

- Hepatitis B : 2,4,6 bulan

- Polio : 2,4,6 bulan


- Campak : 9 bulan, 18 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Umur Riwayat gangguan Umur


Pertumbuhan dan perkembangan
perkembangan mental
Ketawa 3 bulan Isap Jempol -
Miring 3 bulan Gigit Kuku -
Tengkurap 4 Bulan Sering mimpi -
Duduk 6 bulan Mengompol -
Merangkak 8 bulan Aktif Sekali
Berdiri 10 Bulan Apatik -
Lari 1,5 tahun membangkang -
Gigi pertama 6 bulan Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek -
Membaca 5 tahun Kesukaran Belajar -
Prestasi disekolah Baik

Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal

Riwayat Keluarga

AYAH IBU
Nama Rafles Yasmaiyeni
Umur 42 42
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Buruh Harian IRT
Perkawinan Ke I I
Penyakit Tidak Ada Tidak Ada
Saudara Kandung

1. Perempuan: 11 tahun, pasien


2. Perempuan: 7 tahun, sehat

Riwayat Perumahan dan Lingkungan

Rumah tempat tinggal : Semi Permanen

Sumber air minum : Air Sumur Dimasak

Buang Air Besar :Dalam Rumah

Pekarangan :Cukup Luas

Sampah :Dibakar

Kesan : Higiene dan sanitasi kurang baik

3.3 Pemeriksaan Fisik

Vital Sign

Keadaa Umum: Sedang

Kesadaran : Sadar

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 139 x/menit

Pernafasan : 35 x/i

Suhu : 37˚C

Edema : Tidak ada

Sianosis : Tidak ada

Anemis : Tidak ada


Ikterus : tidak ada

BB : 38 kg

TB : 146 cm

BB/U : 101,3%

TB/U : 103, 1%

BB/TB :91%

Status Gizi : Gizi baik

Status Generalis

Kulit : Teraba hangat

KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : Bulat, Simetris

Rambut : Hitam, tidak mudah rontok

Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, pupil isokor 2mm/2mm, reflek
cahaya +/+ normal

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada

Tenggorokan : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis

Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah

Leher : JVP 5-2 cmH20

Thorax

Paru
Inspeksi : Normochest, Simetris kiri dan kanan, retraksi epigastrium dan interkostal

Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Rh -/-, Wheezing +/+

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial, LMCS RIC V

Perkusi : Batas atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial l LMCS RIC V

Auskultasi : Irama reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada

Abdomen

Inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : Supel, Hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : Bising jantung (+) Normal

Punggung : Tidak Ada kelainan

Genitalia : A1M2P1

Anggota Gerak: Akral hangat, CRT < 2 detik

Pemeriksaan Laboratorium :

 Darah
(29/07/2018)
Hb : 13,1 gr/dl
Ht : 40 %
Leukosit : 18.280 /mm3
Trombosit : 398.000/mm3
Hitung jenis : 0/0/1/89/7/3

Kesan : netrofilia, limfositosis

Diagnosa kerja :

- Asma Persisten Ringan, serangan berat, respon parsial

Tatalaksana :

- O2 2L/ menit
- Drip aminofilin 200 mg dalam D5% 500 cc (selama 6 jam) dilanjutkan IVFD KaEN
1 B 56 cc/jam
- Dexametason 3 x 6 mg (IV)
- Nebu Ventolin / 4 jam, 1 Resfull
- Teofilin 3x115 mg po

Follow up (28/07/2018)
S : anak terpasang O2 nasal,
tidak demam, tidak kejang, sesak nafas berkurang, anak masih dalam drip aminofilin,
sementara puasa
BAK ada, jumlah dan warna biasa
BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
TD : 110/70mmHg, Nadi : 100x/ menit

Nafas : 28 x/ menit Suhu : 36,8oC


Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
Paru : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing +/+
Jantung : Reguler, bising (-), Gallop (-)
Abdomen : Distensi (-), bunyi usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

A : Asma Persisten Ringan, serangan berat, respon parsial

P: - O2 2L/ menit
- IVFD D5 % + aminofilin 200 mg drip 27 tpm (makro) selama 6 jam, dilanjutkan
IVFD kaEN 1B 56 cc/jam
- Dexametason 3 x 6 mg (IV)
- Nebu Ventolin 1 resfull tiap 4 jam
- Teofilin 3x115 mg po

Follow up (29/07/2018)
S :
- tidak demam
-tidak kejang,
- Sesak nafas berkurang, dan tidak menciut
-Sementara puasa
-BAK ada, jumlah dan warna biasa
-BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
TD : 115/70mmHg, Nadi : 84 x/ menit

Nafas : 20x/ menit Suhu : 36,8oC


Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
Paru : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing +/+
Jantung : Reguler, bising (-), Gallop (-)
Abdomen : Distensi (-), bunyi usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

A : Asma Persisten Ringan, serangan berat, respon parsial


P: - O2 2L/ menit
- IVFD D5 % + aminofilin 200 mg drip 27 tpm (makro) selama 6 jam, dilanjutkan
IVFD kaEN 1B 56 cc/jam
- Dexametason 3 x 6 mg (IV)
- Nebu Ventolin 1 resfull tiap 4 jam
- Teofilin 3x115 mg po
DISKUSI
Seorang pasien Perempuan berumur 11 tahun 2 bulan datang ke IGD RSUP Dr. M.
Djamil pada tanggal 28 Juli 2018, dengan keluhan utama sesak napas meningkat sejak 10 jam
SMRS. Dari anamnesis anak sudah dikenal menderita asma sejak 8 tahun yang lalu. Batuk sejak
2 hari yang lalu, berdahak warna putih dan disertai pilek. Sesak Nafas sejak 1 hari yang lalu,
berbunyi menciut, dipengaruhi oleh cuaca dingin, makanan manis (terutama coklat) dan bulu
kucing. Anak bertambah sesak sejak 10 jam yang lalu, Anak hanya bisa bicara 1-2 kata, dengan
posisi duduk bertopang. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan retraksi epigastrium saat
inspeksi dan pada auskultasi terdengar wheezing pada kedua lapangan paru.
Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu
penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi
kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing
(mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai
dengan limitasi aliran udara ekspiratori. Wheezing dan atau Batuk Kronik Berulang (BKB)
dapat menjadi petunjuk awal adanya asma. Berdasarkan derajat serangan pasien dikategosikan
sebagai serangan berat karena memenuhi kriteria bicara dalam kata, duduk bertopang lengan
gelisah, frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi meningkat, retraksi jelas. Berdasarkan
kekerapan maka pasien dikategorikan sebagai asma persisten ringan sesuai dengan kriteria y
akni episode gejala asma >1x/bulan, <1x/ minggu. Sehingga pasien didiagnosa sebagai Asma
persisten ringan serangan berat.
Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat menyerang anak-anak hingga
orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak. Menurut para ahli,
prevalensi asma akan terus meningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk dunia terserang asma
dengan penambahan 180.000 setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi asma menurut data
Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 sebesar 4%. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi asma untuk seluruh kelompok usia sebesar 3,5%
dengan prevalensi penderita asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun
sebesar 2,0%.
Anak sudah dikenal menderita asma sejak usia 3 tahun dan telah mendapatkan terapi.
Pada saat dibawa ke M.jamil anak telah di nebu sebanyak 6 kali menggunakan fentolin dan
combivent dirumah, keluhan berkurang sedikit dan kambuh lagi. Di IGD anak mendapatkan
nebu fentolin dan combivent sebanyak 2 kali namun keluhan tidak berkurang. Sehingga
berdasarkan derajat terkendali, pasien dikategorikan sebagai asma terkendali sebagian.
Pasien dirawat dibagian akut IKA RSUP Dr. M. Djamil, dan diberikan O2 2L/ menit
Drip aminofilin 200 mg dalam D5% 500 cc (selama 6 jam) dilanjutkan IVFD KaEN 1 B 56
cc/jam, Dexametason 3 x 6 mg (IV) Nebu Ventolin / 4 jam, 1 Resfull, Teofilin 3x115 mg po.
Terapi pasien pada saat rawat inap sesuai dengan pedoman tatalaksana asma pada anak yakni
Pemberian oksigen diteruskan. Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan
koreksi asidosisnya. Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid
intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari. Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan
ipratropium bromida dengan oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian
mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.Aminofilin
diberikan secara intravena dengan dosis: bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya,
aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau
garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau
mikroburet, bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis rumatan
sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam, jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam),
bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml, pantau
gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah mual, muntah, takikarsi
dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Bila telah
terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai 24 jam, dan steroid
serta aminofilin diganti dengan pemberian peroral. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien
dapat dipulangkan dengan dibekali obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6
jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat
jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tata laksana.
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga
menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan
yang ingin dicapai adalah aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga,
gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari, kebutuhan obat seminimal mungkin dan
tidak ada serangan, efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin
terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai
maka tatalaksananyaperlu dievaluasi kembali.
Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan, hanya saja penyakit ini dapat dikontrol
sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian asma dilakukan dengan
menghindari faktor pencetus, yaitu segala hal yang menyebabkan timbulnya gejala asma.
Apabila anak menderita serangan asma terus-menerus, maka mereka akan mengalami gangguan
proses tumbuh kembang serta penurunan kualitas hidup. Penghindaran pencetus asma
merupakan bagian dari tata laksana non-medikamentosa pada asma anak selain tata laksana
komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), baik pada pasien maupun keluarganya. Serangan
asma bisa terjadi akibat dua faktor, yaitu kegagalan dalam farmakoterapi jangka panjang dan
kegagalan menghindari faktor pencetus, ketika faktor pencetus ini bisa menyebabkan keadaan
yang tidak ada gejala menjadi bergejala atau yang gejalanya ringan menjadi berat. Telah
diketahui banyak faktor risiko terhadap kejadian asma pada anak, tetapi ada dua faktor besar
yang dipercaya sangat berperan pada kejadian asma, yaitu faktor genetik dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016.
2. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention. 2017.
3. Ika D, Dwi H, Khadijah A. Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus asma
pada anak di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2015. 9(4). 322-326
4. Wahyudi, Finny FF, Erkadius. Hubungan Faktor Risiko terhadap Kejadian Asma pada
Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(2). 312-317
5. Sidhartani, M. Peran edukasi pada penatalaksanaan asma pada anak. FK UNDIP
6. Karen JM, Robert MK. Nelson. Essentials of Pediatrics Edisi ke-7. Elsevier. USA.
2015:274-279

Vous aimerez peut-être aussi