Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Sarfati Gulo (14.22201-026)
Dyah Ayu Pregawati (14.22201-028)
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah AIKA V ini dengan tepat waktu. Dalam menulis makalah ini, tidak sedikit
masalah dan rintangan yang dihadapi oleh penulis, namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang
telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini walaupun dengan banyak kekurangan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan
kepada berbagai pihak yang tidak\ bisa penulis ucapkan satu-persatu. Akhir kata penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan perbaikan dalam menyusun makalah
kedepannya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai kepada-
Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah
untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang
dari tujuan yang dicita-citakannya.
Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani
hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang
lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih
baik. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua
bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah. Orang yang berilmu sangat dimuliakan oleh
Allah SWT dan akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Sehingga Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi
agung dan mulia kehormatannya. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan
menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai
kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang
bertaqwa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam islam ?
2. Bagaimana keutamaan orang yang berilmu dalam islam ?
3. Bagaimana kedudukan Ulama dalam islam ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memahami perintah menuntut ilmu dalam islam.
2. Untuk menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dalam islam.
3. Untuk menjelaskan kududukan Ulama dalam islam.
ii
BAB II
PEMBAHASAN
ii
Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya
dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
1). Fardhu ‘ain, adalah setiap ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim tentang Ilmu
Agama Islam, agar akidahnya selamat, ibadahnya benar, mu’amalahnya lurus dan sesuai dengan
yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla, yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya yang
sahih. Inilah yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan (yang hak) Melainkan Allah”. (Q.S. Muhammad [47]: 19). Juga yang
dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya, “ Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
(H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini, adalah mencari ilmu agama Islam, hukumnya
wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2). Fardhu kifayah : adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat dengan
mempelajari, menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam ilmu-ilmu yang
dibutuhkan umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum, kedokteran, perekonomian, dan lain-
lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang
lainnya. Sedangkan jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung
resikonya.
Inilah yang diserukan Allah SWT dalam firman-Nya, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang
mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya”. (Q.S. At-Taubah [9]: 122).
Bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah, meraih ridha-Nya serta menggapai
keuntungan dan kedekatan dengan-Nya, kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah cahaya yang dengannya
Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula memberi petunjuk dari
kesesatan dan kebodohan. Dengan ilmu terungkaplah seluruh keraguan, khurafat dan kerancuan.
(Q.S. Al Maidah [5]: 15-16) dan (Q.S. Al-A’raf [7] : 157).
Allah SWT dan Rasul-Nya telah pula menentukan pedoman bagi kita hingga akhir zaman,
barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah (Hadis) Sahih, tidak akan
sesat selamanya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di
antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “. (Q.S. An
Nisa [4] : 59). Dan hadits nabi Saw.
ii
“ Sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu berpegang teguh
dengannya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu) Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah
Nabi-Nya”. (H.R. Hakim; at-Targhib, 1 : 60).
Banyak jalan untuk menuntut ilmu agama. Antara lain mengikuti majelis taklim yang
istiqomah mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah sahih di berbagai tempat dan media. Ilmu agama ada
di Qur’an , Tafsir Qur’an, juga hadis-hadis sahih, yang sudah diterjemahkan. Jika kita tidak
memahami ilmu agama Islam, bagaimana kita bisa tahu mana perintah dan larangan Allah ?
Bagaimana kita bisa tahu ibadah yang kita lakukan itu sah dan diterima Allah ? Tapi umat Islam
juga jangan sembarangan menimba ilmu. Salah-salah memilih sumber ilmu, maka kelak ilmu yang
dimiliki itu akan tersesat.
Dari keduanya ada yang berupa Ilmiah Teoritis, dan ada yang Ilmiah Praktis
1. Ilmu Syari’at
Ilmu Syariat ini terbagi menjadi 2 :
1. Ilmu Ushul (Pokok) atau Ilmu Tauhid ( Merupakan Ilmiah Teoritis)
2. Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada yang menyangkut
Hak Allah Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah, Hak Hamba Allah terkait dengan tata
pergaulan manusia yang terdiri 2 aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah,
serta
Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina,
dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
2. Ilmu Akal
Ilmu Akal itu bersifat berdiri sendiri, yang melahirkan komposisi keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika
ii
2.Tingkat kedua ialah Ilmu Alamiah ( Aksi dan Reaksi Alam )
3.Tingkat ketiga, adalah Ilmu Teori tentang Realitas, berujung pada ilmu Kenabian,
Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.
ii
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya para
malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR.
Ahmad dan Ibnu majah).
ii
Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan
dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga
melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-
rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta
untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan. Muhammad bin
al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya,
maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang
menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.” Sahl bin
Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia
melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai
fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan
demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan
bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-
demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini
tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).” Maimun
bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar
di negeri itu.”
Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib
atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya. Dari Ubadah bin
Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi
yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.” Dan di antara hak para ulama adalah mereka
tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah,
serta penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan
kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya
atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan
kedudukan dan martabat para ulama.
Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-
cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat
tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat tentang senibena kepada
para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.
Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer?
Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim mengenainya dan tidak
pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam
yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli istimbath? Allah Ta’ala
ii
berfirman: "Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena
karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja
(di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan
cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-nash
yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum
terkini, dan tidaklah begitu mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-
nash kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri”
dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri)’.” Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu. Dan
dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang
akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama. Al-Hafidz Ibnu
Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau
menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44, berkata:
Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan
oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada
saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :(padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari
mereka. (QS. an-Nisa`: 83) Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat
ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan
mereka tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk
kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau
ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak
tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang faham akan
permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya.
ii
Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai
penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari
musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak bermanfaat,
atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan
berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan
pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar. Dan dalam hal ini ada kaidah
tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu masalah hendaknya di berikan
kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih
selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala
mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara, apakah
ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu.
Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan
hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang
boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan
orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama
itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih
berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka
kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun agama.
Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada dirinya, dan tidak
memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa mengambil
pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki
jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah. Dan kita
memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga memberikan
kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan permintaan.
ii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. . Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai kepada-
Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah
untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang
dari tujuan yang dicita-citakannya. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli
fiqih mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya.
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran.
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu.
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu.
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT.
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar.
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang.
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surge.
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu.
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa
petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan
kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi
kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.
B. Saran
Sebagai seorang muslim kita sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu,
karena dalam islam orang yang berilmu itu sangat di muliakan dan akan diangkat derajatnya oleh
Allah SWT. Selain dari itu, ilmu juga memiliki banyak keutamaan. Maka dari itu, setelah kta
memahami tentang perintah menuntut ilmu dalam islam, keutamaan ilmu dan kedudukan orang
yang berilmu, kita sebagai ummat muslim diharapkan dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita
sehari-hari.
ii
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto, Prof. 2010. Ceramah Kultum. Diakses pada tanggal13 Maret 2015.
Admin. 2013. Al-qur’an dan Hadits. Diakses pada tanggal 13 Maret 2015
Indra, Dodi. 2013. Keutamaan Ilmu. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
Monica. 2014. Kedudukan Ulama dalam Islam. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
http://asbarsalim009.blogspot.co.id/2015/03/kewajiban-menuntut-ilmu-
mengembangkan.html (16.49; 28 oktober 2016)
ii