Vous êtes sur la page 1sur 14

MAKALAH

Al Islam Kemuhammadiyahan (AIKA) V


“Kewajiban Menuntut Ilmu, Mengembangkan dan Mengamalkannya”

Disusun Oleh :

Kelompok 3
Sarfati Gulo (14.22201-026)
Dyah Ayu Pregawati (14.22201-028)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
2016

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah AIKA V ini dengan tepat waktu. Dalam menulis makalah ini, tidak sedikit
masalah dan rintangan yang dihadapi oleh penulis, namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang
telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini walaupun dengan banyak kekurangan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan
kepada berbagai pihak yang tidak\ bisa penulis ucapkan satu-persatu. Akhir kata penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan perbaikan dalam menyusun makalah
kedepannya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tangerang, 1 Nopember 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………… i


KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………. ii
DAFTAR IS ……………………………………………………………….………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………..…… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………. 2
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perintah Menuntut Ilmu ……………………………………………………………….. 3
B. Keutamaan Orang yang Berilmu ………………………………………………………. 7
C. Kedudukan Ulama dalam Islam ………………………………………………………. 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………….……………. 18
B. Saran ……………………………………………………………….…………………… 19
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….……… 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai kepada-
Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah
untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang
dari tujuan yang dicita-citakannya.
Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani
hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang
lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih
baik. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua
bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah. Orang yang berilmu sangat dimuliakan oleh
Allah SWT dan akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Sehingga Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi
agung dan mulia kehormatannya. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan
menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai
kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang
bertaqwa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam islam ?
2. Bagaimana keutamaan orang yang berilmu dalam islam ?
3. Bagaimana kedudukan Ulama dalam islam ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memahami perintah menuntut ilmu dalam islam.
2. Untuk menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dalam islam.
3. Untuk menjelaskan kududukan Ulama dalam islam.

ii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perintah Menuntut Ilmu


Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai kepada-
Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah
untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang
dari tujuan yang dicita-citakannya.
Jumhur ulama sepakat, tidak ada dalil yang lebih tepat selain wahyu pertama yang
disampaikan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw sebagai landasan utama perintah
untuk menuntut ilmu. Dijelaskannya pula sarana untuk mendapatkannya, disertai bagaimana
nikmatnya memiliki ilmu, kemuliaannya, dan urgensinya dalam mengenal ke-Maha Agung-an Sang
Khalik dan mengetahui rahasia penciptaan serta menunjukkan tentang hakikat ilmiah yang tetap.
Sebagaimana firman-Nya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (baca tulis). Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
(Q.S. Al ‘Alaq [96]: 1-5).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman : “…Katakanlah : “ Adakah sama orang-
orang yang mengetahui (ilmu agama Islam) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Az Zumar [39]: 9).
Para mufasir menyimpulkan firman Allah di atas, bahwa : 1). Tidaklah sama antara hamba
Allah yang memahami ilmu agama Allah, yaitu yang menyadari dirinya, memahami tanda-tanda
kekuasaan Allah, dan mentaati segala perintah dan larangan-Nya, dengan orang-orang yang
mendustakan nikmat-nikmat Allah, yang tidak mau mempelajari ilmu agama Allah; 2). Hanya
orang-orang yang berakal sehatlah yang dapat mengambil hikmah atau pelajaran dari tanda-tanda
kekuasaan Allah.
Terkait hal tersebut, Rasulullah saw menandaskan bahwa menuntut, memahami dan
mendalami ilmu agama Islam itu, merupakan kewajiban utama setiap muslim. Sebagaimana hadis
yang diriwayatkan Abi Sufyan r.a., ia mendengar Rasulullah Saw telah bersabda : “siapa yang
dikehendaki menjadi orang baik oleh Allah, Allah akan memberikan kepahaman kepadanya dalam
agama Islam”. (H.R. Bukhari, Muslim). Memahami ilmu agama akan membuat seorang muslim,
baik dan benar dalam beribadah kepada Allah SWT, jauh dari Bid’ah atau hal-hal lain yang
membatalkan ibadah kita. Serta mampu membentengi diri dan keluarga dari aqidah berbahaya.

ii
Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya
dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
1). Fardhu ‘ain, adalah setiap ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim tentang Ilmu
Agama Islam, agar akidahnya selamat, ibadahnya benar, mu’amalahnya lurus dan sesuai dengan
yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla, yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya yang
sahih. Inilah yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan (yang hak) Melainkan Allah”. (Q.S. Muhammad [47]: 19). Juga yang
dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya, “ Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
(H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini, adalah mencari ilmu agama Islam, hukumnya
wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2). Fardhu kifayah : adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat dengan
mempelajari, menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam ilmu-ilmu yang
dibutuhkan umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum, kedokteran, perekonomian, dan lain-
lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang
lainnya. Sedangkan jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung
resikonya.
Inilah yang diserukan Allah SWT dalam firman-Nya, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang
mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya”. (Q.S. At-Taubah [9]: 122).
Bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah, meraih ridha-Nya serta menggapai
keuntungan dan kedekatan dengan-Nya, kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah cahaya yang dengannya
Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula memberi petunjuk dari
kesesatan dan kebodohan. Dengan ilmu terungkaplah seluruh keraguan, khurafat dan kerancuan.
(Q.S. Al Maidah [5]: 15-16) dan (Q.S. Al-A’raf [7] : 157).
Allah SWT dan Rasul-Nya telah pula menentukan pedoman bagi kita hingga akhir zaman,
barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah (Hadis) Sahih, tidak akan
sesat selamanya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di
antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “. (Q.S. An
Nisa [4] : 59). Dan hadits nabi Saw.

ii
“ Sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu berpegang teguh
dengannya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu) Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah
Nabi-Nya”. (H.R. Hakim; at-Targhib, 1 : 60).
Banyak jalan untuk menuntut ilmu agama. Antara lain mengikuti majelis taklim yang
istiqomah mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah sahih di berbagai tempat dan media. Ilmu agama ada
di Qur’an , Tafsir Qur’an, juga hadis-hadis sahih, yang sudah diterjemahkan. Jika kita tidak
memahami ilmu agama Islam, bagaimana kita bisa tahu mana perintah dan larangan Allah ?
Bagaimana kita bisa tahu ibadah yang kita lakukan itu sah dan diterima Allah ? Tapi umat Islam
juga jangan sembarangan menimba ilmu. Salah-salah memilih sumber ilmu, maka kelak ilmu yang
dimiliki itu akan tersesat.

B. Keutamaan Orang Berilmu


Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani
hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang
lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih
baik.
Ilmu menurut Imam Al Ghozali, dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Ilmu yang bersifat Syariat
2. Ilmu yangbersifat Akal

Dari keduanya ada yang berupa Ilmiah Teoritis, dan ada yang Ilmiah Praktis
1. Ilmu Syari’at
Ilmu Syariat ini terbagi menjadi 2 :
1. Ilmu Ushul (Pokok) atau Ilmu Tauhid ( Merupakan Ilmiah Teoritis)
2. Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada yang menyangkut
Hak Allah Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah, Hak Hamba Allah terkait dengan tata
pergaulan manusia yang terdiri 2 aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah,
serta
Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina,
dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
2. Ilmu Akal
Ilmu Akal itu bersifat berdiri sendiri, yang melahirkan komposisi keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika

ii
2.Tingkat kedua ialah Ilmu Alamiah ( Aksi dan Reaksi Alam )
3.Tingkat ketiga, adalah Ilmu Teori tentang Realitas, berujung pada ilmu Kenabian,
Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.

Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:


1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam hadits: ”jika
manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariahnya,
ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya,” (HR
Bukhori dan Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang
menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang demikian
itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan
ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb ku, tambahkanlah
kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (… Allah
mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (….
sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang
berilmu). (QS. Fathir 25).
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya: (Allah
menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-
benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah
menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,” (HR
Bukhari dan Muslim).
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan
dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga,”
(HR Muslim)
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua hal, yaitu
terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan orang
yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya,” (HR Bukhari )

ii
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya para
malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR.
Ahmad dan Ibnu majah).

C. Kedudukan Ulama dalam Islam


Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa
petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan
kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa.
Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan
mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: ‫قُ ْل ه َْل يَ ْستَ ِوي الَّذِينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّذِينَ ََل‬
َ‫ َي ْع َل ُمون‬Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla: ‫َّللاُ الَّذِينَ آ َ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّذِينَ أُوتُوا‬
َّ ِ‫يَ ْرفَع‬
‫ ْال ِع ْل َم دَ َر َجات‬Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk
akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut memohonkan
ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama
kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang
sama dengan yang mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang
menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang
alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang
berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan
purnama atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang
mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”
(Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu
Hibban (80/al-Mawarid).

ii
Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan
dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga
melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-
rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta
untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan. Muhammad bin
al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya,
maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang
menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.” Sahl bin
Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia
melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai
fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan
demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan
bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-
demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini
tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).” Maimun
bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar
di negeri itu.”
Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib
atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya. Dari Ubadah bin
Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi
yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.” Dan di antara hak para ulama adalah mereka
tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah,
serta penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan
kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya
atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan
kedudukan dan martabat para ulama.
Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-
cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat
tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat tentang senibena kepada
para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.
Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer?
Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim mengenainya dan tidak
pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam
yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli istimbath? Allah Ta’ala

ii
berfirman: "Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena
karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja
(di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan
cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-nash
yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum
terkini, dan tidaklah begitu mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-
nash kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri”
dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri)’.” Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu. Dan
dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang
akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama. Al-Hafidz Ibnu
Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau
menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44, berkata:
Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan
oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada
saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :(padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari
mereka. (QS. an-Nisa`: 83) Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat
ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan
mereka tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk
kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau
ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak
tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang faham akan
permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya.

ii
Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai
penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari
musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak bermanfaat,
atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan
berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan
pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar. Dan dalam hal ini ada kaidah
tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu masalah hendaknya di berikan
kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih
selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala
mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara, apakah
ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu.
Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan
hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang
boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan
orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama
itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih
berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka
kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun agama.
Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada dirinya, dan tidak
memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa mengambil
pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki
jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah. Dan kita
memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga memberikan
kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan permintaan.

ii
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. . Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai kepada-
Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah
untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang
dari tujuan yang dicita-citakannya. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli
fiqih mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya.
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran.
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu.
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu.
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT.
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar.
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang.
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surge.
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu.
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa
petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan
kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi
kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

B. Saran
Sebagai seorang muslim kita sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu,
karena dalam islam orang yang berilmu itu sangat di muliakan dan akan diangkat derajatnya oleh
Allah SWT. Selain dari itu, ilmu juga memiliki banyak keutamaan. Maka dari itu, setelah kta
memahami tentang perintah menuntut ilmu dalam islam, keutamaan ilmu dan kedudukan orang
yang berilmu, kita sebagai ummat muslim diharapkan dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita
sehari-hari.

ii
DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, Prof. 2010. Ceramah Kultum. Diakses pada tanggal13 Maret 2015.
Admin. 2013. Al-qur’an dan Hadits. Diakses pada tanggal 13 Maret 2015
Indra, Dodi. 2013. Keutamaan Ilmu. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
Monica. 2014. Kedudukan Ulama dalam Islam. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
http://asbarsalim009.blogspot.co.id/2015/03/kewajiban-menuntut-ilmu-
mengembangkan.html (16.49; 28 oktober 2016)

ii

Vous aimerez peut-être aussi