Vous êtes sur la page 1sur 24

LAPORAN PENDAHULUAN

“Kista Ovarium”

A. Landasan Teoritis Penyakit


1. Definisi

Istilah kista berasal dari perkataan Yunani “kustis” yang berarti kantong
dimana ia merupakan suatu abnormalitas pada pertumbuhan jaringan.
Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah ronaaa vans dilapisi sel
epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan
oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural.
Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epithelia ektopik atau sebagai hasil
nekrosis di tengah-tengah massa epitel.
Kista dapat bersifat konaenital atau didaeatka. Cairan kista biasanya bening
dan tidak berwama namun dapat iolga viskuos atau mengandung kristal
kolestrol sebagai hasil dari nekrosis jaringan. "True cysts" atau kista
sesungguhnya harus dibedakan dari "false cysts" atau pseudokista dimana
pseudokista ini merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam, kavitas
yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal
dari suatu proses inflamatori atau degeneratif.
Penyakit kistik hepar merupakan suatu spektrum yang secara umum
diklasifikasikan mulai dari kista yang bersifat infeksius, kongenital,
neoplastik hingga kista akibat trauma pada hepar yang masing-masing
berbeda etiologi, cara penanganan dan komplikasi serta prognosis.

2. Etiologi
a) Kista Intrahepatik Kongenital
Kista ini dapat tunggal, multipel, difus, terlokalisasi, unilokular,
ataumultilokular. Kejadian ditemukan kista pada autopsi dilaporkan dalam 0,15%
kasus,1 % pada pemeriksaan CT-scan. Kista soliter maupun penyakit polikistik
hepar lebihbanyak ditemukan pada wanita usia 40 hingga 60 tahun. Kista non-
parasitik soliter biasanya terletak pada lobus kanan hepar. Isi kistaberupa material
yang bening, dan memiliki karakteristik tekanan internal yang rendah tidak seperti

1|Page
kista parasitik yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya cairan kista iniberwarna
kuning kecokelatan, yang diduga berasal dari parenkim yang nekrosis. Penyakit
polikistik hepar menunjukkan gambaran honeycomb appearance dengankavitas
yang multipel, dengan lesi yang tersebar merata di seluruh hepar. Baik lesi soliter
maupun polikistik tumbuh secara perlahan dan relatif tidak bergejala. Sebuah massa
di kuadran kanan atas yang tidak nyeri adalah keluhan yangpaling sering, dan ketika
gejala muncul, biasanya dihubungkan dengan penekananpada organ yang
berdekatan. Nyeri abdominal yang akut dapat mengikuti komplikasitorsi, hemoragik
intrakistik, atau rupturintraperitoneal. Pemeriksaan klinis dapatmengidentifikasi
massa, dan ginjal juga dapat teraba. Ikterus jarang ditemukan.Fungsi hepar biasanya
tidak menunjukkan abnormalitas. CT scan, USG, danarteriografi dapat digunakan
untuk menentukan posisi intrahepatik dari massa, danperitoneoskopi dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis. Kista soliter yang asimtomatik dan penyakit polikistik
hepar biasanya tidak membutuhkan penanganan khusus. Kista yang besar, soliter,
dan simtomatik dapatditangani secara elektif kecuali bila terjadi ruptur, hemoragik
intrakistik, atau torsi.Pasien dengan kista hepar telah dapat ditangani dengan baik
melalui percutaneuscathether drainage yang dikontrol secara radiologik, pada
waktu yang bersamaandengan injeksi cairan yang menyebabkan sklerosis seperti
alkohol. Prosedur inisering dikaitkan dengan kasus rekurensi. Resolusi permanen
diperoleh melaluioperasi yang sederhana dengan pembukaan atap kista secara luas
dan dihubungkankembali seperti halnya parenkim hepar yang normal. Prosedur ini
dapat dilakukansecara laparoskopik. Pada kasus hemoragik intrakistik yang
signifikan, cystectomy mungkin dibutuhkan. Drainase internal ke intestinum
mungkin dibutuhkan hanya bilaterdapat erosi di dalam duktus hepatikus major yang
tidak dapat diperbaiki kembali.
1) Simple Liver Cyst
Simple hepatic cyst muncul dalam jumlah besar dengan ukuran
yangbervariasi, permukaan rata, mengkilat, berwarna biru-keabuan dan sering
ditemukanpada lobus kanan. Dindingnya terdiri atas 3 lapisan : lapisan terdalam
menyerupaiepitel duktus biliaris, lapisan tengah yang berupa jaringan ikat padat, dan
lapisan luar.yang mengandung jaringan ikat longgar dan duktus biliaris serta
pembuluh darahyang terkompresi. Kista soliter dapat berasal dari duktus yang

2|Page
tumbuh abnormal sebagai akibatdari hiperplasia inflamatorik atau obstruksi
kongenital. Kista ini dapat mengenaisemua usia. 90% dari kista jenis ini unilokular,
dan memiliki ukuran yang bervariasi.Sebuah kista yang mengandung 2,5 liter cairan
telah dilaporkan pada pasien berusia 2tahun. Penyebab dari kista jenis ini tidak
diketahui, namun diduga muncul secaracongenital. Kista ini memiliki epitel tipe
bilier, dan mungkin berasal dari dilatasiprogresif mikrohemartroma bilier. Kista ini
jarang mengandung empedu, hipotesisyang paling diterima adalah kegagalan
mikrohemartroma untuk membentuk hubungan normal dengan saluran empedu.
Secara khas, cairan yang terkandung didalam kista ini memiliki komposisi elektrolit
yang menyerupai plasma. Empedu,amylase, dan sel darah putih tidak ditemukan.
Cairan kista ini disekresikan secaraterus-menerus oleh sel-sel epitel di tepi kista.
Karena alasan inilah, aspirasi cairan dari simple cyst tidak bersifat kuratif. Apabila
ukuran kista besar, mungkin terdapat keluhan yang berhubungandengan penekanan
organ akibat massa yang besar di kuadran kanan atas. Sebagianbesar kista soliter
tidak membutuhkan penanganan, namun bila diindikasikan,ekstirpasi seluruh kista
dipertimbangkan. Bila ukuran kista besar, reseksi dari bagiandindingnya saja yang
dilakukan. Lobektomi hepatik jarang dilakukan
2) Policystic Liver Disease
Insidens kista hepar congenital sulit ditentukan oleh karena sebagian
besarindividu dengan lesi ini tidak mengeluhkan gejala. Penyakit polikistik ini
biasanyadisubklasifikasikan sebagai varian pada anak dan dewasa, karena memiliki
perbedaanpada pola pewarisan, status penampilan dan konsekuensi klinis. Penyakit
polikistik pada anak diwariskan secara resesif autosomal dengan 4 subtipe secara
umum :perinatal, neonatal, infantile, dan juvenile. Semua varian dari polikistik pada
anak ini mengenai hepar dan ginjal dengan peningkatan absolut dari duktus biliaris
intra hepatik. Sebuah kelainan genetik yang jarang pada anak, infantile polycystic
disease of the kidneys and liver, biasanya fatal pada anak-anak. Kista hepatik
yang berukuranmikroskopik dapat terlihat, anak-anak ini dapat mengalami hipertensi
portal, atauhipertensi arteri renalis dan gangguan renal yang progresif. Penyakit
polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara dominanautosomal. Hepar
tampak kistik difus secara makroskopik, walaupun dapat tampak pola yang berbeda
dari penyakit ini, seperti kista yang unilobar dan ukuran kista yangbervariasi. Kista

3|Page
dapat ditemukan pada lien, pancreas, ovarium, paru-paru, dan ginjal.Insidens
meningkat seiring usia dan lebih sering pada wanita dibandingkan pria. PCLD pada
dewasa bersifat kongenital dan biasanya berhubungan dengan autosomal
dominant polycystic kidney disease ( AD-PKD). Pada pasien
ditemukanmutasi dari gen PKD1 dan PKD2. Namun dalam beberapa kasus, PCLD
ditemukantanpa adanya PKD. Pada dengan PKD, kista ginjal biasanya lebih
dominandibandingkan kista pada hepar. PKD sering menyebabkan gagal ginjal,
sedangkankista hepar sangat jarang menyebabkan fibrosis hepar dan kegagalan
fungsi hati. Tidak seperti kista non-parasitik soliter, penyakit polikistik hepar
seringdiasosiasikan dengan kista pada organ lain; 51,6% polikistik hepar
diasosiasikandengan polikistik ginjal. Polikistik hepar juga diimplikasikan sebagai
penyebab yang jarang dari hipertensi portal,
dan juga diasosiasikan dengan atresia duktus biliaris,kolangitis, dan hema
ngioma. Pada pasien dengan gejala yang signifikan terkait efek massa dari polikistik
hepar, terapi paliatif dapat dicapai dengan reseksi non-anatomik dan fenestrasi yang
lebar pada kista yang lebih besar. Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya
bergantung pada penyakitginjal yang menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus,
dan manifestasi hipertensiportal jarang ditemukan. Tingkat mortalitas dari kista non-
parasitik yang ditanganisecara operatif mendekati angka nol.
b) Kista Intrahepatik Acquired (didapat)
1) Echinococcal/Kista Hydatid

Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerahpeternakan


biri-biri. Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani), Australia,dan New
Zealand, serta negara di Timur Tengah seperti Iran. Infeksi Echinococcaldisebabkan
oleh Echinococcus granulosa , yang dapat asimptomatis selama bertahun-
tahun dan menunjukkan hasil yang efektif dengan pembedahan,
atau E.multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista invasif yang
multipel danlebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista
echinococcalditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus
kanan. Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang
tumbuhperlahan dan tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini
memiliki dua lapisan yang terdiri atas ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-
4|Page
selularyang berfungsi proteksi, dan sebuah endokista, yang merupakan bagian yang
aktif dari kista tersebut. Endokista mensekresi cairan bening yang mengisi kista
danmemproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid sand ) dan kista
anakan.Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan beberapa
liter cairandan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya. Pasien dengan kista
multivesikular yang simpel atau belum berkompliasibiasanya tidak bergejala. Gejala
hanya timbul bila terjadi tekanan pada organ disekitarnya. Nyeri tumpul abdomen
adalah keluhan yang paling sering ditemukan (80%). Ikterus, demam, pruritus,
nausea, dan vomitus ditemukan pada kurang darisepertiga pasien. Fungsi hepar
ditemukan abnormal dan pembesaran hepar yang dapatdipalpasi pada pemeriksaan
fisis ditemukan pada 50% pasien, dan eosinofilia hanyaditemukan pada 5-15%
individu yang terinfeksi.

Komplikasi dari kista hidatid di antaranya :

a) Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.


b) Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkanpembentukan
kista baru pada rongga peritoneal.
c) Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.
d) Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura.

Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditanganisecara laparoskopik
maupun dengan open surgery . Langkah-langkah manajemen kista ini meliputi :

a) Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan cairan kista.
b) Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang memadai
sebabcairan dalam kista biasanya bertekanan rendah.
c) Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline
hipertonik maupun alkohol.
d) Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui pemisahan
diantara lapisan germinal dan adventitia.
e) Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau bila
cukupekstensif, dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian dengan omentum.
2) Kista Neoplastik

5|Page
Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer
ataukistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor kistik
dariorgan lain, seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi kistik
tumorhepar solid primer atau metastatik. Kistadenoma (benigna) atau
kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih seringterjadi pada wanita (lebih dari 75%)
dan biasanya muncul sebagai nyeri tumpul danrasa penuh di perut bagian atas. Lesi
ini biasanya dapat didiagnosis dengan USG dan CT scan, yang menunjukkan sebuah
massa kistik dengan dinding yang tebal bertepirata dan septa internal. Sebuah massa
solid yang berhubungan dengan dinding kistabiasanya dideskripsikan sebagai
komponen maligna yang membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan
menunjukkan SOL yang avaskular dan bayangantumor pada perifer yang
disebabkan oleh proyeksi dinding tumor. Tumor ini tidak berhubungan dengan
duktus biliaris, sehingga cholangiografi preoperatif tidak memiliki nilai diagnostik.
Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaranradiografi
berupa kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak bergejala.Operasi
yang kurang defenitif akan menyebabkan rekurensi tumor, pembesaran, atauinfeksi,
hingga dapat bertransformasi menjadi malignansi. Apabila gambaran kistatampak
benigna, kadang dapat dibuang seluruhnya dan memisahkannya dariparenkim
hepar. Dinding kista yang menebal di sekitarnya atau penyebaran padaparenkim
hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan eksisi yang lebih lebardengan
evaluasi histologik melalui frozen section harus dipertimbangkan. Tumor
ini,seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki potensi malignansi yang
cukuprendah dan jarang rekuren bila dieksisi secara adekuat.
c) Kista Traumatik

Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular


atauintraparenkimal yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma
itusendiri dapat diingat maupun tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam
parenkimhepar dapat timbul pada trauma tumpul maupun tajam. Kista traumatic
mengandungdarah, empedu, dan jaringan hepar yang nekrotik. Lapisan epithelial
yang sedikitmenggambarkan bahwa sebenarnya kista traumatik adalah pseudokista.
Bila riwayattrauma tidak jelas, kista ini biasanya tidak dapat dibedakan dari kista
kongenitalsoliter, dan memiliki penanganan yang sama. Pembedahan dianjurkan
6|Page
bagi pasienyang mengeluhkan gejala. Pada saat laparotomi, kista traumatik biasanya
dapatdibedakan dari kista congenital dengan adanya dinding yang sangat fibrotik dan
mengandung hemosiderin. Kista yang simptomatik harus dieksisi secara utuh
apabiladimungkinkan. Apabila sebagian dinding kista tidak dapat direseksi dengan
mudah,evaluasi frozen section harus dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak
akan terjadiproses neoplastik setelahnya. Walaupun kista traumatic dapat terinfeksi
sekunder,kista ini dapat diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik.

3. Pemeriksaan Penunjang dan diagnostik

Pemeriksaan Laboratorium

Pasien dengan kista hepar tidak banyak memerlukan pemeriksaanlaboratorium. Hasil


pemeriksaan faal hati seperti transaminase atau alkali fosfatasemungkin sedikit abnormal,
namun kadar bilirubin, prothrombin time (PT) dan activated prothrombin times
(APTT) biasanya berada dalam batas normal. Pada Polycystic Liver Disease ( PCLD),
dapat dijumpai abnormalitas yanglebih banyak pada pemeriksaan fungsi faal hati, namun
gagal fungsi hati jarangdijumpai. Tes fungsi ginjal termasuk kadar urea dan kreatinin darah
biasanyaabnormal. Pada tumor kistik hepar, tes fungsi hati juga dapat normal seperti pada
simple cyst namun bisa terdapat abnormalitas pada sebagian pasien. Terdapat peningkatan
kadar Carbohydrate antigen (CA) 19-9 pada sebagianpasien. Cairan kista dapat diambil untuk
pemeriksaan CA 19-9 pada saat pembedahansebagai pemeriksaan marker untuk
kistadenoma dan kistadenokarsinoma. Pasiendengan abses hepar dapat dikenal pasti dari
gejala klinis. Pada pemeriksaan darahsering ditemukan leukositosis. Jika terdapat kista hidatid,
dijumpai eosinophilia pada sekitar 40% pasien, dan titer antibody echinococcal positif
pada hampir 80% dari pasien. Pemeriksaanimmunoassay enzim ( enzyme immunoassay ,
EIA) dapat digunakan untuk mendeteksiantibodi spesifik untuk E. Histolytica.

Pemeriksaan histologik dari kista dilakukan dengan tujuan untuk menyingkirkan


kemungkinan suatu keganasan, seperti kistadenokarsinoma. Secarahistopatologik kista hepar
yang benigna mengandung cairan yang bersifat serosa dandindingnya terdiri dari selapis sel
epitel kuboidal dan stroma fibrosa yang tipis.

7|Page
Pemeriksaan Radiologik

Sebelum tersedia modalitas pencitraan abdominal secara luas termasuk ultrasonografi


(USG) dan CT scan, kista hepar didiagnosa hanya apabila ia sudahsangat membesar dan bisa
dilihat sebagai massa di abdomen atau sebagai penemuantidak sengaja saat melakukan
laparotomy. Saat ini, pemeriksaan radiologik seringmenemukan lesi yang asimptomatik
secara tidak sengaja. Terdapat beberapa pilihanpemeriksaan radiologik pada pasien dengan
kista hepar, seperti USG yang bersifatnon-invasif namun cukup sensitif untuk mendeteksi
kista hepar. CT scan juga sensitif dalam mendeteksi kista hepar, dan hasilnya lebih mudah
untuk diinterpretasikandibanding USG. MRI, nuclear medicine. scanning dan angiografi
hepatik mempunyaipenggunaan yang terbatas dalam mengevaluasi kista hepar. Secara
umum simple cysts mempunyai gambaran radiologik yang tipikal yaitumempunyai
dinding yang tipis dengan cairan yang berdensitas rendah danhomogenous. PCLD harus
dikonfirmasi dengan USG atau CT scan denganmenemukan kista-kista multiple pada saat
evaluasi. Kista hidatid bisa diidentifikasi dengan ditemukannya daughter
cyst yangterkandung dalam rongga utama yang berdinding tebal. Kistadenoma dan
kistadenokarsinoma umumnya terlihat multilokuler dan mempunyai septa internal,densitas
yang heterogeneus dan dinding kista yang irregular. Tidak seperti tumor lainpada umumnya,
jarang dijumpai kalsifikasi pada kistadenoma dankistadenokarsinoma. Satu masalah yang
sering ditemui dalam mengevaluasi pasien dengan lesikistik pada hepar adalah untuk
membedakan kista neoplasma dan simple cyst. Namunsecara umum, neoplasma kistik
mempunyai dinding yang tebal, irregular dan hipervaskular, sedangkan dinding kista pada
simple cyst tipis dan uniform. Simplecyst memiliki tendensi memiliki bagian interior yang
homogenous dan berdensitasrendah, sedangkan neoplasma kistik biasanya mempunyai
bagian interior yangheterogenous dengan septasi-septasi.

4. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


Pengobatan secara medikamentosa untuk penanganan kista hepar non-parasitik maupun
kista parasitik mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada terapikonservatif yang ditemui
berhasil untuk menangani kista hepar secara tuntas. Aspirasi perkutaneous dengan dibantu
oleh USG atau CT scan secara teknismudah untuk dilaksanakan namun sudah ditinggalkan
karena mempunyai kadarrekurensi hampir 100%. Tindakan aspirasi yang dikombinasikan
dengan sklerosandengan menggunakan alkohol atau bahan lain berhasil pada sebagian pasien

8|Page
namunmempunyai tingkat kegagalan dan kadar rekurensi yang tinggi. Sklerosis akanberhasil
hanya terjadi dekompresi sempurna dari dinding kista. Hal ini tidak mungkinterjadi jika
dinding kista menebal atau pada kista yang sangat besar. Tidak terdapatpengobatan
medikamentosa untuk PCLD dan kistadenokarsinoma.
Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole danmebendazole,
namun biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapiadjuvan dan tidak
dapat menggantikan peran penanganan bedah atau pengobatanperkutaneus dengan teknik
PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration).Pengobatan medikamentosa
dimulai 4 hari sebelum pembedahan dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah operasi sesuai
panduan dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO).
Penanganan Operatif
Secara umum tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruhlapisan epithelial
kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkanterjadinya rekurensi. Secara ideal,
kista direseksi keluar secara utuh tanpa melubangikavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista
akan kolaps dan ditemukan kesukaranuntuk mengenal secara pasti dan mengeluarkan lapisan
epitel.
1) Teknik PAIR ( Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration )
Teknik PAIR untuk penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu olehUSG
atau CT scan yang melibatkan aspirasi isi kista melalui sebuah kanulakhusus, diikuti
dengan injeksi agen yang bersifat skolisidal selama 15 menit,kemudian isi kista
direaspirasi lagi. Proses ini diulang hingga hasil aspirasi jernih.Kista kemudian diisi
dengan solusi natrium klorida yang isotonik. Tindakan iniharus diikuti dengan
pengobatan perioperatif dengan obat benzimodazole 4 harisebelum tindakan hingga 1-3
bulan setelah tindakan.

2) Marsupialisasi (dekapitasi)
Dekapitasi atau unroofing kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagiandari
dinding kista yang melewati permukaan hepar. Eksisi seperti ini
menghasilkanpermukaan kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang tertinggal
hinggacairan yang disekresi oleh epitel yang masih tertinggal merembes kedalam
ronggaperitoneal dimana ia diabsorbsi. Sisa epitel dapat juga diablasi
denganmenggunakan sinar koagulator argon atau elektrokauter. Sebelumnya

9|Page
penanganankista seperti ini memerlukan tindakan laparotomi ( open unroofing )
namun seiringdengan perkembangan alat dan teknik, ia bisa dilakukan secara
laparoskopik. Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista
secara laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, waktu reokupasiyang
lebih singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih cepat dibandingkanopen
unroofing secara laparotomi. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhiterjadi
rekurensi dengan teknik ini adalah deroofing yang adekuat, kista yangterletak dalam atau
berada di segmen posterior dari hepar, penggunaan sinar argonuntuk sisa epitel dinding
kista, tindakan omentoplasty untuk cavitas residual, dantindakan laparoskopi atau
laparotomi yang pernah dilakukan sebelumnya yangmenyebabkan timbulnya jaringan
fibrosis di hepar.
3) Reseksi Hepar dan Tranplantasi Hati
Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati
telahdigunakan dalam penanganan kista hepar non-parasitik. Walaupun prosedur inibisa
mendapatkan hasil terbaik dari segi kadar rekurensi yang sangat rendah,namun ia
mempunyai kadar morbiditas yang tinggi, yang mungkin tidak dapatditerima untuk suatu
penyakit yang benigna. Penelitian Martin dkk. menemukankadar morbiditas 50% pada
16 pasien yang menjalani prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar non-
parasitik. Di antara komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar, termasuk infeksi
paru-paru, efusi pleura, infeksi pada lukaoperasi, drainase cairan peritoneal dan empedu
yang lama dan hematomasubphrenikus. Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit
polikistik dengan simptomyang menetap setelah pendekatan terapeutik medikamentosa
dan operatif yang laingagal, atau pada keadaan gagal ginjal. Reseksi hepar layak untuk
diaplikasikan pada pasien dengan kista multipelyang rekuren atau terdapat kemungkinan
suatu tumor kistik hepar. Anatomisegmental hepar yang pertama dijelaskan oleh
Couinaud pada tahun 1957membagi hepar menjadi delapan segmen dimana setiap
segmen mempunyaicabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus biliaris yang
tersendiri. Hal inimemungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara individual
apabiladiperlukan, dan mengurangi pemotongan tidak perlu dari jaringan hepar
yangnormal. Kehilangan darah bisa dikurangi dengan menggunakan teknik
oklusivaskular (manoeuvre Pringle ). Tujuan dari teknik oklusi vaskular adalah untuk
mereseksi hepar denganperdarahan seminimal mungkin. Penting untuk diperhatikan

10 | P a g e
bahwa dibutuhkanfungsi hepar residual yang cukup setelah dilakukan reseksi, untuk
mencegahinsufisiensi hepatik post-operatif. Kehilangan darah yang banyak
diasosiasikandengan peningkatan morbiditas peri-operatif. Dalam prakteknya, lebih
mudah untuk mereseksi segmen hepar secarakeseluruhan. Walaupun pemisah
antarsegmen tidak dapat terlihat melaluipermukaan hepar, segmen dapat diidentifikasi
dengan melakukan oklusi terhadap aliran inflow terhadap segmen yang dituju, maka
akan terjadi iskemik dan akanterlihat pembagian fungsional hepar dari permukaan.
Glisson’s capsule diketahui merupakan kondensasi dari fascia yangmengelilingi cabang
biliovaskular hepar. Couinaud menerangkan bahwa fascia iniberlanjut dari parenkim
hepar hingga segmentasi hepar. Implikasi operatifnyaadalah, apabila suplai dari segmen
individual dilakukan dari dalam hepar, ligasidari fascia ini akan menyebabkan
devaskularisasi segmen. Teknik ini kemudiandipermudah dengan penggunaan stapler.
Beberapa insisi abdominal dapat digunakan untuk reseksi hepar. Insisisubkostal bilateral
memberikan akses yang baik dan biasanya dilakukan denganmemperluas insisi
eksploratif subkostal kanan untuk menjamin tidak terdapatpenyakit peritoneal yang tidak
diharapkan. Ekstensi ke arah atas hingga tepi bawahsternum (insisi Mercedes-Benz)
juga dapat dilakukan untuk mendapatkan aksesyang lebih lebar. Setelah dilakukan
laparotomi eksplorasi, hepar dimobilisasi dari peritoneal.Ligamentum falciforme
dipisahkan dengan perhatian khusus pada identifikasi lokasi dimana vena hepatika
memasuki vena cava inferior. Ligamentum koronariadekstra, dipisahkan untuk
mobilisasis lobus kanan hepar. Ligamentum triangularesinistra dipisahkan untuk
mobilisasi lobus kiri hepar. lokasi dimana vena hepatika memasuki vena cava inferior.
Ligamentum koronariadekstra, dipisahkan untuk mobilisasis lobus kanan hepar.
Ligamentum triangularesinistra dipisahkan untuk mobilisasi lobus kiri hepar.
5. Prognosis
Pasien dengan kista non-parasitik yang menjalani teknik dekapitasi kistasecara
laparoskopik untuk kista hepar benigna mengalami kadar penyembuhan lebihdari 90%,
sedangkan pada pasien dengan PCLD (Policystic Liver Disease) mempunyai
presentase kesembuhan yang lebih rendah dengan teknik yang sama.Penanganan yang
paling efisien untuk PCLD dan kista neoplastik adalah denganreseksi hepar, sedangkan
efisiensi penanganan kista hidatid dengan teknik PAIRberbanding penganan operatif lain
masih kontroversial.

11 | P a g e
ASUHAN KEPERAWATAN KISTA

3.1 Pengkajian
a. Data Klinis
Identitas : Nama, usia, jenis kelamin, alamat, agama, tanggal masuk RS,
nomor registrasi
Pemeriksaan Penunjang : Tanda-tanda vital ( RR, Nadi, Suhu, TD), tinggi
badan, dan berat badan
b. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama

12 | P a g e
Ada beberapa keluhan utama yang dirasakan klien dengan kista
diantaranya nyeri hebat di perut, perasaan penuh dan tertekan di daerah
abdomen.
 Riwayat Kesehatan sekarang
Keluhan utama klien sehingga dibawa ke Rumah Sakit seperti nyeri, nyeri
abdomen, perdarahan, terjadi konstipasi dan gangguan perkemihan, dan
sesak nafas. Serta apakah pasien sudah mendapatkan terapi pengobatan
sebelumnya.
 Riwayat Kesehatan dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita penyakit seperti yang diderita
sekarang.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adakah anggota keluarga yang menderita tumor atau kanker.
 Pengkajian post operasi.
 Kaji tingkat kesadaran
 Ukur tanda – tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, Respiration
Rate.
 Auskultasi bunyi nafas
 Kaji turgor kulit
 Pengkajian Abdomen
 Inspeksi ukuran dan kontur abdomen
 Auskultasi bising usus
 Palpasi terhadap nyeri tekan dan massa
 Tanyakan tentang perubahan pola defekasi
 Kaji status balutan
 Kaji terhadap nyeri atau mual
 Periksa laporan operasi terhadap tipe anestesi yang diberikan dan
menanyakan lamanya dibawah anestesi.
c. Data Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pemeriksaan darah lengkap
(Hemoglobin,hematokrit, lekosit).

13 | P a g e
Terapi : terapi yang diberikan post operasi baik injeksi maupun peroral
sesuai program dari dokter.
d. Pola Fungsional Gordon
1) Pola Persepsi dan penanganan kesehatan
Kaji apakah klien melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, kaji
penanganan klien terhadap penyakitnya, dan kaji adanya alergi dan
pemakaian obat-obatan tertentu.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji pola makan, nafsu makan, menu makan pagi, siang, malam, catat
jenis makanan padat terakhir dan kapan makanan tersebut dikonsumsi.
3) Pola eliminasi
Tanyakan kebiasaan berkemih dan defekasi. Kaji bentuk, bau, konsistensi,
dan frekuensi BAB dan BAK. Apakah terdapat gangguan berkemih
seperti rasa terbakar saat berkemih, dan hematuria, ditandai dengan
adanya bisisng usus dan distensi abdomen.
4) Pola akivitas dan olahraga
Kaji apakah terdapat gangguan saat beraktifitas. Tampak kelelahan,
keletihan, atau mengantuk. Dan kaji pola olahraga klien.
5) Pola Istirahat dan tidur
Kaji perubahan pola tidur, adanya factor-faktor yang mempengaruhi tidur
seperti nyeri, rasa cemas.

6) Pola Persepsi dan Kognitif


Kaji apakah klien bertanya, dapatkah ia meminta apa yang ia
perlukan. Apakah klien berbicara dengan orang yang mendukungnya,
apakah ia bertanya bebas pada perawatan atau hanya menjawab
pertanyaan yang diajukan. Apakah ia memahami yang perawat katakan.
Apakah ada tanda-tanda nonverbal terhadap rasa nyeri. Kaji karakteristik
nyeri akibat kista yang dideritanya.
7) Pola Persepsi dan Konsep diri

14 | P a g e
Klien mengalami gannguan konsep diri akibat kondisi penyakit yang di
deritanya, kaji apakah klien terlihat mengalami depresi, cemas, diam dan
takut.
8) Pola Peran dan Hubungan
Tanyakan bagaimana fungsi peran klien dalam keluarganya sebelum
& sesudah dilakukan operasi, siapa saja sistem pendukung klien dan
apakah ada masalah di lingkunagn keluarga ataupun social, apakah
mendapatkan perlakuan khusus didalam keluarga terkait penyakitnya.
9) Pola Seksualitas dan Reproduksi
Kaji adakah perubahan pola seksualitas sebelum dan setelah
megetahui penyakit klien. Kaji apakah pemenuhan kebutuhan seksual
klien terpenuhi atau tidak
10) Pola Koping dan Toleransi
Kaji sejauh mana klien mengekspresikan yang ia alami. Bagaimana
ia bereaksi terhadap penyakitnya. Apakah klien tampak santai atau tegang.
Sejauh mana tingkat kecemasannya. Bagaimanan ia bereaksi terhadap
sentuhan perawat.
11) Nilai Kepercayaan
Tanyakan agama yang dianut, pantangan, dan bagaimana pengaruhnya
(keyakinan yang memberi motivasi) terhadap diri klien.

e. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Umum
a) Tinggi badan dan berat badan.
Tinggi badan dan berat badan pasien dengan kista biasanya
normal, namun biasanya terjadi peningkatan berat badan jika kista yang
dialami klien sudah sangat besar.
b) Tekanan Darah.
c) Suhu badan nadi dan pernafasan.
Pada klien dengan kista hepar biasanya terjadi peningkatan suhu
tubuh. Begitupun dengan nadi, keadaan nadi biasanya mengikuti
keadaan suhu, karena adanya perdarahan. Pola pernafasan pada klien

15 | P a g e
juga terganggu, pasien mengeluh sesak nafas akibat penumpukan cairan
di rongga dada.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan leher.
Kaji keadaan kepala dan leher, meliputi kebersihan, kesimetrisan kepala,
kebersihan dan kondisi rambut (rontok atau tidak), ada atau tidaknya
pembesaran kelenjar pada leher.
b. Dada.
Inspeksi kesimetrisan dada, pola pernafasan apakah sesak atau tidak.
c. Abdomen
Inspeksi: Kaji adanya pembesaran pada area abdomen yang disebabkan oleh
kista yang diderita klien.
Palpasi : Teraba masa pada abdomen , adanya nyeri tekan abdomen
Auskultasi : Ada / tidaknya bising usus
d. Genetalia
e. Ekstremitas
Biasanya tidak ada kelemahan, hanya terasa nyeri pada area panggul saat
beraktivitas, ini terjadi akibat inflamasi.

16 | P a g e
3.2 Aplikasi NANDA NOC NIC
PRE OPERATIF
NO NANDA NOC NIC
1 Nyeri akut Tingkat Kenyamanan Manajemen Nyeri
b.d agen injury Indikator : Aktifitasi :
a. Melaporkan keadaan fisik membaik a. Melakukan penilaian nyeri secara komprehensif dimulai dari
b. Melaporkan kepuasan terhadap kontra lokasi, karakteristik, durasi, kualitas, dan penyebab.
gejala b. Kaji ketidaknyamanan secara nonverbal
c. Mengekspresikan kepuasan terhadap c. Gunakan komunikasi yang terpeutik agar pasien dapat menyatakan
kontrol nyeri pengalamannya tehadap nyeri
Kontrol Nyeri d. Ajarkan teknik nofarmakologis (relaksasi, imajinasi)
Indikator: e. Monitor kepuasan pasien terhadap manejemen nyeri yang diberikan
a. Mengenali faktor penyebab f. Monitor tanda-tanda vital
b. Mengetahui serangan nyeri
c. Mengenali gejala/tanda nyeri
d. Menggunakan tindakan non analgesik

Tingkat Nyeri
Indikator:

17 | P a g e
a. Keluhan nyeri
b. Ekspresi wajah terhadap nyeri
c. Perubahan tekanan darah
d. Perubahan denyut jantung
e. Frekuensi nyeri
2. Cemas b.d kurang Tingkat kecemasan Mengurangi rasa cemas
pengetahuan Indicator: Aktivitas :
a. Kegelisahan a. Tenangkan klien dan melakukan pendekatan.
b. Ketegangan otot b. Kaji perspektif situasi stress klien.
c. Ketegangan wajah c. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, terapi, dan prognosis.
d. Masalah prilaku d. Bantu pasien untuk untuk meminimalisir rasa cemas yang timbul.
e. Tekanan darah meningkat e. Kaji tanda-tanda kecemasan baik secara verbal maupun non verbal.
f. Denyut nadi meningkat f. Cari pemahaman perspektif pasien dalam situasi stress
g. Pernapasan meningkat g. Damping pasien untuk meningkatkan keamanan dan mengurangi
h. Gangguan tidur ketakutan
h. Anjurkan aktivitas nonkompetitif, jika diperlukan
i. Anjurkan untuk mengutarakan perasaan, persepsi dan ketakutan
Koping j. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi apa yang mempercepat
Indikator : kecemasan
a. Identifikasi pola koping efektif k. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan yang sesuai

18 | P a g e
b. Identifikasi pola koping tidak efektif Tingkatkan pengetahuan
c. Menyesuikan diri dengan perubahan Aktivitas:
a. Kaji tingkat pengetahuann pasien dan keluarga
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi fisiologi dengann cara yang tepat
c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
dengan cara yang tepat
Pengetahuan : proses penyakit d. Diskusikan pilihan terapi yang tepat
Indikator: e. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second
a. Pasien mampu menjelaskan kembali opinion dengan cara yang tepat dan diindikasikan
tentang penyakit
b. Mengenal kebutuhan perawatan tanpa
cemas

3. Ketidakseimban Status nutrisi: asupan makanan dan Monitor Nutrisi


gan nutrisi minuman Aktivitas:
kurang dari Indikator a. Monitor adanya mual dan muntah
kebutuhan tubuh a. Asupan makanan melalui mulut b. Monitor nilai albumin, total protein, hemoglobin dan hematokrit.
b. Asupan cairan melalui mulut c. Monitor menu makanan dan pilihannya

19 | P a g e
b.d intake yang c. Asupan cairan d. Monitor tingkat energi, lelah, lesu, dan lemah
tidak adekuat e. Monitor intake kalori dan nutrisi
f. Monitor lingkungan selama makan
Manajemen Nutrisi
Status nutrisi : Asupan nutrisi Aktivitas:
Indikator a. Kaji adanya alergi makanan
a. Asupan kalori b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
b. Asupan protein nutrisi yang dibutuhkan klien.
c. Asupan lemak c. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
d. Asupan karbohidrat mencegah konstipasi
e. Asupan vitamin d. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli
f. Asupan mineral gizi)
g. Asupan zat besi
4. Konstipasi Bowl Elimination Manajemen Konstipasi
b.d kelemahan Indikator: Aktivitas:
otot abdominal a. Pola BAB dalam batas normal a. Identifikasi faktor yang menyebabkan konstipasi
b. Cairan dan serat adekuat b. Monitor tanda ruptur bowel
c. Aktivitas adekuat c. Dorong peningkatan aktivitas yang optimal
d. Hidrasi adekuat d. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat) terhadap
elimiinasi

20 | P a g e
POST OPERATIF

NO NANDA NOC NIC


1. Nyeri akut Tingkat Kenyamanan Manajemen Nyeri
b.d insisi abdominal Indikator : Aktifitasi :
d. Melaporkan keadaan fisik membaik a. Melakukan penilaian nyeri secara komprehensif dimulai dari
e. Melaporkan kepuasan terhadap lokasi, karakteristik, durasi, kualitas, dan penyebab.
kontra gejala b. Kaji ketidaknyamanan secara nonverbal
f. Mengekspresikan kepuasan terhadap c. Gunakan komunikasi yang terpeutik agar pasien dapat
kontrol nyeri menyatakan pengalamannya tehadap nyeri
Kontrol Nyeri d. Ajarkan teknik nofarmakologis (relaksasi, imajinasi)
Indikator: e. Monitor kepuasan pasien terhadap manejemen nyeri yang
e. Mengenali faktor penyebab diberikan
f. Mengetahui serangan nyeri f. Monitor tanda-tanda vital
g. Mengenali gejala/tanda nyeri
h. Menggunakan tindakan non Pemberian analgesic
analgesic. a. Menentukan lokasi , karakteristik, mutu, dan intensitas nyeri
Tingkat Nyeri sebelum mengobati pasien
Indikator: b. Periksa order/pesanan medis untuk obat, dosis, dan frekuensi
f. Keluhan nyeri yang ditentukan analgesik
g. Ekspresi wajah terhadap nyeri c. Cek riwayat alergi obat

21 | P a g e
h. Perubahan tekanan darah d. Tentukan analgesik yang cocok, rute pemberian dan dosis
i. Perubahan denyut jantung optimal.
j. Frekuensi nyeri e. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian obat narkotik
dengan dosis pertama atau jika ada catatan luar biasa.
f. Lakukan tindakan pengamanan pada pasien dengan obat
analgesik narkotik
2. Resiko Tinggi Kontrol resiko Pengontrolan Infeksi
Infeksi b.d Indicator : Aktivitas :
pembedahan a. Menyatakan resiko a. Ciptakan lingkungan ( alat-alat, berbeden dan lainnya) yang
b. Memantau faktor resiko nyaman dan bersih terutama setelah digunakan oleh pasien
lingkungan b. Gunakan alat-alat yang baru dan berbeda setiap akan melakukan
c. Melakukan strategi kontrol risiko tindakan keperawatan ke pasien
d. Modifikasi gaya hidup untuk c. Tempatkan pasien yang harus diisolasi yang sesuai dengan kondisi
menurunkan resiko pasien
e. Berpartisipasi dalam skrining d. Terapkan kewaspadaan universal
untuk mengidentifikasi risiko
Manajemen Lingkungan
Aktivitas :
a. Mencari lingkungan secara rutin untuk memelihara klien bebas dari
bahaya

22 | P a g e
b. Tempatkan pasien kepada tempat yang nyaman bagi klien dengan
aroma terapi

3. Ketidakseimbangan Status nutrisi: asupan makanan dan Monitor Nutrisi


nutrisi kurang dari minuman Aktivitas:
kebutuhan tubuh Indikator a. Monitor adanya mual dan muntah
b.d keletihan pasca a. Asupan makanan melalui mulut b. Monitor nilai albumin, total protein, hemoglobin dan hematokrit.
opersi dan nyeri b. Asupan cairan melalui mulut c. Monitor menu makanan dan pilihannya
c. Asupan cairan d. Monitor tingkat energi, lelah, lesu, dan lemah
e. Monitor intake kalori dan nutrisi
Status nutrisi : Asupan nutrisi f. Monitor lingkungan selama makan
Indikator Manajemen Nutrisi
a. Asupan kalori Aktivitas:
b. Asupan protein a. Kaji adanya alergi makanan
c. Asupan lemak b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
d. Asupan karbohidrat nutrisi yang dibutuhkan klien.
e. Asupan vitamin c. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
f. Asupan mineral mencegah konstipasi
g. Asupan zat besi d. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi)

23 | P a g e
Manajemen Energi
Status Nutrisi : Energi Aktivitas:
Kriteria hasil a. Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri selama beraktivitas
a. Kemampuan aktivitas adekuat b. Monitor intake nutrisi
b. Mempertahankan nutrisi adekuat c. Instruksikan pada pasien untuk tanda-tanda dan gejala kelelahan
c. Keseimbangan aktivitas dan istirahat d. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan intake
d. Menggunakann teknik energi makanan tinggi energy
konservasi
e. Mengidentifikasi faktor-faktor fisik
yang menyebabkan kelelahan

24 | P a g e

Vous aimerez peut-être aussi