Vous êtes sur la page 1sur 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa yang kuat, sejahtera dan bermatabat dapat dibangun oleh anak-
anak generasi penerus bangsa. Anak adalah aset bangsa dan generasi penerus
cita-cita perjuangan bangsa yang akan menentukan masa depan bangsa dan
negara (Depkes, 2014). Suatu kenyataan saat ini bahwa harapan kelangsungan
hidup anak-anak Indonesia masih rendah sehingga masih banyak anak terlahir
di negeri ini dalam situasi yang tidak menguntungkan karena berbagai sebab
seperti penyakit infeksi, penyakit bawaan (kelainan kongenital), malnutrisi,
berat badan lahir rendah dan lain lain, sehingga kualitas hidup mereka dimasa
depan akan rendah (IDAI, 2008). Walaupun begitu, mortalitas anak di
beberapa negara mulai menurun karena suksesnya imunisasi, kontrol diare,
infeksi saluran pernapasan akut, dan perbaikan pelayanan yang terfokus pada
Layanan Kesehatan Primer. Sebagai konsekuensi, kelainan kongenital
mengambil proporsi yang lebih besar dalam mortalitas anak (World Bank
dalam WHO, 2013).
Kelainan kongenital dapat didefinisikan sebagai kelainan struktural atau
fungsional termasuk kelainan metabolisme yang timbul saat lahir (Rosano A,
dkk., 2000. Agha MM, dkk., 2006). Bayi-bayi dengan kelainan kongenital
menjadi masalah khususnya untuk negara berkembang karena angka
kejadiannya yang cukup tinggi dan membuat sumberdaya berkurang. Bayi
dengan kelainan kongenital yang bertahan hidup, saat tumbuh akan
mengalami ketergantugan terhadap orang lain, ataupun alat bantu (WHO,
2013).
Angka kematian bayi baru lahir dengan kelainan kongenital di dunia
yaitu sekitar 303.000 jiwa pada 4 minggu pertama setelah lahir setiap
tahunnya(WHO, 2016). Data laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
menyatakan bahwa sebesar 1,4% bayi baru lahir usia 0-6 hari pertama
kelahiran dan 19% bayi baru lahir usia 7-28 hari meninggal disebabkan
karena kelainan kongenital (Depkes, 2016). Data World Health Organization

1
South-East Asia Region (WHO SEARO) tahun 2010 memperkirakan
prevalensi kelainan kongenital di Indonesia 3 adalah 59,3 per 1000 kelahiran
hidup. Jika setiap tahun lahir 5 juta bayi di Indonesia, maka akan ada sekitar
295.000 kasus kelainan bawaan pertahun.
Salah satu kelainan kongenital yang dapat ditemui yaitu hipospadia.
Hipospadia adalah kelainan kongenital pada laki-laki yang berupa muara
uretra terletak di ventral penis (Stein, 2012). Insidensi kelainan hipospodia
berkisar 1 : 250 hingga 1 : 300 kelahiran bayi (Krisna et al., 2017). Prevalensi
hipospadia di dunia sangat luas dan bervariasi secara geografis. Di Indonesia,
prevalensi hipospadia belum diketahui secara pasti. Hipospadia sendiri dapat
ditangani dengan tindakan pembedahan, namun adapula komplikasi yang
dapat terjadi setelahnya yaitu fistula uretrokutaneus.
Dengan pertimbangan masalah yang dapat ditimbulkan dari hipospadia
ini, maka sangat perlu dilakukan pencegahan yang lebih optimal. Pentingnya
suatu asuhan keperawatan yang diberikan pada anak dengan kelainan
kongenitas hipospadia ini sangat penting dan perlu diperhatikan seorang
perawat untuk memberikan pelayanan yang optimal.
Berdasarkan latar belakang diatas, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai asuhan keperawatan pada anak dengan hipospadia.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang diatas yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep dasar Hipospadia?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Hipospadia?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi tuntutan akademik sebagai tugas
penulisan makalah untuk mata kuliah Keperawatan Anak.

2
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui konsep dasarHipospadia.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan
Hipospadia.

D. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat terutama bagi
mahasiswa keperawatan agar memahami mengenai konsep dasar Hipospadia
dan Asuhan keperawatan pada anak dengan Hipospagia, sehingga dapat
memberikan pelayanan yang tepat bagi pasien.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Hipospadia
Hipospadia berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata hypo
(di bawah) dan spaden (lubang). Hipospadia adalah kelainan bawaan berupa
muara uretra (lubang kencing) yang tidak terletak di ujung penis akibat
kegagalan dalam proses pembentukan. Lubang tersebut berada di batang
penis atau di dekat skrotum (kantung testis). Hipospadia dapat terjadi karena
kelainan pada genitalia eksterna. Gangguan ini dikenal dengan hipospadia
murni atau tunggal (isolated hypospadie). Hipospadia kompleks yaitu selain
lubang kencing yang terletak tidak pada tempatnya, ada pula keinan lain.
Misalnya, penis anak terlihat sangan kecil, testis yang tidak turun sebelah,
skrotum yang membelah, dan lain-lain (Nugraha & Sonia, 2016).
Hipospadia merupakan kelainan kongenital yang dapat dideteksi ketika
atau segera setelah bayi lahir, istilah hipospadia menjelaskan adanya kelainan
pada muara uretra pria. Kelainan hipospadia lebih sering terjadi pada muara
uretra, biasanya tampak disisi ventral batang penis. Sering kali, kelainan
tersebut diasosiasikan sebagi suatu chordee, yaitu untuk istilah penis yang
menekuk kebawah. (Khathleen Morgan Speer, 2007).
Hipospadia yaitu lubang uretra tidak terletak pada tempatnya,
misalnya : berada di bawah pangkal penis. Jika lubang kecil saja tidak
memerlukan tindakan karena dapat menutup sendiri. Tetapi jika lubang
tersebut besar perlu tindakan bedah dan menunggu anak sudah dalam usia
remaja sampai ke 14. (Rukiah & Yulianti, 2012)

B. Anatomi Fisiologi Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli


melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu
uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna
yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, sfingter uretra eksterna

4
yang terletak pada perbatasan anterior dan posterior. Sfingter uretra interna
terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada
saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri dari
atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi sfingter ini terbuka dan tertutup
pada saat menahan kencing (Purnomo, 2003).
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian
uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Di
bagian posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan
verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari verumomntanum ini
terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan
sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di
uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus
spongiosum penis. Uretra anterior terdiri dari pars bulbosa, pars pendularis,
fosa navikularis, dan meatus uretra eksterna. Di dalam lumen uretra anterior
terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi,
yaitu kelenjar Cowperi yang bearada di dalam diafragma urogenitalis dan
bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar
parauretralis yang bermuara di uretra ats pendularis.
Uretra mengalirkan urin dari kandung kencing ke bagian eksterior
tubuh. Uretra pria panjangnya kurang lebih 20 cm dan melalui kalenjar
prostat dan penis. Uretra pria dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Sloane,
2003):
1. Uretra prostaria
Dikelilingi oleh kalenjar prostat. Uretra ini menerima dua duktus
ejakulator yang masing-masing terbentuk dari penyatuan duktus deferen
dan duktus kalenjar vesikel seminal, serta menjadi tempat bermuaranya
sejumlah duktus dari kalenjar prostat.

2. Uretra membranosa

5
Bagian yang terpendek (1 cm sampai 2 cm). Bagian ini berdinding tipis
dan dikelilingi oleh otot rangka sfingter uretra eksternal.
3. Uretra kavernosa
Merupakan bagian yang terpanjang. Bagian ini menerima duktus kalenjar
bulbouretra dan merentang sampai orifisium uretra eksternal pada ujung
penis. Tepat sebelum mulut penis, uretra membesar untuk membentuk
suatu dilatasi kecil, fosa navicularis. Uretra kavernous dikelilingi korpus
spongiosum, yaitu suatu kerangka ruang vena yang besar.

Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan


ventral penis. Glandula uretra terbentuk dari kanalisasi funikulus ektoderm
yang tumbuh melalui glands untuk menyatu dengan lipatan uretra yang
menyatu. Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis tengah lipatan uretra
tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis. Ada
beberapa derajat kelainan pada glandular (letak meatus yang salah pada
glands), korona (pada sulkus korona), penis (di sepanjang batang penis),
penoskrotal (pada pertemuan ventral penis dan skrotum), dan perineal/pada
perineum (Andi Susanto, 2015).

Keterangan

A : Penis yang Normal


B: Penis hipospadia

C. Etiologi
Hipospadia hasil dari fusi yang tidak lengkap dari lipatan uretra
terjadi pada usia kehamilan pada minggu ke 8 dan ke 14. Diferensiasi seksual

6
laki-laki pada umumnya tergantung pada hormone testosteron,
dihydrotestosteron, dan ekspresi reseptor androgen oleh sel target. Gangguan
dalam keseimbangansistem endokrin baik faktor-faktor endogen atau eksogen
dapat menyebabkan hipospadia, yaitu:
1. Metabolisme Androgen
Diferensiasi seksual yang normal tergantung pada testosteron dan
metabolismenya bersamaan dengan kehadiran reseptor androgen
fungsional. Gangguan genetik dalam jalur metabolisme androgen dapat
menyebabkan hipospadia. Meskipun kelainan dalam metabolism
androgen dapat menyebabkan hipospadia yang berat, namun tidak dapat
menjelaskan etiologi terjadinya hipospadia yang sedang dan ringan.
(Baskin, 2000)
2. Gangguan Endokrin
Salah satu penyebab hipospadia disebabkan adanya kontaminasi
lingkungan, dimana dapat mengintervensi jalur androgen yang normal
dandapat mengganggu sinyal seluler. Hal ini dapat diketahui dari
beberapa bahan yang sering dikonsumsi oleh manusia yang banyak
mengandung aktivitas ekstrogen, seperti pada insektisida yang sering
digunakan untuk tanaman, estrogen alami pada tumbuhan, produk-
produk plastik, dan produk farmasi. Selain itu, banyak bahan logam yang
digunakan untuk industry makanan, bagian dalamnya dilapisi oleh bahan
plastic yang mengandung substansi estrogen. Substansi estrogen juga
dapat ditemukan pada air laut dan air segar, namun jumlahnya hanya
sedikit. Ketika estrogen tersebut masuk ke dalam tubuh hewan, jumlah
estrogen paling tinggi berada pada puncak rantai makanan, seperti kain
besar, burung, mamalia laut dan manusia, sehingga menyebabkan
kontaminasi estrogen yang cukup besar. Pada beberapa spesies,
kontaminasi estrogen dapat mempengaruhi fungsi reproduksi dan
kesehatan. Sebagai contoh, terjadi penipisan kulit telur karena pengaruh
estrogen.
3. Faktor Genetik
Usia ibu saat melahirkan dapat menjadikan salah satu faktor resiko
terjadinya hipospadia. Sebuah langsung korelasi terlihat antara usia ibu

7
yang tua dapat meningkatkan kejadian hipospadia, dan lebih ditandai
dengan bentuk parah dari cacat lahir.

D. Klasifikasi
Terdapat berbagai tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium atau posisi
meatus uretra, yaitu :

1. Hipospadi
a tipe Perenial, lubang kencing berada di antara anus dan buah zakar.

2. Hipospadia tipe
Scrotal, lubang kencing berada tepat di bagian depan buah zakar.

3. Hipospadia tipe Peno


Scrotal, lubang kencing terletak di antara buah zakar (skrotum) dan
batang penis.

4. Hipospadia tipe Peneana


Proximal, lubang kencing berada di bawah pangkal penis.

5. Hipospadia tipe Mediana, lubang


kencing berada di bawah bagian tengah batang penis.

6. Hipospadia tipe Distal Peneana, lubang kencing


berada di bawah ujung batang penis.

7. Hipospadia tipe Sub Coronal, lubang kencing berada


pada sulcus coronarius penis (cekungan kepala penis).

8. Hipospadia tipe Granular, lubang kencing sudah berada pada


kepala penis hanya letaknya masih berada di bawah kepala penisnya.

8
Berbagai tipe hipospadia di atas dapat digolongkan menjadi tiga
golongan, yaitu :
1. Tipe sederhana atau tipe anterior
Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular (hipospadia glanduler)
dan coronal (hipospadia koronal). Pada tipe ini, meatus terletak pada
pangkal glans penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan
tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat
dilakukan dilatasi atau meatotomi.
2. Tipe penil atau tipe middel
Tipe middle terdiri dari distal penile, mediana, dan proksimal penile.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glans penis dan skrotum (hipospadia
penoskrotal). Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak
adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat
melengkung kebawah atau glans penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe
ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat
kulit dibagian ventral preposium tidak ada maka sebaiknya sirkumisi
karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah
selanjutnya.
3. Tipe posterior
Tipe posterior terdiri dari pene-escrontal, tipe scrotal, dan perineal. Pada
tipe ini umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai
dengan skrotum befida, meatus uretra terbuka lebar, dan umumnya testis
tidak turun. Hipospadia perineal dapat menunjukkan kemungkinan letak
lubang kencing pada pasien hipospadia.

9
Gambar : Jenis-jenis hipospadia berdasarkan letak lubang saluran kemih
beserta persentasi kejadiannya

E. Patofisiologi
Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra
dalam utero. Hypospadia di mana lubang uretra terletak pada perbatasan penis
dan skortum, ini dapat berkaitan dengan crodee kongiental. Paling umum
pada hypospadia adalah lubang uretra bermuara pada tempat frenum,
frenumnya tidak berbentuk, tempat normalnya meatus uranius di tandai pada
glans penis sebagai celah buntuh.
Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu
ektoderm dan endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-tengah
yaitu mesoderm yang kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan ektoderm
dan endoderm, sedangkan di bagian kaudalnya tetap bersatu membentuk
membran kloaka. Pada permulaan minggu ke-6, terbentuk tonjolan antara
umbilical cord dan tail yang disebut genital tubercle. Di bawahnya pada garis
tengah terbenuk lekukan dimana di bagian lateralnya ada 2 lipatan

10
memanjang yang disebut genital fold/crodee. Selama minggu ke-7, genital
tubercle akan memanjang dan membentuk glans. Bila terjadi agenesis dari
mesoderm, maka genital tubercle tak terbentuk, sehingga penis juga tak
terbentuk.
Bagian anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana urogenitalia
akan ruptur dan membentuk sinus. Sementara itu genital fold akan
membentuk sisi-sisi dari sinus urogenitalia. Bila genital fold gagal bersatu di
atas sinus urogenitalia, maka akan terjadi hipospadia. (Andi Yudianto,
2014:10).

11
F. PATHWAYS
Gangguan dan ketidakseimbangan hormone {Androgen} Kelainan kongenital dan genetik Faktor lingkungan : Polutan, radikal bebas

MUTASI GEN
Embrio usia 2 minggu
Terbentuk 2 lapisan : ektoderm & endoderm

Terbentuk lekukan di tengahnya

Mesoderm bermigrasi ke perifer,


memisahkan ektoderm & endoderm
Bagian kaudal ektoderm & endoderm bersatu membentuk kloaka

Struktur genital kekurangan reseptor Bagian anterior kloaka membentuk membran urogenital
androgen
Kekurangan sintesis hormone Ruptu
Tidak terjadi transkripsi & translasi materi genetik
androgen
Kekurangan enzim 5 α reductase Membentuk sinus
Gangguan virilisasi duktus mesonefros oleh
kompleks testosterone-reseptor
Testosterone tidak dapat diubah jadi
dihidrotestosteron (DHT)

Gangguan pembentukan tuberkel Duktus mesonefros masuk


genital ke uretra pars prostatika
Gangguan pembentukan Uretra pars prostatika berpoliferasi
lekukan di bawahnya, bagian
lateral seharusnya menjadi
genital fold 12 Membentuk kelenjar uretra
Hipospadi
a Perkembangan uretra tidak
sempurna
Aliran urin tidak memancar Atropi uretra
Muara uretra tidak di gland penis Perubahan eliminasi
BAK jongkok Indikasi operasi
urin
Penis memendek
Malu dengan teman sebaya
Kulit pada permukaan
ventral penis pendek
Gangguan Citra Tubuh Chorde
e

Indikasi operasi Kurang pengetahuan Cemas


Note : Op tahap II : membuat fassa naficularis pd glans penis yg nantinya akan dihubungkan dengan Canalis uretra yg telah terbentuk melalui Op tahap I
Note : Op tahap I : meluruskan penis yaitu pd bagian Orifisium, canalis uretra senormal mungkin
Cordectomy

Uretropla Pemasangan kateter


Resiko Infeksi
Terputusnya
kontinuitas jaringan Anak aktif

Merangsang saraf nyeri Port de entri Risiko injuri

Thalamus Risiko infeksi

13
Cortex

Persepsi

Nyeri

14
G. Manifestasi Klinis
1. Lubang penis tidak terdapat diujung penis, tetapi berada di bawah atau didasar
penis.
2. Penis melengkung ke bawah
3. Tempat penis seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan
penis (Rukiah & Yulianti, 2013:134)
4. Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah,
menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada saat
BAK
5. Pada Hipospadia gradular/koronal anak dapat BAK dengan berdiri dengan
mengangkat penis keatas.
6. Pada Hipospadia penis crontal/perineal anak berkemih dengan jongkok.
(Yayuk Susanti, 2011 7)
7. Preputium tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung
penis.
8. Biasanya jika penis mengalami kurvatura (melengkung) ketika ereksi, maka
dapat disimpulkan adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang membentang hingga
ke glans penis.
9. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
10. Tunika dartos, fasia buch dan korpus spongiosum tidak ada
11. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantang skrotum)
(Andi Yudianto, 2014: 7)
Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung kearah bawah yang
akan tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu
suatu jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letakknya abnormal ke
glans penis. Jaringan fibrosa ini adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus spongiosum
dan tunika dartos. Walaupun adanya chordee adalah salah satu ciri khas untuk
mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia memiliki
chordee. (Andi Yudianto, 2014: 7).

H. Komplikasi Hipospadia
Penderita hipospadia dapat terkena beberapa komplikasi seperti:
1. Gangguan akibat ejakulasi tidak normal.
2. Anak kesulitan untuk belajar buang air kecil di kamar kecil.
3. Penis melengkung tidak normal saat ereksi.
4. Bentuk penis tidak normal.

16
5. Gangguan psikologis, karena penderita cenderung tidak percaya diri karena
kondisi alat vitalnya.
6. Infertility (ketidaksuburan).
7. Resiko hernia inguinalis.
Komplikasi pasca operasi:
1. Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom/kumpulan darah di bawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi.
2. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh
angulasi dari anastomosis.
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing
berulang atau pembentukan batu saat pubertas.
4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan operasi.
5. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna,
dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang
berlebihan di ventral penis wlaupun sangat jarang.
6. Diverticulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau
adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut (Andi Yudianto,
2014:7).

I. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada hipospadia berupa pemeriksaan fisik, terutama yang
perlu diperhatikan di bagian :
1. Pemeriksaan genetalia.
2. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada
ginjal.
3. Kaji fungsi perkemihan,
4. Adanya lekukan pada ujung penis.
5. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi.
6. Terbukanya uretra pada ventral.
7. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan,
dysuria,drinage.

17
Pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadia jarang dilakukan.
Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan berikut untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan
pada ginjal sebagai komplikasi maupun kelainan bawaan yang menyertai hipospadia:
1. USG sistem kemih kelamin.
2. BNO-IVP
BNO (Blass Nier Overzicht) adalah pemeriksaan didaerah abdomen atau
pelvis untuk mengetahu kelainan – kelainan pada daerah tersebut khususnya pada
system urinaria. Sedangkan IVP (Intera Venous Pyeloghrapy ).
BNO IVP adalah Pemeriksaan radioragfi pada system urinaria (dari ginjal,
ureter hingga kandung kemih) dengan menyuntikan zat kontras melalui pembuluh
darah vena.Pada saat media kontras diinjeksikan melalui pembuluh vena pada
tangan pasien,media kontras akan mengikuti peredaran darah dan dikumpulkan
dalam ginjal dan tractus urinary sehingga ginjal dan tractus urinary menjadi
berwarna putih. Dengan IVP, radiologis dapat mengetahui anatomi serta fungsi
ginjal,ureter dan blass.

J. Penatalaksanaan
Tujuan dari tatalaksana hipospadia adalah:
1. Membuat penis tegak lurus kembali sehingga dapat digunakan untuk
berhubungan seksual
2. Reposisi muara urethra ke ujung penis agar memungkinkan pasien
berkemih sambil berdiri
3. Membuat neourethra yang adekuat dan lurus
4. Merekonstruksi penis menjadi terlihat normal
5. Menurunkan resiko terjadinya komplikasi seminimal mungkin.
Beberapa tahap operasi perlu dilakukan seperti :
1. Orthoplasty (Chordectomy) yaitu melakukan koreksi chorde sehingga penis
dapat tegak lurus kembali.
2. Urethroplasty, yaitu membuat urethra baru yang sesuai dengan lokasi
seharusnya
3. Glansplasty, yaitu pembentukan glans penis kembali. Glansplasty sering
diikuti dengan prepucioplasty.

Usia yang ideal untuk dilakukan operasi adalah pada usia 6-12 bulan.
Semakin dini dilakukan operasi semakin mudah perawatan paska operasinya, termasuk
dalam masalah higienitas, pemakaian kateter, kebutuhan analgesik, dan perubahan
emosi paska operasi. Beberapa teknik operasi ditemukan dan semakin mengalami

18
banyak perkembangan. Teknik operasi yang paling sering dilakukan adalah
urethroplasty seperti Meatal Advancement-Glanuloplasty (MAGPI), Glans
Approximation Procedure (GAP), dan Tubularization Incision of the Urethral Plate

(TIP).4 Pada hipospadia proximal paling sering digunakan teknik 2 stage graft. Apabila
pasien ingin disirkumsisi maka kulit preputium dapat digunakan sebagai bahan flap,
namun apabila pasien tidak ingin disirkumsisi maka dapat dilakukan prepucioplasty dan
bahan flap didapatkan dari mukosa mulut.
Indikasi pemilihan teknik operasi yang tepat dapat dilakukan berdasarkan lokasi
serta derajat kurvatura penis. Di Indonesia, teknik yang paling sering digunakan adalah
TIP. Hal ini dimungkinkan karena teknik TIP fleksibel, angka komplikasi rendah, dan
menghasilkan muara urethra vertikal, dan jenis hipospadia yang ditemukan adalah
hipospadia distal.

19
BAB III ASKEP
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN HIPOSPADIA

A. Pengkajian

1. Identitas
Nama : tergantung pada pasien
Umur : biasanya terjadi pada bayi baru lahir
Jenis kelamin : pada umumnya terjadi pada laki-laki
Pendidikan : orang tua yang biasanya rendah,
Pekerjaan : pada orang tua yang tergolong berpenghasilan rendah
Diagnosa medis : Hipospadia.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya orang tua pasien mengeluh dan ketakutan dengan kondisi
anaknya karena penis yang melengkung kebawah dan adanya lubang kencing
yang tidak pada tempatnya.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien dengan hipospadia ditemukan adanya lubang kencing
yang tidak pada tempatnya sejak lahir dan tidak diketahui dengan pasti
penyebabnya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat ibu pada saat kehamilan, misalnya adanya gangguan atau
ketidakseimbangan hormone dan factor lingkungan. Pada saat kehamilan ibu
sering terpapar dengan zat atau polutan yang bersifat tertogenik yang
menyebabkan terjadinya mutasi gen yang dapat menyebabkan pembentukan
penis yang tidak sempurna
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat keturunan atau genetic dari orang tua atau saudara-saudara
kandung dari pasien yang pernah mengalami hipospadia.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Pre operasi
1) Keadaan umum
2) Kesadaran
3) Hasil Pengecekan TTV

20
4) Pemeriksaan Head To Toe, yang meliputi :
a) Kepala : Bentuk kepala, kesimetrisan pertumbuhan/tekstur rambut,
warna rambut, keadaan kulit, adanya benjolan/nodul/lesi, adanya
nyeri tekan.
b) Wajah dan leher : Bentuk, kesimetrisan, keadaan kulit, ekspresi
wajah, fungsional mata, telinga, hidung, pengecapan dan pendengaran
adanya nodul/lesi, adanya nyeri tekan, pembesaran kelenjar.
c) Dada/thorax : Bentuk dada, kesimetrisan, ekspansi/pengembangan
dada, keadaan kulit, frekuensi, irama dan sifat denyut jantung serta
suara pernafasan, hasil suara perkusi pada dada, batas-batas jantung dan
paru apakah ada kardiomegali.
d) Abdomen : Bentuk, kesimetrisan, keadaan kulit, peristaltic usus,
batas-batas hepar, gastrik serta ginjal, adanya nodul/lesi, adanya nyeri
tekan, biasanya pada kasus hipospadia ketika dipalpasi ginjal adanya
masa/hidronefrosis.
e) Genetalia : Bentuk penis melengkung ke bawah, kelainan pada
kulit depan penis, adanya kelainan preputium, adanya nyeri tekan,
periksa warna, jumlah dan bau urin.
f) Ekstremitas : Bentuk, kesimetrisan dan kelengkapan tangan serta
kaki, keadaan kulit, adanya lesi/nodul atau adanya kelainan warna,
kekuatan masa otot, kelincahan ROM, kelainan jalan atau tidak.
(Rukiah & Yulianti, 2013)
b. Postoperasi
1) Keadaan umum
2) Kesadaran
3) Hasil Pengecekan TTV : Apakah ada peningkatan pada suhu, tekanan
darah, respirasi serta denyut nadi.
4) Pemeriksaan Head To Toe, yang meliputi :
a) Kepala
b) Wajah dan leher
c) Dada/thorax
d) Abdomen : Apakah ada peningkatan peristaltic usus atau
kelainan bentuk setelah pembedahan
e) Genetalia : Adanya luka pembedahan, nyeri tekan post operasi.
f) Ekstremitas : Adanya kelemahan masa otot akibat pembedahan
atau efek anastesi, gangguan pada mobilitas klien. (Rukiah & Yulianti,
2013).
5) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola nyeri/kenyamanan

21
Pada umumnya pasien tidak mengalami gangguan kenyamanan dan tidak
mengalami nyeri
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada umumnya pasien hipospadia nutrisi cairan dan elektrolit dalam
tubuhnya tidak mengalami gangguan
c) Pola aktivitas
Aktifitas pasien hipospadia tidak ada masalah
d) Pola eliminasi
Pada saat BAK ibu mengatakan anak harus jongkok karena pancaran
kencing pada saat BAK tidak lurus dan biasanya kearah bawah,
menyebar dan mengalir melalui batang penis
e) Pola tidur dan istirahat
Pada umumnya pasien dengan hipospadia tidak mengalami gangguan
atau tiaak ada masalah dalam istirahat dan tidurnya.
f) Pola sensori dan kognitif
Secara fisik daya penciuman, perasa, peraba dan daya penglihatan
pada pasien hipospadia adalah normal, secara mental kemungkinan tidak
ditemukan adanya gangguan.
g) Pola persepsi diri
Adanya rasa malu pada orang tua kalau anaknya mempunyai
kelainan. Pada pasien sendiri apabila sudah dewasa juga akan merasa
malu dan kurang percaya diri atas kondisi kelainan yang dialaminya.
h) Pola hubungan dan peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta megnalami tmbahan dalam menjalankan
perannya selama sakit.
i) Pola seksual
Adanya kelainan pada alat kelamin terutama pada penis pasien
j) Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua pasien akan mengalami stress pada kondisi
anaknya yang mengalami kelainan.
k) Pola higiene
Pada umumnya pola hygiene pasien tidak ada masalah. (Susanto, 2015:8-
10)

B. Di agnosa Keperawatan

1. Pre operasi
a. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola
perawatan keluarga

22
b. Perubahan eliminasi (retensi urine) berhubungan dengan obstruksi
mekanik
c. Kecemasan berhubungan dengan tindakan operasi
2. Post operasi
a. Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi
mekanik/trauma operasi
b. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
c. Resiko Infeksi berhubungan dengan tindakan invasive
d. Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik
berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.

23
C. Intervensi Keperawatan

1. Pre operasi

TUJUAN & KRITERIA


DIAGNOSA NIC
HASIL
Manajemen Setelah dilakukan tindakan NIC : Family mobilization
regimen keperawatan selama 3×24 jam Intervensi :
terapeutik tidak diharapkan manajemen Jadilah pendengar yang baik
efektif regimen terapeutik kembali untuk anggota keluarga
berhubungan efektif. Diskusikan kekuatan kelurga
dengan pola NOC : Family health status sebagai pendukung
perawatan Indikator : Kaji pengaruh budaya keluarga
keluarga. Status imunisasi anggota Monitor situasi kelurga
kelurga Ajarkan perawatan di rumah
Kesehatan fisik anggota tentang terapi pasien
keluarga Kaji efek kebiasaan pasien untuk
Asupan makanan yang keluarga
adekuat Dukung kelurga dalam
Tidak adanya kekerasan merencanakan dan melakukan
anggota kelurga terapi pasien dan perubahan gaya
Penggunaan perawatan hidup
kesehatan Identifikasi perlindungan yang
Keterangan skala : dapat digunakan kelurga dalam
1 = Tidak pernah dilakukan menjaga status kesehatan.
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan

Perubahan Setelah dilakukan tindakan NIC : Perawatan retensi urin


eliminasi keperawatan selama 3×24 jam Intervensi :
(retensi urin) diharapkan retensi urin Melakukan pencapaian secara

24
berhubungan berkurang. komperhensif jalan urin berfokus
dengan NOC : Pengawasan urin kepada inkontinensia (ex: urin
obstruksi Indikator : output, keinginan BAK yang
mekanik Mengatakan keinginan untuk paten, fungsi kognitif dan
BAK masalah urin)
Menentukan pola BAK Menjaga privasi untuk eliminasi
Mengatakan dapat BAK Menggunakan kekuatan dari
dengan teratur keinginan untuk BAK di toilet
Waktu yang adekuat antara Menyediakan waktu yang cukup
keinginan BAK dan untuk mengosongkan blader (10
mengeluarkan BAK ke toilet menit)
Bebas dari kebocoran urin Menyediakan perlak di kasur
sebelum BAK Menggunakan manuver crede,
Mampu memulai dan jika dibutuhkan
mengakhiri aliran BAK Menganjurkan untuk mencegah
Mengesankan kandung kemih konstipasi
secara komplet Monitor intake dan output
Keterangan skala : Monitor distensi kandung kemih
1 = Tidak pernah menunjukan dengan papilasi dan perkusi
2 = Jarang menunjukan Berikan waktu berkemih dengan
3 = Kadang menunjukan interval reguler, jika diperlukan.
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

Kecemasan Setelah dilakukan tindkan NIC : Pengurangan cemas


berhubungan keperawatan selama 3×24 jam Intervensi :
dengan akan diharapkan kecemasan pasien Ciptakan suasana yang tenang
dilakukan berkurang. Sediakan informasi dengan
tindakan operasi NOC : Kontrol ansietas memperhatikan diagnosa,
baik keluarga Indikator : tindakan dan prognosa, dampingi
dan klien. Tingkat kecemasan di batas pasien untuk meciptakan suasana
normal aman dan mengurangi ketakutan
Mengetahui penyebab cemas Dengarkan dengan penuh
Mengetahui stimulus yang perhatian

25
menyebabkan cemas Kuatkan kebiasaan yang
Informasi untuk mengurangi mendukung
kecemasan Ciptakan hubungan saling
Strategi koping untuk situasi percaya
penuh stress Identifikasi perubahan tingkatan
Hubungan sosial kecemasan
Tidur adekuat Bantu pasien mengidentifikasi
Respon cemas situasi yang menimbulkan
kecemasan.
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

2. Post operasi

Diagnosa
NO Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
keperawatan
1. Perubahan eliminasi NOC : Pengawasan NIC : Perawatan
(retensi urin) urin retensi urin
berhubungan Indikator : Intervensi :
dengan  Mengatakan - Melakukan
obstruksi mekanik keinginan untuk pencapaian secara
BAK komperhensif jalan
 Menentukan pola urin berfokus kepada
BAK inkontinensia (ex:
 Mengatakan dapat urin output,
BAK dengan teratur keinginan BAK yang
 Waktu yang adekuat paten, fungsi kognitif
antara keinginan dan masalah urin)
BAK dan - Menjaga privasi
mengeluarkan BAK untuk eliminasi

26
ke toilet - Menggunakan
 Bebas dari kebocoran kekuatan dari
urin sebelum BAK keinginan untuk
 Mampu memulai dan BAK di toilet
mengakhiri aliran - Menyediakan waktu
BAK yang cukup untuk
 Mengesankan mengosongkan
kandung kemih blader (10 menit)
secara komplet - Menyediakan perlak
di kasur
Keterangan skala : - Menggunakan
1 = Tidak pernah manuver crede, jika
menunjukan dibutuhkan
2 = Jarang menunjukan - Menganjurkan untuk
3 = Kadang menunjukan mencegah konstipasi
4 = Sering menunjukan - Monitor intake dan
5 = Selalu menunjukan output
- Monitor distensi
kandung kemih
dengan papilasi dan
perkusi
- Berikan waktu
berkemih dengan
interval reguler, jika
diperlukan.
2. Nyeri akut b/d NOC : Pain Management
cidera fisik akibat  Pain Level - Lakukan pengkajian
 Pain control
pembedahan, nyeri secara
 Comfort level
Definisi : komprehensif
Sensori yang tidak termasuk lokasi,
Kriteria Hasil :
menyenangkan dan karakteristik, durasi,
 Mampu mengontrol
pengalaman frekuensi, kualitas
nyeri (tahu penyebab
emosional yang dan faktor presipitasi
nyeri, mampu
- Observasi reaksi
muncul secara

27
aktual atau menggunakan tehnik nonverbal dari
potensial kerusakan nonfarmakologi ketidaknyamanan
- Gunakan teknik
jaringan atau untuk mengurangi
komunikasi
menggambarkan nyeri, mencari
terapeutik untuk
adanya kerusakan bantuan)
 Melaporkan bahwa mengetahui
(Asosiasi Studi
nyeri berkurang pengalaman nyeri
Nyeri
dengan menggunakan pasien
Internasional):
- Kaji kultur yang
manajemen nyeri
serangan mendadak
 Mampu mengenali mempengaruhi
atau pelan
nyeri (skala, respon nyeri
intensitasnya dari - Evaluasi pengalaman
intensitas, frekuensi
ringan sampai berat nyeri masa lampau
dan tanda nyeri)
- Evaluasi bersama
yang dapat  Menyatakan rasa
pasien dan tim
diantisipasi dengan nyaman setelah nyeri
kesehatan lain
akhir yang dapat berkurang
 Tanda vital dalam tentang
diprediksi dan
rentang normal ketidakefektifan
dengan durasi
kontrol nyeri masa
kurang dari 6 bulan.
lampau
Batasan
- Bantu pasien dan
karakteristik :
keluarga untuk
 Laporan secara mencari dan
verbal atau non menemukan
verbal dukungan
 Fakta dari - Kontrol lingkungan
observasi yang dapat
 Posisi antalgic
mempengaruhi nyeri
untuk
seperti suhu ruangan,
menghindari
pencahayaan dan
nyeri
 Gerakan kebisingan
- Kurangi faktor
melindungi
 Tingkah laku presipitasi nyeri
- Pilih dan lakukan
berhati-hati
 Gangguan tidur penanganan nyeri

(mata sayu, (farmakologi, non

28
tampak capek, farmakologi dan inter
sulit atau personal)
- Kaji tipe dan sumber
gerakan kacau,
nyeri untuk
menyeringai)
 Terfokus pada menentukan
diri sendiri intervensi
 Fokus - Ajarkan tentang
menyempit teknik non
(penurunan farmakologi
- Berikan analgetik
persepsi waktu,
untuk mengurangi
kerusakan
nyeri
proses berpikir, - Evaluasi keefektifan
penurunan kontrol nyeri
interaksi dengan - Tingkatkan istirahat
- Kolaborasikan
orang dan
dengan dokter jika
lingkungan)
 Tingkah laku ada keluhan dan
distraksi, contoh tindakan nyeri tidak
: jalan-jalan, berhasil
- Monitor penerimaan
menemui orang
pasien tentang
lain dan/atau
manajemen nyeri
aktivitas,
aktivitas
Analgesic
berulang-ulang)
 Respon Administration

autonom - Tentukan lokasi,

(seperti karakteristik,

diaphoresis, kualitas, dan derajat

perubahan nyeri sebelum

tekanan darah, pemberian obat


- Cek instruksi dokter
perubahan
tentang jenis obat,
nafas, nadi dan
dosis, dan frekuensi
dilatasi pupil) - Cek riwayat alergi
 Perubahan - Pilih analgesik yang
autonomic diperlukan atau

29
dalam tonus otot kombinasi dari
(mungkin dalam analgesik ketika
rentang dari pemberian lebih dari
lemah ke kaku) satu
 Tingkah laku - Tentukan pilihan
ekspresif analgesik tergantung
(contoh : tipe dan beratnya
gelisah, nyeri
- Tentukan analgesik
merintih,
pilihan, rute
menangis,
pemberian, dan dosis
waspada,
optimal
iritabel, nafas - Pilih rute pemberian
panjang/berkelu secara IV, IM untuk
h kesah) pengobatan nyeri
 Perubahan
secara teratur
dalam nafsu - Monitor vital sign
makan dan sebelum dan sesudah
minum pemberian analgesik
pertama kali
Faktor yang - Berikan analgesik
berhubungan : tepat waktu terutama
Agen injuri saat nyeri hebat
(biologi, kimia, - Evaluasi efektivitas
fisik, psikologis) analgesik, tanda dan
gejala (efek samping
3. Resiko Infeksi b/d NOC : NIC :
tindakan invasive  Infection Control
Immune Status (Kontrol infeksi)
Definisi :  - Bersihkan
Peningkatan resiko Knowledge : lingkungan setelah
masuknya Infection control dipakai pasien lain
organisme patogen  - Pertahankan
Risk control teknik isolasi
Faktor-faktor resiko Kriteria Hasil : - Batasi
:  Klien pengunjung bila

30
- Prosedur bebas dari tanda perlu
Infasif dan gejala infeksi - Instruksikan pada
- Ketidakcuku  Mendeskri pengunjung untuk
pan pengetahuan psikan proses mencuci tangan saat
untuk penularan berkunjung dan
menghindari penyakit, factor setelah berkunjung
paparan patogen yang meninggalkan pasien
- Trauma mempengaruhi - Gunakan sabun
- Kerusakan penularan serta antimikrobia untuk
jaringan dan penatalaksanaanny cuci tangan
peningkatan a, - Cuci tangan
paparan  Menunjuk setiap sebelum dan
lingkungan kan kemampuan sesudah tindakan
- Ruptur untuk mencegah kperawtan
membran timbulnya infeksi - Gunakan baju,
amnion  Jumlah sarung tangan
- Agen leukosit dalam sebagai alat
farmasi batas normal pelindung
(imunosupresan)  Menunjuk - Pertahankan
- Malnutrisi kan perilaku hidup lingkungan aseptik
- Peningkatan sehat selama pemasangan
paparan alat
lingkungan - Ganti letak IV
patogen perifer dan line
- Imonusupres central dan dressing
i sesuai dengan
- Ketidakadek petunjuk umum
uatan imum - Gunakan kateter
buatan intermiten untuk
- Tidak menurunkan infeksi
adekuat kandung kencing
pertahanan - Tingktkan intake
sekunder nutrisi

31
(penurunan Hb, - Berikan terapi
Leukopenia, antibiotik bila perlu
penekanan
respon Infection Protection
inflamasi) (proteksi terhadap
- Tidak infeksi)
adekuat  Monitor tanda
pertahanan tubuh dan gejala infeksi
primer (kulit sistemik dan lokal
tidak utuh,  Monitor hitung
trauma jaringan, granulosit, WBC
penurunan kerja  Monitor
silia, cairan kerentanan terhadap
tubuh statis, infeksi
perubahan  Batasi
sekresi pH, pengunjung
perubahan  Saring
peristaltik) pengunjung terhadap
- Penyakit penyakit menular
kronik  Partahankan
teknik aspesis pada
pasien yang beresiko
 Pertahankan
teknik isolasi k/p
 Berikan
perawatan kuliat
pada area epidema
 Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
 Ispeksi kondisi
luka/ insisi bedah

32
 Dorong
masukkan nutrisi
yang cukup
 Dorong masukan
cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan
pasien untuk minum
antibiotik sesuai
resep
 Ajarkan pasien
dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
 Ajarkan cara
menghindari infeksi
 Laporkan
kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur
positif

4. Kesiapan dalam Setelah dilakukan NIC : Family process


peningkatan tindakan keperawatan maintenance
manajemen regimen selama 3×24 jam Intervensi :
terapeutik diharapkan kesiapan - Anjurkan
berhubungan peningkatan regimen kunjungan anggota
dengan petunjuk terapeutik baik. keluarga jika perlu
aktivitas adekuat. NOC : Family - Bantu keluarga
participation in dalam melakukan
profesioal care strategi menormalkan
Indikator : situasi
 Ikut serta dalam - Bantu keluarga
perencanaan menemukan
perawatan perawatan anak yang

33
 Ikut serta dalam tepat
menyediakan - Identifikasi
perawatan kebutuhan perawatan
 Menyediakan pasien di rumah dan
informasi yang bagaimana pengaruh
relefan pada keluarga
 Kolaborasi dalam - Buat jadwal
melakukan latihan aktivitas perawatan
 Evaluasi pasien di rumah
keefektifan sesuai kondisi
perawatan - Ajarkan keluarga
untuk menjaga dan
Keterangan skala : selalu menngawsi
1 = Tidak pernah perkembangan status
menunjukan kesehatan keluarga.
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

34
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hipospadia merupakan kelainan kongenital berupa lubang uretra tidak terletak


pada tempatnya, misalnya : berada di bawah pangkal penis. Jika lubang kecil saja tidak
memerlukan tindakan karena dapat menutup sendiri. Tetapi jika lubang tersebut besar
perlu tindakan bedah dan menunggu anak sudah dalam usia remaja sampai ke 14.
Hipospadia ditandai dengan lubang penis tidak terdapat diujung penis, tetapi
berada di bawah atau didasar penis, penis melengkung ke bawah, tempat penis seperti
berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis, pancaran air kencing pada
saat BAK tidak lurus, preputium tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian
punggung penis, kulit penis bagian bawah sangat tipis, tunika dartos, fasia buch dan
korpus spongiosum tidak ada, dan sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke
kantang skrotum).
Tahap operasi perlu dilakukan sebagai tata laksana hipospadia, seperti
Orthoplasty (Chordectomy) yaitu melakukan koreksi chorde sehingga penis dapat tegak
lurus kembali, Urethroplasty, yaitu membuat urethra baru yang sesuai dengan lokasi
seharusnya, Glansplasty, yaitu pembentukan glans penis kembali. Glansplasty sering
diikuti dengan prepucioplasty.
Usia yang ideal untuk dilakukan operasi adalah pada usia 6-12 bulan.
Indikasi pemilihan teknik operasi yang tepat dapat dilakukan berdasarkan lokasi serta
derajat kurvatura penis.

B. Saran
Pemahaman dan keahlian dalam aplikasi Asuhan Keperawatan Anak Dengan
Hipospadia/Epispadia merupakan salah satu cabang ilmu keperawatan yang harus
dimiliki oleh tenaga kesehatan khususnya perawat agar dapat mengaplikasikannya serta
berinovasi dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien. Ini akan
mendukung profesionalisme dalam wewenang dan tanggung jawab perawat sebagai

35
bagian dari tenaga medis yang memberikan pelayanan Asuhan Keperawatan secara
komprehensif.

36
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia. Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2014.

Departemen Kesehatan. Hari kelainan bawaan sedunia cegah bayi lahir cacat dengan pola
hidup sehat. 2016, (Diakses 19 Juli 2018) Dari URL :
http://www.depkes.go.id/article/print/16030300001/3-maret-hari-kelainan-
bawaansedunia-cegah-bayi-lahir-cacat-dengan-pola-hidup-sehat-.html

Factors and Prevalence trend . 2011.http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/115/4/e495 .


Schnack T H, Zdravkovic S, Myrup C et al. Familial Aggregation of Hypospadias: A
Cohort Study. 2007. www.americanjournalofepidemiology.com .

IDAI. Deklarasi Surabaya. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak-XIV. Surabaya: 2008.

Krisna, D. M., & Maulana, A. (2017). HIPOSPADIA: BAGAIMAN KARAKTERISTIKNYA


DI INDONESIA?. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 2(2), 325-334.

Nugraha, dr. H. Boyke Dian & dr. Sonia Wibisono. 2016. Adik Bayi Datang Dari Mana? A-Z
Pendidikan Seks Usia Dini. Jakarta: PT Mizan Publika.

Porter M P, Faizan M K, Grady R W et al. Hypospadias in Washington State: Maternal Risk


Factors and Prevalence trend . 2011.
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/115/4/e495 .

Schnack T H, Zdravkovic S, Myrup C et al. Familial Aggregation of Hypospadias: A Cohort


Study. 2007. www.americanjournalofepidemiology.com .

Purnomo, B. 2003. Striktur Uretra. In: Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung
Seto.Speer, Kathleen Morgan.2007.Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta:
EGC.

Rukiyah, Ai Yeyeh dan Lia Yulianti. 2012. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarat:
CV. Trans Info Media.

Rosano A dkk. Infant mortality and congenital anomalies from 1950 to 1994: an
international perspective. Journal of epidemiology and community health 2000;54:660-
6.

Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC. Stein, Raimund. 2012.
Hypospadias. Europan Association of Urology. 11: 33-45

Susanto,Andi. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hipospadia. (online) available:


http://andisusanto.web.unej.ac.id/2015/05/06/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
hipospadia/ (19 Juli 2018).

37
World Health Organization. Birth defect in South-East Asia a public health challenge.
Situation analysis. India: 2013.

World Health Organization. Congenital Anomalies. 2016. (Diakses 08 Mei 2017) Dari URL:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs370/en/

38

Vous aimerez peut-être aussi