Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 13 Agustus 2018 di
poli Kulit Kelamin RSPAD Gatot Subroto
1
lambat laun membesar sebesar kepala jarum pentul. Keluhan tidak disertai rasa nyeri
dan rasa gatal. Pasien tidak pernah menggunakan salep ataupun obat-obatan lainnya
untuk menghilangkan tonjolan tersebut.
Keluhan serupa juga pernah dirasakan pasien satu setengah tahun yang lalu
ditempat yang sama. Pasien mengaku pernah mengalami luka di tangan kiri saat
sedang membersihkan motor, kemudian luka pada tangan sering digaruk oleh pasien
meskipun tidak terasa gatal. Tiga hari setelah kejadian, mucul bintik padat dengan
permukaan kasar bewarna abu-abu pada bagian tangan yang terluka, awalnya
berukuran sebesar kepala jarum pentul lama kelamaan membesar, dan timbul
benjolan-benjolan lainnya disekitar benjolan yang muncul pertama kali. Tiga bulan
setelah kejadian, benjolan tersebut sudah dibuang dengan elektrocauter.
2
- Suhu : afebris
Mata :
- Konjungtiva tidak anemis kanan dan kiri.
- Sklera tidak ikterik kanan dan kiri.
Tenggorok :
- Faring : Tidak hiperemis.
- Tonsil : T1-T1, tidak hiperemis.
Thoraks
- Jantung : Bunyi jantung I dan II murni regular, tidak ada murmur dan
gallop.
- Paru : Suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi dan wheezing.
Abdomen : Perut tampak datar , supel, tidak teraba adanya pembesaran.
KGB : Tidak teraba pembesaran KGB.
3
Gambar 2 Efloresensi lesi
Sumber: dokumen pribadi
1.5 Resume
Pasien pria berusia 21 tahun berinisial D, datang dengan keluhan tumbuh
benjolan pada tangan kiri sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan berbentuk bulat padat
dengan permukaan yang kasar, bewarna abu-abu. Benjolan awalnya berukuran kecil
setitik, kemudian lambat laun membesar sebesar kepala jarum pentul. Rasa nyeri dan
gatal disangkal. Keluhan serupa juga pernah dirasakan pasien satu setengah tahun
yang lalu ditempat yang sama dan sudah dibuang dengan elektrocauter. Pada status
dermatologikus didapatkantkan papul verukosa a/r manus sinistra, bentuk bulat,
ukuran ± 3-4 mm, batas tegas, padat dengan permukaan kasar, diatas kulit normal,
warna putih keabuan. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien baik dengan
kesadaran compos mentis. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini.
4
1.6 Diagnosis Kerja
Veruka vulgaris
1.8 Penatalaksanaan
1.8.1 Non-Medikamentosa
- Hindari mengorek-ngorek lesi
- Rajin mencuci tangan dengan sabun
- Hindari terkena gesekan-gesekan pada tangan
1.8.2 Medikamentosa
- Tindakan elektrokauterisasi
- Topikal antibiotik: Gentamisin salep 0,1% 3x1
1.9 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
5
BAB II
VERUKA VULGARIS
2.1 Kulit
2.1.1 Definisi
Kulit merupakan salah satu organ yang membentuk lapisan terluar pada tubuh,
terdiri dari kulit dan beberapa derivat kulit terspesialisasi, antara lain rambut, kuku,
dan beberapa jenis kelenjar.1
6
Gambar 3 Lapisan Kulit
Sumber: Integumentary system in:principles of anatomy and
physiology, ed. 13th, Tortora GJ & Derrickson B, 2011
a. Lapisan epidermis
Merupakan lapisan terluar dari kulit yang tersusun atas epitel bertingkat
silindris dengan atau tanpa lapisan tanduk bergantung pada letak kulit. Epitel
tersusun sangat rapat antar satu sel dengan sel lainnya, tidak memiliki
pembuluh darah. Epidermis terdiri dari lima lapisan, yaitu1,3:
1) Stratum korneum
Lapisan epidermis paling atas, terdiri atas 25-30 lapisan sisik yang mati
dan sangat terkeratinisasi. Akibat proses keratinisasi, semakin ke
permukaan kulit, lapisan sel semakin gepeng yang merupakan lapisan sel
mati.
2) Stratum lusidum
Merupakan lapisan jernih dengan sel gepeng yang tidak bernukleus,
memiliki ketebalan 4-7 lapisan sel. Terdapat desmosom diantara satu sel
dengan sel lainnya.
3) Stratum granulosum
Lapisan yang terdiri dari 3-5 lapis sel dengan granula keratohialin
(prekursor pembentukan keratin). Terdapat granula lamela pada membran
7
sel yang berfungsi mengeluarkan materi perekat antar sel sehingga
menjadi penyaring selektif terhadap masuknya zat atau materi asing, serta
memberikan efek pelindung bagi kulit.
4) Stratum spinosum
Lapisan sel spina atau sel tanduk yang terdiri atas sel-sel kuboid. Antar
sel saling terikat dengan filamen yang berfungsi untuk mempertahankan
kohesivitas antar sel dan melawan efek abrasi.
5) Stratum basalis atau germinativum
Merupakan lapisan paling dasar pada epidermis yang terdiri atas selapis
sel kuboid. Pembelahan sel yang cepat terjadi pada lapisan ini
menyebabkan sel-sel tersebut terdorong ke lapisan di atasnya.
b. Lapisan dermis
Terdiri atas lapisan elastis, fibrosa padat, dan folikel rambut. Lapisan ini
terbagi menjadi dua bagian, pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke
arah epidermis dimana terdapat ujung serabut saraf dan pembuluh darah;
pars retikulare, yaitu bagian yang menonjol ke arah subkutan dimana
terdapat serat kolagen, elastin, dan retikulin dalam pars tersebut.
c. Lapisan subkutis
Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak yang disebut
panikulus adiposa dengan fungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini
terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening.
8
Tempat predileksi terutama di ekstremitas bagian ekstensor dan tempat yang
sering terjadi trauma seperti tangan, jari, dan lutut. Gambaran klinis veruka vulgaris
adalah papul dengan ukuran yang bervariasi, hiperkeratotik, dengan permukaan
filiformis, berbatas tegas, dan tampak “red or brown dots” yang merupakan
patognomonik dari penyakit ini. Penyakit ini bersifat residif walaupun pengobatan
yang telah diberikan adekuat.3,5
2.2.2 Epidemiologi
Veruka vulgaris ini tersebar pada seluruh populasi dunia, diperkirakan sekitar 7-
12% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi pada
seluruh kelompok usia, namun insiden tertinggi terjadi diantara anak-anak berumur
12-16 tahun dengan prevalensi terjadinya 10-12%. Penyakit ini juga sering timbul
pada pasien dengan sistem imun yang turun dan pasien yang sedang mendapat terapi
imunosupresif. Insiden terjadi pada pria dan wanita sama. Pasien yang sering
berenang pada kolam renang umum, sering merendam tangannya di air, sering
tergores (terjadi trauma) dan tukang daging memiliki insiden yang lebih tinggi untuk
terkena veruka vulgaris. Perkembangan mejadi keganasan jarang terjadi, namun
beberapa kasus telah dilaporkan dan diberi nama verukus karsinoma.3,4
2.2.3 Etiologi
Etiologi veruka vulgaris ialah Human Papilloma Virus (HPV). HPV merupakan
virus berantai DNA ganda, berukuran 55 nm, dan memiliki ikosahedral nukloekapsid.
Virus ini merupakan anggota dari famili papovavirus. Terdapat paling sedikit 100 tipe
HPV. Veruka vulgaris dapat disebabkan oleh HPV tipe 1, 2, 4, 26, 27, 29, 57, 65, dan
77. Virus ini memiliki gen E6 dan E7 yang memiliki peranan dalam replikasi dan
karsinogenesis. Gen ini berperan dalam menginaktivasi tumor suppressor genes pada
sel manusia.3,5
9
2.2.4 Patogenesis
Inokulasi virus terjadi karena adanya defek pada epitel epidermis. Setelah
inokulasi veruka biasanya muncul dalam waktu 2-9 bulan. Virus yang masuk dan
menginfeksi epitel epidermis (partikel virus ditemukan pada stratum basalis) lalu
memproduksi sitoplasmik vakuola. Proses ini disebut dengan koilositosis, yang
merupakan hallmark pada infeksi virus. Untuk dapat terus bereplikasi, HPV perlu
memblok diferensiasi terminal dan menstimulasi pembelahan sel. HPV memiliki
protein yang dapat mengubah proliferasi sel dan mengganggu kematian sel lewat
apoptosis. Gen E6 dan gen E7 pada virus ini dapat menginaktivasi tumor suppressor
genes pada manusia sehingga proliferasi sel ini terus terjadi sehingga menghasilkan
hiperplasia dari epitel kulit.2,5
10
terjadinya konjungtivitis dan keratitis. Dapat pula berlokasi disekitar genitalia, tetapi
hanya sekitar 1-2%. Pada laki-laki hampir selalu menyerang batang penis.6,7
Pada veruka vulgaris terjadi hiperplasia semua lapisan epidermis, dapat terlihat
hiperkeratosis dengan area parakeratosis, serta lapisan malpighi dan granular
menebal. Lesi berupa papul atau nodul berduri, bersisik, kasar yang dapat ditemukan
pada permukaan kulit di berbagai tempat di tubuh, dapat tunggal maupun
berkelompok, ukuran bervariasi mulai dari pinpoint hingga lebih dari 1 cm, tetapi
rata-rata 5 mm.
Bertambahnya ukuran lesi berlangsung beberapa pekan hingga beberapa bulan.
Lesi berwarna abu-abu dengan permukaan yang kasar sehingga disebut verukus. Pada
beberapa kasus didapatkan mother wart yang berkembang dan tumbuh lambat dalam
waktu yang lama. Dan kemudian secara tiba-tiba muncul veruka yang baru. Pada
permukaan veruka tersebut, terlihat titik-titik hitam yang kecil, yang merupakan
bekuan darah akibat dilatasi kapiler.2,6,7
2.2.6 Diagnosis
Gambaran klinis veruka vulgaris adalah papul yang membesar secara perlahan
dengan ukuran yang bervariasi, hiperkeratotik, dengan permukaan filiformis, berbatas
tegas, dan tampak “red or brown dots” yang merupakan patogmonik dari penyakit
ini. Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Dapat ditemukan gambaran berbatas jelas, tampak papilomatosis, hiperkeratosis,
parakeratosis, akantosis, dan sel koilosit pada pemeriksaan ini.5
11
Gambaran klinis:
Gambaran histopatologi:
12
membesar dan berubah menjadi merah dan bersisik. Dalam sebagian variasi dapat
menimbulkan cutaneous horn. Pada histopathologi tampak parakeratosis dan lapisan
granular dan menebalnya epidermis.
Keratosis Seboroik
Keratosis Seboroik adalah tumor jinak yang paling sering pada orang tua. Lesi
biasanya terdapat pada muka dan tubuh bagian atas. Gambaran klinis tampak papul
berwarna coklat sampai hitam, dapat generalisata, dan pada perabaan konsistensinya
kenyal. Pada histopatologi tampak proliferasi kelenjar epitelial papilomatosa dan
tampak kista pseudo-horn.7
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma Sel Skuamosa adalah tumor ganas yang berasal dari sel epidermis
yang mempunya beberapa tingkat kematangan. Secara histopatologi terdapat
beberapa tipe, yaitu bentuk Intraepidermal yang ditemukan pada keratosis senilis,
penyakit Bowen, dan kornu kutanea dan bentuk invasif, yaitu tumor mula-mula
berupa nodus yang keras dengan batas yang tidak tegas, permukaannya licin, dan
akhirnya berkembang menjadi verukosa dan papiloma.6
Moluskum Kontangiosum
Moluskum Kontangiosum adalah penyakit yang disebabkan oleh virus poks yang
klinisnya berupa papul, pada permukaannya terdapat lekukan, berisi massa yang
mengandung badan moluskum. Penyakit ini biasa ditemukan pada anak-anak. Pada
pemeriksaan histopatologi terdapat badan moluskum yang mengandung partikel
virus.5
2.2.8 Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
Tidak menyikat, menjepit, menyisir, atau mencukur daerah yang berkutil untuk
menghindari penyebaran virus
Tidak menggunakan pemotong kuku yang sama pada kutil dan kuku yang sehat
Tidak gigit kuku jika memiliki kutil didekat kuku
Tidak mencungkil kuku karena dapat menyebabkan luka dan memudahkan
13
masuknya infeksi virus
Rajin mencuci tangan dan kulit secara teratur dan benar
Mandi dua kali sehari sehingga kebersihan kulit senantiasa terjaga
Bila terdapat luka kecil atau luka parutan, bersihkan dengan sabun dan air hangat
serta langsung dikeringkan
Kenakan selalu alas kaki, bila perlu yang tahan air atau anti selip terutama saat
menggunakan fasilitas umum
Medikamentosa
Terapi sistemik yang digunakan yaitu simetidin oral dengan dosis 30-40
mg/kgBB/hari telah dilaporkan mampu meresolusi veruka vulgaris.
Terapi topikal yang digunakan adalah:
- Elektrokauterisasi
Elektrokauterisasi ini efektivitasnya tinggi dalam menghancurkan jaringan yang
terinfeksi dan HPV, serta kontraindikasi untuk pasien dengan cardiac
pacemakers. Teknik ini diawali dengan anestesi lokal. Rasa sakit setelah operasi
dapat diatasi dengan narkotik analgesik dan analgesik topikal pada beberapa
pasien sangat bermanfaat seperti lidocaine jelly.
- Krioterapi
Merupakan pilihan utama untuk hampir semua veruka vulgaris. veruka
seharusnya dibekukan secara adekuat dimana dalam waktu 1-2 hari akan timbul
lepuh sehingga akan menjadi lebih lunak. Proses krioterapi biasanya
menggunakan likuid nitrogen (temperatur -196° C). Idealnya pengobatan
dilakukan setiap dua atau tiga pekan sampai lepuh terkelupas. Komplikasi dari
krioterapi diantaranya terjadinya hipopigmentasi dan timbul jaringan parut (skar).
- Laser karbondioksida dapat digunakan untuk pengobatan beberapa variasi dari
veruka baik pada kulit maupun mukosa. Pengobatan ini efektif untuk
menghilangkan beberapa jenis veruka, seperti kutil periungual dan subungual.7
- Asam salisilat 12-26% dengan atau tanpa asam laktat efektif untuk pengobatan
veruka vulgaris dimana efikasinya sebanding dengan krioterapi. Efek keratolitik
14
asam salisilat mampu membantu mengurangi ketebalan veruka dan menstimulasi
respon inflamasi.
- Glutaraldehid merupakan agen virusidal yang terdiri dari 10% glutaraldehid
dalam etanol cair atau dalam formulasi bentuk gel. Pengobatan hanya terbatas
pada lesi di tangan. Efek samping yang dapat terjadi adalah dermatitis kontak.
Nekrosis kutaneus dapat terjadi walaupun sangat jarang.2,6
- Bleomisin memiliki efikasi yang tinggi dan penting untuk pengobatan veruka
vulgaris terutama yang keras. Bleomisin yang digunakan memiliki konsentrasi 1
unit/ml yang diinjeksikan di dekat bagian bawah veruka hingga terlihat memucat.
Saat injeksi terasa nyeri sehingga pada beberapa pasien dapat diberikan anestesi
lokal. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah timbulnya skar dan dapat
menyebabkan nekrosis jaringan yang luas.2
- Dinitrochlorobenzene (DNCB) dilaporkan mampu meresolusi veruka pada 85%
kasus. Caranya: DNCB dilarutkan dalam aseton, kolodion atau petrolatum. Dosis
awal DNCB dengan konsentrasi 2-5%, tetapi dapat diturunkan menjadi 0,2-0,5%
jika timbul reaksi yang berat. Veruka mulai pecah setelah sekali hingga dua
puluh kali pengobatan, tetapi rata-rata dibutuhkan 2-3 bulan pengobatan. Efek
samping dari penggunaan DNCB yaitu pruritus, nyeri lokal, dan dermatitis
eksematous ringan.2
2.2.9 Prognosis
Prognosis penyakit ini baik, namun sering residif walaupun mendapat
pengobatan yang adekuat.
15
DAFTAR PUSTAKA
3. Mescher, AL. 2011. Histologi Dasar Junqueira, Teks dan Atlas, edisi 12.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
5. Wolff, K., Goldsmith, LA., Katz SI., Gilchrest, BA., Paller,AS., Leffel, DJ.,
editors. 2008. Fitzpatrick’s dermatology in General Medicine. Edisi ke-7.
New York: Mc.Graw-Hill.
16