Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
3
Analisis
Untuk
melakukan
identifikasi
siapa
saja
pemangku
kepentingan
yang
terlibat
pemangku
kepentingan.
dalam
konflik.
4
Analisis
4R
(rights,
• Untuk
menguji
hak,
tanggung
jawab
dan
keuntungan
para
pemangku
responsibilities,
returns,
kepentingan
yang
berbeda
dalam
hubungannya
konflik
klaim
lahan,
sebagai
relationships).
bagian
dari
usaha
memperbaiki
pemahaman
terkait
konflik
tsb.
• Untuk
menguji
hubungan
diantara
(atau
di
dalam)
kelompok-‐kelompok
pemangku
kepentingan
yang
berbeda.
Berdasarkan
Analisis-‐Analisis
tersebut
selanjutnya
disusun
Roadmap
Penyelesaian
konflik.
3 Temuan-Temuan Lapangan
Keterangan-Keterangan
Narasumber dan Dokumen-
Dokumen yang ditemukan Di
3.1 Kampung Muara Tae serta
NGO-NGO Pendamping
Sejarah Kampung
• RPJM-Kampung Muara Tae tahun 2013 menyebutkan, sebelum berdiri
menjadi Kampung, masyarakat adat Kampung Muara Tae bertempat di Lamin
Mancong dengan sebutan Dayak Benuaq (Dayak Benuaq Ohonkng
Sanggokng), hidup secara turun-temurun di Lamin Sanggokng, di tepi Sungai
Nayan/Muara Sei Sanggokng, anak Sei Nayan serta dipimpin oleh Kakah Uguy
bergelar Tumenggung Wana.
• Pada masa Kerajaan Kutai Kartanegara abad 18, masyarakat Ohokng
Sanggokng pernah dipindahkan ke Tenggarong selama 47-60 tahun sebagai
wujud tindakan tegas Raja, karena telah melakukan gerakan (Arakng Dodo-
protes).
• Proses pemindahan tersebut dilakukan dalam waktu singkat sehingga banyak
harta benda seperti padi, gong, antang, guci, tombak, melawetin, piring, par,
hewan peliharaan, dan lain-lain tertinggal di Lamin Sanggokng.
Sejarah Kampung
• Pembagian hak waris ini adalah berupa pembagian hutan yang belum dikelola
dan wilayah yang sudah dikelola.
• Biasanya pembagian ini mengikuti wilayah yang sudah dikelola sebelumnya
sehingga menjadi satu hamparan. Keturunan dari pemegang hak waris ini
akan mengelola di wilayah pembagiannya masing-masing. Walaupun demikian
sangat memungkinkan juga mereka mengelola di wilayah lainnya, atau
penduduk dari kampung lain melakukan pengelolaan di wilayah mereka.
Batas Kampung
• Menurut para narasumber yang ditemui di Muara Ponak, batas antara
Kampung Muara Ponak dengan kampung-kampung lain mengacu pada batas
kecamatan dan kampung induk masing-masing, sebelum pemekaran.
• Tetapi Kampung Muara Ponak tidak dapat menunjukkan peta terkait wilayah
administrasi maupun batas-batas desa yang dimaksud. Tim LINKS dalam
penelurusan lebih lanjut menemukan satu denah (kartografi) terkait batas
Kampung Muara Ponak dengan Kampung-Kampung Sekitar, dibuat tahun
2005 dan ditanda-tangani oleh Kepala Adat dan Petinggi Kampung Ringkong,
Kepala Adat dan Petinggi Kampung Kenyayan, Camat Jempang, Camat Muara
Pahu dan Camat Siluq Ngurai.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
1. Masalah Tata batas desa dengan Kampung Muara Tae :
o Menurut para narasumber, batas pertama antara Mancong dan Kenyanyan (desa-desa
induk sebelum pemekaran) berada di Singa Banda dekat Camp Baru sekarang.
o Di sinilah sejarah pertama kalinya perebutan batas antara masyarakat Ohong (Kampung
Muara Tae) dan Kelawit (Kampung Muara Ponak) pernah terjadi. Pada masa itu kedua
kelompok saling serang. Karena persoalan semakin membesar maka seorang panglima
suku Dayak Benuaq Kelawit yang bernama Siit mendamaikan persoalan ini. Kedua belah
pihak menyepakati batas yang baru di wilayah pohon bangris (Pohon madu).
o Menurut masyarakat Kampung Muara Ponak batas inilah yang sekarang ditetapkan oleh
pemerintah melalui SK Bupati Kutai Barat No.146.3/R.525/2012 tentang Penetapan dan
Penegasan Garis Batas Wilayah Antara Kampung Muara Ponak Kecamatan Siluq Ngurai
dengan Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang, karena ini mengacu pada penetapan
tata batas Kecamatan dan Kampung-Kampung Induk sebelum Kampung Muara Ponak
dan Kampung Muara Tae dimekarkan.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
2. Pembebasan lahan kepada PT. BSMJ :
o Para narasumber di Kampung Muara Ponak masih meyakini bahwa mereka adalah pemegang
hak waris atas wilayahnya. Dengan begitu menurut mereka, walaupun di lahan hak warisnya
ada kelola orang lain tetapi tanahnya tetap milik mereka, sehingga ada hak untuk
mengalihkan kepemilikan tanah tersebut kepada pihak lain termasuk menjual atau
dikerjasamakan dengan pihak perusahaan. Walaupun begitu mereka tetap mengakui hak
kelola pihak lain yang ada di atas hak warisnya.
o Narasumber di Kampung Muara Ponak yang pernah menyerahkan lahan hak warisnya adalah
Yakobus, yang diperoleh dari warisan keluarga besar Pak Sani. Yakobus menyampaikan,
masyarakat Kampung Muara Tae tidak punya ladang/hak kelola di lahan warisan keluarganya
karena lahan hak warisnya merupakan bekas lahan HTI. HTI mengembalikan lahan milik
keluarga besar Pak Sani (Yakobus). Oleh Keluarga besar lahan diserahkan ke PT. BSMJ sekitar
400 Ha dan tidak ada hak kelola milik orang lain pada lahan tersebut.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
2. Pembebasan lahan kepada PT. BSMJ :
o Contoh lain pada lahan hak waris keluarga Giarto. Dia mengakui ada hak waris
dan hak kelola, sehingga saat melakukan pembebasan lahan kepada perusahaan, dia
menyakini bahwa pemegang hak kelola di lahan hak warisnya tersebut pasti akan
menuntut. Karena itu keluarga besar ini hanya menerima harga tanahnya saja,
sementara untuk hak kelola GRTT diminta untuk disisihkan. Contoh, dalam
perjanjiannya dengan perusahaan untuk hak waris hanya Rp. 1 juta dan Rp. 2 juta
diberikan kepada pemegang hak kelola sebagai ganti rugi tanam tumbuhnya.
Giarto juga mengaris bawahi bahwa walaupun mempunyai hak kelola dilahan
tersebut bukan berarti pengelola berhak atas tanahnya juga.
o Dengan dasar-dasar pertimbangan ini maka Masyarakat Kampung Muara Ponak
kemudian melakukan pembebasan atas tanah yang termasuk dalam wilayah konflik
tata batas dengan Kampung Muara Tae kepada PT. BSMJ.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Narasumber di Kampung Muara Ponak)
1. Narasumber di Kampung Muara Ponak mengaku tidak pernah ada masalah
dengan antara mereka dan masyarakat Kampung Muara Tae. Adanya
gejolak saat ini, disebabkan oleh sekelompok masyarakat di Kampung
Muara Tae (menurut mereka kelompok tersebut adalah : kelompok Petrus
Asui dan Masrani).
2. Dengan adanya perusahaan sekarang ini hampir semua kampung ingin
memperluas wilayahnya. Tetapi jika berkaitan dengan tata batas kampung
dengan Muara Tae, seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, sudah
seharusnya mengacu pada SK Bupati Kutai Barat.
3. Menurut narasumber di Kampung Muara Ponak setidaknya 3 kali upaya
penyelesaian tata batas, sampai sekarang belum ada kata sepakat antara
kedua belah pihak terutama oleh kelompok masyarakat Kampung Muara
Tae.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Narasumber di Muara Ponak)
Beberapa tawaran penyelesaian yang diusulkan oleh Narasumber di Muara
Ponak adalah :
1. Jika ada persoalan antara PT. BSMJ dengan masyarakat Kampung Muara Tae
maka itu harus diselesaikan terlebih dahulu.
2. Penyelesaian secara kekeluargaan.
Kelompok masyarakat Muara Tae seandainya ada garapan di wilayah Ponak maka dipersilahkan
datang dan berbicara dengan pemilik hak waris di Kampung Muara Ponak. Menurut mereka
komunikasi kekeluargaan ini harus berjalan terutama antara pemilik hak waris Ponak dengan
kelompok Petrus Asuy dan Masrani.
3. Pembuktian adanya hak kelola
Masyarakat Muara Tae dipersilahkan membuktikan hak kelolanya dan masyarakat Muara Ponak
siap mengakuinya bilamana bukti-bukti tersebut benar.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Masyarakat Muara Ponak)
Beberapa tawaran penyelesaian yang diusulkan oleh masyarakat Muara Ponak
adalah:
4. Penyelesaian melalui pemerintah (Hukum positif)
5. Penyelesaian secara adat (Sumpah batas).
Menurut tokoh yang ada di Kampung Muara Ponak syarat untuk menyelesaikan secara adat
adalah misalnya dari PT. BSMJ ingin menyelesaikan permasalahan antara Ponak dan Muara Tae
maka, biaya dan lain sebagainya sampai dengan denda, itu semua ditanggung oleh PT. BSMJ.
Kemudian jika ingin merubah batas, harus dibuat sumpahnya oleh sesepuh adat, hal ini berarti
fasilitator ataupun mediator (orang ketiga) yang akan memimpin proses tersebut juga harus
disumpah adat. Jika yang merubah tidak tepat dan tidak pada posisi yang benar maka dialah
yang menanggung segala resikonya.
Keterangan-Keterangan
4 Manajemen PT. BSMJ
Perijinan
• PT. BSMJ memperoleh Ijin Lokasinya berdasarkan surat Keputusan Bupati
Kutai Barat nomor : 525.26/K.037/2010 tentang Ijin Lokasi Usaha Perkebunan
Kelapa Sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya dalam wilayah Kabupaten Kutai
Barat tertanggal 21 Januari 2010. Luas wilayah yang tertera dalam Ijin lokasi ini
adalah ± 11.210 Ha, terletak dalam wilayah Kampung Kenyanyan, Lempunah,
Pentat, dan Muara Nayan Kecamatan Siluq Ngurai dan Jempang, Kabupaten
Kutai Barat.
• 18 Mei 2010, perusahaan memperoleh keputusan dari Kepala Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Barat tentang Kelayakan KA-ANDAL
kegiatan perkebunan dan pabrik minyak sawit seluas 11.210 Ha. Surat
keputusan Nomor : 660.5/005.KA ANDAL/BLH-KBR/V/2010 ini
menerangkan bahwa kegiatan perkebunan perusahaan beserta segala aktifitas
di dalamnya adalah layak, jika ditinjau dari aspek lingkungan hidup.
Perijinan
• Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan dari Bupati Kutai Barat yang
tertuang dalam surat Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor : 660.5/009/
AMDAL/BLH-KBR/VI/2010 tentang kelayakan lingkungan hidup ANDAL, RKL
dan RPL kegiatan perkebunan kelapa sawit atas nama PT Borneo Surya Mining
Jaya di kampung Kenyanyan, Ponak, Lempunah, Pentat, dan Muara Nayan
Kecamatan Siluq Ngurai dan Jempang Kabupaten Kutai Barat tertanggal 24
Juni 2010.
• PT. BSMJ juga telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan pada areal dalam izin
lokasi seluas 11.201 Ha berdasarkan Keputusan Bupati Kutai Barat 525.20/K.
935b/2010 tanggal 22 November 2010.
Proses Pembebasan Lahan
• Sebelum pembebasan lahan, survei dan identifikasi serta sosialisasi/
penyuluhan tentang maksud dan tujuan dari pembangunan kebun kelapa
sawit tersebut kepada masyarakat setempat.
• Dari salah satu dokumen diketahui deskripsi sosialisasi yang dilakukan PT.
BSMJ adalah :
o Rencana lokasi perkebunan dan pabrik PT BSMJ meliputi 4 kampung : Kampung Pentat,
Muara Tae, Muara Nayan, dan Lembonah dengan luas areal 11.210 Ha.
o Jenis kegiatan adalah perkebunan dan pabrik minyak sawit dengan kapasitas pabrik 60 ton/
jam.
o Aktivitas yang akan dilakukan : tahap pra konstruksi, tahap konstruksi, tahap operasi, tahap
pasca operasi
o Ikut dijelaskan juga dampak positif dan negatif yang mungkin timbul dengan adanya
perkebunan dan pabrik minyak sawit.
o Mendengarkan saran dan tanggapan masyarakat.
Proses Pembebasan Lahan
• Bilamana masyarakat menerima tawaran kerja sama pengembangan kebun
maka perusahaan akan melajutkan aktivitas ke pembentukkan tim verifikasi
lahan dan tahapan negosiasi pembebasan lahan.
• Dalam meeting dengan Manajemen PT. BSMJ terungkap bahwa prinsip utama
yang dipegang perusahaan dalam pembebasan lahan adalah Clean and Clear,
dimana pihaknya tidak melakukan pembebasan lahan tanpa persetujuan
pemilik lahan. Karena itu dokumen-dokumen pembebasan lahan dan
pembayaran lahan selalu diclearkan sebelum proses pembukaan lahan
dilakukan.
• Setelah dokumen-dokumen selesai dan secara administrasi disetujui
pemerintah desa setempat, tahapan pembukaan lahan dan pembangunan
kebun dilakukan.
Proses Pembebasan Lahan
• Berdasarkan data perusahaan dari areal yang telah dibebaskan (GR/GTT)
disekitar area dispute (dalam laporan Intertek-Moody), penanaman telah
dilakukan seluas 252,82 Ha tahun 2012 dan tahun 2012 mencapai luasan
318.69 Ha.
• Dari luasan tanan tersebut, pada area yang dibebaskan Yakobus, penanaman
telah mencapai 210,4 Ha.
Klarifikasi Manajemen Terkait Konflik Tata Batas
Kampung
1. Awalnya ada permasalahan dengan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa, yang
dirasa cukup meresahkan, membuat Pemerintah Kabupaten Kutai Barat
turun tangan, dimana Pemerintah Kabupaten kemudian menetapkan batas
kampung Muara Tae dan Muara Ponak tanpa melibatkan perusahaan. Namun
setelah SK Bupati tentang tata batas dibuat, pihak Petinggi Muara Tae
(Masrani) kembali mengajukan keberatan dan mengajukan gugatan ke PTUN,
tetapi gugatan tersebut ditolak.
2. Manajemen mengetahui ada SK Bupati Kutai Barat tentang Pemberhentian
Petinggi Muara Tae (Masrani).
3. Terkait seluruh proses diatas, perusahaan mengaku tidak campur tangan atau
tidak terlibat sama sekali, dan kedua hal tersebut sepenuhnya merupakan
kewenangan pemerintah.
Klarifikasi Manajemen Terkait Pembebasan
Lahan Muara Ponak
1. Perusahaan mengakui melakukan sosialisasi di Muara Tae tahun 2011,
ternyata peserta sosialisasi di Muara Tae saat itu menolak. Kemudian
perusahaan memutuskan untuk mundur, lalu mencoba masuk ke desa-desa
lain. Perusahaan kemudian masuk ke desa Muara Ponak, dengan mengusung
prinsip bahwa pekerjaan baru akan dilakukan apabila masyarakat telah setuju
untuk menyerahkan lahan dengan kompensasi, dan setuju dengan program
plasma 20 %.
2. Proses pembebasan lahan melalui tim verifikasi yang dibentuk oleh desa. Di
tengah-tengah proses klaim dari kelompok Petrus Asui dan Masrani belum
masuk, sehingga dengan ijin masyarakat Muara Ponak, PT. BSMJ mulai
melakukan pembebasan lahan yang diserahkan masyarakat Muara Ponak.
3. Dokumen-dokumen penyerahan dan pembayaran lahan dilengkapi sesuai
SOP, ditandatangani oleh Pemilik lahan dan diketahui oleh Pemerintah Desa
Muara Ponak, Kepala Adat Desa Muara Ponak dan Camat Siluq Ngurai.
Klarifikasi Manajemen Terkait Pembebasan
Lahan Muara Ponak
3. Bulan Oktober - Desember 2011, PT. BSMJ mengosongkan lahan di Muara
Ponak (yang tidak termasuk dalam konflik tata batas) dan sudah
dikompensasi (seluas 284,29 Ha) untuk pembangunan infrastruktur, lahan
pembibitan dan perkebunan.
4. Bulan Juni 2012, PT. BSMJ melakukan pembebasan lahan atas lahan yang
diserahkan Yakobus seluas 400 Ha (lahan ini termasuk dalam penetapan tata
batas Muara Tae dan Muara Ponak berdasarkan SK Bupati Kutai Barat No.
146.3/R.525/2012, sebagai wilayah administrasi Kampung Muara Ponaq.
Klarifikasi Manajemen Terkait Complaint EIA,
AMAN dan Petinggi Muara Tae
3. Tanggal 12 November 2012 – 20 Maret 2013, manajemen dan para pihak
terkait (AMAN, EIA, petinggi Muara Tae dan RSPO-Intertek) melaksanakan
rangkaian aktivitas untuk penyampaian complaint, klarifikasi, pembahasan-
pembahasan dan audit terkait pengaduan yang telah disampaikan pada point
1 dan 2.
4. Complaint Panel RSPO memutuskan agar BSMJ melakukan serangkaian
tindakan perbaikan sebelum 30 Juni 2013 dan PT. BSMJ-FR secara prinsip
menyambut positif keputusan Complaint Panel tersebut, serta melakukan
tindakan-tindakan korektif yang melibatkan pihak eksternal.
Klarifikasi Manajemen Terkait Keterangan
Narasumber di Muara Tae
1. Manajemen meminta agar pernyataan “perusahaan memprovokasi
masyarakat” tidak digunakan, karena aktivitas yang dilakukan perusahaan
adalah sosialisasi kepada masyarakat, jika kemudian ada diantaranya secara
individual, bersedia membebaskan lahan, maka itu merupakan hak mereka.
Aktivitas sosialisasi perusahaan bukanlah tindakan provokatif.
2. Manajemen menerangkan bahwa penggunaan aparat keamanan di lapangan
adalah hal wajar untuk mencengah kemungkinan terjadi bentrok, apalagi ada
pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administrasi yang dilakukan secara berkala
dan membutuhkan kehadiran aparat keamanan. Manajemen memandang
usulan untuk tidak lagi menggunakan aparat keamanan seakan-akan
menafikkan aspek positif dari kehadiran aparat keamanan.
Pandangan Manajemen Terkait Penyelesaian
Konflik
1. Mempersiapkan roadmap penyelesaian konflik adalah wujud kesediaan FR
dan PT. BSMJ melakukan tindakan korektif dalam pembangunan kebunnya,
terutama penyelesaian klaim lahan yang disampaikan masyarakat Muara Tae.
2. Terkait pelaksanaan Pemetaan dan Penyusunan Roadmap penyelesaian
konflik pihak LINKS diharapkan :
o Pemetaan dan penyusunan roadmap dapat mengidentifikasi dengan tepat berapa luasan
lahan yang berkonflik sebenarnya, karena tidak diseluruh lahan yang ditujukkan dalam peta
Dispute (1.800 s.d 2.100 Ha) dalam laporan Intertek terdapat permasalahan sosial. Selain
itu PT. BSMJ juga belum beroperasi diseluruh wilayah yang ditunjuk dalam peta Dispute
Intertek.
Pandangan Manajemen Terkait Penyelesaian
Konflik
2. Terkait pelaksanaan Pemetaan dan Penyusunan Roadmap penyelesaian
konflik manajemen mengharapkan :
o Roadmap juga harus mempertimbangkan keinginan kelompok-kelompok masyarakat lain di
Muara Tae yang bersedia bermitra dengan perusahaan dalam pembangunan kebun. Bahwa
kelompok Petrus Asui dan Masrani yang menolak, adalah satu kelompok masyarakat, di
Muara Tae ada juga kelompok yang bersedia menyerahkan lahan dan bermitra dengan PT.
BSMJ. Penting bagi para pihak untuk mempertimbangkan kepentingan kelompok ini, sama
seperti para pihak mempertimbangkan kepentingan kelompok yang menolak.
o Road Map juga harus mempertimbangkan kewajiban PT. BSMJ untuk melakukan
pembangunan kebun sebagaimana yang diwajibkan pemerintah Kabupaten Kutai Barat, dan
kepentingan masyarakat di desa-desa lain, yang juga telah menyerahkan lahan. Kepada
mereka, PT. BSMJ juga memiliki kewajiban pembangunan kebun, terutama kebun kemitraan
(Plasma). Karena itu pada area yang tidak terdapat konflik, PT. BSMJ seharusnya dapat
melanjutkan kegiatan pembangunan kebun.
Kesimpulan &
5 Rekomendasi
Kesimpulan
1. Tata waktu konflik :
• Waktu terlama adalah abad 18 yang menunjukkan bahwa permasalahan
wilayah (tata batas) antara Muara Tae dan Muara Ponak telah berlangsung
lama. Begitupun penyampaian complaint Muara Tae terhadap pembebasan
lahan yang dilakukan proyek-proyek investasi diwilayah desanya, telah
berlangsung lama dan konsisten dilakukan sejak tahun 1971 hingga saat
ini, terutama setelah penetapan SK Bupati Kutai Barat No. No.146.3/R.
525/2012.
• Sehingga penyelesaian konflik ini membutuhkan waktu, intensitas
komunikasi yang tinggi antara para pihak dan penerapan pendekatan-
pendekatan sosiologis, selain pendekatan struktural dan keamanan yang
sekarang dilakukan.
Kesimpulan
2. Jenis dan akar Konflik Sosial :
• Jenis Konflik : 1)Tata Batas Desa antara kampung Muara Tae dan Muara
Ponak. 2) Klaim atas pembebasan lahan yang dilakukan masyarakat Muara
Ponak pada PT. BSMJ. Klaim disampaikan oleh masyarakat Muara Tae.
• Akar masalah : 1) perbedaan keterangan terkait batas-batas alam, tanda-
tanda tradisional dalam penentuan batas Kampung Muara Tae dan Muara
Ponak. 2) Pembebasan dan pembangunan kebun yang dilakukan di atas tanah
yang sedang berkonflik.
• Implikasi konflik : Pemecatan Petinggi Muara Tae (Masrani) dan Segregasi
Sosial (pengelompokkan masyarakat) baik di internal masyarakat Muara Tae,
maupun antara Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponak.
3. Luasan Konflik Sosial akan ditunjukkan dalam peta berikut :
Luasan Konflik Sosial
Areal Konflik tata batas Desa dalam ijin PT. BSMJ adalah 892 Ha,
areal konflik klaim lahan yang harus diselesaikan PT. BSMJ seluas
400 Ha berada didalamnya.
Kesimpulan
4. Para Pihak yang terlibat saat ini :
• Masyarakat Kampung Muara Tae dan Masyarakat Kampung Muara
Ponak.
• Pemerintahan Kampung Muara Tae dan Muara Ponak.
• Pemerintah Kecamatan Jempang, Kecamatan Siluq Ngurai, BUPATI
Kutai Barat, dan DISHUTBUN Kutai Barat.
• NGO Pendamping : TELAPAK, AMAN dan EIA.
• Manajemen PT. BSMJ dan FR.
• RSPO.
Rekomendasi (Roadmap)