Vous êtes sur la page 1sur 88

LAPORAN PEMETAAN DAN PENYUSUNAN ROADMAP

PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL ANTARA MASYARAKAT MUARA TAE


DENGAN PT. BORNEO SURYA MINING JAYA
DI KABUPATEN KUTAI BARAT PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

Disampaikan Kepada Complaint Panel RSPO dan Para Pihak Terkait


Di RILO - Jakarta, tgl 25 Juni 2013
1 Pendahuluan
Latar Belakang
2. Selanjutnya dalam sebuah meeting
1.  Operasi perkebunan kelapa sawit informal antara FR, Petinggi Muara
PT. Borneo Surya Mining Jaya Tae (Masrani), Aliansi Masyarakat
(PT. BSMJ)- First Resources Adat Nusantara (AMAN) dan NCIV
G roup ( F R) , m endapatkan di RT 10 Singapura Tanggal 30
Complaint EIA (Environmental Oktober 2012, petinggi Muara Tae
Investigation Agency) terkait menginformasikan konflik
pelanggaran yang dilakukan atas kepemilikan lahan antara Muara Tae
Prosedur Penanaman Baru dan dgn Muara Ponak, dan meminta PT.
BSMJ untuk menghentikan
juga atas prinsip-prinsip dan
pengosongan maupun pembersihan
kriteria RSPO. lahan (400 Ha) yang dibebaskan
Yakobus.
Latar Belakang
•  Berbagai upaya penyelesaian sudah dilakukan oleh pihak perusahaan, namun
belum berjalan efektif.
•  Laporan Intertek tgl. 20 Maret 2013 menyebutkan sebuah estimasi kasar
antara wilayah yang tumpang tindih antara lahan yang diklaim Masyarakat
Muara Tae dengan PT. BSMJ antara 1800 Ha dan 2100 Ha.
Latar Belakang
•  Laporan SEIA harus direvisi dengan
mengikutsertakan penyelesaian konflik Kampung
Keputusan Muara Tae.
Complaint Panel RSPO •  Sebuah road map/action plan haruslah dipikirkan,
dan pada akhirnya dapat disetujui oleh masyarakat
(17 April 2013) yang Muara Tae.
berkaitan dengan SEIA •  Perumusan road map/action plan ini juga harus
dikonsultasikan dengan Environmental
d a n R o a d m a p Investigation Agency (EIA).
menyebutkan : •  Sebelum diimplementasikan, Road map/action plan
ini harus di review dan disetujui oleh Complaints
Panel.
Latar Belakang
•  PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) – FIRST RESOURCES
Group, menunjuk Lingkar Komunitas Sawit (LINKS) untuk
melakukan pemetaan dan penyusunan roadmap penyelesaian
konflik sosial dengan masyarakat Kampung Muara Tae.
•  LINKS melaksanakan pemetaan dan penyusunan roadmap
tersebut dengan melibatkan para pihak melalui implementasi
presencing I (Social Engagement Facility).
2 Social Engagement Facility
Social Engagement
Facility

•  Model fasilitasi penyelesaian konflik sosial yang dikembangkan


dengan mengelaborasi metode riset kualitatif dengan teori-teori
sosial yang relevan.
•  Ada tiga teori sosial yang sangat relevan SEF :
a.  Teory U – Otto Scharmer
b.  Hierachy of Effect – Lee Jhonson
c.  Habitus – Pierre Felix Bourdieu
Apa yang telah dilakukan :

•  Pra lapang mengklarifikasi •  Pemetaan Konflik Sosial


peran fasilitator dan (Kerja Lapangan) fasilitator
menyiapkan kontak dengan menemui pihak-pihak yang
pihak-pihak yang berkonflik,
memeriksa latar-belakang berkonflik secara terpisah
konflik, dan mengembangkan dan mempelajari bagaimana
strategi terbaik untuk mereka melihat/memandang
mendekati pihak-pihak yang konflik dan solusi
berbeda dalam konflik (Mei penyelesaian konflik (4-12
2013). Juni, 20 Juni dan 22 Juni
2013).
Metodologi Dalam Kerja Lapangan

•  Menggunakan metode riset •  Penentuan narasumber sendiri


kualitatif. dilakukan berdasarkan metode
•  Data yang dibutuhkan : data purposive sampling yakni
primer dan data sekunder. dengan memperhatikan
Data primer dikumpulkan kemampuan maupun
melalui pengamatan lapangan
(obser vasi), Focus Group pengetahuan narasumber
Discussion (FGD) dan tentang topik pemetaan konflik
wa wa n c a ra m e n d a l a m . s o s i a l d a n p e r t a nya a n -
Sementara data sekunder pertanyaan dalam interview
dikumpulkan melalui review
dokumen. list.
Narasumber :

•  Kampung Muara Ponak : Petinggi (Rudiyanto), Badan Perwakilan Kampung/


BPK (Markus. S), Yakobus S (Sekdes) Tokoh Masyarakat dan Masyarakat yang
membebaskan lahan ke PT. BSMJ (Giarto,Yakobus S, Tangsi, Mega)* .
•  Kampung Muara Tae : Petinggi (Masrani), Ketua Adat (Ignasius Igoo), Badan
Perwakilan Kampung/BPK (Mustari N), Tokoh Masyarakat (Petrus Asui,
Mimpin) dan Masyarakat yang melakukan klaim lahan*
•  Kampung lain : Petinggi dan Tokoh Masyarakat di Lempunah, Pentat dan
Kenyanyan.
Narasumber :

•  NGO Pendamping : Ketua PW AMAN Kaltim (Seting Setiawan),


Direktur TELAPAK (M. Djufryhard), Tim Pemetaan Partisipatif Telapak
untuk Desa Muara Tae (Abu Meridian dan M. Taufik Wahab), Staf
Urusan HAM dan Hubungan Internasional PB AMAN - (Patricia
Wattimena), Perwakilan EIA (Mardi Minangsari).
•  Pemerintahan : Camat Siluq Ngurai, Camat Jempang dan Bagian Hukum
SEKDA Kabupaten Kutai Barat
Apa Yang Telah Dilakukan:
•  Pemetaan Konflik Sosial LINKS akan meneruskan perannya
(Menganalisis Konflik Sosial) dalam Presencing II jika, a) analisis
konflik mengindikasikan bawa
Fasilitator mengklarifikasi asumsi-
mekanisme pengelolaan konflik yang
asumsi para pihak mengenai ada sebelumnya, tampaknya tidak
konflik yang terjadi, dan akan berhasil; b) negosiasi
menganalisis posisi-posisi yang berdasarkan kepentingan tampaknya
berbeda dari para pemangku adalah strategi yang terbaik dalam
kepentingan, serta menyusun keadaan yang ada; dan c) intervensi
rekomendasi penanganan atau fasilitator sendiri tidak akan
penyelesaian konflik sosial. membahayakan.
No   Uraian   Tujuan
1   Analisis  Waktu  (Kronologis).   Untuk  membantu  para  pemangku  kepentingan  dalam  menguji  sejarah  konflik    dan  
  untuk  meningkatkan  pemahaman  terhadap  urutan  kejadian  yang  menghasilkan  
konflik  tersebut.  
2   Analisis  akar  permasalahan,   •  Untuk  membantu  para  pemangku  kepentingan  menguji  asal-­‐usul  dan  sebab-­‐
isu  dan  aksi  reaksi   sebab  dasar  dari  konflik,  jenis  dan  luasan  konflik.  
(Kronologis  :  jenis  dan   •  Untuk  menguji  isu-­‐isu  spesifik  dan  aksi  reaksi  apa  saja  yang  berkontribusi  
luasan  konflik).   terhadap  eskalasi  dan  de-­‐eskalasi  konflik.  

3   Analisis   Untuk  melakukan  identifikasi  siapa  saja  pemangku  kepentingan  yang  terlibat  
pemangku  kepentingan.   dalam  konflik.  
4   Analisis  4R  (rights,   •  Untuk  menguji  hak,  tanggung  jawab  dan  keuntungan  para  pemangku  
responsibilities,  returns,   kepentingan  yang  berbeda  dalam  hubungannya  konflik  klaim  lahan,  sebagai  
relationships).   bagian  dari  usaha  memperbaiki  pemahaman  terkait  konflik  tsb.  
•  Untuk  menguji  hubungan  diantara  (atau  di  dalam)  kelompok-­‐kelompok  
pemangku  kepentingan  yang  berbeda.  
Berdasarkan  Analisis-­‐Analisis  tersebut  selanjutnya  disusun  Roadmap  Penyelesaian  konflik.  
3 Temuan-Temuan Lapangan
Keterangan-Keterangan
Narasumber dan Dokumen-
Dokumen yang ditemukan Di
3.1 Kampung Muara Tae serta
NGO-NGO Pendamping
Sejarah Kampung
•  RPJM-Kampung Muara Tae tahun 2013 menyebutkan, sebelum berdiri
menjadi Kampung, masyarakat adat Kampung Muara Tae bertempat di Lamin
Mancong dengan sebutan Dayak Benuaq (Dayak Benuaq Ohonkng
Sanggokng), hidup secara turun-temurun di Lamin Sanggokng, di tepi Sungai
Nayan/Muara Sei Sanggokng, anak Sei Nayan serta dipimpin oleh Kakah Uguy
bergelar Tumenggung Wana.
•  Pada masa Kerajaan Kutai Kartanegara abad 18, masyarakat Ohokng
Sanggokng pernah dipindahkan ke Tenggarong selama 47-60 tahun sebagai
wujud tindakan tegas Raja, karena telah melakukan gerakan (Arakng Dodo-
protes).
•  Proses pemindahan tersebut dilakukan dalam waktu singkat sehingga banyak
harta benda seperti padi, gong, antang, guci, tombak, melawetin, piring, par,
hewan peliharaan, dan lain-lain tertinggal di Lamin Sanggokng.
Sejarah Kampung

•  Disebutkan juga : Warga Lamin Murukng Iyuq (leluhur warga Kampung


Kenyanyan Dusun Ponak), pernah pindah atau menduduki di Lamin
Sanggokng, mereka mengambil harta benda yang tertinggal di Lamin
tersebut.
•  47 – 60 tahun kemudian, Kakah Uguy dan pengikutnya kembali ke Lamin
Sanggokng. Kakah Uguy mengajak Warga Lamin Murukng Iyuq bergabung
dalam Lamin Sanggokng, tetapi mereka memilih kembali ke Lamin Murukng
Iyuq.
Sejarah Kampung

•  Setelah itu masyarakat Lamin Sanggokng berpindah sesuai rotasi perladangan


hingga akhirnya wilayah Sungai Nayan, Kampung Mancong pada tahun 1960
dan membangun Lamin Mancong Embo.
•  Pada tahun 1961 warga Lamin Mancong Embo yang berladang di wilayah
Muara Tae membentuk Dusun Muara Tae dalam pemerintahan Kampung
Mancong.
•  Pada tahun 2004 Kampung Muara Tae dimekarkan dari Kampung Mancong.
Sejarah Penguasaan Lahan
•  Status kepemilikan lahan, diatur dengan aturan “bilamana terdapat hutan
belantara dan ada orang yang mengelolanya pertama kali, itu menjadi hak
miliknya, apabila sebelumnya sudah ada yang menggarap maka status
kepemilikan hanya sebagai hak kelola.
•  Penandanya biasa dengan batas-batas alam, tanda-tanda tradisional seperti
benda pusaka, kuburan, Simpukng atau Lembo.
•  Simpukng atau Lembo adalah bekas ladang yang ditanami buah-buahan dan
tanaman keras atau rotan untuk daerah yang rendah, sedangkan bagian lain
dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali, jarang terjadi pemindahan
kepemilikan simpukng dari satu keluarga ke keluarga yang lain – Simpukng
atau lembo dijadikan tanda kepemilikan tanah.
Batas Kampung
1.  Narasumber yang ditemui di Kampung Muara Tae menyebutkan bahwa
berdasarkan pada keberadaan Lamin, Simpukng atau Lembo, benda-benda
pusaka dan batas-batas alam, ditahun 2011 dengan didampingi LSM Telapak,
mereka melaksanakan pemetaan partisipatif untuk menetapkan batas-batas
desanya, dengan hasil sbb :
o  Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Perigiq.
o  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Muara Nayan dan Kampung Lempunah.
o  Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Tanjung Isuy.
o  Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Belusuh dan Kampung Kenyanyan-Dusun
Ponak. Sungai Belusuh adalah batas Kampung Muara Tae dengan Kampung Belusuh.
Sementara, wilayah Kampung Muara Tae yang berbatasan dengan Sungai Kenyanyan-Dusun
Ponak seperti Utaq Tamanrendukung, Sungai Terotok dan Tenggenuk bersentuhan dengan
sungai Menaliq dari anak sungai Pose/sungai Nayan merupakan perbatasan antara dengan
Kampung Muara Tae dan Kampung Kenyanyan-Dusun Ponak.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
1.  Menurut para narasumber yang ditemui di Muara Tae, permasalahan batas
desa – mengalami eskalasi sejak masuknya investasi di Kampung Muara
Tae dan kampung-kampung sekitarnya.
2.  Salah satu Publikasi LSM TELAPAK mencatat sejarah perlawanan
terhadap beberapa investasi yang masuk ke wilayah Muara Tae :
o  Tahun 1971 investasi perusahaan HPH PT. Sumber Mas
o  Tahun 1995 investasi Perkebunan kelapa sawit PT. LONSUM
o  Tahun 1995/1996 investasi Tambang Batu Bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal
o  Tahun 2010 investasi Perkebunan Kelapa Sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (First
Resources)
o  Tahun 2011 investasi Perkebunan Kelapa Sawit PT. Munte Waniq Jaya Perkasa (THS
Resources Bhd)
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
3.  Menurut para narasumber permasalahan tata batas desa saat ini sedang
terjadi dengan Muara Ponak :
o  Terdapat perbedaan pendapat antara mereka dengan Muara Ponak terkait batas-batas
alam dan tanda-tanda tradisional dalam menentukan batas kampung mereka.
o  Perbedaan tersebut belum tuntas, beberapa anggota masyarakat Muara Ponak
melakukan penjualan tanah kepada PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan PT. Borneo Surya
Mining Jaya.
o  Meski selanjutnya telah terbit SK Bupati Kutai Barat No. No.146.3/R.525/2012 tentang
Penetapan dan Penegasan Garis Batas Wilayah Antara Kampung Muara Ponak
Kecamatan Siluq Ngurai dengan Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang, tetapi para
Narasumber yang ditemui di Muara Tae tidak mengakui batas-batas yang ditetapkan
dalam SK tersebut.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
4.  Atas beberapa keberatan dalam point 3, para narasumber mengakui bahwa
mereka tengah melakukan Klaim atas tanah yang dijual beberapa orang
Kampung Muara Ponak ke PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte
Waniq Jaya Perkasa.
o  Pembebasan ini terjadi sebagai akibat penetapan batas desa berdasarkan SK Bupati Kutai
Barat No.146.3/R.525/2012.
o  Para narasumber menyampaikan bahwa Tahun 2011 PT. BSMJ pernah melakukan sosialisasi
satu kali, tetapi tawaran kemitraan pembangunan kebun kelapa sawit ditolak peserta
sosialisasi saat itu.
o  Hampir setahun tidak ada aktivitas, juni 2012 diketahui ada pembangunan kebun dalam
wilayah konflik tata batas antara Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponak,
pembebasan lahan dilakukan melalui masyarakat Muara Ponak, dimana bukti-bukti
administrasi dari proses tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Muara Ponak.
o  Para narasumber yang ditemui di Muara Tae menyatakan bahwa mereka keberatan atas
pembebasan lahan tersebut, karena mereka merupakan pemilik lahan tersebut dan tidak
pernah melakukan pembebasan kepada Perusahaan.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
5.  Pemberhentian sdr. Masrani dari jabatan Petinggi Kampung Muara Tae.
o  NGO-NGO pendamping dan masyarakat yang ditemui di Kampung Muara Tae
mengungkapkan bahwa terjadi pemberhentian Petinggi Muara Tae (Masrani) berdasarkan
SK Bupati Kutai Barat.
o  Menurut para narasumber pemberhentian ini merupakan akibat dari perlawanan
masyarakat yang dipimpin petinggi (Masrani) terhadap investasi-investasi yang masuk ke
kampung tersebut.
o  Terkait proses pemberhentian mereka menguraikan bahwa ada tahapan-tahapan yang
terlewat, pengusulan pemberhentian dimelalui rapat terbuka, tidak dilaksanakan melalui
badan perwakilan kampung (BPK) dan terjadi pemalsuan tanda-tangan.
o  Selain itu uraian-uraian pemberhentian tidak melalui proses klarifikasi yang melibatkan
Petinggi (Masrani) ataupun tidak berdasar pada keputusan pengadilan tertentu, sehubungan
dengan hal tersebut baik Petinggi Muara Tae (Masrani) dan BPK Muara Tae telah
menyampaikan klarifikasi dan penolakkan atas pemberhentian tersebut kepada pemerintah
Kecamatan Jempang dan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Narasumber Kampung Muara Tae)

Narasumber yang ditemui di Muara Tae mengajukan syarat-syarat dalam


penyelesaian konflik :
1.  Tidak ada kegiatan PT. BSMJ di Wilayah Kampung Muara Tae dan daerah
konflik tata batas dengan Kampung Muara Ponak selama proses
penyelesaian konflik dilakukan. Kegiatan PT. BSMJ diluar wilayah tersebut
silahkan dilakukan.
2.  PT. BSMJ diminta menghentikan proses provokasi di masyarakat untuk
membebaskan lahan kepada perusahaan maupun terkait pembentukkan
koperasi plasma.
3.  Menghentikan keterlibatan/campur tangan aparat keamanan dalam hal ini
Brimob.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Narasumber Kampung Muara Tae)
4.  Para pendamping (AMAN dan TELAPAK) juga dilibatkan pada proses
penyelesaian.
5.  Pada dasarnya narasumber yang ditemui di Kampung Muara Tae sepakat
dilakukan tahap persiapan untuk pemetaan, penyusunan etika, penentuan
perwakilan, menentukan agenda penyelesian, selanjutnya melaksanakan FGD
review kasus, visioning dan RKTL seperti yang disampaikan LINKS, hanya
yang perlu dipertimbangkan mengenai tata waktu dan pembiayaan proses
penyelesaian konflik ini.
6.  Menurut mereka sebaiknya fasilitator dan pembiayaan datang dari pihak
yang independen, bukan dari PT. BSMJ.
Penyelesaian Konflik Sosial
(NGO Pendamping-AMAN)
1.  Menurut AMAN, Masyarakat Muara Tae menginginkan, Perusahaan (PT.
BSMJ) keluar dari kampung mereka, dan melakukan pemulihan secara hitam
putih atas kerusakan yang telah ditimbulkan dalam tanah adat tersebut.
2.  Terkait persoalan tata batas desa dengan kampung Muara Ponak, agar para
pihak mendorong pihaknya masing-masing untuk menghargai batas yang
adat yang sudah ada.
3.  Mengenai pemberhentian Petinggi (Masrani) Oleh Bupati Kutai Barat bisa
menjadi preseden bagi pihak lain, yaitu jika melawan perusahaan akibatnya
seperti ini. Menurut AMAN, hal ini berdampak buruk untuk pemerintah
kampung yang lainnya karena ketika mereka bersuara tentang hak mereka,
mereka akan diperlakukan hal yang sama dengan sdr. Masrani.
4.  Sebaik proses penyelesaian konflik melibatkan tenaga pemetaan dan
fasilitator yang lebih netral. Kampung Muara Ponak sebaiknya memiliki peta
partsipatif dimana sebagai masyarakat adat mereka menunjuk sendiri batas-
batas desanya, tanpa kecurigaan.
Penyelesaian Konflik Sosial
(NGO Pendamping-TELAPAK dan EIA)
1.  TELAPAK - Ada proses yang transparan melalui keterbukaan dan
kesetaraan antara para pihak yang dibangun dalam penyelesaian konflik.
2.  EIA-meminta agar dalam menyusun roadmap LINKS memperhatikan
temuan-temuan dalam revisi SEIA dan HCV yang juga diminta complaint
panel RSPO untuk dilakukan oleh PT. BSMJ.
Keterangan-Keterangan
Narasumber dan Dokumen-
3.2 Dokumen yang ditemukan
Di Muara Ponak
Sejarah Kampung
•  Narasumber di kampung Muara Ponak menuturkan bahwa Sejarah Kampung
Muara Ponak berawal dari Lamin (Rumah Betang atau Rumah panjang) yang
dimulai sejak jaman manusia saling membunuh/ perang antar komunal masa
Pengayauan.
•  Ada beberapa Lamin yang menandakan sejarah dan perkembangan Kampung
Muara Ponak :
o  Lamin Murukng Iyuq (leluhur warga Kampung Kenyanyan Dusun Ponak), Lamin
Temerenungk, Lamin Jahau, Lamin Pegongk, Lamin Megak (Lamin ini ada di sungai Ipe), Lamin
Ponaq Ponsongk, Lamin Sungai Sensiringk, Lamin Muara Sungai Sensiringk, Lamin Pegongk 2,
Lamin Tenung Terinsingk, Lamin Ponak, dan Lamin Muara Ponak.
o  Lamin Muara Ponak, dirikan di tepi sungai Ponak. Pada masa inilah pertama kalinya seorang
petinggi ada dan diresmikan sebagai kampung Ponak. Lamin yang terakhir ini di bangun
setelah masa kemerdekaan Indonesia.
Sejarah Kampung

•  Disebutkan juga : Ketika kampung Muara Ponak pertama kali didirikan,


Petinggi pertama adalah Layo. Kemudian petinggi Layo diganti oleh Petinggi
Saleh. Petinggi berikutnya adalah Sani. Pada masa petinggi sani, ada
penggabungan kampung dengan kenyanyan berdasarkan kebijakan
pemerintahan Soeharto.
•  Kemudian pada tahun 2009 petinggi khusus daerah Muara Ponak kembali
dilantik dan pada tahun 2010 secara resmi kampung Muara Ponak
dimekarkan dari kampung Kenyanyan.
Sejarah Penguasaan Lahan
•  Menurut para narasumber, setiap Lamin mempunyai wilayah yang sudah
disepakati baik itu antar komunal maupun antar keluarga yang ada didalam
lamin tersebut. Pembagian wilayah inilah yang kemudian menjadi hak waris
untuk setiap kelompok keluarga yang tinggal di dalam Lamin. Biasanya dalam
setiap keluarga besar pemilik hak waris akan ditunjuk satu orang sebagai
penanggungjawab untuk kelompoknya untuk berurusan jika terjadi persoalan
atas hak waris keluarga maupun soal pembagian atau pemecahan kelompok
dalam keluarga tersebut.
•  Menurut cerita turun temurun ada 4 keluarga yang pada awalnya mewarisi
wilayah yang ada di sekitar Kampung Muara Ponak sekarang.
Sejarah Penguasaan Lahan

Keempat Keluarga tersebut :


1.  Pak Sigau, Warisan beliau ini sekarang diwariskan ke Pak Derum. Pak
Derum ini kemudian pecah lagi hak warisnya ke keluarga Pak Burhan
(Kepala Adat Kampung Ponak sekarang) dan Pak Yakobus.
2.  Pak Siit, Sekarang hak warisnya ke Pak Didi (mantan ketua RT).
3.  Pak Anok, Keturunan dari Pak Anok ini adalah Pak Tansi.
4.  Pak Renungk, Garis keturunan dari Pak Renungk ini adalah Pak Jerky, Pak
Giarto dan Pak Charles.
Sejarah Penguasaan Lahan

•  Pembagian hak waris ini adalah berupa pembagian hutan yang belum dikelola
dan wilayah yang sudah dikelola.
•  Biasanya pembagian ini mengikuti wilayah yang sudah dikelola sebelumnya
sehingga menjadi satu hamparan. Keturunan dari pemegang hak waris ini
akan mengelola di wilayah pembagiannya masing-masing. Walaupun demikian
sangat memungkinkan juga mereka mengelola di wilayah lainnya, atau
penduduk dari kampung lain melakukan pengelolaan di wilayah mereka.
Batas Kampung
•  Menurut para narasumber yang ditemui di Muara Ponak, batas antara
Kampung Muara Ponak dengan kampung-kampung lain mengacu pada batas
kecamatan dan kampung induk masing-masing, sebelum pemekaran.
•  Tetapi Kampung Muara Ponak tidak dapat menunjukkan peta terkait wilayah
administrasi maupun batas-batas desa yang dimaksud. Tim LINKS dalam
penelurusan lebih lanjut menemukan satu denah (kartografi) terkait batas
Kampung Muara Ponak dengan Kampung-Kampung Sekitar, dibuat tahun
2005 dan ditanda-tangani oleh Kepala Adat dan Petinggi Kampung Ringkong,
Kepala Adat dan Petinggi Kampung Kenyayan, Camat Jempang, Camat Muara
Pahu dan Camat Siluq Ngurai.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
1.  Masalah Tata batas desa dengan Kampung Muara Tae :
o  Menurut para narasumber, batas pertama antara Mancong dan Kenyanyan (desa-desa
induk sebelum pemekaran) berada di Singa Banda dekat Camp Baru sekarang.
o  Di sinilah sejarah pertama kalinya perebutan batas antara masyarakat Ohong (Kampung
Muara Tae) dan Kelawit (Kampung Muara Ponak) pernah terjadi. Pada masa itu kedua
kelompok saling serang. Karena persoalan semakin membesar maka seorang panglima
suku Dayak Benuaq Kelawit yang bernama Siit mendamaikan persoalan ini. Kedua belah
pihak menyepakati batas yang baru di wilayah pohon bangris (Pohon madu).
o  Menurut masyarakat Kampung Muara Ponak batas inilah yang sekarang ditetapkan oleh
pemerintah melalui SK Bupati Kutai Barat No.146.3/R.525/2012 tentang Penetapan dan
Penegasan Garis Batas Wilayah Antara Kampung Muara Ponak Kecamatan Siluq Ngurai
dengan Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang, karena ini mengacu pada penetapan
tata batas Kecamatan dan Kampung-Kampung Induk sebelum Kampung Muara Ponak
dan Kampung Muara Tae dimekarkan.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
2.  Pembebasan lahan kepada PT. BSMJ :
o  Para narasumber di Kampung Muara Ponak masih meyakini bahwa mereka adalah pemegang
hak waris atas wilayahnya. Dengan begitu menurut mereka, walaupun di lahan hak warisnya
ada kelola orang lain tetapi tanahnya tetap milik mereka, sehingga ada hak untuk
mengalihkan kepemilikan tanah tersebut kepada pihak lain termasuk menjual atau
dikerjasamakan dengan pihak perusahaan. Walaupun begitu mereka tetap mengakui hak
kelola pihak lain yang ada di atas hak warisnya.
o  Narasumber di Kampung Muara Ponak yang pernah menyerahkan lahan hak warisnya adalah
Yakobus, yang diperoleh dari warisan keluarga besar Pak Sani. Yakobus menyampaikan,
masyarakat Kampung Muara Tae tidak punya ladang/hak kelola di lahan warisan keluarganya
karena lahan hak warisnya merupakan bekas lahan HTI. HTI mengembalikan lahan milik
keluarga besar Pak Sani (Yakobus). Oleh Keluarga besar lahan diserahkan ke PT. BSMJ sekitar
400 Ha dan tidak ada hak kelola milik orang lain pada lahan tersebut.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial
2.  Pembebasan lahan kepada PT. BSMJ :
o  Contoh lain pada lahan hak waris keluarga Giarto. Dia mengakui ada hak waris
dan hak kelola, sehingga saat melakukan pembebasan lahan kepada perusahaan, dia
menyakini bahwa pemegang hak kelola di lahan hak warisnya tersebut pasti akan
menuntut. Karena itu keluarga besar ini hanya menerima harga tanahnya saja,
sementara untuk hak kelola GRTT diminta untuk disisihkan. Contoh, dalam
perjanjiannya dengan perusahaan untuk hak waris hanya Rp. 1 juta dan Rp. 2 juta
diberikan kepada pemegang hak kelola sebagai ganti rugi tanam tumbuhnya.
Giarto juga mengaris bawahi bahwa walaupun mempunyai hak kelola dilahan
tersebut bukan berarti pengelola berhak atas tanahnya juga.
o  Dengan dasar-dasar pertimbangan ini maka Masyarakat Kampung Muara Ponak
kemudian melakukan pembebasan atas tanah yang termasuk dalam wilayah konflik
tata batas dengan Kampung Muara Tae kepada PT. BSMJ.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Narasumber di Kampung Muara Ponak)
1.  Narasumber di Kampung Muara Ponak mengaku tidak pernah ada masalah
dengan antara mereka dan masyarakat Kampung Muara Tae. Adanya
gejolak saat ini, disebabkan oleh sekelompok masyarakat di Kampung
Muara Tae (menurut mereka kelompok tersebut adalah : kelompok Petrus
Asui dan Masrani).
2.  Dengan adanya perusahaan sekarang ini hampir semua kampung ingin
memperluas wilayahnya. Tetapi jika berkaitan dengan tata batas kampung
dengan Muara Tae, seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, sudah
seharusnya mengacu pada SK Bupati Kutai Barat.
3.  Menurut narasumber di Kampung Muara Ponak setidaknya 3 kali upaya
penyelesaian tata batas, sampai sekarang belum ada kata sepakat antara
kedua belah pihak terutama oleh kelompok masyarakat Kampung Muara
Tae.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Narasumber di Muara Ponak)
Beberapa tawaran penyelesaian yang diusulkan oleh Narasumber di Muara
Ponak adalah :
1.  Jika ada persoalan antara PT. BSMJ dengan masyarakat Kampung Muara Tae
maka itu harus diselesaikan terlebih dahulu.
2.  Penyelesaian secara kekeluargaan.
Kelompok masyarakat Muara Tae seandainya ada garapan di wilayah Ponak maka dipersilahkan
datang dan berbicara dengan pemilik hak waris di Kampung Muara Ponak. Menurut mereka
komunikasi kekeluargaan ini harus berjalan terutama antara pemilik hak waris Ponak dengan
kelompok Petrus Asuy dan Masrani.
3.  Pembuktian adanya hak kelola
Masyarakat Muara Tae dipersilahkan membuktikan hak kelolanya dan masyarakat Muara Ponak
siap mengakuinya bilamana bukti-bukti tersebut benar.
Penyelesaian Konflik Sosial
(Masyarakat Muara Ponak)
Beberapa tawaran penyelesaian yang diusulkan oleh masyarakat Muara Ponak
adalah:
4.  Penyelesaian melalui pemerintah (Hukum positif)
5.  Penyelesaian secara adat (Sumpah batas).
Menurut tokoh yang ada di Kampung Muara Ponak syarat untuk menyelesaikan secara adat
adalah misalnya dari PT. BSMJ ingin menyelesaikan permasalahan antara Ponak dan Muara Tae
maka, biaya dan lain sebagainya sampai dengan denda, itu semua ditanggung oleh PT. BSMJ.
Kemudian jika ingin merubah batas, harus dibuat sumpahnya oleh sesepuh adat, hal ini berarti
fasilitator ataupun mediator (orang ketiga) yang akan memimpin proses tersebut juga harus
disumpah adat. Jika yang merubah tidak tepat dan tidak pada posisi yang benar maka dialah
yang menanggung segala resikonya.
Keterangan-Keterangan
4 Manajemen PT. BSMJ
Perijinan
•  PT. BSMJ memperoleh Ijin Lokasinya berdasarkan surat Keputusan Bupati
Kutai Barat nomor : 525.26/K.037/2010 tentang Ijin Lokasi Usaha Perkebunan
Kelapa Sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya dalam wilayah Kabupaten Kutai
Barat tertanggal 21 Januari 2010. Luas wilayah yang tertera dalam Ijin lokasi ini
adalah ± 11.210 Ha, terletak dalam wilayah Kampung Kenyanyan, Lempunah,
Pentat, dan Muara Nayan Kecamatan Siluq Ngurai dan Jempang, Kabupaten
Kutai Barat.
•  18 Mei 2010, perusahaan memperoleh keputusan dari Kepala Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Barat tentang Kelayakan KA-ANDAL
kegiatan perkebunan dan pabrik minyak sawit seluas 11.210 Ha. Surat
keputusan Nomor : 660.5/005.KA ANDAL/BLH-KBR/V/2010 ini
menerangkan bahwa kegiatan perkebunan perusahaan beserta segala aktifitas
di dalamnya adalah layak, jika ditinjau dari aspek lingkungan hidup.
Perijinan
•  Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan dari Bupati Kutai Barat yang
tertuang dalam surat Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor : 660.5/009/
AMDAL/BLH-KBR/VI/2010 tentang kelayakan lingkungan hidup ANDAL, RKL
dan RPL kegiatan perkebunan kelapa sawit atas nama PT Borneo Surya Mining
Jaya di kampung Kenyanyan, Ponak, Lempunah, Pentat, dan Muara Nayan
Kecamatan Siluq Ngurai dan Jempang Kabupaten Kutai Barat tertanggal 24
Juni 2010.
•  PT. BSMJ juga telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan pada areal dalam izin
lokasi seluas 11.201 Ha berdasarkan Keputusan Bupati Kutai Barat 525.20/K.
935b/2010 tanggal 22 November 2010.
Proses Pembebasan Lahan
•  Sebelum pembebasan lahan, survei dan identifikasi serta sosialisasi/
penyuluhan tentang maksud dan tujuan dari pembangunan kebun kelapa
sawit tersebut kepada masyarakat setempat.
•  Dari salah satu dokumen diketahui deskripsi sosialisasi yang dilakukan PT.
BSMJ adalah :
o  Rencana lokasi perkebunan dan pabrik PT BSMJ meliputi 4 kampung : Kampung Pentat,
Muara Tae, Muara Nayan, dan Lembonah dengan luas areal 11.210 Ha.
o  Jenis kegiatan adalah perkebunan dan pabrik minyak sawit dengan kapasitas pabrik 60 ton/
jam.
o  Aktivitas yang akan dilakukan : tahap pra konstruksi, tahap konstruksi, tahap operasi, tahap
pasca operasi
o  Ikut dijelaskan juga dampak positif dan negatif yang mungkin timbul dengan adanya
perkebunan dan pabrik minyak sawit.
o  Mendengarkan saran dan tanggapan masyarakat.
Proses Pembebasan Lahan
•  Bilamana masyarakat menerima tawaran kerja sama pengembangan kebun
maka perusahaan akan melajutkan aktivitas ke pembentukkan tim verifikasi
lahan dan tahapan negosiasi pembebasan lahan.
•  Dalam meeting dengan Manajemen PT. BSMJ terungkap bahwa prinsip utama
yang dipegang perusahaan dalam pembebasan lahan adalah Clean and Clear,
dimana pihaknya tidak melakukan pembebasan lahan tanpa persetujuan
pemilik lahan. Karena itu dokumen-dokumen pembebasan lahan dan
pembayaran lahan selalu diclearkan sebelum proses pembukaan lahan
dilakukan.
•  Setelah dokumen-dokumen selesai dan secara administrasi disetujui
pemerintah desa setempat, tahapan pembukaan lahan dan pembangunan
kebun dilakukan.
Proses Pembebasan Lahan
•  Berdasarkan data perusahaan dari areal yang telah dibebaskan (GR/GTT)
disekitar area dispute (dalam laporan Intertek-Moody), penanaman telah
dilakukan seluas 252,82 Ha tahun 2012 dan tahun 2012 mencapai luasan
318.69 Ha.
•  Dari luasan tanan tersebut, pada area yang dibebaskan Yakobus, penanaman
telah mencapai 210,4 Ha.
Klarifikasi Manajemen Terkait Konflik Tata Batas
Kampung
1.  Awalnya ada permasalahan dengan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa, yang
dirasa cukup meresahkan, membuat Pemerintah Kabupaten Kutai Barat
turun tangan, dimana Pemerintah Kabupaten kemudian menetapkan batas
kampung Muara Tae dan Muara Ponak tanpa melibatkan perusahaan. Namun
setelah SK Bupati tentang tata batas dibuat, pihak Petinggi Muara Tae
(Masrani) kembali mengajukan keberatan dan mengajukan gugatan ke PTUN,
tetapi gugatan tersebut ditolak.
2.  Manajemen mengetahui ada SK Bupati Kutai Barat tentang Pemberhentian
Petinggi Muara Tae (Masrani).
3.  Terkait seluruh proses diatas, perusahaan mengaku tidak campur tangan atau
tidak terlibat sama sekali, dan kedua hal tersebut sepenuhnya merupakan
kewenangan pemerintah.
Klarifikasi Manajemen Terkait Pembebasan
Lahan Muara Ponak
1.  Perusahaan mengakui melakukan sosialisasi di Muara Tae tahun 2011,
ternyata peserta sosialisasi di Muara Tae saat itu menolak. Kemudian
perusahaan memutuskan untuk mundur, lalu mencoba masuk ke desa-desa
lain. Perusahaan kemudian masuk ke desa Muara Ponak, dengan mengusung
prinsip bahwa pekerjaan baru akan dilakukan apabila masyarakat telah setuju
untuk menyerahkan lahan dengan kompensasi, dan setuju dengan program
plasma 20 %.
2.  Proses pembebasan lahan melalui tim verifikasi yang dibentuk oleh desa. Di
tengah-tengah proses klaim dari kelompok Petrus Asui dan Masrani belum
masuk, sehingga dengan ijin masyarakat Muara Ponak, PT. BSMJ mulai
melakukan pembebasan lahan yang diserahkan masyarakat Muara Ponak.
3.  Dokumen-dokumen penyerahan dan pembayaran lahan dilengkapi sesuai
SOP, ditandatangani oleh Pemilik lahan dan diketahui oleh Pemerintah Desa
Muara Ponak, Kepala Adat Desa Muara Ponak dan Camat Siluq Ngurai.
Klarifikasi Manajemen Terkait Pembebasan
Lahan Muara Ponak
3.  Bulan Oktober - Desember 2011, PT. BSMJ mengosongkan lahan di Muara
Ponak (yang tidak termasuk dalam konflik tata batas) dan sudah
dikompensasi (seluas 284,29 Ha) untuk pembangunan infrastruktur, lahan
pembibitan dan perkebunan.
4.  Bulan Juni 2012, PT. BSMJ melakukan pembebasan lahan atas lahan yang
diserahkan Yakobus seluas 400 Ha (lahan ini termasuk dalam penetapan tata
batas Muara Tae dan Muara Ponak berdasarkan SK Bupati Kutai Barat No.
146.3/R.525/2012, sebagai wilayah administrasi Kampung Muara Ponaq.
Klarifikasi Manajemen Terkait Complaint EIA,
AMAN dan Petinggi Muara Tae

1.  Tanggal 17 Oktober 2012 (setelah 30 hari persyaratan masa public


notification di website RSPO terlewati), EIA (Environmental Investigation
Agency) mengadukan PT. BSMJ terkait pelanggaran yang dilakukan atas
Prosedur Penanaman Baru dan juga atas prinsip-prinsip dan kriteria RSPO.
2.  Tanggal 30 Oktober 2012, sebuah meeting informal antara First Resources
(FR), Petinggi Muara Tae (Masrani), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) dan NCIV di RT 10 Singapura. Dalam meeting tsb, petinggi Muara
Tae menginformasikan konflik kepemilikan lahan antara Muara Tae dgn
Muara Ponak, dan meminta PT. BSMJ untuk menghentikan pengosongan
maupun pembersihan lahan (400 Ha) yang dibebaskan Yakobus.
Klarifikasi Manajemen Terkait Complaint EIA,
AMAN dan Petinggi Muara Tae

3.  Tanggal 12 November 2012 – 20 Maret 2013, manajemen dan para pihak
terkait (AMAN, EIA, petinggi Muara Tae dan RSPO-Intertek) melaksanakan
rangkaian aktivitas untuk penyampaian complaint, klarifikasi, pembahasan-
pembahasan dan audit terkait pengaduan yang telah disampaikan pada point
1 dan 2.
4.  Complaint Panel RSPO memutuskan agar BSMJ melakukan serangkaian
tindakan perbaikan sebelum 30 Juni 2013 dan PT. BSMJ-FR secara prinsip
menyambut positif keputusan Complaint Panel tersebut, serta melakukan
tindakan-tindakan korektif yang melibatkan pihak eksternal.
Klarifikasi Manajemen Terkait Keterangan
Narasumber di Muara Tae
1.  Manajemen meminta agar pernyataan “perusahaan memprovokasi
masyarakat” tidak digunakan, karena aktivitas yang dilakukan perusahaan
adalah sosialisasi kepada masyarakat, jika kemudian ada diantaranya secara
individual, bersedia membebaskan lahan, maka itu merupakan hak mereka.
Aktivitas sosialisasi perusahaan bukanlah tindakan provokatif.
2.  Manajemen menerangkan bahwa penggunaan aparat keamanan di lapangan
adalah hal wajar untuk mencengah kemungkinan terjadi bentrok, apalagi ada
pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administrasi yang dilakukan secara berkala
dan membutuhkan kehadiran aparat keamanan. Manajemen memandang
usulan untuk tidak lagi menggunakan aparat keamanan seakan-akan
menafikkan aspek positif dari kehadiran aparat keamanan.
Pandangan Manajemen Terkait Penyelesaian
Konflik
1.  Mempersiapkan roadmap penyelesaian konflik adalah wujud kesediaan FR
dan PT. BSMJ melakukan tindakan korektif dalam pembangunan kebunnya,
terutama penyelesaian klaim lahan yang disampaikan masyarakat Muara Tae.
2.  Terkait pelaksanaan Pemetaan dan Penyusunan Roadmap penyelesaian
konflik pihak LINKS diharapkan :
o  Pemetaan dan penyusunan roadmap dapat mengidentifikasi dengan tepat berapa luasan
lahan yang berkonflik sebenarnya, karena tidak diseluruh lahan yang ditujukkan dalam peta
Dispute (1.800 s.d 2.100 Ha) dalam laporan Intertek terdapat permasalahan sosial. Selain
itu PT. BSMJ juga belum beroperasi diseluruh wilayah yang ditunjuk dalam peta Dispute
Intertek.
Pandangan Manajemen Terkait Penyelesaian
Konflik
2.  Terkait pelaksanaan Pemetaan dan Penyusunan Roadmap penyelesaian
konflik manajemen mengharapkan :
o  Roadmap juga harus mempertimbangkan keinginan kelompok-kelompok masyarakat lain di
Muara Tae yang bersedia bermitra dengan perusahaan dalam pembangunan kebun. Bahwa
kelompok Petrus Asui dan Masrani yang menolak, adalah satu kelompok masyarakat, di
Muara Tae ada juga kelompok yang bersedia menyerahkan lahan dan bermitra dengan PT.
BSMJ. Penting bagi para pihak untuk mempertimbangkan kepentingan kelompok ini, sama
seperti para pihak mempertimbangkan kepentingan kelompok yang menolak.
o  Road Map juga harus mempertimbangkan kewajiban PT. BSMJ untuk melakukan
pembangunan kebun sebagaimana yang diwajibkan pemerintah Kabupaten Kutai Barat, dan
kepentingan masyarakat di desa-desa lain, yang juga telah menyerahkan lahan. Kepada
mereka, PT. BSMJ juga memiliki kewajiban pembangunan kebun, terutama kebun kemitraan
(Plasma). Karena itu pada area yang tidak terdapat konflik, PT. BSMJ seharusnya dapat
melanjutkan kegiatan pembangunan kebun.
Kesimpulan &
5 Rekomendasi
Kesimpulan
1.  Tata waktu konflik :
•  Waktu terlama adalah abad 18 yang menunjukkan bahwa permasalahan
wilayah (tata batas) antara Muara Tae dan Muara Ponak telah berlangsung
lama. Begitupun penyampaian complaint Muara Tae terhadap pembebasan
lahan yang dilakukan proyek-proyek investasi diwilayah desanya, telah
berlangsung lama dan konsisten dilakukan sejak tahun 1971 hingga saat
ini, terutama setelah penetapan SK Bupati Kutai Barat No. No.146.3/R.
525/2012.
•  Sehingga penyelesaian konflik ini membutuhkan waktu, intensitas
komunikasi yang tinggi antara para pihak dan penerapan pendekatan-
pendekatan sosiologis, selain pendekatan struktural dan keamanan yang
sekarang dilakukan.
Kesimpulan
2.  Jenis dan akar Konflik Sosial :
•  Jenis Konflik : 1)Tata Batas Desa antara kampung Muara Tae dan Muara
Ponak. 2) Klaim atas pembebasan lahan yang dilakukan masyarakat Muara
Ponak pada PT. BSMJ. Klaim disampaikan oleh masyarakat Muara Tae.
•  Akar masalah : 1) perbedaan keterangan terkait batas-batas alam, tanda-
tanda tradisional dalam penentuan batas Kampung Muara Tae dan Muara
Ponak. 2) Pembebasan dan pembangunan kebun yang dilakukan di atas tanah
yang sedang berkonflik.
•  Implikasi konflik : Pemecatan Petinggi Muara Tae (Masrani) dan Segregasi
Sosial (pengelompokkan masyarakat) baik di internal masyarakat Muara Tae,
maupun antara Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponak.
3.  Luasan Konflik Sosial akan ditunjukkan dalam peta berikut :
Luasan Konflik Sosial

Areal Konflik tata batas Desa dalam ijin PT. BSMJ adalah 892 Ha,
areal konflik klaim lahan yang harus diselesaikan PT. BSMJ seluas
400 Ha berada didalamnya.
Kesimpulan
4.  Para Pihak yang terlibat saat ini :
•  Masyarakat Kampung Muara Tae dan Masyarakat Kampung Muara
Ponak.
•  Pemerintahan Kampung Muara Tae dan Muara Ponak.
•  Pemerintah Kecamatan Jempang, Kecamatan Siluq Ngurai, BUPATI
Kutai Barat, dan DISHUTBUN Kutai Barat.
•  NGO Pendamping : TELAPAK, AMAN dan EIA.
•  Manajemen PT. BSMJ dan FR.
•  RSPO.
Rekomendasi (Roadmap)

1.  Merekomendasikan PT. BSMJ untuk menunda aktivitas pembangunan kebun


(mulai dari pembebasan lahan, pembukaan areal baru maupun penanaman
areal baru pada wilayah konflik) seluas 892 Ha, hingga tercapai kesepakatan-
kesepakatan penyelesaian konflik.
Penundaan aktivitas ini diharapkan tidak meniadakan kegiatan perawatan
kebun, pada areal tertanam di dalam wilayah konflik seluas 210, 4 Ha.
Pertimbangan-pertimbangan teknis atas kegiatan perawatan ini perlu
dikomunikasi PT. BSMJ pada complainant dan Complaint Panel RSPO.
Rekomendasi (Roadmap)
2.  Merekomendasikan para pihak untuk memberi ruang kepada perwakilan
masyarakat Muara Tae, menyampaikan perbedaan-perbedaan pendapatnya
terkait penetapan tata batas kampungnya dengan Muara Ponak maupun
perihal pemberhentian Petinggi (Masrani). Ruang tersebut dapat diwujudkan
melalui :
o  PT. BSMJ beraudiensi kepada Bupati Kutai Barat untuk menyampaikan belum tuntasnya
masalah tata batas yang sedang terjadi diareal ijin perkebunannya setelah penetapan SK
Bupati, dampak konflik sosial tersebut bagi pembangunan kebun PT. BSMJ sekaligus
menyampaikan upaya-upaya penyelesaian yang sedang ditempuh.
o  NGO-NGO pendamping memfasilitasi Masyarakat Muara Tae dalam melanjutkan
penyampaian complaint atas tata batas Desa Muara Tae dan Desa Muara Ponak maupun
pemberhentian Petinggi (Masrani) kepada pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Fasilitasi ini
direkomendasikan untuk didukung oleh RSPO baik dari sisi pembiayaan maupun hal-hal
teknis lain.
Rekomendasi (Roadmap)
2.  Kedua aktivitas dalam Rekomendasi ini harus mempertimbangkan :
o  Aturan perundangan yang berlaku bahwa : 1) Penegasan batas daerah maupun desa
merupakan kewenangan tim penetapan dan penegasan batas yang dibentuk pemerintah
daerah, dimana tokoh-tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam tim maupun prosedur
penegasan batas tersebut - Permendagri RI No. 1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan
batas daerah dan Permendagri RI No. 27 Tahun 2006 tentang penegasan batas desa. 2)
Bahwa masyarakat memiliki hak untuk menyatakan sikap setuju maupun tidak terhadap
perubahan fungsi ruang disekitarnya - UU RI No. 27 tahun 2006 tentang Penataan Ruang. 3)
Terdapat tata cara pemberhentian Kepala Desa (petinggi) berdasarkan Peraturan
pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa pasal 17-23 yang perlu diperhatikan, dan
menjadi hak dari Pihak Petinggi (Masrani) untuk mengajukan complaint, bilamana tahapan
tersebut tidak terpenuhi.
o  Bahwa penyampaian materi complaint merupakan bagian dari hak warga negara tetapi
dalam penyampaiannya harus tetap mengacu pada aturan perundangan yang berlaku.
Rekomendasi (Roadmap)
2.  Lanjutan :
o  Proses fasilitasi terkait tata batas harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Kecamatan dan
mendapat persejutuan Pemerintah Kabupaten.
o  Proses penyelesaian tata batas harus berimbang (setara) dalam mendengar dan
memperhatikan kepentingan masyarakat baik Muara Tae dan Muara Ponak.
o  Proses fasilitasi penyelesaian tata batas harus melaui masa-masa persiapan dimana para
pihak (Masyarakat Muara Tae dan Muara Ponak) perlu memiliki peta partisipatif tentang
batas-batas desa mereka (jika belum, maka perlu dilakukan penelurusan batas-batas desa),
menentukan perwakilan para pihak dan pendamping, menyusun jadwal/ agenda-agenda
penyelesian konflik, menyusun etika maupun tata cara dalam negosiasi penyelesaian konflik,
menyusun tata cara pengambilan keputusan/penyusunan kesepakatan, tata cara
implementasi dan monitoring kesepakatan, serta menyusun mekanisme complaint bilama
terdapat pihak yang melanggar kesepakatan.
o  Proses fasilitasi tata batas ini juga harus menunjuk fasilitator/negosiator/mediator yang
bersifat independen untuk memandu para pihak dalam agenda yang telah disusun dalam
persiapan.
Rekomendasi (Roadmap)
2.  Lanjutan :
o  Adapun proses dan tahapan penyampaian complaint atas pemberhentian Petinggi Muara Tae
(Masrani) diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan dan NGO-NGO pendamping.
o  Dukungan RSPO dalam hal pendanaan fasilitasi ini penting agar dana datang dari pihak
independen, sementara dukungan pada hal-hal teknis dapat diwujudkan dalam penunjukkan
tim pemetaan independen maupun fasilitator/negosiator/mediator (terutama untuk
masyarakat Muara Ponak yang belum memiliki peta partisipatif dan pendamping
masyarakat).
Rekomendasi (Roadmap)
3.  Merekomendasikan PT. BSMJ untuk melanjutkan fasilitasi penyelesaian klaim
lahan masyarakat Muara Tae pada areal seluas 400 Ha yang dibebaskan
Yakobus (Muara Ponak). Proses ini direkomendasikan pelaksanaannya
melalui tahapan-tahapan :
o  Persiapan-persiapan untuk : pemetaan pada areal-areal yang diklaim, menentukan
perwakilan para pihak dan pendamping, menyusun jadwal/ agenda-agenda penyelesaian
klaim lahan, menyusun etika maupun tata cara dalam negosiasi penyelesaian klaim lahan,
menyusun tata cara pengambilan keputusan/penyusunan kesepakatan, tata cara
implementasi dan monitoring kesepakatan, serta menyusun mekanisme komplain bilama
terdapat pihak yang melanggar kesepakatan.
o  Melakukan FGD Review Kasus lanjutan, untuk mendorong para pihak melakukan evaluasi
dalam inner place mereka terkait argumen-argumen yang menjadi dasar-dasar bertahan
para pihak serta implikasinya bagi penyelesaian konflik. Review kasus ini diperlukan untuk
menjajaki sejauh mana perbedaan kepentingan dan unsur-unsur yang menjadi dasar
bertahan masing-masing pihak. Review kasus lanjutan ini akan dilakukan berulang-ulang
agar mendapatkan gambaran yang lebih sempurna.
Rekomendasi (Roadmap)
3.  Lanjutan :
o  Setelah gambaran konflik semakin jelas, review kasus akan dilanjutkan dengan pemberian
pengetahuan baru yang relevan agar para pihak memiliki kemampuan mengembangkan
mindset baru, ketrampilan negosiasi dan komunikasi sosial serta kemampuan mengelola
dinamika kelompoknya agar mereka tidak mudah terpancing emosi atau bahkan menjadi
putus asa saat melalui proses penyelesaian konflik yang membosankan dan berliku-liku.
o  Melaksanakan Visioning, bilamana secara internal kondisi para pihak sudah semakin
kondusif dan telah terbangun pengetahuan baru, fasilitasi para pihak dapat dilanjutkan
dengan visioning guna menyusun materi dan jenis kegiatan yang akan diusulkan dalam
penyelesaian konflik.
Rekomendasi (Roadmap)
3.  Lanjutan :
o  Setelah Visioning, perlu dilakukan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL), aktivitas ini akan
mempertemukan para pihak yang tidak ditujukan untuk melakukan diskusi atau negosiasi
penyelesaian konflik, tetapi untuk membahas pilihan-pilihan kegiatan penyelesaian konflik
dan aturan mainnya termasuk membahas mekanisme komplain bilamana terjadi
pelanggaran, menentukan perwakilan dan pendamping, menentukan fasilitator/negosiator/
mediator, menyusun jadwal dan menentukan materi-materi yang akan dibahas dalam
penyelesaian konflik.
o  Berdasarkan kesepakatan ini selanjutnya dengan menggunakan fasilitator/negosiator/
mediator yang Independen para pihak dapat melangkah sesuai RKTL yang telah disepakati
bersama untuk penyelesaian konflik, sebagaimana yang ditujukkan pada gambar berikut :
Rekomendasi (Roadmap)
4.  Dalam pelaksanaan rekomendasi no. 3, terdapat syarat yang perlu
diperhatikan :
o  Perwakilan dari NGO-NGO pendamping harus dihadirkan pada pelaksanaan FGD Review
kasus lanjutan, Visioning dan RKTL untuk memantau proses fasilitasi yang dilakukan.
o  Bahwa peran fasilitator dengan pembiayaan perusahaan hanya sampai tahap penyusunan
RKTL, selanjutnya dengan pembiayaan RSPO (pihak independen), direkomendasi
menggunakan fasilitator/negosiator/mediator yang Independen untuk memandu para
pihak dapat melangkah pada RKTL yang telah disepakati bersama untuk penyelesaian
konflik klaim lahan.
Rekomendasi (Roadmap)
5.  Merekomendasikan RSPO untuk meninjau kembali suspend yang
diberlakukan pada areal perkebunan PT. BSMJ mengingat :
o  Tidak seluruh areal merupakan wilayah konflik.
o  Kewajiban yang harus dipenuhi PT. BSMJ terkait perijinan yang diberikan pemerintah
untuk melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan kebun.
o  Kepentingan masyarakat desa lain yang telah melaksanakan penyerahan lahan kepada PT.
BSMJ agar pembangunan kebun dilanjutkan terutama untuk pembangunan kebun plasma.
o  Penyampaian narasumber di Muara Tae tentang dipersilahkannya PT. BSMJ untuk
melakukan pembangunan kebun di wilayah desa-desa lain, akan tetapi PT. BSMJ diminta
untuk tidak melakukan akvitas pembangunan kebun sementara waktu pada wilayah Desa
Muara Tae termasuk di dalam wilayah konflik
o  Memperhatikan kepentingan kelompok masyarakat lain di Muara Tae yang bersedia
bekerja sama ataupun bermitra dalam pembangunan kebun dengan PT. BSMJ.
o  Peninjauan kembali suspend RSPO dan berapa luasan lahan yang akan dikeluarkan
selanjutnya diskusikan para pihak (Complainant, manajemen PT. BSMJ dengan complaint
panel RSPO).
Terima Kasih

Vous aimerez peut-être aussi