Vous êtes sur la page 1sur 22

Diskusi kasus

BRONKIOLITIS AKUT

Disusun oleh :
Azora Khairani Kartika, S.Ked 04054821820119

Pembimbing:
Dr. H. Suwandi Safitra, SpA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus yang berjudul


BRONKIOLITIS AKUT

Oleh :

Azora Khairani Kartika

Sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSMH Palembang Fakultas Kedokteran Unsri.

Palembang, Juli 2018


Pembimbing,

Dr. H. Suwandi Safitra, SpA

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Bronkiolitis Akut”. Di
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dr. H. Suwandi Safitra, SpA selaku pembimbing yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI-
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini, sehingga laporan kasus
ini dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat, amin.

Palembang, Juli 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN .........................................................................................1
BAB II. LAPORAN KASUS......................................................................................3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................8
BAB IV. ANALISIS KASUS ..................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan penyebab utama kesakitan
dan kematian balita di Indonesia. Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut
bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Secara klinis ditandai dengan
episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala infeksi respiratorik akut.
Bronkiolitis merupakan saluran respiratorik tersering pada bayi. Paling sering terjadi
pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2
tahun dan 75% diantaranya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. Penyakit ini
menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap
tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi.
Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbuki disebabkan Respiratory
Syncytial Virus (RSV) merupakan agen penyebab pada kasus, sisanya oleh virus para
influenza, mikoplasma, adenovirus dan virus lainnya. Infeksi primer oleh bakteri penyebab
belum dilaporkan. Perbandingan insiden antara laki-laki dan wanita sekitar 1,5:1. Lebih
sering mengenai kelompok sosial ekonomi yang rendah, keadaan tempat tinggal yang penuh
sesak dan lingkungan perokok. Penularannya dapat melalui droplet, kontak dengan benda
yang telah terkontaminasi seperti pakaian, perabot atau infeksi nosokomial.
Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat akan membantu menurunkan angka
morbiditas. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), kompetensi
bronkiolitis adalah 4A, lulusan dokter umum diharapkan mampu membuat diagnosis klinik
dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu,
sebagai dokter layanan primer kita harus mampu menatalaksana kasus bronkiolitis dalam
praktik klinis.
Berikut ini laporan kasus mengenai bronkiolitis akut pada seorang bayi laki-laki
berumur 5 bulan yang dirawat di bangsal anak RSUD H. M. Rabain sejak tanggal 16 Juli
2018.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola
penderita dengan bronkiolitis, sekaligus mencoba membandingkan tindakan yang diberikan

1
berdasarkan kepustakaan yang ada, sehingga dapat mengarah kepada penatalaksanaan yang
lebih tepat dan rasional.

1.3 Manfaat
Laporan ini diharapkan dapat membantu untuk belajar mendiagnosis dan
menatalaksana penderita bronkiolitis akut.

2
BAB II

LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : By. M.R
b. Umur : 5 bulan (16/02/2018)
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : Tn. AL
e. Nama Ibu : Ny. DW
f. Bangsa : Indonesia
g. Alamat : Muara Enim
h. Dikirim Oleh : IGD
i. MRS Tanggal : 16/07/2018

II. ANAMNESIS
Tanggal : 16/07/2018
Diberikan Oleh : Ibu pasien

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Batuk, pilek, demam, dan ruam pada wajah
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Kisaran 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita demam, tidak terlalu
tinggi, penderita masih mau minum susu, muntah (-), batuk (+) tidak berdahak, pilek
(+) bening. BAB cair (-), belum ada sesak napas. Kisaran 1 hari SMRS, penderita
masih demam, batuk (+), pilek (+), muncul sesak napas yang terjadi terus menerus.
Terdapat ruam pada wajah pasien terutama di pipi. Pasien lalu dibawa berobat ke
RSUD H. M. Rabain.

B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : 38 minggu
Partus : Spontan, pervaginam, langsung menangis
Tanggal : 16 Februari 2018

3
BBL : 3400 gram
PBL : 48 cm

2. Riwayat Makanan
ASI : Sejak lahir hingga sekarang
Susu Botol : Sejak usia 4 bulan hingga sekarang
Bubur Nasi : Belum
Nasi biasa : Belum

C. RIWAYAT IMUNISASI
Imunisasi Dasar
Umur Umur Umur
BCG √ DPT 2 √ DPT 3 √
DPT 1 √ Hepatitis B 2 √ Hepatitis B 3 √
Hepatitis B 1 √ Hib 2 √ Hib 3 √
Hib 1 √ Polio 2 √ Polio 3 √
Polio 1 √ Polio 4 √
Campak -
Kesan : Imunisasi lengkap sesuai usia

D. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


Riwayat mendapat penyakit yang sama sebelumnya disangkal

E. RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA


Riwayat asma pada nenek dan paman pasien (+)
Riwayat batuk dan pilek pada ibu pasien sejak seminggu yang lalu

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : N : 142x/mnt, isi cukup, kuat angkat, reguler
RR : 52x/menit
S : 37,7’C
SpO2 : 99% (dengan oksigen nasal kanul)

4
Status : BB: 6,5 kg BB/U: -2 < z score < 0 ( normal)
Antropometri PB: 63 cm PB/U: -2 < z score < 0 (normal)
BB/PB: -2 <z score < 0 (normal)
Kesan: Gizi Baik
Kepala : Normocephal (lingkar kepala 36 cm), rambut hitam.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor 2mm/2mm
Telinga : Bentuk normal, simetris, otore (-/-)
Hidung : Bentuk normal, pernapasan cuping hidung (+),
sekret (+) bening.
Mulut Mukosa bibir lembab, faring tidak hiperemis, tonsil
: T1-T1 tenang
Leher : Simetris, tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening
Dada : Pulmo:
I: Dinding dada simetris statis dan dinamis, retraksi
epigastrium (+)
P: Stem fremitus kanan = kiri
P: Sonor di kedua lapang paru
A:Vesikuler (Normal/Normal), ronkhi (-/-) wheezing
(+/+) ekspirasi memanjang
Cor:
I: Tidak tampak ictus cordis
P: Iktus cordis tidak teraba
P: Redup, dalam batas normal
A: BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : I: Datar
P: Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar dan
lien tidak teraba
P: Timpani
A: Bising usus (+) normal
Genitalia : O , fimosis (-), eritema (-)

5
Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), capillary refill time <3 detik,
akral hangat (+)

IV. STATUS NEUROLOGIKUS


Lengan Lengan
Fungsi motorik Kaki kanan Kaki kiri
Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks
tidak dilakukan pemeriksaan
fisiologis
Refleks
tidak dilakukan pemeriksaan
patologis
Gejala rangsang
Tidak dilakukan pemeriksaan
menigeal
Fungsi motorik Dalam batas normal
Nervi craniales Dalam batas normal

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium maupun radiologi.

VI. RESUME
By. MR, laki-laki, 5 bulan, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas. Keluhan
sesak napas disertai batuk, pilek dan demam. Pasien kemudian dibawa ke RSUD H. M.
Rabain Muara Enim. Keadaan umum tampak sakit sedang, anak tampak gelisah, sesak,
napas cuping hidung (+), dan retraksi epigastrium (+). Pasien menderita demam subfebris
37,7oC. Pasien juga mengalami batuk disertai pilek. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan
wheezing ekspirasi memanjang pada kedua lapangan paru.

VII. DAFTAR MASALAH


1) Sesak napas 3) Pilek
2) Batuk 4) Demam

6
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1) Bronkiolitis akut
2) Asma
3) Bronkopneumonia

IX. DIAGNOSIS KERJA


Bronkiolitis akut

X. TATALAKSANA
A. Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan darah rutin, AGD, foto thorax AP/lateral
B. Non-farmakologis
Pemberian O2 2 lpm via nasal kanul
Konsul fisioterapi
C. Farmakologis
- IVFD KAEN IB gtt xx/menit (macro)
- Inj Ceftazidin 2 x 300 mg (IV)
- Inj Dexamethason 3x1 mg (IV)
- Paracetamol fls 3 x 8 cc
- Nebu Ventolin 2 x 1
- Tiriz drop 2 x 0,2 mg
D. Diet
ASI ad libitum
E. Edukasi
- Bila menyusui, posisi anak harus setengah duduk, tidak boleh sambil ibu
berbaring atau anak berbaring
- Bila anak bertambah sesak (RR > 50x/menit) maka sementara anak dipuasakan
telebih dahulu dan dipasang NGT
- Bila anak demam, beri minum ASI yang cukup, dan beri obat penurun panas

XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorius bawah akut yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada bronkiolus, yang terjadi pada anak dibawah 2 tahun. Umumnya,
penyebab infeksi yang paling sering adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
menyerang saluran napas bawah. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing
pada bayi yang didahului dengan gejala IRA.1

2.2 Etiologi
Sekitar 95% dari kasus yang ada, secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV.
Terdapat penyebab lain seperti adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza-3, rhinovirus,
dan mikoplasma. Meskipun demikian, belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan
oleh bakteri.2

2.3 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan penyakit infeksi pernapasan tersering pada bayi. Kejadian
tersering terjadi pada usia 2 sampai 24 bulan, dengan puncak 2 sampai 8 bulan. 95% kasus di
antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, dengan 75% di antaranya terjadi pada
usia di bawah 1 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi
laki-laki berusia 3 sampai 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan
pada penduduk. Bronkiolitis lebih banyak terjadi pada laki-laki, yaitu sekitar 1,25 sampai 1,6
kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Ditemukan juga bahwa 63% kasus
bronkiolitis adalah laki-laki.2
Insidensi dari bronkiolitis meningkat seiring bertambahnya tahun di seluruh dunia.
Lama perawatan yang dibutuhkan berkisar selama 2 sampai 4 tahu, kecuali pada bayi
prematur dan yang memiliki penyakit jantung bawaan. Penyakit ini kan menjadi lebih berat
pada bayi-bayi muda. Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2 pada bayi yang
terpapar asap rokok pascanatal. Terdapat beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis
atau yang akan menimbulkan komplikasi, yaitu masa gestasi <34 minggu, usia <3 bulan,
sianosis, saturasi oksigen <90%, laju pernapasan >70 kali per menit, adanya rhonki, dan
riwayat dysplasia bronkopulmoner.1

8
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada negara-negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi
dan ekonomi, kurangnya tinjauan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang.
Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3%.1

2.4 Patofisiologi
Orang dewasa dan anak-anak yang berusia lebih tua memiliki toleransi terhadap edema
bronkial yang lebih baik dibandingkan pada bayi, dan tidak menunjukkan manifestasi
gambaran klinis bronkiolitis. Karena resistensi terhadap aliran udara pada tabung berbanding
terbalik terhadap pangkat empat dari radius, bengkak minor sekalipun pada bayi dapat
mengakibatkan perubahan yang cukup besar pada aliran udara.2,3
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus akan memicu respon inflamasi akut, yang
ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris
selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfoit peribronkial
dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter
penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan
hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran
respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka terjadi air trapping
dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang
terjebak diabsorbsi.1,2
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja
ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion
mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian
terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali
pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen
arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat selama end-expiratory lung
volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea baru terjadi jika respirasi
mencapai 60 kali per menit.1,2,4
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua
minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.1

9
2.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis bronchiolitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium. Dari ketiga komponen ini, perlu dipikirkan juga kemungkinan diagnosis
banding yang lain, seperti asma, bronkitis, gagal jantung kongestif, dan edema paru yang
memiliki gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang menyerupai bronkiolitis pada
anak. Penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-
musim tertentu dalam satu tahun.2,3,4
2.5.1 Anamnesis
Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala infeksi
saluran napas atas ringan akibat virus, seperti pilek ringan disertai rinorea, batuk, dan demam.
Demam biasanya tidak ada, namun jika ada, biasanya berkisar antara 38,5ºC sampai 39ºC
atau subfebris. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas
yang makin hebat, yaitu bernapas dangkal dan cepat. Kemudian dapat ditemukan wheezing,
sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan sulit makan
karena terganggu oleh takinea yang dialami oleh pasien.2,3,4
2.5.2 Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort, takipnea,
takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5ºC. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan
anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi
interkostal. Menangis dan makan dapat memperberat tanda ini. Dapat ditemukan juga
konjungtivitis ringan dan faringitis. Adanya obstruksi pada saluran napas bawah akibat
respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekpirasi memanjang hingga wheezing.2,3,4
Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya wheezing bukan berarti tidak ada
obstruksi. Wheezing dan crackles dapat atau tidak dapat muncul, bergantung pada derajat
obstruksi saluran napas. Pada bayi dengan obstruksi saluran napas berat, wheezing berkurang
seiring dengan berkurangnya aliran udara. Biasanya fase kritis dari penyakit ini terjadi pada
48 sampai 72 jam. Jika obstruksi hebat, suara napas nyaris tidak terdengar. Selain itu, dapat
juga ditemukan rhonki pada auskultasi paru, yaitu rhonki basah halus nyaring pada akhir atau
awal ekspirasi. Sianosis sekitar hidung dan mulut dapat terjadi, dan apabila gejala memberat,
dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu.2,3,4
Tanda-tanda distress pernapasan dan impending respiratory failure pada bayi dan anak
yang masih kecil:1
 Peningkatan signifikan dari usaha bernapas, termasuk retraksi berat atau grunting,
penurunan gerakan dada.

10
 Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen.
 HR ≥150 kali per menit.
 bernapas sangat cepat, yaitu >60 kali per menit pada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan;
atau lebih dari 30 kali per menit pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun.
 Depresi napas berat, yaitu ≤20 kali per menit.
 Retraksi pada area supraklavikula, sternum, epigastrium, dan interkostal. Retraksi lebih
terlihat pada anak dibandingkan dewasa karena anak memiliki dada yang lebih compliant.
 Cemas dan agitasi yang ekstrim.
 Penurunan kesadaran.
2.5.3 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tidak khas karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian pula
pada elektrolit. Analisis gas darah diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang
menggunakan ventilator mekanik. Pada analisis gas darah dapat memberikan gambaran
adanya hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis metabolik atau respiratorik.2,3
Pada foto rontgen diperoleh gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter
anteroposterior membesar, dan infiltrat/bercak konsolidasi yang tersebar (patchy infiltrate).
Namun, gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau
atipikal, dan aspirasi. Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah gambaran normal,
atelektasis, dan kolaps segmenta. Atelektasis terutama pada saat konvalesens akibat sekret
pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan
peningkatan diameter antero-posterior.2,3,4
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct
immunofluoresence assay dan enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA) atau
Polymerase Chain Reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi pada fase akut dan
konvalesens.1,2
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Skala klinis yang digunakan ada
beberapa macam, yaitu Respiratory Distress Assays Instrument (RDAI) atau modifikasinya
yang mengukur laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas, beratnya wheezing, dan
oksigenasi.1
Skala klinis yang digunakan Abdul-Ainine dan Luyr adalah:2
 RR dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada, dilakukan selama 1
menit penuh, dua kali penghitungan dan diambil rata-ratanya.

11
 HR diambil dari pulse oksimeter yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit,
diambil rata-ratanya.
 Saturasi O2 diambil dari pulse oksimeter yang dibaca lima kali selama pengamatan 1
menit, diambil rata-ratanya.
 Respiratory Clinical Status (RDAI) menurut Lowell dkk.
 Status aktivitas bayi (empat tingkat, yaitu tidur, tenang, rewel, dan menangis).
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dopson, menilai skor sebagai berikut:2
o Keadaan umum: diberi skor 0 (tidur) hingga 4(sangat rewel).
o Penggunaan otot bantu napas: skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat).
o Wheezing: skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik)

2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana bronkiolitis masih kontroversial. Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis
bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena,
kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan
respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu, baru digunakan bronkodilator, anti-inflamasi
seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV
immunoglobuline (polyclonal), atau humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab).2,3,5,6
Berikut tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien bronkiolitis:2,4,7
 Oksigen 1-2 liter per menit dengan nasal kanul.
 Cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dengan infus). Pada bayi >1bulan diberikan infus
dextrose 10%:NaCl 0,9% = 3:1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan. Sedangkan pada neonatus
diberikan dextrose 10%:NaCl 0,9% = 4:1+KCl 10 mEq/500 ml. Jumlah cairan disesuaikan
dengan berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi.
 Koreksi asam-basa yang timbul.
 Antibiotik dapat diberikan:2,8
- Untuk community acquired
 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
 Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
- Untuk kasus hospital acquired dapat diberikan sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2
kali pemberian.
- Lama pemberian antibiotic 7-10 hari atau sampai 4-5 hari bebas demam.
 Bronkodilator.2,7,9

12
Pemberian bronkodilator masih kontroversial. Beberapa literatur menunjukkan bahwa
terdapat perbaikan skor klinis pada janga pendek, naumn tidak terdapat perbaikan pada
oksigenasi atau angka perawatan di rumah sakit. Hingga saat ini bronkodilator masih
digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan bronkiolitis. Pemberian bronkodilator ini
didasari oleh pemikirian:
o Kerja konstriktor β-adrenergik sebagai dekongestan mukosa, mebatasi absorbsinya, dan
mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation-perfusion
matching.
o Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik.
o Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
o Efek fisiologis antihistamin yang melawan efek histamine seperti edema.
o Mengurangi sekresi kataral.
Pada pasien bronkiolitis dapat diberikan normal saline atau β-agonis untuk memperbaiki
bersihan mukosilier.
 Kortikosteroid.
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednisone, prednisolon, metilprednison,
hidrokortison, dan deksametasone. Sebenarnya, penggunaan kortikosteroid ini masih perlu
dipertimbangkan. Dari beberapa penelitian dan meta-analisis diperoleh kesimpulan bahwa
pemberian kortikotsteroid baik secara oral, inhalasi, intramuscular, maupun intravena
tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok yang tidak mendapatkan steroid.
Pemberian steroid ini diketahui memberikan hasil yang bermakna jika diberikan pada anak
dengan predisposisi asma. Namun, karena faktor predisposisi ini tidak dapat diidentifikasi
sebelumnya, maka diperlukan pertimbangan dalam pemberian steroid pada bayi dengan
bronkiolitis. Dosis deksametason yang digunakan adalah 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5
mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.2,4,5

2.7 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan 2 hal, yaitu pemberian immunoglobulin dan
vaksinasi. Pemberian immunoglobulin merupakan imunisasi pasif. Selain itu, yang paling
penting adalah menjaga higienitas umum, terutama menghindari kontak dengan orang
dewasa/anak yang menderita infeksi saluran pernapasan.2,3

13
2.8 Prognosis
Suatu studi kohort menunjukkan bahwa 23% bayi yang memiliki riwayat bronkiolitis
berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Penelitian lain yang dilakukan di Norwegia
menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkiolitis memiliki kecenderungan
menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan kelompok
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hiperreaktivitas yang menetap selama beberapa
tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik pada RSV positif maupun
negatif.2,9
Sekitar 40-50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan menderita
mengi di kemudian hari. Infeksi dari RSV berkaitan dengan respon sel T berupa produksi
sitokin oleh sel Th tipe 2, yang juga terjadi pada asma. Keadaan ini ditandai dengan sitokin
oleh sel T dan eosinofil, serta pelepasan mediator yang larut (histamin, kini, dan leukotrien
lain). Pada anak dengan bronkiolitis, mengi yang lebih sering dan berat berhubungan dengan
kadar antibodi IgE terhadap RSV dan virus parainfluenza, menunjukkan antibodi yang
dirangsang virus meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. RSV juga dapat mempengaruhi
mengi dengan cara mengubah jalur saraf yang menyebabkan responsifnya saluran
respiratori.2,9
Jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan
menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3. Adanya eosinofil meramalkan
bahwa mengi akan berlanjut pada masa anak-anak. Hal ini dijelaskan oleh adanya kelainan
imunologis yand mendahului bronkiolitis atau yang dipicu oleh bronkiolitis, dan bukan
karena kerusakan struktural jalan napas yang disebabkan bronkiolitis. Terdapat beberapa
faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh, seperti riwayat keluarga dengan asma, jenis
kelamin, dan paparan pasif asap rokok. Namun, hanya eosinofilia yang memiliki hubungan
bermakna.2,3
Tidak dapat dibuktikan bahwa bronkiolitis terjadi pada anak yang memiliki
kecenderungan asma. Tetapi, bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan dengan asma,
keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalensi asma
pada anak dari kelompok pengobatan.2

2.9 Kriteria pulang


Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen
selama 10 jam terakhir (saturasi oksigen menetap di atas 93% atau stabil selama 4 jam),
retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang lain.2

14
BAB III
ANALISIS MASALAH

Bayi MR, laki-laki, 5 bulan, datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan sesak diawali oleh adanya demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan demam muncul mendadak di sore hari, dengan suhu yang tidak diukur oleh
orang tua pasien namun dirasakan tidak terlalu tinggi. Keluhan demam disertai dengan
adanya batuk tidak berdahak dan pilek. Adanya keluhan demam, batuk tidak berdahak, dan
pilek menandakan bahwa pasien mengalami infeksi saluran pernapasan. Demam yang naik
mendadak merupakan ciri dari infeksi virus. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya
riwayat infeksi saluran napas pada ibu pasien, karena seringkali infeksi saluran napas bawah
pada bayi disebabkan oleh tertularnya bayi oleh anggota keluarga yang tinggal satu rumah.
Kemudian keluhan ini diikuti dengan sesak yang ditandai dengan bernapas yang cepat
dan adanya tarikan otot-otot di perut. Dari keterangan ini disimpulkan bahwa pasien
mengalami takipnea, yaitu bernapas cepat dan dangkal, yang disertai dengan otot-otot bantu
napas. Keterangan ini kemudian akan dikonfirmasi pada pemeriksaan fisik. Karena adanya
takipnea dan sesak. Pasien kemudian menjadi gelisah dan menangis, sehingga keluhan sesak
dirasakan semakin memberat. Tidak adanya biru pada pasien dan tidak adanya riwayat mulut
lepas tiba-tiba saat menyusu menyingkirkan kemungkinan penyakit jantung bawaan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali
frekuensi pernapasan pasien 52 kali per menit, dangkal, dan tampak adanya retraksi
epigastrium. Dengan demikian disimpulkan bahwa pasien mengalami takipnea dan
penggunaan otot bantu napas yang menandakan pasien sesak. Pada auskultasi didapatkan
suara napas bronkovesikuler pada kedua lapangan paru, dengan adanya wheezing pada 1/3
basal kedua lapangan paru. Adanya wheezing menandakan adanya obstruksi pada saluran
napas bawah. Dengan demikian dipikirkan kemungkinan pasien mengalami bronkiolitis,
namun masih didiagnosis banding dengan bronkopneumonia. Dari pemeriksaan perkusi tidak
didapatkan hipersonor pada paru, atau redup sehingga tidak dapat menyingkirkan salah satu
di antaranya. Namun, jika data ini ditambahkan dengan anamnesis dan klinis pasien, yaitu
usia di bawah 2 tahun, adanya infeksi saluran napas, dan adanya wheezing yang dominan,
maka diagnosis lebih cenderung ke arah bronkiolitis.

15
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal, termasuk ubun-ubun dan mata tidak cekung,
bibir tidak kering, turgor kulit normal. Dengan demikian kecurigaan adanya dehidrasi akibat
muntah disingkirkan.
Rencana tatalaksana pada pasien ini adalah mengatasi sesak dan menjaga agar oksigen
dalam darah tercukupi. Karena sesak yang terjadi disebabkan oleh obstruksi akibat inflamasi,
maka diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi yang terjadi sehingga edema pada
saluran napas bawah berkurang dan aliran udara ke alveolus dapat meningkat. Pilihan
kortikosteroid pada pasien adalah deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB, sehingga dengan
berat badan pasien sebesar 6,5 kg seharusnya diberikan 3,25 mg. Namun, pada pasien ini
diberikan sebanyak 3x1 mg secara intravena. Kemungkinan pertimbangan pemberian
deksametasone dengan dosis 3x1 mg ini adalah kondisi pasien yang bersifat gawat darurat,
yaitu sesak dengan adanya penggunaan otot-otot bantu napas dan sianosis pada mulut,
sehingga pemberian dosis ini diharapkan dapat mengurangi obstruksi saluran napas yang
terjadi.
Pemberian deksametason bertujuan untuk mengurangi edema akibat inflamasi. Setelah
saluran napas ini kembali lagi terbuka, maka CO2 yang terperangkap dapat keluar. Dengan
demikian, diberikan juga O2 melalui nasal kanul sebanyak 2 liter per menit. Adanya infeksi
saluran pernapasan yang terjadi pada pasien menjadi indikasi pemberian antibiotik,terutama
pada pasien sulit dibedakan apakah pasien mengalami bronkiolitis atau pneumonia. Dengan
demikian diberikan ceftazidin 2 x 300 mg secara intravena. Berdasarkan anamnesis,
didapatkan keterangan bahwa kemungkinan sumber penularan adalah ibu kandung pasien.
Maka, seharusnya antibiotik yang diberikan adalah antibiotik untuk community-acquired,
yaitu ampisilin atau kloramfenikol.
Status gizi pada pasien termasuk cukup gizi, sehingga tidak diperlukan terapi nutrisi
yang khusus. Berdasarkan kebutuhan kalori pasien per hari, yaitu 100-120 kalori per kg berat
badan per hari, maka kebutuhan kalori pada pasien ini dalam sehari sebesar 650-780 kalori.
Karena pasien masih berusia 5 bulan, maka asupan kalori yang disarankan adalah ASI. Selain
itu, pemberian cairan maintenance yang diberikan pada pasien ini adalah KAEN 1 B 20 tetes
per menit.
Pada pasien diberikan paracetamol syrup dengan dosis 3 x ½ cth, hanya diberikan jika
suhu ≥38,5ºC. Diberi nebu ventolin untuk membantu mengatasi sesak napas yang dirasakan
pasien. Pemberian cetirizine drop diindikasikan karena dicurigai adanya alergi pada pasien,
dilihat dari ruam pada pipi (kemungkinan dermatitis atopik) dan riwayat asma pada keluarga
yaitu pada nenek dan paman pasien.

16
Setelah pemberian tatalaksana ini, perlu dilakukan edukasi terhadap orang tua agar
menjauhkan pasien dari anggota keluarga yang menderita infeksi saluran pernapasan dan
yang merokok. Kemudian disarankan juga agar ventilasi di rumah ditambah dan dilakukan
pembersihan secara rutin baik pada lingkungan rumah maupun ventilasi, sehingga tidak
menyimpan debu.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology concepts of altered health states. Eight edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009. p.695-7

2. Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012. h.333-47

3. Watts KD, Goodman DM. Wheezing, bronchiolitis, and bronchitis. In: Kliegman RM,
Stanton BF, Schor NF, Geme JW, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics.
19thed. Philadelphia: Elsevier, 2011. p.1456-9.

4. Sastroasmoro S. Bronkiolitis. Dalam: Sastroasmoro S. Panduan pelayanan medis


departemen ilmu penyakit anak. Jakarta: RSCM, 2007. h.424-5

5. Leung AKC, Kellner JD, Davies HD. Respiratory synctial virus bronchiolitis. Journal
of National Medical Association; 2015; 97(12): 1708-12.

6. AAP. Diagnosis and management of bronchiolitis. Pediatrics; 2016; 118: 1774-88.

7. Mazumder M, Hossain MM, Kabir A. Management of bronchiolitis with or without


antibiotics-a randomized control trial. J Bangladesh Coll Phys Surg; 2009; 27: 63-9.

8. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and management.
Pediatrics; 2010; 125:342-7

9. Singh AM, Moore PE, Gern JE, Lemanske RF, Hartert TV. Bronchiolitis to asthma: a
review and call for studies of gene-virus interactions in asthma causation. Am J Respir
Crit Care Med; 2017; 175: 108-16.

18

Vous aimerez peut-être aussi