Vous êtes sur la page 1sur 33

PERIOPERATIF APPENDEKTOMI

Andersen*

102009234

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 – Jakarta Barat

*Email : And_der_sen@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Setiap pasien yang akan menjalani pembedahan idealnya perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar
resiko pembedahannya berkurang dan penyulit pascabedah yang dapat timbul dikemudian hari
dapat dicegah. Evaluasi prabedah dilakukan untuk mengaetahui segala masalah medis pada
pasien, menentukan perlunya informasi tambahan untuk menentukan status medis, kontraindiaksi
operasi, torelansi pasien terhadap tindak bedah, memastikan kelayakan prosedur yang
direncanakan, serta menetapkan waktu pembedahan. Berkaitan dengan anastesi, persiapan
pembedahan bertujuan untuk memperoleh informsi yang relevan dengan kepentingan
pengolahan anstesi, merencanakan tindak anastesi dan pengolahan pascabedah, serta menyiapkan
rencana, masalah anastesi dan informed consent kepada pasien.1

Perioperatif Tonsilektomi
Ira Frayanti S
102011060
D3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
(021) 5694-2061
Email:Irafrayanti@yahoo.com
Pendahuluan

Setiap pasien yang akan menjalani pembedahan idealnya perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar
resiko pembedahannya berkurang dan penyulit pascabedah yang dapat timbul dikemudian hari
dapat dicegah. Evaluasi prabedah dilakukan untuk mengaetahui segala masalah medis pada
pasien, menentukan perlunya informasi tambahan untuk menentukan status medis, kontraindiaksi
operasi, torelansi pasien terhadap tindak bedah, memastikan kelayakan prosedur yang
direncanakan, serta menetapkan waktu pembedahan. Berkaitan dengan anastesi, persiapan
pembedahan bertujuan untuk memperoleh informsi yang relevan dengan kepentingan
pengolahan anstesi, merencanakan tindak anastesi dan pengolahan pascabedah, serta menyiapkan
rencana, masalah anastesi dan informed consent kepada pasien.1
Pembahasan

Skenario

Seorang perempuan 25 tahun datang kebagian pendaftaran rawat inap RS dengan membawa
surat permintaan raway dari dokter spesialis THT. Dari surat tersebut, diketahui dokter tersebut
akan melakukan tindakan tonsilektomi dan merujuk ke bagian anastesi untuk penanganan
perioperatif operasi tonsilektomi esok hari. Keterangan : BB 50kg, pemeriksaan Lab semua
dalam batas normal.

Definisi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.


Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1

Gambar1.1:
Diunduh dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/84/Throat_with_Tonsils_0011J.jpeg
pada tanggal 20 november 2014

Epidemiologi

Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi
dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan
pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi
pendek dan teknik tidak sulit.

Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau
gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu
ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani
tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga
ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi
meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996
(3.200 operasi).

Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada.
Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan
kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai
tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004)
menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.

Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan
kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.

Indikasi tonsilektomi

Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal oleh masyarakat
awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara Guillotine (1828), kecenderungan
melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan berbagai penyakit saluran napas atas semakin
meningkat. Oleh karena hal di atas, terjadi perbedaan batasan-batasan indikasi tonsilektomi yang
umumnya berkisar pada jumlah penyakit yang termasuk indikasi, skala prioritas dan indikasi mutlak atau
relatif serta terakhir frekuensi serangan tonsillitis pertahun yang merupakan indikasi tonsilektomi.1

Indikasi yang umum pada saat ini adalah :

(1) infeksi :

a. tonsilitis berulang, atau tonsilitis kronis

b. infeksi telinga tengah berulang

c. rhinitis dan sinusitis yang kronik

(2) sumbatan jalan napas atas :

a. hiperplasia tonsil

b. sleep apnea

c. gangguan menelan

d. gangguan berbicara

e. cor pulmonale

(3) abses peritonsil

(4) kecurigaan akan adanya keganasan.1


Gambar 3.3: tonsilektomi. Diunduh dari www.ghorayeb.com/TonsillectomyPic.html pada tanggal 20
November 2014

Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan
frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam
setahun atau sakit tenggorokan 4-6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut.
Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah kuman patogen
yang ditemukan pada permukaan tonsil tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil
pasca tonsilektomi, ditemukan jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil
pemeriksaan di permukaan tonsil sebelum pemberian antibiotik. Patokan lain adalah carrier diphteri,
tonsilitis kronik sebagai fokal infeksi organ lain dan radang tuberkulosis servikal, karena diperkirakan
radang kronik tonsil akan memperberat penyakit ini. 1

Pada tonsilitis kronik, kuman patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga menyebabkan tonsil
berubah sebagai sarang kuman. Keadaan ini dapat menjadikan tonsil sebagai fokal infeksi bagi timbulnya
penyakit-penyakit lain di dalam tubuh seperti demam rematik atau glomerulonefritis. Salah satu kuman
patogen yang cukup berbahaya yang dapat di jumpai pada tonsilitis kronik adalah streptokokus beta
hemo-litikus tipe A. Kuman ini menghasilkan streptolisin 0 yang dapat merangsang terbentuknya anti
streptolisin titer 0 (ASTO). 1

Bila kadarnya dalam darah cukup tinggi (lebih dari 400 u/ml), dapat menunjukkan adanya infeksi fokal di
tonsil. 1

Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas, mulai dari mengorok waktu
tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya aliran udara melalui hidung atau mulut selama
minimal 10 detik dan sindrom sleep apnea adalah apnea yang terjadi minimal 30 kali selama 7 jam tidur.
Di samping ukuran tonsil, luas orofaring terutama jarak kedua dinding lateral faring cukup penting dalam
menimbulkan sumbatan jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada pembesaran tonsil
sedang. Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau berkurang setelah tonsilektomi. 1

Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan
kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera. 1

Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan bila dicurigai adanya keganasan seperti pembesaran
tonsil unilateral atau adanya ulserasi.1

KontraIndikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan
risiko”. Keadaan tersebut adalah: 1,4

a) Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.


b) Infeksi sistemik atau kronis.
c) Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
d) Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
e) Rinits alergika.
f) Asma.
g) Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh.
h) Tonus otot yang lemah.
i) Sinusitis.
j) Risiko anestesi yang besar atau atau penyakit yang berat.
k) Anemia.
l) Gangguan perdarahan.
m) Infeksi akut yang berat.
n) Radang akut tonsil.
o) Albuminuria.
p) Hipertensi.
q) Poliomielitis epidemic. 1

Anamnesis dan Rekam Medik


 Riwayat kesehatan.

 Menanyakan apakah ada alergi obat atau alergi makanan

 Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada anak dan pada
orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi, dll.

 AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi
terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik terutama
paru-paru dan jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta
dosisnya.

 Riwayat operasi terdahulu

 Dan memberitahu kepada pasien untuk berpuasa

Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum

 Status gizi: malnutrisi

 Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada jantung, tanda-
tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.

 Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan penyulit
berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan kelainan
fungsional. Pada pasien ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan proses operasi.
Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam
1
rekam medik.
Informed Consent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal lain
yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung
gugat, yaitu Informed Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa
tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien
yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan
dilakukan tindakan medis (pembedahan dan anestesi).1,2
Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi tidak dapat
dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan dalam kondisi nyata,
tidak semua tindakan operasi mengakibatkan komplikasi yang berlebihan bagi pasien.
Bahkan seringkali pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat tanpa
komplikasi atau resiko apapun segera setelah mengalami operasi. Tentunya hal ini terkait
dengan berbagai faktor seperti: kondisi nutrisi pasien yang baik, cukup istirahat,
kepatuhan terhadap pengobatan, kerjasama yang baik dengan perawat dan tim selama
dalam perawatan. 1,2
Informed Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik
hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien wajib untuk
menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang
dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan
tujuan serta segala resiko dan konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum
menandatangani surat pernyataan tersebut akan mendapatkan informasi yang detail
terkait dengan segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang
akan dijalani. Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihat pasien atau
keluarga berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul paham. Hal ini sangat
penting untuk dilakukan karena jika tidak maka penyesalan akan dialami oleh pasien atau
keluarga setelah tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran
keluarga. 1,2

a) Persiapan Mental (Psikis)


Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan
operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap
kondisi fisiknya. 1,2
Masalah mental yang biasa muncul pada pasien preoperasi adalah kecemasan. Maka
perawat harus mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi klien. Perawat perlu
mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres.
Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu
pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan preoperasi, seperti adanya
orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung (support system).
Untuk mengurangi atau mengatasi kecemasan pasien, kita dapat menanyakan hal-hal
yang terkait dengan persiapan operasi, antara lain : pengalaman operasi sebelumnya,
persepsi pasien dan keluarga tentang tujuan atau alasan tindakan operasi, pengetahuan
pasien dan keluarga tentang persiapan operasi baik fisik maupun penunjang, pengetahuan
pasien dan keluarga tentang situasi atau kondisi kamar operasi dan petugas kamar
operasi., pengetahuan pasien dan keluarga tentang prosedur (pre, intra, post operasi),
Persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
pasien dan keluarganya. Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya
telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian
datang lagi ke rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda
operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari atau minggu yang lalu.
Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga, dokter dan perawat.
Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien.
Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan
dukungan pasien dengan kata-kata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan
keputusan pasien untuk menjalani operasi. 1,2
Peranan dokter atau perawat dalam memberikan dukungan mental menurut dapat
dilakukan dengan berbagai cara:
- Membantu pasien mengetahui tentang tindakan-tindakan yang dialami pasien
sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi, hal-
hal yang akan dialami oleh pasien selama proses operasi, menunjukkan tempat
kamar operasi, dll. Dengan mengetahui berbagai informasi selama operasi maka
diharapkan pasien mejadi lebih siap menghadapi operasi, meskipun demikian ada
keluarga yang tidak menghendaki pasien mengetahui tentang berbagai hal yang
terkait dengan operasi yang akan dialami pasien.
- Memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan persiapan operasi
sesuai dengan tingkat perkembangan. Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas.
Misalnya: jika pasien harus puasa, perawat akan menjelaskan kapan mulai puasa
dan samapai kapan, manfaatnya untuk apa, dan jika diambil darahnya, pasien
perlu diberikan penjelasan tujuan dari pemeriksaan darah yang dilakukan, dll.
Diharapkan dengan pemberian informasi yang lengkap, kecemasan yang dialami
oleh pasien akan dapat diturunkan dan mempersiapkan mental pasien dengan
baik.
- Memberi kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk menanyakan tentang
segala prosedur yang ada. Dan memberi kesempatan pada pasien dan keluarga
untuk berdoa bersama-sama sebelum pasien di antar ke kamar operasi.
- Mengoreksi pengertian yang salah tentang tindakan pembedahan dan hal-hal lain
karena pengertian yang salah akan menimbulkan kecemasan pada pasien.
- Pemberian obat pre medikasi, seperti valium dan diazepam tablet sebelum pasien
tidur untuk menurunkan kecemasan dan pasien dapat tidur sehingga kebutuhan
istirahatnya terpenuhi.
- Pada saat pasien telah berada di ruang serah terima pasien di kamar operasi,
petugas kesehatan di situ akan memperkenalkan diri sehingga membuat pasien
merasa lebih tenang. Untuk memberikan ketenangan pada pasien, keluarga juga
diberikan kesempatn untuk mengantar pasien sampai ke batas kamar operasi dan
diperkenankan untuk menunggu di ruang tunggu yang terletak di depan kamar
operasi.

Pemberian Anestesi
Jenis Anastesi dan Obat Anastesi
a. Anestesi umum
Anastesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi ideal terdiri dari
hipnotik, anaigesi, dan relaksasi otot.9,10
Cara pemberian anestesi umum :
1. parenteral (intramuskular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atm
induksi anestesi. Umumnya diberikan tiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteraf
dikombinasikan dengan cara lain.
2. Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat
3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan aneste<u
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernapasan
Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan 02) dan konsentrasi zat
anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.Tekanan parsial dalam
jaringan otak akan menentukan kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat
bila dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang
adekuat.

b. Obat-obat anestesi
a) Obat Premedikasi9,10
Pemberian obat premedikasi bertujuan:
o Menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan kekhawatiran, memberikan
ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi)
o Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anestesi
o Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi
o Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual, dan muntah pascaanestesi
o Mengurangi stres fisiologis (takikardia, napas cepat, dll) .
o Mengurangi keasaman lambung
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai berikut:
Analgetik narkotik
Morfin. Dosis premedikasi dewasa S-10 mg (0,1 -0,2 mg/kgBB) intramuskular diberikan untuk
mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada
pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam. Kerugiannya
adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter.
Kadang-kadang teijadi konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan depresi napas.
Petidin. Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1 -1,5 mg/kgBB) intravena diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pemapasan serta merangsang otot polos. Dosis induksi 1- 2
mg/kgBB intravena. 9,10
Barbiturat
Pentobarbital dan sekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200
mg, pada anak dan bayi 1 mg/kgBB secara oral atau intramuskular. Keuntungannya adalah
masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan
Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek depresan yang lemah terhadap
pemapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah. 9,10
Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit.
Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular beketja setelah 10-15 menit. 9,10
b) Obat Penenang
Diazepam
Diazepam (Valium®) merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis rendah bersifat
sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-
10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi
regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kgBB intravena. 9,10
Midazolam
Dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai awal U«*, lebih pendek.
Belakangan mi midazolam lebih disukai dibandingkan dengan Dosis 50% dari dosis
diazepam. 9,10
c) Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuskulär sehingga menimbulkan
kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme keijanya, obat ini dibagi menjadi
2 golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten (misalnya suksinil
kolin) dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi (misalnya kurarin). Pada
anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi
dan intubasi trakhea. serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali. 9,10
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Pavulon (pankuronium bromida)
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mula keija pada menit
kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit Memiliki efek akumulasi pada pemberian
berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selang waktu pemberian
diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa.
Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena.
Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon. 9,10
Trakrium (atrakurium besilat)
Trakrium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang, dan tidak menyebabkan pembahan fungsi kardiovaskular yang
bermakna. Mula dan keija tergantung dosis yang digunakan. Mulakerja pada dosis
intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerja pada dosis relaksasi 15-35 menit. Dosis
intubasi 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis relaksasi otot 0,5-0,6 mg/kgBB intravena.
Dosis nimatan 0,1 -0,2 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 5 ml berisi 50 mg
trakrium. 9,10
Vekuronium (norkuron)
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih
besar dan lama keijanya singkat. Zat anestetik ini tidak memiliki efek akumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang
bermakna. Mula keija terjadi pada menit kedua-ketiga dengan masa kerja selama 30
menit Kemasan berupa ampul berisi 4 mg bubuk vekuronium. Pelarutnya dapat
berupa akuades, garam fisiologik, Ringer Laktat, atau dekstrosa 5% sebanyak 2 mL.
9,10

Rokuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal keija lebih cepat. Keuntungannya
adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi
gangguan fungsi hati dan efek keija yang lebih lama. Dosis intubasi 0,3-0,6 mg/
kgBB. Dosis rumatan 0,1-2 mg/kgBB. 9,10
Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Suksametonium (suksinil kolin). Mula keija 1-2 menit dengan lama keija 3-5 menit.
Dosis intubasi 1-1,5 mg/kgBB intravena. Kemasan berupa bubuk putih 0,5-1 gram
dan larutan suntik intravena 20,50, atau 100 mg/ml. 9,10
Antagonis Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Prostigmin (neostigmin metilsulfat). Prostigmin merupakan antikolinesterase yang
dapat mencegah hidrolisis dan menimbulkan akumulasi asetilkolin. Prostigmin
mempunyai efek nikotinik, muskarinik, dan merupakan stimulan otot langsung. Efek
muskarinik di antaranya bradikardia, hiperperistaltik, spasme saluran cerna,
pembentukan sekret jalan napas dan liur, bronkospasme, berkeringat, miosis, dan
kontraksi vesika urinaria. Dosis 0,5 mg bertahap sampai 5 mg, biasa diberi bersama
atropin dosis 1-1,5 mg. 9,10
b) Obat Anestesi Inhalasi
Nitrit Oksida
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis, tidak iri tali f, tidak berasa, lebih
berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime
absorber (pengikat C02). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N20:02 yaitu 60% : 40%, 70%: 30%, dan 50%: 50%. Dosis untuk
mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk
induksi 80%: 20%, dan pemeliharaan 70%: 30%. N20 sangat berbahaya bila
digunakan pada pasien pneumotoraks, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara,
dan timpanoplasti. 9,10
Halotan
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak iritatif, mudah
menguap, tidak mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda lime, dan mudah
diuraikan cahaya. Halotan merupakan obat anestetik dengan kekuatan 4-5 kali eter
atau 2 kah kloroform. Keuntungan penggunaan halotan adalah induksi cepat dan
lancar, tidak mengiritasi jalan napas, bronkodilatasi, pemulihan cepat, proteksi
terhadap syok, jarang nienyebabkan mual/muntah, tidak mudah terbakar dan meledak.
Kerugiannya adalah sangat poten, relatif mudah teijadi overdosis, analgesi dan
relaksasi yang kurang, harus dikombinas dengan obat analgetik dan relaksan, harga
mahal, menimbulkan hipotensi, aritmi meningkatkan tekanan intrakranial, menggigil
pascaanestesi, dan hepatotoksik. Overdosi relatif mudah teijadi dengan gejala gagal
napas dan sirkulasi yang dapat menyebabkan kematian. Dosis induksi 2-4% dan
pemeliharaan 0,5-2%.9,10
Etil klorid
Etil klorida merupakan cairan tidak berwarna, sangat mudah menguap, dan mudah
terbakar. Anestesi dengan etil klorida cepat teijadi namun cepat hilang. Induksi dapat
dicapai dalam 0,5-2 menit dengan waktu pemulihan 2-3 menit sesudah pemberian
anestesi dihentikan. Etil klorida sudah tidak dianjurkan lagi untuk digunakan sebagai
anestesi umum, namun hanya untuk induksi dengan memberikan 20-30 tetes pada
masker selama 30 detik. Pada sistem tetes terbuka (open drop), etil klorida
disemprotkan ke sungkup dengan volume 3-20 ml yang menghasilkan uap + 3,5-5%
sehingga pasien tidak sadar dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan obat lain
seperti eter. Etil klorida juga digunakan sebagai anestetik lokal dengan cara
menyemprotkannya pada kulit sainpai beku. 9,10
Eter (dietil eter)
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas, mengiritasi
saluran napas, mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda limeab- sorber, dan
dapat terurai oleh udara serta cahaya. Eter merupakan obat anestetik yang sangat kuat
sehingga pasien dapat memasuki setiap tingkat anestesi. Eter dapat digunakan dengan
berbagai metoda anestesi. Pada penggunaan secara open drop uap eter akan turun ke bawah
karena 6-10 kali lebih berat dan udara. Penggunaan secara semi closed methode dalam
kombinasi dengan oksigen dan N20 tidak dianjurkan pada operasi dengan tindakan
kauterisasi. Keuntungan penggunaan eter adalah murah dan mudah didapat, tidak perlu
digunakan bersama dengan obat-obat lain karena telah memenuhi trias anastesi,
cukup aman dengan batas keamanan yang lebar, dan alat yang digunakan cakup
sederhana. Kerugiannya adalah mudah meledak/terbakar, bau tidak enak, mengintasi
jalan napas, menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah, menyebabkan mual dan muntah,
serta dapat menyebabkan hiperglikemia. Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari
berat badan dan kondisi penderita, kebutuhan dalamnya anestesi dan teknik yang
digunakan. Dosis induksi 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau campuran
oksigen dan N,O. Dosis pemeliharaan stadium IH 5-15% volume uap eter. 9,10
Enfluran (ethran)
Enfluran merupakan obat anestetik eter berhaiogen berbentuk cairan, mudah
menguap, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime. Induksi dengan
enfluran cepat dan lancar. Obat ini jarang menimbulkan mual dan muntah serta masa
pemulihannya cepat. Dosis induksi 2-4,5% dikombinasi dengan O., atau campuran
N2-Or Dosis rumatan 0,5-3 %volume. 9,10
Isofluran (forane)
Isofluran merupakan eter berhaiogen, berbau tajam, dan tidak mudah terbakar.
Keuntungan penggunaan isofluran adalah irama jantung stabil dan tidak terangsang
oleh adrenalin serta induksi dan masa pulih anestesi cepaL Namun, harga obat ini
mahal. Dosis induksi 3-3,5% dalam 0> atau kombinasi N,O-O,. Dosis rumatan 0,5-
3%.9,10
Sevofluran
Obat anestetik ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk
induksi inhalasi. Induksinya enak, dan cepat terutama pada anak. Dosis induksi 6-8
voi%. Dosis rumatan 1-2 vol%.9,10
c) Obat Anestesi Intravena
Natrium Tiopental (tiopental, pentotal)
Tiopental berupa bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air
menjadi larutan 2,5% atau 5%. Indikasi pemberian tiopental adalah induksi anestesi
umum, operasi/tindakan yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahil luka, dilatasi
serviks, dan kuretase), sedasi pada anelgesi regional, dan untuk mengatasi kejang-
kejang eklampsia atau epilepsi. Kontraindikasinya adalah status asmatikus, porfiria,
syok, anemia, disfungsi hepar, dispnu berat, asma bronkial, versi ekstraksi, miastenia
gravis, dan riwayat alergi terhadap tiopental. Keuntungan penggunaan tiopental
adalah induksi mudah dan cepat, tidak ada delirium, masa pemulihan cepat, tidak ada
iritasi mukosa jalan napas, sedangkan kerugiannya adalah dapat menyebabkan depresi
pemapasan, depresi kardiovaskular, cenderung menyebabkan spasme laring, relaksasi
otot perut kurang, dan bukan analgetik. Dosis induksi tiopental 2,5% adalah 3-6
mg/kgBB intravena. Dosis sedasi 0,5-l,5mg/kgBB. 9,10
Ketamin
Ketamin adalah suatu rapidaeting non barbiturat general anastesi. Indikasi pemakaian ketamin
adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis,
tindakan ortopedi, pasien risiko tinggi, tindakan operasi sibuk, dan asma.
Kontraindikasinya adalah tekanan sistolik 160 mmHg dan diastolik 100 mmHg,
riwayat penyakit serebrovaskular, dan gagal jantung. Dosis induksi 1-4 mg/kgBB
intravena dengan dosis rata-rata 2 mg/kgBB untuk lama kerja 15-20 menit, dosis
tambahan 0,5 mg/kgBB sesuai kebutuhan. Dosis pemberian inlramuskular 6-13
mg/kgBB, rata-rata 10 mg/kgBB untuk lama keija 10-25 menit. 9,10
Droperidol (dehidrobenzperidol, droleptan)
Droperidol adalah turunan butirofenon dan merupakan antagonis reseptor dopamin.
Droperidol digunakan sebagai premedikasi (antiemetik yang baik) dan sedasi pada
anestesi regional. Obat anastetik ini juga dapat digunakan untuk membantu prosedur
intubasi, bronkoskopi, esofagoskopi, dan gastroskopi. Droperidol dapat menimbulkan
reaksi ekstrapiramidal yang dapat diatasi dengan pemberian difenhidramin. Dosis
antimuntah droperidol 0,05 mg/kgBB (1,25-2,5 mg) intravena. Dosis premedikasi
0,04-0,07 mg/kgBB intravena. Dosis analgesi neuroleptik 0,02-0,07 mg/kgBB
intravena.
Diprivan (diisopropil fenol, propofol).
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai,
2,25% gliserol, dan lesitin telur. Propofol menghambat transmisi neuron yang
dihantarkan oleh GABA. Dosis induksi 1-2,5 mg/kgBB. Dosis rumatan 500
ug/kgBB/menit infus. Dosis sedasi 25-100 ug/kgBB/menit infus. Sebaiknya
menyuntikkan obat anastetik ini pada vena besar karena dapat menimbulkan nyeri
pada pemberian intravena. 9,10
d) Obat Anestesi Regional/Lokal
Obat anestesi regional/lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan secara lokal. Anestesi lokal ideal adalah yang tidak mengiritasi atau
merusak jaringan secara permanen, batas keamanan lebar, mula keija singkat, masa
kerja cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa
mengalami perubahan, dan efeknya reversibel. 9,10
Lidokain
Lidokain (lignokain, xylocain) adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara
topikal dan suntikan. Efek anestesi terjadi lebih cepat, kuat, dan ekstensif
dibandingkan prokain. Larutan lidokain 0,25-0,5% dengan atau tanpa adrenalin
digunakan untuk anestesi infiltrasi sedangkan larutan 1 -2% untuk anestesi blok dan
topikal. Untuk anestesi permukaan tersedia lidokain gel 2%, Sedangkan pada
analgesi/anestesi lumbal digunakan larutan lidokain 5%.9,10
Bupivakain
Bupivakain adalah anestetik golongan amida dengan mula kerja lambat dan masa kerja
panjang. Untuk anestesi blok digunakan larutan 0,25-0,50% sedangkan untuk anestesi spinal
dipakai larutan 0,5%.9,10
e) Anestesi Spinal
Anastesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan
obat anastesi lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut
juga sebagai analgesi/btok spinal intradural atau blok intratekal. 9,10
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis yang digunakan,
efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung
tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan
penyebaran obat. 9,10
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent) meliputi
pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya
skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT)
dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Kunjungan praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian
obat premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih lancar. Namun,
premedikasi tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat. 9,10
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang
lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan
yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G.
Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
daerah yang teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis cairan serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat kedasar
akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area
penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di
tempat penyuntikan. 9,10
c. Persiapan anestesi
Setelah pemeriksaan dilakukan dan telah didapat gambaram tentang keadaan pasien
selanjutnya dibuat rencana pemberian obnt dan teknik anestesi yang digunakan. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi saat operasi dan
pascaoperasi dapat dihindarkan. 9,10
Rencana anestesi meliputi hal-hal :
1. Premedikasi
2. Jenis anestesi
a. Umum: perbatikan manajemen jalan napas (airway), pemberian obat nduksi,
rumutan, dan relaksan otot.
b. Anestesi lokal/regional: perhatikan teknik dan zat anestetik yang akan
digunakan
3. Perawatan selama anestesi: pemberian oksigen dan sedasi
4. Pengaturan intraoperasi meliputi monitoring, keracunan, pengaturan cairan. dan
penggunaan teknik khusus
5. Pengaturan pascaoperasi meliputi pengendalian nyeri dan perawatan hasil (ventilasi
pascaoperasi dan pengawasan hemodinamik)
d. Persiapan hari operasi
 Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah aspirasi isi
lambung karena regurgitasi/muntah. Pada operasi elektif, pasien dewasa puasa 6-8
jam namun pada anak cukup 3-5 jam.
 Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, dan gelang dilepas serta bahan kosmetik (lipstik,
cat kuku) dibersihkan sehingga tidak mengganggu pemeriksaan.
 Kandung kemih dikosongkan dan bila perlu lakukan kateterisasi.
 Saluran napas dibersihkan dari lendir.
 Pembuatan informed consent berupa ijin pembedahan secara tertulis dan pasien atau
keluarga
 Pasien masuk kamar operasi mengenakan pakaian khusus (diberi tanda dan label
terutama pada bayi).
 Pemeriksaan fisis dapat diulang di ruang operasi.
 Pemberian obat premedikasi secara intramuskular atau oral dapat diberikan ½ - 1 jam
sebelum dilakukan induksi anestesi atau beberapa menit bila diberikan secara
intravena.

A. Management Cairan dan Rehidrasi


Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
a. Kebutuhan dasar cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) adalah 25-40 ml/kgBB/hari pada orang
dewasa. Untuk menentukan kebutuhan cairan pada anak-anak dapat digunakan
pedoman sbb:11,12
- 10 kg pertama x 100mL/kg/hr
- 10 kg kedua x 50mL/kg/hr
- Tiap kelebihan dari 20 kg pertama x 20mL/kg/hr
Contoh :
Pasien dengan berat badan 50 kg, maka kebutuhan cairan basalnya adalah:
(4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 30) = 90 ml/jam
Keseimbangan cairan
Pada keadaan normal terjadi pertukaran cairan yang seimbang. Intake cairan normal
sekitar 2.5L/hr. Intake ini dipenuhi melalui minum 1.500 mL/hr, makanan 700 mL/hr,
dan hasil metabolisme endogen 300 mL/hr. Sementara output normal sekitar 1400-
2300 mL/hr yang dikeluarkan melalui urin sebesar 800-1500 mL, defekasi 250 mL,
dan insensible loss sekitar 600-900 mL (meningkat pada suhu yg lebih tinggi/
demam). 11,12
Keadaan yang mempengaruhi kebutuhan cairan :
I. Metabolisme yang meningkat
Misalnya : demam-meningkatkan kebutuhan cairan 12% setiap kenaikan suhu
10C
II. Metabolisme yang menurun
Contoh : hipotermi -> menurunkan butuhan cairan 12% setiap penurunan suhu
10C
III. Kelembaban lingkungan tinggi -> Insensible Water Loss menurun 0-15 cc/100
kal

b. Squesterisasi
Kehilangan cairan memasuki rongga ketiga ini (third space) disebut squesterisasi.
Adanya cairan transcellular oleh karena pengangkutan ECF melalui epithel
diperkirakan 1-5% BB atau 15 cc/ kg BB dari jumlah ini berada dalam saluran
pencernaan 7cc/kgBB, dalam saluran empedu 2cc/kgBB dan sisanya dalam saluran
getah bening. 11,12
Dalam keadaan normal jumlah ini tak berarti tetapi dalam kondisi tertentu seperti
trauma jaringan yang luas, peritonitis atau ileus jumlah ini memerlukan perhatian
khusus dalam terapi pengganti cairan dan elektrolit. Bila penyebab squesterisasi ini
hilang maka cairan akan kembali ke ECF secara berangsur-angsur dalam waktu 48-72
jam. Dalam keadaan ini volume total cairan tubuh tak berkurang tetapi bergeser
(translokasi) kedalam rongga ketiga dan tak berfungsi, sehingga bisa muncul gejala
berkurangnya volume ECF tanpa terlihat keluarnya cairan yang nyata. Bila ginjal
gagal melakukan fungsinya cairan rongga ketiga akan masuk kedalam ECF bisa
menimbulkan overload. 11,12
Hampir seluruh cairan yang difiltrasi dalam ginjal dan disekresi oleh saluran cerna di
reabsorbsi. Phillip & Summershell menganggap saluran cerna sebagai entero
systemic cycling of water and electrolyte. Makan dan minum (2-3)L—> ECF (12-
20)L–> sekresi usus(6-8)L—–> absorbsi (7-8)L —>ECF. Kalau terjadi gangguan
absorbsi usus seperti peradangan usus akan terjadi kehilangan cairan yang banyak.
Pada obstruksi usus dimana passage isi usus berhenti maka tekanan intraluminar
meningkat karena penumpukan cairan dan gas pada proksimal sumbatan sehingga
absorbsi akan menurun sementara sekresi usus naik dua kali lipat kedalam lumen
sehingga terjadi distensi usus yang hebat akibatnya muntah muntah terjadi dehidrasi
ECF dan hemokonsentrasi diikuti dengan kegagalan sirkulasi. Distensi usus akan
menyebabkan udem dinding usus–> kongesti vena usus–>permeabilitas dinding usus
meningkat–>toksin masuk rongga peritonium—>peritonitis/perforasi dinding usus.
Dipekirakan defisit cairan yang timbul pada obstruksi usus sebesar 1500 cc kalau
baru terlihat dengan foto polos abdomen, tetapi bila telah jelas tanda klinisnya diduga
defisit cairan mencapai 2500 -3000 cc malah kalau sudah ada gejala preshock/shock
diperkirakan 4000-6000 cc. 11,12

c. Terapi Cairan Perioperasi


Terapi cairan perioperasi meliputi pemberian cairan rumatan atau pemeliharaan
(maintenance), defisit cairan karena puasa, dan defisit cairan saat operasi. Hal-hal
yang perlu diperhitungkan untuk penggantian cairan ini adalah:
a) Terapi Cairan Rumatan
Saat pasien tidak makan terjadi penurunan jumlah cairan dan elektrolit alam
tubuh sebagai akibat ekskresi urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan
invisible lost dari kulit dan saluran pernapasan. Kebutuhan ini disebut
kebutuhan cairan rumatan (maintenence). 11,12
Tabel 3. Kebutuhan cairan rumatan

Berat Jumlah cairan

10 kg pertama 4 ml/kgBB/jam

10 kg kedua 2 ml/kgBB/jam

10 kg selanjutnya 1 ml/kgBB/jam

Misalnya berat badan 50 kg maka kebutuhan cairan rumatan adalah 10x4 +


10x2 -t- 30x1 = 40 + 20 + 30 =90 ml/Jam

b) Terapi Cairan Pengganti Puasa


Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat
diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya
puasa. Untuk 50 kg, puasa 8 jam, perhitingannya 1,5ml/kgbb x 8 jam=75ml/jam
x 8jam = 600 ml.
c) Terapi Cairan Pengganti Evaporasi dan Redistribusi
Saat operasi berlangsung terjadi hilangnya cairan dari tubuh pasien melalui darah
yang keluar atau bilangnya cairan akibat evaporasi atau redistribusi ke jaringan
interstisial. 11,12

Penggantian Cairan Intraoperatif

Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit cairan
preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan,
dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan
perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran
cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer
Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus
digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan
intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko
transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi
dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21-24%).11,12

Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen tetap normal.
Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan dengan jantung
dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah
yang terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4
kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai
dicapai Hb yang diharapkan. 11,12

Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood cell. Banyaknya
transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan perkiraan volume darah.
Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-
20% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan
prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan
hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut: 11,12

1. Hitung volume darah berdasarkan tabel 35.2.

2. Hitung volume sel darah merah preoperasi (VSDM preoperasi = volume darah x Ht
preoperasi)
3. Hitung volume sel darah merah bila Ht 30% (VSDM 30% = volume darah x 30%)
4. Hitung volume sel darah merah yang hilang saat Ht 30% (VSDM hilang = VSDM
preoperasi = VSDM 30%)
5. Jumlah darah yang hilang = VSDM hilang x 3. Nilai ini merupakan jumlah transfusi
yang diperlukan.
Patokan lain untuk memperkirakan jumlah darah yang akan ditransfusi adalah:
 Satu unit sel darah merah akan menaikkan kadar hemoglobin (Hb) sebesar 1 g/dl dan
nilai hematokrit (Ht) sebesar 2-3% (pada dewasa).
 Setiap transfusi sel darah merah 10 ml/kgBB akan meningkatkan Hb sebesar 3 g/dl
dan hemalokrit 10%.
Penggantian Defisit Cairan akibat Evaporasi atau Redisrtibusi. Hilangnya cairan ini terutama
berkaitan dengan ukuran luka dan perluasan daerah operasi. Untuk penggantian cairan ini,
tindakan operasi dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat kerusakan jaringan. 11,12

Contoh : seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa


banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?

 Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.


 RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.
 RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL
 Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.
 Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.

Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah
melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit
hingga 24% (hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya
darah yang hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika
kehilangan darah 800 mL.
Tentukan Blood Loss (ada 3 cara) :

Tabel 1

ESTIMASI BLOOD LOST % GEJALA – TANDA


EBV
10 – 15 % minimal
15 – 25 % Preshock, akral mulai dingin
25 - 35 % Shock, perfusi menurun, T < 90, N >
120
> 35 – 50% Shock berat, perfusi sangat buruk, tensi
tak terukur, nadi tak teraba dan gangguan
kesadaran

Tabel 2

Sifat-Sifat Plasma Substitute yang Ideal11,12

 Sifat-sifat plasma substitute yang ideal adalah:


 pH, tekanan onkotik dan viskositas sebanding dengan plasma darah
 Efek volume yang cukup untuk periode waktu tertentu tanpa resiko overload pada sistem
cardiovaskuler atau terjadinya edema
 Meningkatkan mikrosirkulasi dan memperbaiki diuresis
 Tidak mengganggu homeostasis
 Tidak mengganggu blood grouping dan cross matching
 Akumulasi minimal pada sistem retikuloendotelial
 Lama penyimpanan produk panjang
 Ekonomis

B. Pemberian Terapi Analgetik


Nyeri pascabedah dapat menyebabkan takikardia, hipertensi dan gangguan oksigenasi
sehingga kebutuhan oksigen menigkat dan menunda pemulihan. Nyeri dapat pula
menyebabkan gangguan aktivitas refleks, yang sebenarnya bersifat protketif melindungi
daerah trauma, dan menyebabkan gangguan peristaltis usus. Nyeri juga menyebabkan
imobilitas dan menghambat proses batuk sehingga dapat menyebabkan retensi sputum dan
sekunder infeksi pada paru.13
Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik
yangmemiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan
sinergis dalam upayamenurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan
opioid daripada digunakansebagai monoterapi. 13
Konsepnya adalah dengan menggunakan obat -obat analgetik secara multiple yang
memiliki cara kerja yang berbeda-beda (contohnya non-opioid dikombinasikan dengan
opiod) atau pemberian yang berbeda (contohnya blok anastesi lokal dikombinasikan denhan
analgetik sistemik).
Tujuan dari multimodal analgesia yaitu:
 Mengurangi efek samping opioi
 Mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik melalui mekanisme sensitisasi sentral
 Mempercepat pemuliah pasien
 Memperpendek lama tinggal di rumah sakit
 Opioid
Opioid adalah obat yang biasa digunakan sebagai analgesik pada pasien bedah dan
merupakan standar emas. Penekananan terhadap sistem pernafasan dapat terjadi pada
pemberian dosis tinggi dan sering terjadi saat dikombinasikan dengan benzodiazepine.
Hipotensi setelah pemberian opioid dapat terjadi pada pasien dengan hipovolemia atau
pada pasien yang telah menunjukkan kolaps kardiovaskular. 14
Durasi analgesik dan toleransi terhadap efek samping dalam bentuk oral membuat
pemberian obat secara oral lebih dipilih. Pada pasien dengan kasus akut, pemberian obat
diberikan secara intravena dan epidural. 14

Morfin
Morfin adalah opioid yang paling dikenal dan sering digunakan. Dari segi harga morfin
cukup terjangkau dan memiliki efek analgesik yang baik. Morfin memiliki beberapa
metabolit aktif yang membutuhkan clearance ginjal dan penggunaannya pada pasien
dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko toksisitas dan efek samping. Selain itu
morfin juga berhubungan dengan pelepasan histamine yang menyebabkan terjadinya
pruritus. 14
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan,
nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan
tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi. Kombinasi analgetik opiate
dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat yang lain akan menguatkan depresi
pernafasan dan berpotensi berbahaya menyebabkan kematian. Morfin dapat
menyebabkan dilatasi vena dan arteriol sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.
14

 Non Opioid
Asetaminofen
Asetaminofen merupakan terapi awal untuk nyeri ringan sampai sedang dan sebagai
adjunct pada kasus nyeri yang lebih berat. Ketika obat ini dikombinasikan dengan opioid
akan memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian opiod dalam dosis
tunggal. 14
NSAID
NSAID efektif dalam menangani nyeri terutama yang melibatkan inflamasi. NSAID
menghambat enzim cyclooxygenase (COX) dan memberikan efek analgesik dan
antiinflamasi. Selain bekerja di perifer, NSAID juga bekerja di sentral pada otak atau
medulla spinalis memberikan efek analgesik. NSAID merupakan inhibitor kuat sintesis
prostaglandin. Kerjanya yaitu mencegah enzim cyclooxygenase (COX) untuk mensintesa
prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.
Prostaglandin sebenarnya bukan merupakan mediator nyeri yang penting, tetapi dapat
menyebabkan hiperalgesia melalui sensitisasi nosiseptor perifer terhadap berbagai jenis
mediator nyeri dan radang seperti somatostatin, bradikinin, dan histamin. 14
Terdapat 2 isoform COX yang telah dikenali. COX-1 diekspresikan pada seluruh jaringan
dalam kondisi fisiologis, sementara COX-2 diinduksi oleh mediator radang dalam kondisi
patologis. Penghambatan terhadap COX-1 sering dikaitkan dengan terjadinya efek
samping NSAID, sedangkan efek anti radang adalah sebagai akibat dari penghambatan
COX-2.
Terdapat beberapa efek samping dari penggunaan NSAID. Efek samping tersebut, antara
lain:
 Diare, perdarahan gastrointestinal
 Dispepsia, peptic ulcer
 Disfungsi dan gagal ginjal (nekrosis papiler akut, nefritis interstial kronis,
penurunan aliran darah ginjal, penurunan kecepatan filtrasi glomerulus, retensi
air dan garam.
 Penghambatan agregasi platelet dan peningkatan waktu pendarahan
 Gangguan fungsi hati, jaundice
 Menghambat perbaikan tulang rawan pada osteoartirtis.

 N-Methyl-D-Aspartate Antagonists
Ketamin
Ketamin merupakan derivate phencyclidine yang memiliki efek analgesik dan dapat
mengontrol nyeri tanpa menyebabkan penekanan terhadap sistem pernafasan, airway
compromise, kerusakan hemodinamik. Ketamin berinteraksi dengan antagonist reseptor
N-methyl-D-aspartate, yang dikenal sebagai analgesik dan menyebabkan efek
psikomimetik. Obat ini dapat berhubungan dengan terjadinya halusinasi, delirium, dan
aspirasi sehingga penggunaannya harus dalam pengawasan. Ketamin biasanya digunakan
pada kondisi yang dimonitoring seperti pada ruang rawat intensif (intensive care unit)
dan kamar operasi. 14
Pada dosis yang kecil (0,1-0,5 mg/kgBB) ketamin memiliki efek analgesia yang kuat.
Reseptor NMDA berperan terhadap memori nyeri. Antagonis terhadap NMDA akan
menghambat induksi sensitisasi nyeri sentral dan menekan hipersensitivitas nyeri setelah
terjadi stimulasi nyeri. 14

 Alpha-2 Adrenergic Agonists


Alfa-2 agonist (klonidin, dexmetomidine) telah menunjukkan keefektifannya dalam
mengontrol nyeri dan memiliki efek samping yang rendah. Obat ini relative larut dalam
lemak dan diabsorsi serta didistribusi dengan cepat. 14
Clonidine
Clonidine adalah derivate imidazoline dengan aktivitas predominan Alfa-2 adrenergik
agonist. Studi menyebutkan bahwa ikatan clonidine terhadap reseptor paling tinggi di
rostal venterolateral medulla di batang otak yang mengaktifkan neuron inhibitor. Efeknya
adalah mengurangi aktivitas simpatetik, meningkatkan parasimpatis, dan mengurangi. 14

Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah selective alpha-2 agonist dengan efek sedative. Obat ini lebih
selektif terhadap alfa-2 agonist dibandingkan dengan klonidin. Dexmedetomidine
memiliki waktu paruh eliminasi 2 sampai 3 jam. Efek samping dari Dexmedetomidine
meliputi hipotensi, hipertensi, bradikardi, mual, atrial vibrilasi dan hipoksia. Overdosis
dapat menyebabkan blok atrioventrikular derajat I atau II.

 Obat-obat Kolinergik
Asetilkolin dapat menyebabkan analgesia melalui tindakan langsung pada tulang
belakang reseptor kolinergik muskarinik M1 dan M3 dan subtipe reseptor nikotinik.
Nikotin
Nikotin bekerja pada reseptor kolinergik nikotinik, yang ditemukan di
sistem saraf pusat, ganglia otonom, neuromuscular junction, dan juga di beberapa
jaringan non saraf. Mekanisme kolinergik dimediasi nikotin sebagai analgesia tampaknya
melibatkan beberapa jalur. Nikotin bekerja pada nAChRs baik di otak dan medulla
spinalis untuk mengaktifkan inhibitor descending pain pathway. Nikotin diduga
melibatkan, setidaknya sebagian, pelepasan norepinefrin lokal, melalui aktivasi reseptor
α2-adrenergik.. 14
Pasien bukan perokok yang menjalani prostatektomi radikal retropubik di bawah anestesi
umum secara acak diaplikasikan patch nikotin atau patch plasebo 7mg 30-60 menit
sebelum operasi dan dibiarkan di tempatnya selama 24 jam. Kumulatif PCA
menggunakan morfin menurun dalam kelompok nikotin (33 mg) dibandingkan dengan
kelompok plasebo (45 mg). Skor nyeri pada istirahat atau dengan batuk tidak berbeda
antara kelompok-kelompok tersebut. Kejadian PONV atau pruritus juga tidak berbeda
antara kelompok-kelompok tersebut, tetapi intensitas mual lebih besar pada kelompok
nikotin. 14

DAFTAR PUSTAKA
1. Sunoko., Philippi, Benny. Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong edisi 3 :
persiapan prabedah. Jakarta: ECG, 2010. h.298-313
2. Hardin, Rosemarie E. Schwartz's Principles of Surgery 9th Edition : Surgical
Considerations. USA : The McGraw-Hill Companies, 2010. p. 3331-50
3. Thalut, Kamardi., Rasjid, Harun Al., De Jong, Wim., Sjamsuhidajat, R. . Buku ajar ilmu
bedah sjamsuhidajat-de jong edisi 3 : pemeriksaan penderita. Jakarta: ECG, 2010. h.279-
81
4. Sidharta, Priguna. Tata pemeriksaan kliniks dalam neurologi : penilaian derajad dan
kualitas kesadaran. Jakarta : Dian rakyat, 2008. h. 542-6
5. Riwanto, Ign., Hamami, Ahmad Hidayat., Pieter, John., Tjambolang, Tadjuddin.,
Ahmadsyah, Ibrahim. Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong edisi 3 : usus halus,
apendiks, kolon dan anorektum. Jakarta: ECG, 2010. h.757-9
6. Masjoer, Afif., Suprohaita., Wardhani, Wahyu Ika., Wicaksono, Aditya., Hamsah, Arif.,
Rukmawati, Azizah, dkk. Kapita selekta kedokterna edisi ketiga jilid 2 : bedah digestif.
Jakarta : Media aescupapius, 2000. h.307-10
7. Sudiono, Herawati., Iskandar, Ign., Edward, Harny., Halim, Sanarko Lukman., Santoso,
Regie. Penuntun patologi klinik hematologi. Jakarta : FK UKRIDA, 2009. h.38-51
8. Masjoer, Afif., Suprohaita., Wardhani, Wahyu Ika., Wicaksono, Aditya., Hamsah, Arif.,
Rukmawati, Azizah, dkk. Kapita selekta kedokterna edisi ketiga jilid 2 : pemeriksaan
laboratorium. Jakarta : Media aescupapius, 2000. h.549-57
9. Tanra, Andi Husni., Rehatta, Nancy Margarita. Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de
jong edisi 3 : anastesia. Jakarta: ECG, 2010. h.314-29
10. Masjoer, Afif., Suprohaita., Wardhani, Wahyu Ika., Wicaksono, Aditya., Hamsah, Arif.,
Rukmawati, Azizah, dkk. Kapita selekta kedokterna edisi ketiga jilid 2 : ilmu anastesi.
Jakarta : Media aescupapius, 2000. h.234-65
11. Hardiono., Hanindito, Elizeus., Rahardjo, Puger., Rahadjo, Eddy. Buku ajar ilmu bedah
sjamsuhidajat-de jong edisi 3 : keseimbangan cairan dan elektrolit. Jakarta: ECG, 2010.
h.166-75
12. Jan, Badar V. Schwartz's Principles of Surgery 9th Edition : Fluid and Electrolyte
Management of the Surgical Patient. USA : The McGraw-Hill Companies, 2010. p. 705-
27
13. Sampepajung, Daniel. Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong edisi 3 : masa pulih.
Jakarta: ECG, 2010. h.358-63
14. Dewoto, Hedi R., Wilmana, P. Freddy., Gan, Sulistia. Farmakologi dan terapi edisi 5 :
obat susunan saraf pusat. Jakarta : FK UI, 2007. h.210-59

Vous aimerez peut-être aussi