Vous êtes sur la page 1sur 17

Anestesi Spinal

a. ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan

menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal

(CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal

intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan

obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3

atau L3-L4 atau L4-L5.

Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk memberikan

kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus. Spinal anestesi

dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia, ginekologi dan

operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat kelamin. Semua operasi

pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin merupakan pengalaman

yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam kondisi terjaga. Dalam situasi

ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi dengan anestesi umum.

Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi umum

dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus-

pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi

impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik anestesia yang

lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu

dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien.

Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan

penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan
endokrin seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat

manfaat dari vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan

penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk

menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat

dan tidak mengalami hipovolemik.

Indikasi:

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum perineum

4. Bedah obstetrik-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan

dengan anesthesia umum ringan.

Kontra indikasi absolut:

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5. Tekanan intrakranial meningkat

6. Fasilitas resusitasi minim

7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.


Kontra indikasi relatif:

1. Infeksi sistemik

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kroni

Persiapan analgesia spinal :

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia

umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,

misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga

tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah

ini:

1. Informed consent : tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui

anesthesia spinal

2. Pemeriksaan fisik : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang

punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran : Hb, ht,pt,ptt

Peralatan analgesia spinal :

1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, ekg

2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau

jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).

Teknik analgesia spinal :

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah

ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi

tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri

bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat

pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain

adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal

L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma

terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg)

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G

dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G

dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit

10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,

kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut.

Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus


sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah

keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat

timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin

jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat

dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya

untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal

pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya

likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid

dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

Posisi:

A. Posisi Duduk

B. Pasien duduk di atas meja operasi

C. Dagu di dada

D. Tangan istirahat di lutut

Posisi Lateral:

1. Bahu sejajar dengan meja operasi

2. Posisikan pinggul di pinggir meja operasi

3. Memeluk bantal/knee chest position

Tinggi blok analgesia spinal :

Faktor yang mempengaruhi:

1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia

2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia


3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas

daerah analgetik.

4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.

Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal

dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung

berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung

menyebar ke cranial.

7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik

8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas

analgesia yang lebih tinggi.

9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar

dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik

sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi

pasien.

b. Anastesi Lokal untuk Anastesi Spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-

1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric.

Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik

local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik local yang

sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik


local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh

dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik local yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-

100 mg (2-5ml)

2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003,

sifat hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)

3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-

20 mg

4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat

hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)

Bupivacaine

Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau

bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan

daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat

jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi.

Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila

sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.

Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino

amida. Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi

infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine

kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty

pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk

mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang

durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi

epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV

(IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi

sistemik dari obat tersebut.

Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan

memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.

Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang

lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi

dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf

penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut

saraf lebih tebal.

Penyebaran anastetik local tergantung:

1. Factor utama:

a) Berat jenis anestetik local(barisitas)

b) Posisi pasien

c) Dosis dan volume anestetik local

2. Faktor tambahan :

a) Ketinggian suntikan

b) Kecepatan suntikan/barbotase

c) Ukuran jarum

d) Keadaan fisik pasien


e) Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:

1. Jenis anestetia local

2. Besarnya dosis

3. Ada tidaknya vasokonstriktor

4. Besarnya penyebaran anestetik local

2.3 Komplikasi Anastesi Spinal

Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.

Komplikasi tindakan :

1. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa

dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml

sebelum tindakan.

2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi

akibat blok sampai T-2

3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali

nafas

4. Trauma pembuluh saraf

5. Trauma saraf

6. Mual-muntah

7. Gangguan pendengaran

8. Blok spinal tinggi atau spinal total


Komplikasi pasca tindakan:

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4. Retensio urine

5. Meningitis

Komplikasi intraoperatif:

1). Komplikasi kardiovaskular

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi

karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan

tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi.

Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi

yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai

dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.

Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan

anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi

bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang

stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama

dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi

dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid

(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera

setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut
masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin

intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan

darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik

berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-

1/4 mg IV.

2). Blok spinal tinggi atau total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan

dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari

hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan

jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang

cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah

komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan

terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang

cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral

merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi

spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja

otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf

phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral

mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,

sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik

miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti

jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya

keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan

pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang,

pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak
ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi

dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

Komplikasi respirasi

1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-

paru normal.

2.Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal

tinggi.

3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena

hipotensi berat dan iskemia medulla.

4.Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-

tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan

pernafasan buatan.

Komplikasi postoperative:

1). Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis

berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus

gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal

merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi

dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi

lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada

kehamilan meningkat.
2). Nyeri kepala

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri

kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada

anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor

seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin

besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala

juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala

post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi

spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan

menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus,

diplopia, mual, dan muntah.

Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah

bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi

duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi

konservatif dalam waktu 24 – 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah

baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang

kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi

perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan

kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.

Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin

kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

3). Nyeri punggung

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan

jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat

dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan

menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja.

4). Komplikasi neurologik

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi

neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul

dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas

nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan

simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari.

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini

mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah

beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area

perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit

motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang paling serius

adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau

bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit

sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini

terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature

korda spinal.

Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang

lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah

ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan

jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution

anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi tetap berlaku.


Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang

berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang

subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh

darah besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar

saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda

utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada

2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan

adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya

akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab

terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal

anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu

oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang

berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun

obstruksi aliran.

Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan

terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya

anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan

epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada

arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah.

Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan

kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari

penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat

lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia,

terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang

demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia


merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang

subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling

prominen pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal,

demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika

menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka

pada area lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini

adalah dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.

5). Retentio urine / Disfungsi kandung kemih

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun

regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali

paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.

Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.

c. Kesimpulan

1. Penatalaksanaan anastesi pada penderita ”BPH (Benigne Prostate

Hypertrophy)” yang dilakukan operasi Prostattectomy pada seorang laki-laki

berumur 60 tahun menggunakan anastesi Regional dengan teknik anastesi

spinal pada lumbal 3 / lumbal 4 dan status fisik ASA II.

2. Dilakukan premedikasi dengan Metoclopramid 10 mg. Medikasi induksi

dengan bupivakain HCl 20 mg. Maintenance dengan inhalasi O2 2,0

liter/menit, pemberian injeksi sedacum (Midazolam 2,5 mg IV) dan Ketorolac

10 mg IV. Durante operasi monitoring tensi dan nadi. Induksi anastesi

dilakukan selama ± 10 menit dan bertahan selama operasi yang berlangsung

selama 1 jam 10 menit. Durante operasi tidak didapatkan penyulit anastesi

maupun pembedahan. Pasca operasi pasien dibawa ke ruang pemulihan untuk


dimonitor keadaan umum setelah pasien pulih anastesi pasien dibawa ke

bangsal.

Vous aimerez peut-être aussi