Vous êtes sur la page 1sur 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tanggal 8 Dzulhijjah 1330


H atau 18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini lahir sebagai perwujudan
keprihatinan karena melihat kenyataan umat Islam di Indonesia dalam cara
menjalankan perintah-perintah agama Islam banyak yang tidak bersumber dari ajaran
Al Quran dan tuntunan Rasulullah SAW. Dalam hal itu KH Ahmad Dahlan
menghendaki agar dengan Muhammadiyah, orang-orang Islam mengamalkan dan
menggerakkan Islam dengan berorganisasi.

Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama
Muhammadiyah yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum
adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk
memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam
sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.

Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya,


akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai
pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya
menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau
Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan
Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.

Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga


memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut

1
"Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan
perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.

KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922


dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada
rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang
kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri
kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian
hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar
5 tahunan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis


dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Apa saja Faktor Objektif berdirinya Muhammadiyah


2. Apa saja Faktor Subjektif berdirinya Muhammadiyah
3. Siapakah sebenarnya KH. Ahmad Dahlan
4. Apa saja pemikiran-pemikiran KH. Ahmad Dahlan

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:

1. Untuk memberi pemahaman tentang faktor objektif berdirinya


Muhammadiyah
2. Untuk memberi pemahaman tentang faktor subjektif berdirinya
Muhammadiyah
3. Mengetahui profil KH. Ahmad Dahlan
4. Untuk memberi pemahaman tentang pemikiran-pemikiran KH. Ahmad
Dahlan

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Faktor Objektif

Kondisi sosial dan keagamaan bangsa Indonesia pada zaman kolonial

a. Kristenisasi
Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi
kelahiran Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang
terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang
muslim maupun bukan, menjadi kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang
bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Misi
Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum
yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini
didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran
agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk
membentengi ummat Islam dari pemurtadan.

b. Kolonialisme Belanda
Politik kolonialisme dan imperialisme Belanda yang menimbulkan perpecahan
di kalangan bangsa Indonesia. Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh
yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara ini, baik
secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek
politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin
menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk
melakukan perlawanan.

1) Periode Pertama (periode sebelum Snouck Hurgronje)


1. Belanda berprinsip agar penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak
memberontak.

3
2. Menerapkan dua strategi yaitu membuat kebijakan-kebijakan yang
sifatnya membendung dan melakukan kristenisasi bagi penduduk
Indonesia.
3. Dalam pelarangan pengalaman ajaran islam, Belanda membatasi
masalah ibadah haji dengan berbagai aturan tetapi pelarangan ini justru
kontraproduktif bagi Belanda karena menjadi sumber pemicu
perlawanan terhadap Belanda sebagai penjajah karena menghalangi
kesempurnaan islam seseorang.
2) Periode Kedua (periode setelah Snouck Hurgronje menjadi penasihat
Belanda untuk urusan pribumi di Indonesia)
1. Dalam hal ini,tidak semua kegiatan pengamalan Islam dihalangi bahkan
dalam hal tertentu didukung. Kebijakan didasarkan atas pengalaman
Snouck berkunjung ke Makkah dengan menyamar sebagai seorang
muslim bernama Abdul Ghaffar.
2. Kebijakan Snouck didasarkan tiga prinsip utama,yaitu: Pertama rakyat
indonesia dibebaskan dalam menjalankan semua masalah ritual
keagamaan seperti ibadah, Kedua pemerintah berupaya
mempertahankan dan menghormati keberadaan lembaga-lembaga sosial
atau aspek mu’amalah dalam islam, Ketiga pemerintah tidak
menoleransi kegiatan apapun yang dilakukan kaum muslimin yang
dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau menyebabkan
perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial
Belanda.

Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah


berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui
pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia melalui jalur pendidikan.

2.2 Faktor Subjektif

Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan KH. Ahmad Dahlan.


Sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh
orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Ini

4
menunjukkan rasa keagaman KH. Ahmad Dahlan, tidak hanya berdasarkan naluri,
melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.

Dikala mudanya, beliau terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan bebas serta
memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih
secara selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan, dibawa dalam perenungan-
perenungan dan ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang
menentukan Ahmad Dahlan sebagai subjek yang nantinya mendorong berdirinya
Muhammadiyah.

Faktor Subyektif adalah faktor yang sangat kuat, bahkan dikatakan sebagai
faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah
hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah,
membahas dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KH. Ahmad Dahlan
seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana
yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhhammad ayat 24
yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh
ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat. Sikap seperti ini pulalah yang
dilakukan KH. Ahmad Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 : “Dan
hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung”.

Memahami seruan diatas, KH. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk


membangan sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi
yang tugasnya berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf
Nahi Munkar di tengah masyarakat kita.

2.3 Profil KH. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan yang mempunyai nama kecil Muhammad Darwisy adalah
seorang pahlawan nasional yang juga pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Ia

5
bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan
pertama di Indonesia. Ia adalah sosok pemuda pembaharu yang sangat
mengedapankan idealisme dalam hidupnya terutama dalam bidang pendidikan.
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil
dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup
menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat
dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima
dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat
mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan
Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di


Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di
Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad
Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Ia merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang
yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru
Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar,
dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun.
Pada periode ini,Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan
Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama

6
menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad
Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri,


anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan,
seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti
Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH.
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga
pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan
Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai
Yasin Pakualaman Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen,
Yogyakarta.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk


melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal
18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang
pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan


resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan,
tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan
agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena
sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta
bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi,
dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama

7
Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk
anak-anak priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia
berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah
air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan


kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan
itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan
organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia
Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah.
Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk
mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar
cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul
Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan
di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat
pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia
menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam.

Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari


Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul
Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi. Dahlan juga bersahabat dan berdialog
dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah
pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang
merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak
ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.

8
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan
dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi
dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar
dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah
lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan


dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah
untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama
hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan
dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah
AIgemeene Vergadering (persidangan umum).

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa


Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan
Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;

Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak


memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut
kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman
dan Islam;

Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial


dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa,
dengan jiwa ajaran Islam; dan Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita

9
(Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad
Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen,
Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan
kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar
kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27
Desember 1961.

Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah


diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya menceritakan
tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan
semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya
yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu,
dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional.

2.4 Pemikiran-pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dalam buku Ensiklopedi Tokoh


Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia,
hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi
dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan
(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa
Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya
ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya
pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang
kedua.

KH Ahmad Dahlan pergi ke Mekah dua kali, pertama selama 8 bulan (setelah
menikah dengan Siti Walidah binti Haji Fadhil), dan yang kedua pada tahun 1903
dengan anaknya, Muhammad Siraj Dahlan. Yang kedua ini ia bermukim selama

10
satu tahun. Sepulangnya ia dirikan asrama untuk mengajar, murid-muridnya
berdatangan dari Yogya maupun luar Yogya (antara lain Pekalongan, Batang,
Magelang, Semarang, Solo).

Ada perbedaan menarik mengenai cara mengajarnya, ketika belum berangkat


ke Mekah yang kedua, KH Ahmad Dahlan masih mengajarkan kitab-kitab kalangan
“ahlussunah wal jamaah” berupa kitab aqaid, fikih dalam mahzab Syafi’i dan tasawuf
dari Imam al-Ghazali. Namun, setelah berangkat yang kedua kali ke Mekah, kitab-
kitab yang dibaca adalah kitab-kitab berisi pembaharuan keagamaan. Diantara kitab-
kitab yang sering dibaca antara lain; Risalat at-Tauhid (Muhammad Abduh), Tafsir
Juz Amma (sama), Dariat al Marif (Farid Wajdi), Al Tasawul wa al Wasilah (Ibnu
Taimiyyah), dll.

Dapat dikatakan disinilah mulai munculnya pergeseran pemikiran. Pergeseran


ini memiliki beberapa faktor-faktor penyebab tentunya, selain buku-buku yang dia
bawa tersebut.

Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan


Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya
memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama
ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat
Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap
doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.

Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan.


Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk
menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang
dinamis adalah melalui pendidikan.

Jadi berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran
Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan
ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara
berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam
rangka memperjuangakan terwujudnya ’izzul Isalam wal muslimin di samping umat

11
Islam harus berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu yang
perlu dibenahi adalah memperberbaharui sember-sumber para mujaddin dan ulama.
Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar
ke seluruh dunia. Mengenai pelaksanaan pendidikan―menurut Dahlan―hendaknya
didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah.

Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan


tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal
(makhluk).

Seperti yang diketahui, semangat besar gerakan pemurnian Islam yang dibawa
oleh tokoh-tokoh seperti Wahabbi dan Abduh adalah kembali kepada kitab dan
sunnah. Ahmad Dahlan terpengaruh banyak oleh pemikiran mereka dan teman-
temannya seperti Rasyid Ridha atau Ibnu Tamimiyah.

Bagi KH. Ahmad Dahlan, fokus paling penting dalam pemikirannya adalah
pendidikan. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama, dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar
ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme
sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat
tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem
pendidikan itu.

Cita-cita pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia


baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau“intelek-ulama”, yaitu seorang
muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan
rohani. Namun, ide Beliau tentang model pendidikan integralistik yang mampu
melahirkan ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan
integralistik inilah sebenarnya warisan yang mesti kita eksplorasi terus sesuai dengan
konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.

12
K.H. Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa pendidikan Islam merupakan sarana
dan upaya yang strategis dalam rangka menyelamatkan umat Islam dari kungkungan
pemikiran statis menuju kemerdekaan berfikir yang dinamis.

Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan


“sekuler” yang di dalamnya tidak diajarkan ilmu agama sama sekali. Pelajaran di
sekolah ini menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut dilahirkan
dua kutub inteligensia; lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum
tetapi tidak menguasai ilmu agama.

Melihat ketimpangan itu KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan


pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu
agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi beliau
keduanya tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, melahirkan manusia-manusia baru


yang siap tampil sebagai insan ulama-intelek atau intelek-ulama, yakni manusia
baru yang memiliki keteguhan iman dan pengetahuan agama yang begitu luas serta
memiliki keterampilan dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, dan juga kuat
jasmani dan rohaninya.

Ada satu hal yang cocok untuk mencari sebab mengapa KH. Ahmad Dahlan
tergelitik untuk melakukan pembaharuan pemikiran, dalam hal ini dikaitkan dengan
hal yang lebih spesifik, yakni masalah sosial. Menurut keterangan yang diperoleh
dari biografinya, KH Ahmad Dahlan sangat gemar membaca, termasuk majalah-
majalah berbahasa arab seperti majalah Al Manar dan Al Urwatul Wutsqa yang
diperoleh dari hasil selundupan dari pelabuhan Tuban, Jawa Timur.

Dia tidak memiliki pribadi pemberontak dan cenderung lurus-lurus saja semasa
mudanya tapi dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan terampil. Dan
mempertimbangkan usianya yang baru 36 tahun, mungkin mempengaruhi pula
pemikirannya yang masih mudah menerima unsur-unsur baru. Pemikirannya
terpengaruh banyak oleh reformis Timur Tengah. Malahan ada keterangan bahwa

13
KH Ahmad Dahlan sempat bertemu langsung pada Sayid Rasyid Ridha tatkala di
Mekah dan sejak itu ia membaca karya-karya Abduh, Ridha, Ibnu, dll. Jika KH
Ahmad Dahlan tidak mengambil seluruh substansinya, maka setidaknya ia telah
mengambil spiritnya.

Mempertimbangkan keadaan di ambang awal abad 20 itu, hampir semua


kelompok agama berada dalam keadaan yang stagnan. Belum majunya pendidikan
dan tekanan dari pihak Belanda melatarbelakangi hal tersebut. KH Ahmad Dahlan
mengalami kegelisahan, yang cenderung tidak muncul dikalangan umat yang lain.

Disebut kegelisahan karena tindakannya yang mengarah pada hal-hal sosial


yang peduli umat dan tampak pula dalam renungannya tentang kematian.

Setelah ditelusuri secara seksama, setidaknya terdapat tiga faktor minor KH


Ahmad Dahlan terinspirasi. Ketiga faktor tersebut adalah; renungan tentang
kematian sebagai pendorong beramal saleh, beragama harus menyapa kehidupan, dan
tauhid sebagai semangat dalam menerjemahkan kehidupan. KH Ahmad Dahlan
merasakan dan menuliskan renungan mengenai keadaan setelah mati dan kegelisahan
serta kekhawatiran yang ia rasakan.

Sedangkan untuk yang kedua, ia menuliskan pemikirannya tentang peran


agama dalam kehidupan. Menurutnya agama seharusnya bukan hanya sekadar
menjadi ritual tapi benar-benar dipahami sebagai pegangan hidup.

“Agama itu pada mulanya bercahaya berkilauan, akan tetapi semakin lama
semakin suram. Namun yang suram itu bukan agamanya melankan manusianya.” KH
Ahmad Dahlan.

Kutipan perkataan KH Ahmad Dahlan itu menunjukkan agama dianggap suram


karena tidak dipahami dengan baik. Ia memulai pemaknaan lebih kepada agama
Islam dalam keseharian, diantaranya dengan membaca tafsir. Ia tidak menyukai
keadaan umat yang sering melakukan pengajian yang hanya mengaji dalam bahasa
arabnya, tanpa mengerti artinya. Menurutnya, umat haruslah mengerti arti dari Al
Qur’an.

14
Dan yang terakhir, arti tauhid menurut KH Ahmad Dahlan adalah persaudaraan
berdasar ketunggalan akidah dan syariah dan persaudaraan kemanusiaan. Yang
pertama berarti memegang teguh akidah ketuhanan yang maha esa, tapi menjaga
ukhuwah islamiyah. Disini berarti menghormati yang lain. Terdapat tataran yang
berbeda dalam syariah bukanlah suatu yang besar dan bermasalah dalam kelompok-
kelompok dalam umat. Selama akidah ketuhanan tidak bisa lain, hanya menyembah
Allah swt. Sedangkan untuk arti dari persaudaraan kemanusiaan, lebih kepada nilai
sosial, yang berarti menunjukkan keinginan untuk menghadirkan kesejateraan
bersama bagi umat.

BAB III

15
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tanggal 8 Dzulhijjah 1330
H atau 18 November 1912 di Yogyakarta. Nama “Muhammadiyah” ini diambil dari
nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai
orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Terdapat Faktor Objektif dan Faktor Subjektif dalam berdirinya
Muhammadiyah.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, fokus paling penting dalam pemikirannya adalah
pendidikan dan KH. Ahmad Dahlan bercita-cita melahirkan manusia-manusia baru
yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau“intelek-ulama”.

3.2 Kritik dan Saran


Pemikiran-pemikiran dan cita-cita KH Ahmad Dahlan melahirkan manusia-
manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau“intelek-ulama”
sebenarnya warisan yang mesti kita eksplorasi terus. Akan tetapi, ide Beliau tentang
model pendidikan yang mampu melahirkan ulama-intelek ini masih terus dalam
proses pencarian. Seharusnya, kita sebagai umat muslim, terus belajar ilmu
pengetahuan dan mendalami ilmu agama agar menjadi ulama-intelek seperti yang
dicita-citakan beliau.

3.3 Daftar Pustaka

‘Amalyn, Leny Rufi’al. “Sejarah Muhammadiyah”. Diakses tanggal 27 September


2015. http://alynsangleader.blogspot.co.id/2014/11/sejarah-muhammadiyah.html

16
Firmana, Wawan. “Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Tentang Sistem Pendidikan
Islam”. Diakses tanggal 27 September 2015.
http://grabalong.blogspot.co.id/2015/02/pemikiran-kh-ahmad-dahlan-tentang.html

Tuminah. “Pemikiran K.H Ahmad Dahlan”. Diakses tanggal 27 September 2015.


http://merahputihku-tuminah.blogspot.co.id/2013/03/pemikiran-kh-ahmad-
dahlan.html

Wijaya, Rony. “Biografi K.H. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah”. Diakses


tanggal 27 September 2015. http://bio.or.id/biografi-k-h-ahmad-dahlan/

Yuspita, Andi Amelia. “AIK Kemuhammadiyahan”. Diakses tanggal 27 September


2015. http://andiameliayuspita.blogspot.co.id/2015/06/aik-kemuhammadiyahan.html

17

Vous aimerez peut-être aussi