Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai asma pada anak.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kondisi inflamasi kronik pada saluran napas yang
menyebabkan terjadinya suatu episode obstruksi aliran udara. Inflamasi kronik ini
meningkatkan kepekaan dari saluran napas atau dikenal dengan istilah
hiperesponsif saluran napas (airways hyperresponsiveness – AHR) terhadap
pajanan suatu faktor pencetus(4).
Berdasarkan definisi dari International Consensus on Pediatric Asthma
asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronik berhubungan dengan obstruksi
aliran udara yang bervariasi dan hiperesponsif bronkial. Asma muncul dengan
adanya suatu episode rekuren mengi, batuk, sesak napas, dan dada terasa berat(1).
2.2 Epidemiologi
Gambar 1 Data terkini asma di Amerika Serikat tahun 2015 (Diambil dari CDC 2015)5
Asma mengenai sekitar 300 juta individu diseluruh dunia. Hal ini
merupakan masalah kesehatan global yang serius mengenai semua kelompok usia
dengan adanya peningkatan prevalensi di banyak negara berkembang,
peningkatan biaya pengobatan. Asma menyebabkan beban pada sistem pelayanan
3
kesehatan serta masyarakat melalui hilangnya produktivitas ditempat kerja
terutama asma pada anak yang menyebabkan gangguan pada keluarga(2).
Gambar 2 Prevalensi asma menurut karakteristik umur (Diambil dari Infodatin 2013)6
2.3 Etiologi
Penyebab dari asma anak belum dapat ditentukan, namun kombinasi
antara pajanan lingkungan dengan bawaan biologis serta kerentanan genetik
diduga terlibat.
a. Genetik
Sampai sekarang ini lebih dari 100 lokus gen telah dihubungkan dengan
asma walaupun demikian hanya sedikit yang secara konsisten berhubungan
dengan asma pada berbagai penelitian kohort. Lokus-lokus tersebut mengandung
gen proalergenik dan proinflamatorik(4).
b. Lingkungan
Episode mengi berulang pada masa anak-anak awal berhubungan dengan
virus-virus yang menyerang saluran napas terutama rinovirus, atau RSV, virus
influenza, adenovirus, virus parainfluenza dan human metapneumovirus. Asap
rokok dan polutan udara lainnya dapat memperberat inflamasi saluran napas dan
meningkatkan derajat keparahan asma. Udara dingin, hiperventilasi akibat
aktivitas fisik, atau bau-bau an yang terlalu kuat dapat merangsang terjadinya
bronkokonstriksi(4).
4
Gambar 3 Faktor lingkungan pencetus asma (Diambil dari Liu AH et al, 2016)4
2.4 Patogenesis
Apa yang mengawali suatu proses infalamasi pada awalnya dan
menyebabkan beberapa orang mengalami kerentanan terhadap efek tersebut.
Belum ada jawaban defintif terhadap pertanyaan tersebut, namun observasi
terbaru menduga jika awal proses terjadinya asma terutama terjadi pada awal-awal
kehidupan. Merupakan suatu proses yang kompleks melibatkan interaksi dan
peran masing-masing antara dua faktor mayor yaitu faktor penjamu (utamanya
genetik) dan pajanan lingkungan(7).
Inflamasi saluran napas pada asma kemungkinan mencerminkan adanya
suatu ketidakseimbangan antara dua populasi limfosit Th yang ‘berlawanan’.
Telah diketahui dua jenis limfosit Th yaitu Th1 yang menghasilkan IL-2 dan IFN-
γ yang memiliki peran pada mekanisme pertahanan selular sebagai respon
5
terhadap infeksi. Kontras dengan Th1, Th2 menghasilkan sitokin-sitokin IL-4, -5,
-6, -9, -13 yang memediasi inflamasi alergi(7).
Sel dendritik merupakan antigen presenting cell (APC) yang utama pada
saluran pernapasan. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik akan melakukan
migrasi ke tempat dengan banyak limfosit, melalui pengaruh sitokin lainnya sel
dendritik akan matang dan membantu polarisasi Th0 menjadi Th2. Proses
berlanjut sampai dihasilkannya mediator-mediator inflamasi dan terjadi
hiperespon bronkus dan obstruksi aliran udara(8).
Terdapat bukti yang mendukung peran dari epitel saluran napas dan
mesenkim dibawahnya dalam patogenesis asma. Diperkirakan bahwa individu
yang rentan secara genetik memiliki fungsi barier epitel yang terganggu
menyebabkan epitel menjadi rentan terhadap infeksi virus pada awal kehidupan
yang mengarahkan sel dendritik pada pembentukan Th2. Cedera epitel yang
terpelihara mengarah pada komunikasi yang terganggu dengan mesenkim
dibawahnya. Inhibisi perbaikan epitel menyebabkan dihasilkannya faktor
pertumbuhan termasuk TGF-β2 yang mengaktivasi fibroblas subepitel untuk
membentuk myofibroblas dan mendukung terjadinya metaplasia mukus. Deposit
6
myofibroblas, penebalan lamina retikularis pada epitel, dan sekret mitogen
menyebabkan hipertrofi otot polos(9).
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Tanyakan mengenai gejala-gejala respiratorik yang dikeluhkan oleh
pasien. Kebanyakan pasien akan mengeluhkan adanya wheezing atau batuk kronik
berulang. Gejala dengan karakteristik yang mengarah pada asma diantaranya
yaitu(8):
a. Gejala timbul secara episodik atau berulang
b. Faktor pencetus seperti iritan, alergen, infeksi saluran napas atau
aktivitas fisik
c. Riwayat alergi pada pasien atau anggota keluarga
d. Variabilitas, biasanya memberat pada malam hari
e. Reversibilitas, gejala dapat membaik spontan atau dengan obat
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan lengkap mulai dari tanda vital, pemeriksaan kepala
dan leher serta pemeriksaan paru. Evaluasi tanda-tanda atopi seperti rinitis alergi
dan dermatitis atopik. Tanda-tanda vital akan menunjukkan hasil normal saat
pasien tidak dalam serangan, namun dapat terjadi takikardia dan takipnea saat
serangan(10).
7
Dalam pemeriksaan paru, semua lapangan harus dievaluasi dan
keseluruhan siklus pernpasan didengarkan dengan hati-hati. Pada asma, wheezing
hanya dapat terdengar pada saat akhir ekspirasi sehingga akan terlewat ketika
stetoskop dilepaskan terlalu cepat. Pasien yang mengalami serangan akan
menunjukkan keadaan hiperinflasi, peningkatan kerja otot bantu napas dan
pemanjangan fase ekspirasi. Pada pemeriksaan perkusi, mungkin bisa didapatkan
adanya hipersonor(10).
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri pada anak usia ≥ 6 tahun (11)
Forced expiratory volume pada 1 detik (FEV1)/forced vital capacity
(FVC) < 80% dengan peningkatan 12% pada FEV1 setelah pemberian
SABA adalah spesifik untuk diagnosis terhadap asma
Dilakukan saat pasien simptomatik
Spirometri digunakan sebagai bagian dari penilaian kontrol asma
b. Uji hipereaktivitas bronkial(11)
Jika hasil spirometri normal, namun masih dicurigai suatu asma, uji
metakolin atau uji latihan dapat dilakukan
c. Peak flow monitoring(11)
Tidak direkomendasikan untuk diagnosis asma pada anak
Dapat digunakan pada pasien dengan diagnosis asma yang kurang
memahami gejala asma nya sebagai bagian dari rencana penatalaksanaan
asma
d. X-ray dada(11)
Tidak berguna untuk diagnosis asma, namun berguna untuk evaluasi
diagnosis alternatif
2.6.4 Diagnosis Banding
Batuk yang kronik intermiten dapat disebabkan oleh refluks
gastroesofageal (RGE) dan rinosinusitis selain karena asma. Pada awal-awal
kehidupan batuk kronik dan wheezing dapat mungkin terjadi karena aspirasi
rekuren, trakeobronkomalasia, kelainan anatomis pada saluran napas, aspirasi
benda asing, displasia bronkopulmonar. Pada anak yang lebih tua dan remaja,
disfungsi pita suara dapat bermanifestasi sebagai wheezing yang intermiten. Pada
8
kondisi ini, pita suara menutup secara involunter selama inspirasi dan kadang
ekspirasi menyebabkan sesak napas. Pada beberapa lokasi tertentu, pneumonits
hipersensitivitas (komunitas petani, kandang burung), infestasi parasit pulmonal
(area rural di negara berkembang) atau tuberkulosis adalah penyebab tersering
dari batuk kronik dan atau wheezing(4).
2.7 Klasifikasi
a. Berdasarkan usia(8)
Asma bayi – bawah dua tahun
Asma balita
Asma usia sekolah (5 – 11 tahun)
Asma remaja (12 – 17 tahun)
9
b. Berdasarkan fenotip(8)
Asma tercetus infeksi virus
Asma tercetus aktivitas
Asma tercetus alergen
Asma terkait obesitas
c. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala(8)
Asma intermiten
Asma persisten ringan
Asma persisten sedang
Asma persisten berat
10
SpO2 90 – 95% SpO2 < 90%
PEF > 50% prediksi PEF ≤ 50% prediksi
11
Gambar 7 Alur diagnosis asma (Diambil dari PNAA, 2015)8
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Tatalaksana Serangan
Gambar 8 Pasien asma dengan risiko tinggi (Diambil dari PNAA, 2015)8
12
a. Tatalaksana di rumah(8)
Inhalasi agonis β2
kerja pendek (SABA), Bawa ke fasyankes
via nebulizer atau MDI
+ spacer
Nilai respon
Nilai respon
: iya
: tidak
13
b. Tatalaksana di fasilitas layanan kesehatan primer
14
o Belum mendapat aminofilin sebelumnya, dosis inisial sebesar 6 – 8
mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau NaCl 0,9% sebanayak
20 ml diberikan selama 30 menit dengan infusion pump
o Respon belum optimal maka dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5
– 1 mg/kgBB/jam
o Jika telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam) dosis diberikan
separuhnya, baik dosis awal atau dosis rumatan
Bila perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai
24 jam, steroid dan aminofilin diganti dengan peroral
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat SABA (inhalasi atau oral) yang diberikan setiap 4 – 6 jam
selama 24 – 48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien
kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3 – 5 hari untuk reevaluasi tatalaksana
15
2.8.2 Tatalaksana Jangka Panjang
2.8.2.1 Medikamentosa
Obat asma terdiri dari dua jenis yaitu reliever atau pereda dan controller
atau pengendali.
Beberapa jenis obat pengendali asma yaitu:
a. Steroid inhalasi
16
Gambar 12 kombinasi LABA dan steroid inhalasi (Diambil dari BCguidlines, 2015)11
c. Antileukotrien
Terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti
montelukast, pranlukast, dan zafirlukast serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti
zileuton. Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak
lebih unggul dibanding steroid inhalasi.
17
steroid inhalasi pada anak usia diatas 5 tahun. Dengan kombinasi ini akan
menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten(8).
e. Anti-IgE
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang dapat
mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Diberikan kepada pasien yang telah
mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan LABA namun masih sering mengalami
eksaserbasi. Diberikan injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu.
Pemberian omalizumab harus dibawah pengawasan seorang dokter spesialis(8).
f. Jenjang pengobatan
Tabel 4 Jenjang pengobatan jangka panjang asma (Sumber: PNAA, 2015)8
Kekerapan Jenjang Pilihan pertama Pilihan lain Pereda
Intermiten 1 Tidak perlu
Persisten ICS dosis LTRA
2
ringan rendah
Persisten ICS dosis ICS dosis menengah
sedang 3 rendah + LABA ICS dosis rendah + LTRA SABA
ICS dosis rendah + teofilin
Persisten ICS dosis ICS dosis tinggi + LABA
berat 4 menengah + ICS dosis tinggi + LTRA
LABA ICS dosis tinggi + teofilin
Keterangan:
1. Acuan awal penetapan jenjang menggunakan klasifikasi kekerapan
2. Bila suatu jenjang sudah berlangsung selama 6 – minggu dan asma belum
terkendali, maka dilakukan step up
3. Bila suatu jenjang sudah berlangsung selama 8 – 12 minggu dan asma
terkendali penuh, maka dilakukan step down
4. Perubahan jenjang harus memerhatikan aspek-aspek penghindaran dan penyakit
penyerta
5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali maka ditambahkan omalizumab
18
2.8.2.2 Non-medikamentosa
Edukasi pada pasien asma tidak bisa dianggap sebagai satu kegiatan
tunggal namun harus dipandang dan dijalankan sebagai suatu proses keberlanjutan
dan diulang terus menerus pada setiap konsultasi. Konsensus umum mengenai
edukasi pada asma yaitu harus mengandung infornasi mengenai perjalanan
alamiah penyakit (kronik dan berulang), kebutuhan untuk terapi jangka panjang
serta perbedaan berbagai medikasi yang digunakan. Yang penting lainnya yaitu
penekanan pada pentingnya kepatuhan terhadap terapi walaupun pasien tidak
bergejala serta penjelasan secara tertulis atau demonstrasi penggunaan alat terapi
pada asma, hal tersebut harus juga memandang latar belakang sosiokultural dari
pasien(1).
Edukasi terhadap pengelolaan diri sendiri adalah penting sebagai bagian
dari proses penatalaksanaan asma, hal ini termasuk didalamnya yaitu menghindari
faktor-faktor pencetus yang dapat diidentifikasi. Penggunaan perencanaan tertulis
secara pribadi secara umum direkomendasikan yang dikenal dengan istilah
asthma action plan yang mencakup regimen terapi sehari-hari termasuk instruksi
spesifik untuk identifikasi awal dan tatalaksana yang sesuai terhadap serangan
asma(1).
2.9 Prognosis
Batuk dan wheezing berulang terjadi pada 35% anak usia pra sekolah.
Sekitar sepertiga nya berlanjut menjadi asma persisten pada masa anak-anak
berikutnya, dan hampir dua pertiga akan membaik selama masa remaja. Severitas
asma pada usia 7 – 10 tahun memiliki nilai prediktif menetapnya asma pada usia
dewasa. Anak dengan asma sedang sampai berat serta fungsi paru yang rendah
cenderung memiliki asma persisten pada usia dewasa. Bagaimanapun, remisi
penuh dalam 5 tahun pada anak-anak adalah jarang(4).
19
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama :SA
MR : 01.00.23.56
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 13 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Suku Bangsa : Minangkabau
Alamat : Tui, Kuranji, Padang
ANAMNESIS
Alloanamnesis dan Autoanamnesis
Diberikan oleh: Ibu kandung dan pasien sendiri
Seorang pasien perempuan usia 13 tahun dirawat di RSUP Dr. M. Djamil
Padang sejak tanggal 30 Desember 2017 dengan :
Keluhan Utama
Sesak napas sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
20
Batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak, tidak
disertai pilek. Keluhan batuk juga dirasakan sering bersamaan dengan
gejala sesak napas yang dirasakan pasien.
Kebiruan tidak ada.
Demam tidak ada, kejang tidak ada.
Riwayat mata merah berair ada, riwayat bersin-bersin di pagi hari ada,
riwayat gatal dan kemerahan di kulit tidak ada.
Mual dan muntah tidak ada
BAK jumlah dan warna normal.
BAB warna dan konsistesi normal.
Anak sebelumnya dibawa ke bidan lalu diberi obat makan, tidak diketahui
obat apa, dan tidak perbaikan setelah minum obat lalu anak segera dibawa
ke RSUP Dr. M Djamil Padang.
Riwayat Persalinan
Lama hamil : Cukup bulan
Cara lahir : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Indikas i : Gravid aterm
Berat lahir : 3000 gram
Panjang lahir : 49 cm
21
APGAR score : langsung menangis kuat, kebiruan tidak ada
Kesan : Riwayat kelahiran normal
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/umur Booster/umur
BCG 1 bulan, skar (+)
DPT : 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Polio : 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Hepatitis B : 1 0 bulan 5 tahun
2 4 bulan
3 6 bulan
22
Hemofilus influenza B : 1 -
2
3
Campak 9 bulan 6 tahun
Riwayat Keluarga
Data Ayah Ibu
Nama Joni Ramidarti
Umur 59 tahun 55 tahun
23
Pendidikan SD -
Pekerjaan Buruh bangunan IRT
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada
diderita
Saudara kandung
No Nama Jenis kelamin Usia Keterangan
1 Siska Perempuan 31 Sehat
2 Rendi Laki-laki 29 Sehat
3 Daffa Laki-laki 23 Sehat
4 Asti W Perempuan 22 Sehat
5 Puji Perempuan 20 Sehat
6 Ratih Perempuan 16 Sehat
7 Sindy Aulia Perempuan 13 Pasien
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 118x / menit
Frekuensi nafas : 36x / menit
24
Suhu : 37,2°C
Edema : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
BB : 32 kg
TB : 145 cm
BB/U : 71,1 %
TB/U : 92,3%
BB/TB : 84,2%
Status gizi : Gizi kurang
Anemia : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
25
Auskultasi : Suara napas ekspirasi memanjang, ronkhi
tidak ada, wheezing ada diseluruh lapangan
paru kanan dan kiri
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS
RIC V
Perkusi : Batas atas: RIC II; batas kanan: LSD; batas
kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada, gallop tidak
ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan dan lepas tidak ada, defans muscular
tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak ada kelainan
Genitalia : A2M2P3
Anggota Gerak : Edema tidak ada, akral hangat, CRT < 2
detik
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH
Hb : 13,7 gr/dl
Leukosit : 14.230/mm3
Trombosit : 318.000/mm3
Hitung jenis : 0/1/3/74/16/6
Kesan : Leukositosis dengan neutrofilia shift to the right
26
DAFTAR MASALAH
Asma
Gizi kurang
Riwayat atopi
Kualitas dan kuantitas makan kurang
DIAGNOSIS KERJA
Asma intermiten dalam serangan derajat sedang
PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana kegawatdaruratan
O2 2 liter/menit nasal kanul
Nebulisasi salbutamol 3 kali dalam 1 jam
Dexamethason 3x5 mg iv
2. Tatalaksana Medikamentosa
O2 2 liter/menit nasal kanul
Nebulisasi salbutamol tiap 4 jam
Dexamethason 3x5 mg iv
Ambroxol 3x30 mg po
3. Nutrisi
MB 1400 kkal
4. Edukasi
Edukasi mengenai perjalanan alamiah penyakit
Edukasi pengobatan
Edukasi penghindaran pencetus
RENCANA PEMERIKSAAN
Spirometri
Peak flow monitoring
Skin prick test
27
FOLLOW UP
Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
31-12- S/ P/
2017 - Sesak napas tidak ada - O2 2 liter/menit
- Demam tidak ada via nasal kanul
- Batuk (+) berkurang tidak berdahak - Parasetamol
- Mual dan muntah tidak ada 350mg (T≥38,5)
- Makan dan tidur cukup - Nebulisasi
- BAK warna dan jumlah normal salbutamol /4jam
- BAB warna dan konsistensi biasa - Dexametason
O/ 3x5 mg (iv)
28
Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
01-01- S/ P/
2018 - Sesak napas tidak ada - O2 2 liter/menit
- Demam tidak ada via nasal kanul
- Batuk (+) berkurang tidak berdahak - Parasetamol
- Mual dan muntah tidak ada 350mg
- Makan dan tidur cukup (T≥38,5)
- BAK warna dan jumlah normal - Nebulisasi
- BAB warna dan konsistensi biasa salbutamol
O/ /4jam
A/
Asma intermiten serangan derajat sedang (perbaikan)
29
BAB 4
DISKUSI
Pasien datang dengan keluhan utama sesak napas sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Sesak napas atau distres respirasi terjadi ketika adanya
gangguan pada pertukaran udara mengarah pada berkurangnya ventilasi dan
oksigenasi, harus bisa dilakukan identifikasi serta penanganan pada penyebab
distres tersebut untuk mencegah terjadinya menjadi suatu gagal napas. Pada anak
sendiri, berdasarkan tingkatan usia sesak napas memiliki banyak penyebab. Pada
pasien ini dengan usia 13 tahun penyebab paling sering dari gejala sesak napas
yaitu pneumonia, asma, krisis akut sickle cell, tonsilitis, abses peritonsil, cystic
fibrosis dan gangguan panik(12).
Anamnesis sangat penting dilakukan pada anak yang mengalami sesak
napas. Onset, durasi, kronisitas gejala harus ditanyakan. Tanyakan juga faktor
yang memperberat atau meringankan, gejala atau keluhan yang sama sebelumnya,
respon terhadap terapi yang pernah dilakukan(12). Anamnesis pada pasien ini
didapatkan sesak napas dirasakan sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit, sesak
ini bukan merupakan sesak pertama kali dan sudah sering dirasakan sebelumnya,
faktor yang memperberat dalam kasus ini yang mencetuskan adalah makanan dan
cuaca, serta akan berkurang atau mengalami respon setelah diberikan obat makan
oleh bidan. Selain itu sesak napas pada pasien disertai dengan bunyi menciut atau
wheezing.
Berdasarkan panduan nasional asma anak, pada pasien ini didapatkan
gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas dan
produksi sputum dengan karakteristik yang mengarah ke asma yaitu gejala timbul
episodik dimana pasien sudah beberapa kali mengalami keluhan sesak napas
dengan bunyi menciut mulai dari usia 5 tahun, keluhan muncul bila ada faktor
pencetus seperti iritan dari suhu dingin atau penyedap rasa, pengawet dan pewarna
makanan. Pada kasus ini, pasien mengalami sesak napas setelah dan setiap kali
memakan mie pangsit, kemungkinan penyedap rasa atau pengawet pada mie yang
dimakan menjadi faktor pencetus. Pada pasien ini juga didapatkan riwayat alergi
baik pada pasien sendiri atau keluarga yaitu ibu kandung. Pasien dan ibu kandung
30
pasien mengaku setiap kali mengalami sesak akan pergi berobat ke bidan dekat
rumah kemudian diberikan obat minum dan terjadi perbaikan gejala,
kemungkinan obat yang diberikan oleh bidan adalah salbutamol oral, karena
terjadi perbaikan gejala maka pada pasien dijumpai reversibilitas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan frekuensi napas dan
frekuensi nadi pasien. Selain itu pemeriksaan auskultasi paru didapatkan wheezing
di seluruh lapangan paru. Wheezing yang terdengar diseluruh kedua lapangan paru
berhubungan dengan adanya penyempitan difus saluran napas dan adanya limitasi
aliran udara(12). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja
pada kasus ini adalah asma. Menurut panduan nasional asma anak, labelisasi
diagnosis asma pada anak harus memuat kekerapan dan derajat pada saat
serangan. Pada saat pasien datang, pasien lebih senang dalam posisi duduk
dibandingkan tidur dan masih bisa berbicara satu kalimat penuh serta anak tidak
gelisah, pada anak juga tidak didapatkan retraksi. Keluhan sesak napas hanya
dirasakan kurang dari 1 kali dalam 1 bulan sehingga pada pasien ditegakkan asma
intermiten dalam serangan derajat sedang.
Pada asma, proses patofisiologi dominan yang mengarahkan pada gejala
klinis adalah penyempitan saluran napas dan gangguan aliran udara yang
menyertainya. Pada asma eksaserbasi akut, otot polos bronkus mengalami
kontraksi sehingga terjadi bronkokonstriksi terjadi cepat sehingga tejadinya
penyempitan akibat respon terhadap pajanan berbagi stimulus. Bronkokonstriksi
akut yang diinduksi alergen terjadi akibat keluarnya mediator dari sel mast yang
dependen IgE termasuk histamin, triptase, leukotrien dan prostaglandin yang
secara langsung menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Stimulus lain
termasuk aktivitas fisik, udara dingin dan berbagai iritan. Mekanisme yang
mengatur respon saluran napas terhadap faktor-faktor tersebut belum diketahui
dengan pasti(7).
Berbagai faktor akan menambah beban dari otot-otot inspirasi yang harus
membuat tekanan lebih tinggi akibat adanya resistensi aliran udara yang terjadi
akibat bronkokonstriksi. Ketika terjadi hiperinflasi otot inspiratorik memendek
sehingga tidak efektif menciptakan tekanan yang lebih tinggi, selain itu
hiperinflasi akan mengubah jari-jari dari kurvatura diafragma sehingga terjadi
31
kerugian mekanik yang lebih jauhnya menambah beban otot inspirasi. Sebagai
akibatnya, gerakan respirasi meningkat serta sensasi peningkatan dari usaha otot-
otot pernapasan berkontribusi terhadap sesak napas yang dirasakan(13).
Pada kasus ini pasien juga mengeluhkan adanya batuk yang berdahak.
Batuk pada asma biasanya kering atau produktif minimal, namum bisa juga
berhubungan dengan adanya hipersekresi mukus. Pengukuran sekresi musin pada
sputum telah dilaporkan pada asma, kemungkinan melibatkan hiperplasia sel
goblet pada epitel bronkial dengan produksi sputum yang bervariasi(14).
Berdasarkan literatur, seperti alur diagnosis pada panduan nasional asma
anak seharusnya dilakukan pemeriksaan spirometri untuk mengetahui
reversibilitas pada pasien. Pada kasus ini tidak dilakukan kemungkinan karena
tidak tersedianya alat atau terkait masalah asuransi pasien. Namun pada pasien
diberikan agonis β2 selama 3 – 5 hari dengan respon positif sehingga diagnosis
asma masih bisa tegak sesuai alur diagnosis yang ada.
Tatalaksana pada pasien saat serangan diberikan oksigen 2L/menit serta
nebulisasi salbutamol yang termasuk kepada SABA 3 kali dalam 1 jam, serta
injeksi deksametason 3x5 mg. Hal ini sudah sesuai dengan alur tatalaksana
berdasarkan pedoman nasional asma anak pada serangan derajat ringan – sedang
kecuali untuk pemilihan steroid sistemik. Pada pasien dipilih deksametason,
sedangkan pada alur seharusnya diberikan prednison atau prednisolon. Selain itu,
pasien dengan derajat serangan ringan – sedang jika mengalami perbaikan setelah
pemberian tatalaksana dipulangkan dengan diberikan obat dan edukasi. Pasien
dirawat selama kurang lebih 3 hari.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
11. Guidlines and Protocols Advisory Committee British Columbia Ministry
of Health. Asthma in children – diagnosis and management. Victoria:
British Columbia Ministry of Health; 2015 [diakses 05/01/2018] ; Diakses
dari: https://www2.gov.bc.ca/.../bc-guidelines/asthma-children
12. Sharma A. Respiratory distress. Dalam: Kliegman RM, Lye PS, Bordini
BJ, Toth H, Basel D, penyunting. Nelson pediatric symptom-based
diagnosis. Philadelphia: Saunders; 2018. h.39-45.
13. Manning HL, Schwartzstein M. Pathophysiology of dyspnea. The New
Eng J Med 1995;333:1547-1555.
14. Niimi A. Cough and asthma. Current Resp Med Rev 2011;7:47-52.
34