Vous êtes sur la page 1sur 9

Nama : Kharisya Azzahra Prawinda

Kelas : XII MIA 2


No. Abs : 17

NOVEL 1
Judul : Penyakit Akhir Hidupku
Penulis : Shinta Pratiwi Rejo
Penerbit : Gudang buku
Tebal buku : 225 Halaman
Kota Terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2009
Penyakit Akhir Hidupku

Pagi ini aku berangkat sekolah di antar oleh kakakku karena papa tidak sempat
mengantarku, ada urusan mendadak. Keluargaku sangat mengasihiku kami hidup sangat rukun dan
berkecukupan, rumahku penuh canda dan tawa. Sesampai di sekolah, aku mencium tangan
kakakku dan berkata “doakan belajarku hari ini ya kak”, kakakku membalas dengan senyuman lalu
aku pun berjalan menuju kelasku.

Kegiatan proses belajar-mengajar pun di mulai, hingga hampir jam pulang pun tiba
keadaanku masih baik-baik saja. Dan ketika bell pulang pun berbunyi aku keluar menusuri jalan tapi
kali ini ada rasa aneh di kepalaku, aku merasakan sangat sakit hingga aku tidak tahan lagi dan
duduk mencari tempat yang sepi.

Setelah duduk beberapa saat kepalaku sudah tidak sakit lagi dan aku pun melanjutkan
jalanku ketika itu mungkin haris melihatku dan menghampiriku, lalu berkata “tumben pulangnya lama
cha?, gak di jemput papanya”, “papaku lagi sibuk jadi enggak sempat jemput ntar lagi juga kakakku
mungkin datang” balasku sambil senyum biasa, “ayo aku antar pulang aja, kasian kamu sendiri
disini” kata haris menawarkan. Awalnya aku menolak tapi haris terus memohon sehingga membuat
aku mau.

Sesampainya di depan rumah aku turun lalu berkata “gak mau masuk dulu ris”, “lain kali aja
cha lagian sudah mendung nii” kata haris dengan lembut, “oh ia deh, aku masuk dulu ya” kataku lalu
masuk ke dalam rumah, sesampai di rumah mama melihatku dan berkata “Kak dienya mana cha
bukannya tadi dia yang jemput ya”, “cha di antar teman ma” kataku setelah itu kak die pun muncul
dan melihatku lalu berkata “loo, di antar siapa cha tadi kakak jemput tapi sudah gak ada lagi di
sekolah” saat kak die bicara sakit di kepalaku mulai berasa lagi lalu aku berjalan menuju kamarku
sambil berkata “tadi diantar teman”.

Sampai di kamar aku meletakkan tasku dan mencari obat sakit kepala, setelah minum obat
sakit kepalaku hilang aku tidak ada rasa curiga di saat itu. Mungkin karena aku tadi ujian makanya
kepalaku agak sedikit pusing. Besok paginya saat aku terbangun dari tidurku aku merasakan sakit
kepalaku timbul lagi tapi aku tidak menghiraukan rasa sakit itu, aku bersiap-siap menuju sekolah
dan di antar kakakku lagi. Turun dari motor aku hendak menyalam tangan kakakku tapi sakit itu
muncul lagi hampir membuatku jatuh tapi untung kakakku langsung menangkapku dan berkata
“kamu kenapa cha?, gak lagi sakit kan”, aku menatap kakakku dan berkata “gak pa-pa kok kak
mungkin ini Cuma sakit kepala biasa” lalu aku berjalan menuju kelas.

Saat PBM di mulai aku juga mulai merasakan sakit yang menjadi di kepalaku hingga
membuatku jatuh pingsan. Dan saat aku terbangun aku sudah berada di dalam ruang UKS sekolah
ternyata yang menggendong aku ke ruang UKS ini Haris teman sekelasku. Setelah beberapa menit
kakakku pun datang menjemputku dan membawaku pulang, sampai di rumah aku melihat mama
sangat khawatir dan langsung memelukku sambil berkata “kenapa Cha?, sakit kok gak bilang
mama” aku melihat raut wajah mama yang sangat khawatir akan keadaanku lalu aku berkata “Cha
gak pa-pa kok ma mungkin Cuma kecapean aja dan butuh istirahat” aku pun di antar mama
kekamarku lalu aku tidur.

Paginya aku sudah merasakan agak baikan dan mama datang ke kamarku lalu berkata
dengan raut wajah khawatir “kalo belum sanggup sekolah gak usah di paksakan ya cha” lalu aku
tersenyum dan berkata kepada mama “sudah agak mendingan kok ma, lagian hari ini cha ada
ujian”. Mendengar itu mama keluar dari kamar dan aku pun bergegas untuk pergi sekolah. Kakakku
mengantarku ke sekolah dan hari ini aku benar-benar merasakan lebih baik.

Hari ini kami ada ujian dan saat PBM berlangsung pun aku sudah tidak merasakan sakit
apa-apa lagi. Dan sepulang sekolah terlihat kak die sudah menungguku lalu kami pun pulang ke
rumah, sepulang sekolah aku membantu mama masak semur kesukaanku untuk makan malam dan
setelah makan malam selesai aku beranjak ke kamarku dan belajar dan aku tertidur.

Pagi ini aku merasa sakit kepalaku kambuh lagi dan saat itu keluar darah dari hidungku dan
aku sangat takut saat itu tapi setelah beberapa menit darahnya pun berhenti lalu aku bergegas
mandi saat sarapan aku tidak cerita apa-apa sama mama dan kak die karena aku gak mau buat
mereka khawatir dan setelah sarapan aku berangkat sekolah dan di sekolah sampai istirahat
pertama keadaanku baik-baik aja tapi setelah istirahat kedua darah itu mulai keluar dan teman
sebangkuku melihat itu lalu berkata “kamu kenapa cha?, kok keluar darah dari hidungmu” aku
mencoba menutupi hidungku dengan tissue dan berkata kepada elsa “aku gak apa-apa kok sa, ini
Cuma mimisan biasa kok” lalu aku pergi ke kamar mandi dan elsa mulai curiga dan khwatir
denganku.

Beberapa lama di kamar mandi aku mulai merasa pusing, darah itu tak kunjung berhenti dan
ketika aku hampir pingsan elsa datang bersama haris dan saat itu juga haris menahanku agar tidak
jatuh ke lantai dan mereka membawaku pulang ke rumah. Saat aku sadarkan diri aku melihat begitu
banyak orang di sekelilingku yaitu mama, papa, kak die, haris dan elsa, lalu aku berkata dengan
suara lemah “kapan papa pulang dari Australia?, kok gak kabarin cha, papa bawa apa untuk cha”
ketika itu papa langsung memelukku dan berkata “adek cha sakit apa? kok bisa sampe pingsan,
papa langsung pulang sesudah mamamu telpon papa dan bilang kamu sakit” aku sedikit
mengeluarkan senyuman kepada papa agar dia tidak begitu khawatir dan berkata “cha gak pa-pa
kok pa, cha cuma mimisan karena mungkin cha kecapean belajar” .

Setelah itu haris dan elsa pun pamit pulang, “om, tan, kak kami permisi pulang dulu ya kak”
kata haris lalu setelah itu elsa pun berbisik ke telingaku “cepat sembuh ya cha” lalu memberikan
senyuman kepadaku. Kak die pun mengantar haris dan elsa ke depan rumah, mama dan papa terus
menjagaiku saat itu lalu aku pun berkata “Cha cuma butuh istirahat kok ma, pa”. Mama dan papa
pun meninggalkanku tertidur lelap di kamar tapi sebenarnya aku tidak tidur melainkan hanya ingin
membuat mama dan papa tidak perlu begitu menjagaiku. Di luar kamarku aku mendengar
percakapan antara mama dan papa.
“Pa, Anak kita gak kenapa-napa kan pa?” kata mama dengan suara sedih
“mungkin yang dikatakan Cha benar ma, dia Cuma butuh istirahat sebentar” kata papa berusaha
menenangkan mama.

Saat itu aku hanya mampu menangis, aku juga takut akan terjadi sesuatu padaku karena
selama ini aku gak pernah sakit seperti ini apalagi sampai mimisan. Aku cuma bisa berharap ini
bukan sakit parah, aku berusaha menenangkan pikiran dan perasaanku dan akhirnya aku tertidur.
beberapa jam kemudian aku tiba-tiba terbangun dari tidurku karena ada yang masuk kamarku dan
ternyata itu mama, dia membawakan makan malam untukku dan menyuapiku. Rasanya cuma waktu
kecil aku disuapin mama tapi kali ini dia menyuapiku lagi di tambah aku melihat begitu besar rasa ke
khawatiran di matanya dan setelah selesai makan malam mama keluar dan menutup kamarku aku
pun tidur kembali.

Malam ini aku bermimpi bertemu nenek di sebuah tempat yang sangat indah, aku sangat
suka tempat itu, tempat itu sangat indah, banyak bunga disana, udaranya juga sangat segar. Nenek
terus mengajakku bercerita dan nenek juga mengajak aku untuk tinggal bersamanya di tempat itu
tapi aku menolak, aku bilang “Cha masih ingin lama-lama sama mama, papa dan kak die nek” lalu
nenek terdiam dan seketika itu aku terbangun karena mama datang membangunkanku. Aku merasa
sangat aneh dengan mimpi itu karena sebelumnya aku gak pernah mimpi seperti itu apalagi
bertemu nenek tapi aku tidak menceritakan itu pada mama karena tidak ingin membuatnya semakin
khawatir.

Aku pun berusaha kuat dan tegar di depan mama dan beranjak ke kamar mandi tapi saat
aku keramas aku melihat begitu banyak rambutku yang rontok dan aku semakin takut. Aku takut aku
bakal benar-benar meninggalkan mama, papa dan kak die. Aku pun berusaha bersikap seperti biasa
di depan mereka saat kami sarapan, aku gak akan menceritakan apapun pada mereka. Dan hari ini
aku berangkat sekolah di antar papa lagi, di kelas semua teman-teman menanyakan kabarku tapi
tidak dengan haris, dia hanya melihatku saja dan terlihat wajahnya sangat cemas.

Haris entah mengapa dia hadir di saat aku sakit seperti ini dan entah mengapa dia yang
selalu menolongku. Hari itu di jam terakhir guru kami tidak masuk dan seperti biasa aku membawa
buku dan belajar di bawah pohon di sekolahku, saat sedang asik tiba-tiba Haris muncul ke
hadapanku dan menawarkan sebuah senyuman kepadaku saat itu lalu duduk di sampingku.
Beberapa saat kami hanya diam-diam saja tapi saat aku hendak bicara dia juga bicara sehingga
terjadilah percakapan di antara kami berdua:

Haris: Ehh, Cha aja yang ngomong duluan.


Aku: Gak usah, haris aja dulu.
Haris: Enggak Cha aja dulu soalnya kayaknya penting.
Aku: Emm, ya sudah deh, Cha Cuma mau ngucapin makasih sama haris karena sudah selalu
bantuin Cha selama Cha sakit, tapi gimana ceritanya sih kok kemaren waktu aku mau pingsan di
Kamar mandi, haris dan elsa bisa datang bersamaan?
Haris: Elsa yang mengajakku ke kamar mandi karena dia khawatir kamu kenapa-napa soalnya elsa
kamu udah pergi begitu lama ke kamar mandi jadi dia curiga.
Aku: Oohh, aku kirain kalian gak janjian.
Haris: Oh ya Cha ada yang mau aku Tanya sama kamu, sebenarnya kamu sakit apa sih?
Aku: Aku gak kenapa-napa kok ris mungkin kemaren itu kecapean aja buktinya sekarang aku udah
baik-baik aja kok.
Haris: Cha ada yang mau aku bilang sama kamu.
Aku: Apa ris? kok kayaknya penting banget, hehehe
Haris: Aku tu suka sama kamu, kamu mau gak jadi pacarku?
Aku: Maaf ya ris, aku belum bisa jawab sekarang.

Ketika itu aku langsung pergi meninggalkan haris dan bell pun berbunyi. Aku mengambil tas
ke kelas dan pulang, beberapa menit kemudian papaku datang menjemputku. Di dalam mobil aku
merasa penyakit itu datang lagi dan sampai di depan pintu hendak membuka pintu tanpa sadar aku
jatuh pingsan. Terbangun dari pingsan ternyata aku sudah berada di rumah sakit. Mama memelukku
dan berkata sambil menangis pilu “kok adek sakit gak bilang mama sih cha?, udah gak sayang lagi
ya sama mama”, “enggak kok ma, adek cuman gak mau buat mama repot” kataku sambil
tersenyum. Lalu dokter masuk ke ruangku dan berbisik kepada papa hingga mereka pun keluar.
Saat papa masuk, mama langsung mendekati papa dan papa mengajak mama keluar lagi, aku pun
semakin bingung, apa yang terjadi padaku, apakah penyakitku ini parah.

Ketika mama masuk dan mendekati tempat tidurku, aku langsung bertanya “Cha sakit apa
sih ma? Kok Cha ngerasain sakit banget”, mama menangis dan memelukku lagi dan berkata
dengan suara pelan “sebenarnya adek kena penyakit kanker otak stadium 5”.

Seketika itu aku merasakan bahwa aku gak akan hidup lama lagi, aku benar-benar akan
meninggalkan mama, papa dan kak die. Tuhan inikah akhir dari hidupku (kataku dalam hati). Tapi
aku berusaha tegar saat mendengar itu, aku masih mampu tersenyum kepada mereka. Ruang itu
menjadi sangat sunyi senyap, hanya ada tangis dan air mata tapi aku berkata “look ok pada nangis
sih, adek gak pa-pa kok ma, pa, kak die ntar juga bakal sembuh, hapus dong air matanya” mereka
memelukku dengan sangat erat. Aku tau betapa sedihnya mereka tapi aku lebih sedih, aku yang
merasakan sakit ini.

Karena keadaanku yang semakin menurun dan parah maka aku tidak mungkin lagi
bersekolah, aku harus rawat inap di rumah sakit, setelah 2 hari di rawat haris, elsa, dan kawan-
kawan kelasku pun datang menjengukku. Mereka semua menangis dan memelukku satu per satu
setelah mengetahui penyakitku, apalagi haris sampai-sampai dia tidak sanggup berkata-kata lagi.
Hari ketiga di rumah sakit aku merasakan keadaanku semakin menurun, aku hanya dapat berdoa
kepada Tuhan agar penyakit ini diangkatkan. Makin hari kepalaku semakin sakit dan rambutku pun
semakin rontok dan sekarang aku sudah botak. Tuhan mengapa ini terjadi padaku, apa salahku
Tuhan, aku gak sanggup melihat mereka menangis lagi.
Akhirnya rumah sakit mengusulkan untuk mengobatiku di Penang, Malaysia tapi ternyata disana pun
hanya sedikit harapan aku dapat sembuh, mereka tidak mampu mengobatiku hanya mampu
mengurangi rasa sakit penyakitku. Mama dan papa sangat berusaha untuk mengobatiku, mereka
mencari rumah sakit mana yang mampu mengobatiku tapi ketika mereka menemukan rumah sakit
itu dan hendak mengajakku, aku menolak untuk di bawa kesana. Aku cuma minta di bawa pulang ke
Indonesia dan berada di rumah saja karena aku merasakan waktuku gak lama lagi.

Dengan terpaksa mereka menuruti keinginanku dan kami kembali ke Indonesia, di rumah
ada seorang suster dari rumah sakit yang merawatku. Berada di rumah bersama mama, papa, dan
kak die sudah sangat mengurangi sakitku walaupun aku sering mendengar tangis mereka di
belakangku.
Mengetahui aku sudah berada di rumah, haris sangat sering mengunjungiku dan menyemangatiku.

Dia sangat perhatian padaku tapi sayang kami tak mungkin bersama. Hampir satu bulan
keadaanku semakin memburuk dan sekarang untuk berjalan pun aku sudah tidak mampu lagi,
apalagi untuk berbicara. Mama selalu mendoakanku tapi mungkin Tuhan berkehendak lain. Malam
itu aku sedang menulis 2 surat, 1 untuk keluargaku dan 1 lagi untuk Haris.

Isi suratku untuk keluargaku “Hei, mama, papa dan kak die aku udah senang lo disini,
mungkin saat membaca surat ini Cha udah gak bisa lagi bicara, meluk dan melihat kalian tapi
percayalah Cha udah bahagia disini, oia Cha disini bareng nenekku lo ma, pa, kak die. Dulu juga
sebelum Cha sakit, Cha mimpi bertemu nenek dan nenek mengajak Cha tinggal bersamanya. Tapi
Cha kemaren gak mau cerita soalnya Cha gak mau buat kalian khawatir. Kalian jangan sedih ya,
Cha udah senang kok disini. Selamat tinggal ya. Salam Ananda: Richa.”

Dan isi suratku untuk Haris “Hai haris, sebelumnya Cha ucapin makasih ya, Haris selalu ada
saat Cha sakit. Sebenarnya Cha juga sayang sama Haris tapi saat Haris nyatain perasaan Haris
sama Cha. Cha udah ngerasa Cha itu udah sakit makanya Cha gak bisa jawab waktu itu. Haris itu
pria yang baik, pasti ada banyak cewek yang lebih baik dari Cha mau sama Haris. Haris baik-baik
ya. Mungkin kita gak akan bertemu. Cha bahagia disini. Salam: Richa.

Mungkin saat aku pergi dan setelah aku pergi surat itu sudah sampai di tangan mereka.
Mudah-mudahan mereka dapat menerima kepergianku. Cha sayang mereka semua.
NOVEL 2
Judul : Sayap Pelindung
Penulis : Eka Nurmala
Penerbit : Gudang buku
Tebal buku : 125 Halaman
Kota Terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2013

Sayap Pelindung

Udara dingin berhembus sepoi-sepoi memberikan kedinginan yang menusuk jantungku.


Kabut tebal masih setia menyelimuti bumi. Aku bangkit dari dunia mimpi. Ku tatap lekat-lekat jam
dinding yang masih setia selama tiga tahun di Pesantren Al Ikhlas. Ku kucek-kucek kedua mataku
yang masih buram. Jarum menunjuk angka tiga dan dua belas. Ku paksakan tubuh yang masih
lemas untuk berjalan mengambil air suci. Segar dan dingin bercampur menjadi satu di kala air suci
itu menyentuh permukaan kulit ini. Ku langkahkan kaki untuk mengambil mukena yang tertata rapi di
almari. Aku berjalan menuju musala yang berada di lantai atas. Ada semilir angin yang memasuki
relung hatiku ketika ku langkahkan kaki ini ke dalam musala. Ku menangis dalam sujud panjangku
dan aku terbuai dalam kehangatan cinta-Mu.

“Ya Allah.. Kenapa kau memberikanku cobaan berat seperti ini. Aku lelah Tuhan.”
“Assalamualaikum Li,” Ku hapus air mataku dan ku cari asal suara itu. Ku temukan sosokmu,
sahabatku Rahma.
“Waalaikumsalam.”

Aku yang tengah berada dalam kegelapan dan kegundahan hati. Rahma mendekatiku dan
mencoba untuk menenangkanku. “Sabarlah, dunia ini memang penuh dengan cobaan. Tak
seharusnya kau lari dari cobaan tersebut. Tapi kau harus menghadapinya dengan berani. Memang
hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Hasrat dan keinginan itu buta jika tidak
disertai pengetahuan. Dan pengetahuan itu tidak mudah diraih. Banyak cobaan dan pengorbanan.
Dan inilah pengorbanan kita, percayalah! Semua akan indah pada waktunya, jangan menyerah.”
ucapnya padaku.

Sejak dokter mendiagnosa aku terkena leukimia dan penyakit ini menyebabkan kematian,
hidupku tidak bersemangat lagi. Pikiran pikiran buruk itu terus saja menghantuiku, keputusasaan
kerap sekali menyapaku. Aku tak menyangka akan mendapat ujian hidup yang sangat berat.
Kehidupan yang semula begitu menyenangkan, tiba-tiba menjadi suram, direnggut oleh penyakit,
aku sangat terpukul mendengarnya. Apalagi saat secara bertahap fungsi-fungsi organ vitalnya mulai
terganggu.

“Tuhan, tolong ambil nyawaku. Aku tak tahan lagi.. Kenapa Engkau berikan ujian seberat ini
padaku?” ucapku marah kepada Tuhan. “Tuhan kenapa memilihku untuk mengalami cobaan seperti
ini? Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain yang selama ini sudah cukup kenyang mendapat
keberuntungan dalam hidupnya? Aku merasa Tuhan tidak adil padaku.” aku menangis terisak isak
dengan keadaanku yang seperti ini.

“Li, nggak terasa ya tiga tahun sudah kita di sini. Rasanya baru kemarin deh aku ngisi formulir
pendaftaran dan nangis karena kangen rumah. Sekarang kita udah punya adik kelas.” tuturnya.
“Iya,” jawabku singkat. Aku berusaha menyeka air mataku. Entah dari mana dia datang, seolah
membuntutiku saja. “Kamu kenapa Lili?” ucapnya sambil memandang wajahku yang basah terkena
tetesan air mata.
“Bosan hidup,” jawabku cuek.
“Jangan begitu, khusnudzon aja Li.. Sakit itu tanda kasih sayang dari Allah.” ucap Rahma dengan
lembut.
“Kasih sayang apa hah? Dengan kasih penyakit menurutmu? Kamu salah! Allah gak sayang sama
aku!” emosiku kian memuncak. “Bu..bukan begitu.. Allah ngasih kamu sakit karena Allah rindu
padamu Dia ingin kau selalu menyebut-nyebutnya. Ketahuilah Allah akan menghapus dosa-dosamu
dengan caraNya.”

Aku diam mencermati kata yang terucap yang mengalir indah dari bibir mungilnya itu.
Rahma tersenyum kemudian melanjutkan ucapannya lagi. “Nabi Ayyub aja dia tetap sabar dikasih
cobaan yang beratnya masya Allah gitu. Kamu harus begitu dong..”cetolehnya memberikan nasihat
untukku.
“Tapi kan dia nabi jelas aja dia sabar, bedalah sama aku!” jawabku ketus.
“Apa salahnya jika kita meniru nabi? Lagian juga Allah akan mengangkat derajat orang yang sabar
jika di kasih penyakit.. Bukan begitu?” sambil menatapku kemudian melanjutkan ucapannya lagi.

“Sakit itu jembatan untuk menuju kemuliaan asal orang yang sakit itu ikhlas. Bagaimana orang itu
bisa ikhlas? Yang terutama, orang harus berprasangka baik kepada Allah, bersyukur, introspeksi diri
dan pasrah. Udah ah jangan putus asa gitu.. Allah gak suka loh. Mulai sekarang kamu harus
semangat oke?” Rahma tersenyum kepadaku sambil mengacungkan jari kelingkingnya sebagai
bukti perjanjian kita. “Hmm.. Janji..” aku tersenyum kemudian menempelkan jari kelingkingku untuk
membalasnya.
“Kamu juga janji ya untuk jadi sahabatku selamanya Rahma,”
“Oke baiklah.”

“Rahma..” aku berteriak memanggilnya yang sedang melamun di aula. Dia menoleh kemudian
berlari meninggalkanku. Larinya sangat cepat hingga aku kesusahan untuk mengejarnya dan
berhasil, tangannya berhasil aku raihnya.
“Rahma.. Tunggu!” aku berhentikan langkahku sambil mengatur napasku yang tidak teratur, ngos-
ngosan setelah berlari. “Lepaskan! Jangan sentuh aku!” Rahma terkejut mendapati tangannya
dipegang olehku kemudian dia berlari sambil menangis. Entah kenapa Rahma berubah menjauh
dariku semenjak kepulangannya dari rumah seolah dia ingin menjauhiku. Semua terasa semu aku
seperti berdiri di atas tumpukkan duri beracun. Tak mampu berlari ke tempat yang lantang. Hanya
mampu menanti suatu keajaiban tentang apa yang tengah terjadi, ya apa terjadi pada sahabatku ini.
“Li.. Lili pernah denger cerita tentang sayap pelindung gak?” ucap Rahma padaku.
“Enggak.” jawabku singkat.
“Sayap pelindung itu adalah orang yang selalu ada untuk kita, orang yang selalu berusaha
melindungi kita, pokoknya orang yang sayang banget sama kita, kayak orangtua, sahabat, gitu Li.”
“Ohh…”
“Nah kamu punya gak sayap pelindung? Selain orangtua ya.”
“Gak ada.”

“Kalau gitu, aku akan jadi sayap pelindung untukmu gimana?”


“Lili… Hei,” aku kaget Naya membuyarkan lamunanku.
“Sedang apa dari tadi? Kok gak dengar dipanggil-panggil?” tanya suara itu.
Aku hanya tersenyum lalu membalas pertanyaannya.
“Aku ingin sendiri, tenggelam dalam lamunanku.”
“Oke baiklah aku tak akan mengganggumu.” ucapnya sambil pergi meninggalkanku.

“Mana janjimu Rahma ..yang akan menjadi sayap pelindung untukku, mengajarkanku arti semangat
hidup. Tapi apa? Kau justru malah mengkhianatiku seperti ini?” tangisku mulai menjadi-jadi. Santri
al-ikhlas hanya memandangku lalu mengacuhkannya. Tak ada yang peduli denganku! Kenapa kau
meninggalkanku sendiri? Kau bukan lagi sahabatku! Arrrgghh.. Tiba-tiba saja kepalaku mulai
pusing, cairan darah segar menetes empuk mengenai bibirku dan gelap.

Aku bangun pukul setengah tiga entah kenapa aku sekarang ada di kamar, aku sama sekali
lupa untuk mengingatnya. Aku turun ke bawah dan mandi. Dingin pagi itu ku rasa berbeda. Ada
keseraman tersendiri malam itu. Tiba-tiba perasaan gelisah menyelinap masuk ke dalam hatiku. Aku
pun teringat mimpiku. Aku melihat dalam mimpiku, Rahma berjalan mendekatiku dan memelukku.
Rahma menangis dalam dekapanku. Saat Rahma telah tenang dan bisa tersenyum padaku, aku
pun berusaha menanyainya. Tapi sebelum aku mengeluarkan satu kata pun, dia telah lenyap bagai
debu yang terbang mengikuti arah angin. Perasaan khawatir tentangnya muncul dalam benakku. Ku
percepat mandiku dan ku berlari menuju kamar Rahma yang terletak di depan kamar mandi.
Bagaimanapun juga aku masih menyayanginya! Dugaanku semakin terlihat nyata, ketika aku tahu di
kamarnya banyak teman-teman berkumpul. Aku terjang keberadaan mereka. Hari itu juga adalah di
mana Al-Ikhlas banjir air mata.

“Rahmaaaa….” Aku tak bisa melihat orang yang aku sayangi menderita. Wajahnya membiru.
Rahma segera dilarikan ke rumah sakit oleh Ustadz Huda dan Seksi Kesehatan. Aku menunggu di
sini penuh harap semoga tak terjadi apa-apa pada dirimu. Aku menunggu dan terus menunggu
hingga waktu itu datang. Seksi Kesehatan menelepon ke Al-Ikhlas dan mengabarkan bahwa Rahma
telah tiada. Aku menangis meraung raung saat itu aku sungguh tak percaya. Kau telah pergi dari Al-
Ikhlas. Semua santri Al-Ikhlas tidak masuk sekolah. Kami semua pergi menuju mesjid pesantren
dalam keadaan yang berlinang air mata. Semua mata sembab. Tangisan membahana mengiringi
doa yang dibaca oleh Ustadz Huda. Sejenak aku bagai raga tanpa nyawa. Setelah itu juga kami
pergi ke rumah Rahma. Ibu Rahma yang melihat jenazah anak semata wayangnya itu tak kuasa
untuk meluapkan tangisnya.
“Ya Allah.. Anakku.. hiks.. hiks..”
“ibu, katakan apa yang terjadi pada Rahma Bu..” aku terus saja menangis penasaran apa yang
sebenarnya terjadi.
“Rahma.. Terkena hepatitis B Nak,”
“Apa.. Kenapa bisa seperti itu Bu? hiks..”

“Sebenarnya dia izin pulang pondok untuk memeriksakan kesehatannya, dokter memvonis terkena
hepatitis B. penyakit menular berbahaya Nak. Siapa saja bisa terlular lewat keringat, udara, air
liurnya. Karenanya dia mulai menjauh dari orang-orang yang disayangnya, dia tak mau orang yang
disayang merasakan sakit yang sama dengannya.” ibu Ani menyeka air matanya. Ku tak tahan
mendengar deraian tangis dari keluarganya.
“Maafkan aku Rahma.. Aku justru yang mengkhianatimu.. Maafkan aku.. Aku selama ini telah
berburuk sangka padamu.”

Kami juga pergi mengiringimu ke tempat peristirahatan terakhirmu. Tak semenit pun
namamu akan lepas dari ingatan kepalaku. Namamu akan terus terukir dalam sejarah hidupku.
Kaulah gadis pertama yang ku kenal di Al-Ikhlas. Walaupun sekarang kau telah pergi tapi kau dan
aku tetaplah sahabat. Aku bersandar pada nisan di mana namamu terukir jelas. Sekarang aku harus
menjalani hari-hariku di Al-Ikhlas tanpa ada dirimu lagi. Aku akan semangat untuk menjalani sisa
hidupku. Aku harus semangat, seperti yang kau ajarkan padaku bukan?

Mungkin ini sudah menjadi suratan takdir. Aku tak akan pernah lagi melihatmu karena kau
telah pergi. Kau tak akan pernah kembali dalam hidupku. Tapi kau tetaplah sahabatku, sahabat
yang telah menjadi bagian hidupku. Aku akan berjuang demi bagianmu juga. Selamat tinggal
sahabat. Selamat jalan sahabat, kenanganmu akan selalu terukir dalam hatiku yang paling dalam.
Di hati kami semua, santri Al-Ikhlas. Tak akan pernah kami lupakan semua kebaikan yang telah kau
berikan. Kami pun akan berusaha mangikhlaskan kepergianmu. Selamat tinggal sahabat, semoga
kau bahagia di sisi-Nya untuk selamanya.

Vous aimerez peut-être aussi