Vous êtes sur la page 1sur 15

REFLEKSI KASUS NOVEMBER 2017

“ANGIOEDEMA”

Nama : Aprilia Aries Jamadi

No. Stambuk : N 111 17 053

Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya


permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa.
Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya seperti giant urticari,
Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan sejak dulu untuk
menggambarkan kondisi seperti ini [1,6]

Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak 50%


pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus,angioedema
sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi penatalaksanaannya.
Angioedema dan urtikaria adalah manifestasi klinis dari imunologi atau idiopatik.[1]

Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan
menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang dilepaskan
akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebab kantimbulnya red flare (kemerahan)
dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga dalam beberapa menit
kemudian akan terjadi pembengkakan setempat yang berbatas jelas [7]

Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu


melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau subkutaneus,
sementara urtikaria melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial. Selain dari kulit
dan membran mukosa yang terkena, system pernapasan dan gastrointestinal dapat juga
terkena [1]

2
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Identitas penderita
Nama penderita : An. C
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/Umur : 18 Juni 2002, 15 tahun 5 bulan
Tanggal/jam masuk : 24 Oktober 2017 / 12.00 WITA

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Sesak napas

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien anak perempuan umur 15 tahun 5 bulan masuk dengan keluhan sesak
napas sejak tadi siang. Pasien juga mengeluhkan gatal dan bengkak di seluruh tubuh.
Sesak napas, bengkak dan gatal-gatal timbul secara bersamaan. Setelah makan mie
beberapa jam kemudian pasien mengeluhkan sesak, bengkak dan gatal di seluruh tubuh
dan langsung di bawa ke RS Bhayangkara. Demam (-) kejang (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-). Batuk (-),BAB lancar dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mempunyai riwayat alergi makanan

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat penyakit yang sama dengan pasien tidak ada, Hipertensi (-), asma (-),
Diabetes Mellitus (-), Riwayat alergi (-).

3
Riwayat Sosial-ekonomi
Social ekonomi menengah

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan


Keseharian pasien aktif, suka bermain, suka jajan.

Kemampuan dan Kepandaian Anak:


Pasien mulai membalikkan badannya sejakumur 6 bulan, duduk saat berusia 7
bulan, merangkak saat berusia 8 bulan, berdiri saat berusia 10 bulan, berjalan saat
berusia 11 bulan, dan mulai mengucapkan kata dengan jelas saat berusia 12 bulan. Anak
tidak mengalami keterlambatan perkembangan saat ini.

Anamnesis Makanan:
ASI eksklusif diberikan sampai usia 1 tahun, bubur saring diberikan saat usia
6 bulan sampai 11 bulan, diberikan makanan keluarga saat berusia 1 tahun.

Riwayat persalinan :
Melahirkan secara normal di rumah di bantu bidan, bayi cukup bulan, BBL :
2700 gr, dan langsung menangis

Riwayat Imunisasi :
Imunisasi lengkap

Riwayat Makanan :
 Susu formula : 0-6 tahun
 Bubur : ± 6 bulan
 Nasi : 1 tahun

4
Riwayat Alergi :
Ada riwayat alergi (+)

PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
2. Pengukuran
Tanda vital : Nadi : 98 kali/menit, reguler, kuat angkat
Suhu : 36,5° C
Respirasi : 26 kali/menit
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm
CDC : CDC 107 %
Status gizi : Gizi baik
3. Kulit : Warna : Sawo matang
Pigmentasi : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Turgor : cepat kembali
Kelembaban : cukup
Lapisan lemak : Cukup
Kepala: Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, tebal,
alopesia (-)
Mata : Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Reflek cahaya : (+/+)
Refleks kornea : (+/+)

5
Pupil : Bulat, isokor
Exophthalmus : (-/-)
Cekung : (-/-)
Telinga : Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut : Bibir : mukosa bibir basah, tidak hiperemis
Gigi : Tidak ada karies
Gusi : tidak hiperemis
Lidah : Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
Faring : hiperemis
Tonsil : T1-T1 hiperemis (-)
4. Leher :
 Pembesaran kelenjar leher : -/-
 Trakea : Di tengah
5. Toraks :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Dispnea : tidak ada
Retraksi : Tidak ada
Palpasi : vokal fremitus : kanan=kiri, kesan normal
Perkusi : Sonorseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Bronchovesikuler +/+
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

6
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Suara dasar : BJ 1 dan BJ 2 murni, regular
Bising : tidak ada
6. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : bising usus (+) kesan meningkat
Perkusi : Bunyi : timpani seluruh quadran
Asites : (-)
Palpasi : Nyeri tekan : (-)
Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
7. Ekstremitas : akral hangat, edem (-)
8. Rumple leed : (-)
9. Genitalia : Tidak ada kelainan

RESUME

Pasien anak perempuan umur 15 tahun 5 bulan masuk dengan keluhan sesak
napas sejak tadi siang. Pasien juga mengeluhkan gatal dan bengkak di seluruh tubuh.
Sesak napas, bengkak dan gatal-gatal timbul secara bersamaan. Setelah makan mie
beberapa jam kemudian pasien mengeluhkan sesak, bengkak dan gatal di seluruh tubuh
dan langsung di bawa ke RS Bhayangkara. Demam (-) kejang (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-). Batuk (-),BAB lancar dan BAK lancar.

7
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, tampak
sakit sedang, status gizi menggunakan CDC didapatkan CDC 107% gizi baik.
Pemeriksaan tanda vital didapatkan Nadi 98x/menit, reguler, kuat angkat, respirasi
26x/menit, suhu 36,5 oC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bintik-bintik merah di kulit

DIAGNOSA
Angioedema

TERAPI
- IVFD RL 28 TPM
- Loratadin 1x1
- Inj.dexametason 1 amp/12 jam

FOLLOW UP
Tanggal 25/10/2017
S : Sesak (-), Panas (-), batuk (-), beringus (-),muntah (-), mual(-), sakit menelan (+)
O: Tanda vital : Nadi : 98 kali/menit, reguler, kuat angkat
Suhu : 36,6° C
Respirasi : 20 kali/menit

Kepala : Tidak ada kelainan


Leher : Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Dalam batas normal
Genitalia : Tidak ada kelainan
Punggung, otot, reflex : Tidak ada kelainan
A: Angioedema

8
P: IVFD Ringer Laktat 28 TPM
Loratadin 1x1
Inj.dexametason 1 amp/12 jam

9
BAB III

DISKUSI

Angioedema merupakan reaksi yang dikarakteristikan dengan edema pada


jaringana subkutan yang terjadi di kulit dan mukosa termasuk di saluran pernapasan dan
saluran cerna. Angioedema dikenal juga dengan sebutan giant urticaria,Quincke edema,
dan angioneurotic edem.

Edema yang terjadi adalah hasil dari peningkatan permeabilitas vascular di


jaringan submukosa dan subkutan. Immunoglobulin E (IgE) memediasi aktivasi sel
mast dan terjadilah degranulasi, kunci terjadinya suatu reaksi alergi. Pembengkakan
yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas vaskuler
lokal pada jaringan submukosa dan subkutaneus. [1]

Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema, pseudoallergic


angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema.

Allergic angioedema, Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling


sering disebabkanoleh alergi. Allergic angioedema sering kali dihubungkan dengan
urtikaria. Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam
setelah terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex). Mast cell
merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan angioedema, meskipun sel-sel
lainnya juga tidak diragukan kontribusinya. [2]

Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-linking IgE


yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat keadaan tersebut, terjadi
pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien,dan prostaglandin, yang selanjutnya
akan mengakibatkan gejala klinis. Pelepasan mediator oleh mast cell, terutama
histamin, mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. [9]

10
Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas IgE. Akan
tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergicangioedema. Contohnya
angioedema yang diinduksi oleh penggunaan NSAIDs seperti aspirin. Obat-obatan yang
bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen(57%), aspirin (19%),
diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen(4.8%) dan meloxicam (4.8%).
Angioedema terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin oleh penggunaan
obat-obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi akumulasi leukotrien
vasoaktif [10].

Non-allergic angioedema Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang


tidak melibatkan IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya
urtikaria, termasuk diantaranya: Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE)

Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu: Angioedema herediter tipe 1
(85%) adalah kelainan yang diturunkan secara autosomal dominan akibat mutasi pada
gen sehingga terjadi supresi C1-inhibitor sebagai akibat sekresi abnormal ataupun
degradasi intraseluler. [2]

Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga diturunkan yang
ditandai dengan mutasi yang menyebabkan pembentukan protein yang abnormal. Kadar
protein C1-inhibitor bisa normal atau meningkat. Kurangnya C1-inhibitor merangsang
aktivasi jalur pembentukan kinin. Kinin merupakan peptida dengan berat molekul yang
rendah, berpartisipasi dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotel.
Akibatnya terjadi vasodilatasi, peningkatan permeabilitasvaskular, dan mobilisasi asam
arakhidonat. Reaksi radang seperti kemerahan, rasa panas, edema, dan nyeri merupakan
hasil dari pembentukan kinin [2]

Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I berkaitan
dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang berhubungan dengan
penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2 merupakan kelainan autoimun, yaitu
adanya produksi autoantibody IgG terhadap C1-inhibitor [2]

11
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced angioedema (AIIA)
Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-inhibitor sekitar 0.1%
sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala dan leher, termasuk mulut, lidah,
faring, dan laring. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) merupakan enzim utama
yang bertanggung jawab pada degradasi bradikinin. Pemberian ACE-inhibitor
dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat angioedema idiopatik, HAE,
dan defisiensi C1-inhibitor yang didapat [1]

Idiopathic angioedema, Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi
tanpa diketahui penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa
kasusmungkin saja dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi pemicu paling
sering adalah panas, dingin, stress emosional, dan latihan. Aktivasidan degranulasi mast
cell dianggap menjadi penyebabnya. Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan
apabila terdapatangioedema, tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada penyebab
eksogen yang ditemukan. [1,2]

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria dan
angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukanuntuk
membuktikan penyebabnya, misalnya: Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin
untuk menilai adatidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan adanya infeksi fokal. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam menentukan
diagnosis. Uji gores (scratch test ) dan uji tusuk (prick test),serta tes intradermal dapat
dipergunakan untuk mencari allergen inhalan,makanan dermatofit dan kandida. Tes
eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu. [3]

Penatalaksanaan angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa dan non-


medikamentosa.

12
- Non-medikamentosa :
Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor pencetus,
pengobatan dan prognosis penyakit. Pengobatan yang paling ideal menghindari
penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin, paling tidak mencoba mengurangi
penyebab tersebut, minimal tidak menggunakan atau tidak melakukan kontak
dengan penyebabnya. Pasien juga diminta untuk menghindari penggunaan obat-
obatanseperti aspirin, NSAIDs, kodein dan morfin. Selain itu, mengindari faktor
pencetus seperti stress, konsumsi alkohol, dan pajanan terhadap panas secara
berlebihan juga penting untuk dilakukan. Eliminasi diet dicobakan pada pasien
yang sensitif terhadap makanan [11]
- Medikamentosa :
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat.Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambathistamin pada
reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yangdihambat, antihistamin dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaituantagonis reseptor H1(antihistamin 1, AH1)
dan reseptor H2 (AH2) [3]
Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi
otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan
penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan
dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor
alfa-adrenergik [3]
Antihistamin H1 klasik, contohnya hydroxyzine, diphenhydramine ,dan
Cyproheptadine. Chlorpheniramine atau diphenhydramine seringkali diberikan
pada wanita hamil karena lebih aman, tetapi pemberian cetirizine loratadine ,dan
Mizolastine sebaiknya dihindari. Loratadine hanya dimetabolisme di hati dalam
jumlah sedikit, dan lebih banyak diekskresikan dalam bentuk urin [6,12]
Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria berat
dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0mg/kgBB/hari. Untuk
kasus darurat pada angioedema non-herediter yang menyebabkan angioedema

13
orofaring-laring, diberikan epinefrin. Epinefrin bekerja secara cepat dengan
menstimulasi β-adrenoreceptor sehingga terjadi vasokonstriksi dan stabilisasi mast
cell. Angioedema pada orofaring sangat membahayakan dan harus ditangani
secepatnyadengan memberikan epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg
secaraintramuskular. Untuk tindakan profilaksis, bisa diberikan Androgen (Danzol
200-600mg/hari) [5]
Normalnya, urtikaria tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal
yang ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan
depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring merupakan komplikasi
paling serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema pada trakeobronkial
bisamenyebabkan asma [4,6]

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, Feb 4].


Availablefrom:http://www.medscape.com/article/135208 .
2. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA,Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick'sDermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-HillMedical; 2009. p. 330-42.
3. Aisah S. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. IlmuPenyakit Kulit
dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 169-75.
4. Buxton PK. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJBooks; 2003. p.
38-9.
5. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T,Breathnach S, Cox
N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed. Oxford: Blackwell
Science; 2004. p. 47.12-47.27
6. Guyton AC, Hall JE. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11thed. Jakarta:
EGC; 2008. p. 471.
7. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical and
etiological aspects[online]. 2007. [cited 2013, Feb 4].Available from
http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
8. Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T. Kelainan kulit akibatalergi makanan.
In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. IlmuPenyakit Kulit dan Kelamin. 5th
ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 159.
9. Gawkrodger DJ. Urticaria and angioedema. Dermatology: AnIllustrated Colour
Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003. p. 72-8.
10. Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassifieddisorders.
Illustrated Manual of Pediatric Dermatology: Diagnosis andManagement. 1st ed.
London: Taylor & Francis; 2005. p. 179-80.
11. Djuanda A. Vaskulitis kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 337-8.

15

Vous aimerez peut-être aussi