Vous êtes sur la page 1sur 6

TUGAS : PKK IKM-IKK FEB 2018

“Tiga Terlambat” pada Penatalaksanaan Risiko Tinggi Kehamilan :


(Terlambat Mengambil Keputusan, Terlambat Dirujuk, Terlambat
Ditangani)

OLEH

Nama : Mardhatillah Abdullah


NIM : K1A1 14 022

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2018
A. Pengantar
Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang memiliki risiko
meninggalnya bayi, ibu, melahirkan bayi cacat atau terjadi komplikasi
kehamilan yang lebih besar daripada wanita normal. Kehamilan risiko tinggi
memiliki risiko untuk terjadinya kematian ibu dan bayi. Berdasarkan data
Survey demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menyebutkan angka
kematian ibu di Indonesia adalah 359/100.000 kelahiran hidup dan angka
kematian bayi 32/ 1000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2013).
Triana (2015) mengemukakan penyebab terjadinya kematian ibu
disebabkan penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung
kematian ibu berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan dan
nifas sedangkan penyebab tidak langsung disebabkan karena masih
terdapat kasus 3 terlambat (terlambat mengambil keputusan, terlambat
mencapai fasilitas kesehatan dan terlambat mendapatkan pertolongan yang
adekuat di fasilitas kesehatan). Sedangkan masalah kematian bayi baru
lahir dapat diakibatkan kondisi kesehatan ibu yang jelek, perawatan selama
kehamilan tidak adekuat, penanganan selama persalinan yang tidak tepat
dan tidak bersih serta perawatan neonatal yang tidak adekuat. Angka
kematian bayi secara bermakna tidak dapat diturunkan tanpa adanya upaya
menurunkan angka kematian ibu dan meningkatkan kesehatan ibu.
Menurut hasil penelitian Sri (2008), menyatakan bahwa kematian ibu
bersalin salah satunya disebabkan keterlambatan dalam pengambilan
keputusan setuju merujuk dari pihak keluarga. Maka dari itu pengambilan
keputusan lebih didominasi oleh keluarga sehingga pengambilan keputusan
untuk merujuk menjadi lebih lama yang akhirnya akan dapat berdampak
terhadap Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi (Wulandari, 2016).
Tiga terlambat adalah keterlambatan keluarga mengambil keputusan
kontak dengan tenaga kesehatan, keterlambatan memperoleh pelayanan
kesehatan, serta terlambat merujuk (Dinas Kesehatan Mojokerto, 2013).
Penurunan AKI (Angka Kematian Ibu) merupakan salah satu target yang
tercakup dalam MDGs (Millenium Development Goals), yaitu pada tujuan
kelima. MDGs (Millenium Development Goals) menargetkan penurunan AKI
(Angka Kematian Ibu) tahun 2015 menjadi 3/4 dari AKI (Angka Kematian
Ibu) tahun 1991, yaitu dari 390/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991
menjadi 102/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Depkes, 2014).
Upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah angka kematian ibu dan
kematian bayi tampaknya masih sulit dilakukan. Menurut target
pembangunan millennium (MDGs), angka kematian ibu adalah 102 per
100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menjadi 23 per 1000
kelahiran hidup, namun hal tersebut belum tercapai . PBB dan beberapa
negara termasuk Indonesia menyepakati target pembangunan berkelanjutan
(SDGs) untuk mengatasi target yang belum tercapai (Hoelman, 2015).
B. Pernyataan
1. Capaian indikator angka kematian Ibu tidak mencapai target MDGs
hingga akhir tahun 2015
2. Capaian indikator angka kematian bayi tidak mencapai target MDGs
hingga akhir tahun 2015
3. 3 terlambat menjadi masalah penatalaksanaan risiko tinggi kehamilan
C. Pertanyaan
1. Bagaimana menurunkan angka kematian ibu yang masih belum
mencapai target MDGs hingga tahun 2015?
2. Bagaimana cara menurunkan angka kematian bayi yang masih belum
mencapai target MDGs hingga tahun 2015?
3. Bagaimana menangani masalah penatalaksanaan risiko tinggi
kehamilan?
D. Penanganan Masalah
1. Sebelum mengkaji upaya mengurangi angka kematian ibu di Indonesia
perlu dilihat kendala-kendala dalam mencapai target MDGs. Kendala
tersebut adalah terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan, terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan
dalam segi jumlah, kualitas dan persebarannya, masih rendahnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
kesehatan dan keselamatan ibu, masih rendahnya status gizi dan
kesehatan ibu hamil, masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi
dan tingginya unmet need dan pengukuran AKI yang belum tepat (Lisbet,
2013). Kendala yang dialami tersebut dapat di minimalisir apabila
memprioritaskan dan memaksimalkan tindakan dasar yakni
meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan yang
menjadi kebutuhan masyarakat saat ini. Namun sayangnya pelayanan
kesehatan reproduksi belum dimasukkan pelayanan Standar Pelayanan
Minimal yang mencakup pelayanan kesehatan dasar. Padahal bila
memasukkan sebagai prioritas maka angka kehamilan risiko tinggi juga
dapat dikurangi sehingga kendala yang dialami oleh Indonesia seperti
terbatasnya fasilitas kesehatan tidak terlalu mempengaruhi. Selain itu,
juga perlu dilakukan pendekatan budaya kepada masyarakat terkait pola
pikir yang masih menggunakan jasa dukun beranak dalam proses
melahirkan. Sehingga diperlukan juga peningkatan partisipasi dukun
beranak dalam program kerjasama UNICEF (The United Nation’s
Children) bahwa dukun beranak harus merujuk pasiennya yntuk
melahirkan dengan bantuan bidan atau dokter. Dalam meningkatkan
partisipasi dukun beranak, pemerintah sebaiknya memberikan informasi
pola mekanisme dan peraturan yang jelas mengenai hal tersebut.
2. Permasalahan yang dialami Indonesia dalam mencapai target MDGs
mengenai angka kematian bayi tidak jauh berbeda dengan kendala
mengenai angka kematian ibu. Target yang masih belum tercapai pada
MDGs mekabjutkan agenda pembangunan global secara berkelanjutan
yang disebut SDGs dan bahkan menaikkan targetnya menjadi sekurang
kurangnya 12/1.000 kelahiran hidup. Dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan yang berkesinambungan terutama yang berhubungan dengan
bayi sebaiknya dilakukan pemfokusan terhadap pelayanan kesehatan
pada keluarga. Saat ini pemerintah Indonesua telah merumuskan suatu
kebijakan publik mengenai hal tersebut yaitu melalui Peraturan Menteri
Kesehatan No. 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Pada pasal 5,
penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga
dilaksanakan oleh puskesmas. Namun kebijakan belum terealisasi
dengan optimal. Keterbatasan tenaga kerja kesehatan menjadi alas an
belum terealusasunya kebijakan tersebut. Padahal dengan dijalankannya
program dengan pendekatan keluarga tersebut, kendala-kendala yang
lain dapat juga teratasi seperti rendahnya kesadaran masyarakat dalam
memeriksakan diri dan keterbatasan transportasi dalam mencapai
fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, program pemerintah yang
dicanangkan mengenai program keluarga adalah rencana yang bagus
namun terkendala dalam segi implementasi. Maka dari itu, dalam
mendukung program tersebut dalam rangka menurunkan AKB maka
diperlukan sosialisasi komprehensif kepada seluruh pemegang
keputusan di provinsi, kabupaten maupun kota hingga puskesmas
tentang permenkes No. 39 tahun 2016, membuat rumusan yang jelas
mengenai formulasi untuk kebutuhan tenaga keperawatan yang
berkompeten di seluruh daerah, membentuk tim Pembina keluarga,
melakukan revitalisasi posyandu dengan tujuan untuk meningkatkan
fungsi dan kinerja dalam mendukung upaya pendekatan keluarga.
3. Penanganan ibu risiko tinggi kehamilan dapat berjalan dengan optimal
apabila tidak terjadi kasus 3 terlambat. Deteksi faktor risiko merupakan
langkah awal dan pencegahan efektif untuk menghindari terjadinya
terlambat mengambil keputusan yang dapat diikuti dengan terlambat
merujuk dan terlambat melakukan penanganan apabila tidak
dilaksanakan dengan tepat. Baik tepat waktu maupun tepat cara. Saat
ini, untuk menghindari risiko tersebut setiap ibu hamil diberikan buku KIA
yang digunakan pada saat melakukan kunjungan kehamilan.
Permasalahan yang sering terjadi di kehidupan nyata bahwa banyak dari
ibu hamil tersebut jarang memeriksakan diri di fasilitas kesehatan, sering
lupa membawa buku KIA, dan pengetahuan mengenai pemanfaatan
buku KIA untuk deteksi dini ibu hamil risiko tinggi berbeda beda bahkan
ada yang memiliki pengetahuan yang buruk (Suparni dkk., 2016).
Sehingga dalam penanganan terlambat tersebut perlu dilaksanakan
penanganan seperti melakukan pendataan terhadap ibu hamil yang
berada dalam cakupan wilayah kerja puskesmas yang bersangkutan. Hal
ini perlu dilakukan dalam rangka memudahkan dalam melakukan
pemantauan terhadap ibu-ibu yang jarang melakukan pemeriksaan
kehamilan. Dengan adanya informasi tersebut, dapat mempermudah
pihak dari puskemas yang bersangkutan untuk melakukan pendekatan
keluarga misalnya menjadwalkan kunjungan ke rumah. Selain itu, juga
perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap bidan yang bekerja di
puskesmas misalnya dengan cara menjadwalkan pertemuan untuk
melihat pengetahuan bidan mengenai perubahan buku KIA terbaru.
E. Pustaka
Departemen Kesehatan. 2014. Rencana Aksi Nasional Pelayanan Keluarga
Berencana. http://www.gizikia.depkes.go.id. 13 Februari 2018 (21:00)
Dinas Kesehatan Mojokerto. 2013. 3 Terlambat. http://www.depkes.go.id.
13 Februari 2018 (21:25)
Hoelman, M. 2015. Panduan SDGs untuk pemerintah daerah (Kota dan
Kabupaten). International NGO Forum on Indonesian development
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman pemantauan wilayah setempat
kesehatan ibu dan anak (PWS-KIA). Direktorat Jenderal Pembinaan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta
Lisbet. 2013. Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) di
Indonesia melalui kerjasama internasional. Politica 4(1): 129-156
Sri, Puji. 2008. Pola Pengambilan KeputusanKeluarga dan Bidan Dalam
Merujuk Ibu Bersalin ke Rumah Sakit pada Kasus Kematian Ibu di
Kabupaten Demak. Tesis. Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Universitas Diponegoro. Semarang.
Suparni, Khanifah. M, Fitriani. 2016. Faktor Faktor yang berhubungan
dengan pengetahuan bidan dalam pemanfaatan buku KIA untuk
deteksi dini ibu hamil risiko tinggi di Kabupaten Pekalongan 2016
Triana, Ani. 2015. Buku ajar kegawatdaruratan maternal dan neonatal.
Depublish.Yogyakarta
Wulandari, A.P., Susanti, A.I., Mandiri, A. 2016. Gambaran Pengambilan
Keputusan Saat Proses Rujukan dari Tingkat Primer ke Tingkat
Sekunder di Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang. Jsk 2(2) : 56-62

Vous aimerez peut-être aussi