Vous êtes sur la page 1sur 9

REFLEKSI KASUS

STOMATITIS APTHOUS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Di RSGMP-AMC

Disusun oleh:
NAMA : Himmaturojuli RR
NIM : 20060340063

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2011

1
I. Deskripsi Kasus
Hasil Pemeriksaan kunjungan ke-1
Pemeriksaan Subjective :
 Keluhan Utama : Pasien mengeluhkan adanya rasa sakit dan perih pada mukosa bibir
bila digunakan untuk makan, terkena lidah atau sikat gigi.
 Riwayat perjalanan penyakit : Pasien merasa adanya rasa perih pada mukosa bibirnya
sekitar 5 hari yang lalu. Pada awalnya terdapat lesi kecil 1 buah, kemudian muncul 2
lesi lagi dan bergabung menjadi 1 lesi yang besar. Pasien tidak merasakan demam
sebelum terjadinya lesi. Pasien sempat merasakan adanya pambengkakan di daerah
sekitar leher dan jika dipegang terasa sakit.
 Riwayat kesehatan oral : Pasien adalah seorang yang mempunyai kebersihan gigi dan
mulut yang baik. Pasien menyikat gigi 2 kali sehari yaitu saat mandi pagi dan mandi
sore. Pasien pernah datang ke dokter gigi 1 minggu yang lalu untuk mengontrolkan
alat orthodonti lepasan yang sedang digunakan.
Pemeriksaan Objective:
 Pemeriksaan Ekstra Oral:
Tidak terdapat pembengkakan pada daerah sekitar leher yang dirasakan
pasien.
 Pemeriksaan Intra Oral:
Terdapat lesi eritemateus berbentuk bulat dengan bagian tengahnya berwarna
putuh kekuningan yang mempunyai diameter 4 mm.
Dd : Recurent Apthous Stomatitis
Herpes labialis

2
Treatment :
1. DHE
2. Pembersihan lesi dari jaringan nekrotik
3. Pemberian Kenalog
4. Kontrol

Hasil Pemeriksaan kunjungan ke-2


Pemeriksaan Subjective :
Pasien datang untuk mengontrolkan perawatan stomatitis apthous yang telah
dilakukan perawatan 1 minggu yang lalu. Pasien merasa sakit dan perih yang
dirasakan saat lesi terkena makanan dan lidah sudah berkurang, tetapi jika terkena
sikat gigi masih sakit.
Pemeriksaan Objective:
 Pemeriksaan Ekstra Oral:
Tidak terdapat pembengkakan pada daerah sekitar leher yang dirasakan
pasien.
 Pemeriksaan Intra Oral:
Terdapat lesi yang sudah hampir menutup pada permukaan labial dengan
warna merah.
Assesment
Terjadi progres penyembuhan
Treatment :
1. DHE
2. Pembersihan lesi dari jaringan nekrotik
3. Pemberian Kenalog

II. Pertanyaan Kritis


1. Jelaskan pengertian dari recurent stomatits aphthous ?
2. Jelaskan etiologi dari recurent stomatits aphthous ?
3. Klasifikasi dari recurent apthous stomatitis ?
4. Jelaskan perbedaan recurent stomatits aphthous dan herpes intraoral recuren?
5. Apakah premedikasi yang dilakukan sudah sesuai?

3
III. Landasan Teori dan Refleksi
Recurent apthous stomatitis atau yang dikenal sebagai canker sore adalah
suatu type dari ulcer rongga mulut. Lesi tersebut dikarasteristikan dengan munculnya
ulcerasi kecil dengan bentuk bulat atau oval pada mucosa membran dari rongga mulut.
Lesi tersebut dapat muncul secara berulang baik sebagai ulkus tunggal ataupun ulkus
yang lebih dari satu. Recurent apthous stomatitis sering terjadi pada mukosa mulut
yang tidak berkeratin, pada palatum lunak, mukosa bulkal, dasar mulut dan lidah.
Munculnya ulserasi tersebut tidak teratur, yang menghasilkan tanda yang ringan atau
transien, atau mungkin secara berulang menimbulkan sakit yang menetap atau
ketidakmampuan yang berlebih selama periode waktu tertentu.
Etiologi recurent apthous stomatitis belum dapat ditentukan secara pasti.
Penyebab lesi tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang melibatkan
kondisi sistemik, lokal, mikroba dan genetik. Penyebab lain yang mungkin dapat
menyebabkan recurent apthous stomatitis ini adalah trauma, stress, hormonal definisi
faktor hematologis seperti kekurangan zat besi, asam folat, vitamin B12 dan akibat
dari abnormalitas imunologi. Perawatan orthodontik dengan menggunakan alat
removoable dapat menimbulakan trauma atau iritasi pada jaringan mulut. Hal tersebut
terjadi akibat pemasangan komponen alat ortodontik removable yang kurang baik.
Beberapa penelitian telah dialakukan dan ternyata sebagian besar pasien ortodontik
terutama pada tahap awal mengalami lesi mulut diantaranya recurent apthous
stomatitis. Recurent apthous stomatitis yang terjadi pada pasien ortodontik timbul
kemungkinan karena faktor trauma, faktor emosi atau psikis. Penderita kadang
mengalami sters berulang setiap selesai alat ortodontik di aktivasi. Pada kasus pasien
saya kemungkinan besar faktor etiologi yang menyebabkan Recurent apthous
stomatitis berasal dari faktor trauma yang diakibatakan karena pemasangan komponen
alat orthodontik removable yang kurang tepat. Faktor trauma tersebut didukung juga
oleh faktor emosi dan psikis dari pasien tersebut karana pasien mengaku sedang
menjalani ujian. Disamping itu, faktor nutrisi juga dapat berperan dalam kasus
tersebut, hal tersebut dapat terlihat oleh adanya bibir pasien yang pecah-pecah.
Recurent apthous stomatitis (RAS) diklasifikasikan berdasarkan diameter dari
lesinya adalah minor, mayor, dan herpetic ulcer. Minor apthous stomatitis
diinkasikan jika lesi tersebut mempunyai diameter diantara 3-10 mm. Penampakan
klinis dari lesi tersebut ditandai dengan adanya erithematous halo dengan bagian
4
tengahnya berwarana kebiruan atau kekuningan. Rasa sakit yang berefek pada kualitas
dari kehidupan adalah karakteristik dari lesi ini. Stomatitis jenis tersebut akan
menyebabkan sakit yang sangat dan mungkin berefek pada pembengkakan bibir. Lesi
tersebut akan sembuh selama 2 minggu. Major apthous stomatitis mempunyai
penampakan klinis yang sama dengan minor stomatitis, tetapi mempunyai diameter
lebih dari 10 mm dan memiliki rasa sakit yang sangat. Lesi tersebut biasanya sembuh
lebih dari 1 bulan, dan sering meninggalkan bekas. Tipe tersebut berkembang setelah
masa puber dan terjadi pada permukaan oral tak berkeratin yang dapat bergerak, tetapi
mempunyai batas tepi yang meluas sampai pada permukaan berkeratin. Tipe herpetic
adalah jenis yang paling parah. Lesi tersebut mempunyai karakteristik kecil, banyak,
dengan ukuran 1-3 mm. Lesi jenis ini dapat sembuh kurang dari 1 bulan tanpa
meninggalkan bekas. Perawatan suportive biasanya sering dibutuhkan untuk lesi jenis
ini. Pada kasus pasien saya didapatkan kriteria lesi pada awalnya adalah tipe herpetic,
tetapi berkembang menjadi tipe minor karena memiliki
Recurent apthous stomatitis (RAS) mempunyai penampakan klinis yang mirip
dengan lesi lain di rongga mulut seperti lesi yang diakibatkan oleh bakteri rongga
mulut atau herpes simplex. Recurent apthous stomatitis (RAS) dan herpes intraoral
rekuren adalah kelainan yang sering terjadi pada rogga mulut dan diagnosa kedua
kelainan tersebut sering tertukar satu sama lain, karena kedua lesi yang berbeda ini
mempunyai karakteristik yang mirip satu sama lain. Kesalahan dalam menegakan
diagnosa menyebabkan perawatan yang tidak efektif, akibatnya lesi semakin
memburuk. Sulit untuk menentukan diagnosa yang tepat antara RIH dan SAR
herpetiformis jika melihat secara langsung pada gambaran klinis didalam rongga
mulut karena kedua lesi tersebut mempunyai tampilan yang mirip. Oleh karena itu,
selain melihat gambaran klinis, yang sangat penting untuk diketahui dalam proses
mengakan diagnosa adalah riwayat pasien dan keluarga, pemeriksaan ekstra oral, serta
hasil pemeriksaan labolatorium yang diindikasikan. Informasi mengenai frekuensi
terjadinya lesi, faktor yang meringankan (obat yang telah digunakan), dan faktor yang
memperberat penting untuk diketehui melalui anamnesis pada pasien atau keluarga
yang menyertainya. Pemeriksaan subyektif berupa anamnesis yang akurat dan lengkap
perlu dicatat. Hal pertama yang ditanyakan adalah keluhan utama pasien. Kedua lesi
herpes dan afte seringkali hadir disertai gejala prodromal yang dapat memberikan
petunjuk-petunjuk penting dalam menegakkan diagnosis. Literatur menyebutkan
bahwa gejala prodromal untuk infeksi herpes mungkin membingungkan dan pasien
5
tidak menyadari bahwa gejala demam merupakan gejala prodromal. Tetapi bagi pasien
yang seringkali mengalami lesi herpes maka gejala ini akan mudah dikenali. Indikasi
pertama terjadinya lesi herpes rekuren mungkin berupa sensasi yang tidak
menyenangkan pada jaringan yang terkena dan dapat terasa sebagai berkurangnya
sensasi sensorik, serta rasa nyeri terbakar yang dapat menggangu makan, minum,
tidur, bahkan bicaara. Lesi herpes yang rekuren tidak selalu disertai dengan gejala
prodromal seperti demam, bahkan lesi timbul tanpa disadari oleh pasien. Gejala
prodromal SAR juga berupa nyeri atau rasa terbakar terlokalisir selama 24-48 jam
dapat mendahului terjadinya ulser. Derajat nyeri dapat bervariasi dari ringan sampai
berat dan seringkali dianggap melebihi ukuran lesi. Kesadaran akan mulai
berkembangnya SAR umumya terlihat dari ketidaknyamanan lokal yang dirasakan di
daerah lesi. Informasi penting lainnya yang perlu diketahui di dalam anamnesis untuk
membedakan RIH dan SAR adalah faktor etiologi dan faktor predisposisinya. Telah
diketahui bahwa RIH disebabkan oleh herpes simplex virus type 1 (HSV-1) tetapi
tidak tertutup kemungkinan juga oleh herpes simplex virus type 1(HSV-2) yang dapat
dilihat dari pemeriksaan imunologik. Dan reaktivasi virus dapat dipicu oleh demam
(misalnya karena infeksi saluran pernafasan atas), sinar matahari (fever blister),
trauma, stress, atau immunosuppresi menyebabkan infeksi rekuren atau sekunder.
Pada SAR tidak ada faktor etiologi yang pasti, tetapi diduga penyebab utama SAR
adalah faktor herediter. Berbagai faktor pemicu SAR pada pasien yang rentan, antara
lain trauma oral, stress, defisiensi hematinik (kekurangan zat besi, vitamin B, atau
asam folat), sensitif terhadap makanan (pengawet seperti asam benzoat), kelainan
gastrointestinal, defisiensi imun, dan ketidakseimbangan hormonal yang berkaitan
dengan siklus menstruasi. Pada ketiga pasien dengan RIH terbukti bahwa kelainan
yang terjadi karena infeksi HSV, yang dapat dilihat pada hasil pemerikasaan
imunologi. Dan. Sebuah literatur menyebutkan bahwa istilah SAR digunakan untuk
lesi rekuren yang ditemukan di rongga mulut dan tidak ada riwayat penyakit sistemik.
Tetapi lesi dengan gambaran klinis yang mirip dengan SAR, dapat ditemukan pada
kelainan sistemik seperti Behcet’s syndrome, kelainan gastrointestinal, sindrom
imunodefisiensi seperti infeksi HIV, dan cyclic neutropenia. Gambaran klinis
merupakan parameter yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis RIH dan
SAR herpetiformis. Oleh karena itu setelah mengetahui gejala klinis, pemeriksaan
klinis secara teliti penting dilakukan. Literatur menyebutkan bahwa setelah tahap
prodromal lesi herpetik bermanifestasi dalam bentuk kumpulan vesikel-vesikel kecil
6
berwarna keabuan sampai putih yang ruptur dan membentuk ulser kecil-kecil dengan
diameter 1 mm atau kurang. Ulser-ulser ini dapat bersatu membentuk ulser yang lebih
besar sampai mencapai 1.5 cm. Ulser yang besar dan iregular yang merupakan
gabungan dari ulser-ulser yang kecil. Lesi afte biasanya berbatas jelas, dangkal,
berbentuk bulat atau oval, dengan bagian tengahnya nekrosis dangkal dengan
pseudomembran kuning-keabuan dan dikelilingi oleh daerah kemerahan (halo
eritema). Telah diketahui bahwa SAR mempunyai 3 tipe yaitu mayor, minor, dan
herpetiformis. Lesi afte yang menyerupai penampakan lesi herpetik adalah SAR tipe
herpetiformis, tetapi lesi afte tidak mengalami transisi lewat tahap spesifik seperti
pada lesi herpes. Lesi tersebut dapat meningkat ukurannya dari mulai awal terdeteksi
sampai akhirnya maturasi. Lokasi terjadinya lesi awal dapat memberi petunjuk penting
akan kondisi yang terjadi. Lesi herpes umumnya timbul di jaringan berkeratin seperti
pada vermillion border, palatum keras, gingiva cekat. Sebaliknya, stomatitis aftosa
rekuren biasanya terjadi pada jaringan tidak berkeratin atau didekat kelenjar. Lokasi
yang umum dijumpai yaitu pada mukosa labial, bukal dasar mulut, orofaring,
vestibulum, dan sisi lateral lidah. Pemeriksaan penunjang yang sangat penting untuk
menegakkan diagnosis pada kedua kelainan tersebut adalah pemeriksaan hematologi
dan pemeriksaan imunologi berupa anti HSV IgG dan IgM. Pemeriksaan penunjang
merupakan alat penting dalam menegakkan diagnosis, terutama bila gambaran lesi dan
riwayat pasien tidak cukup jelas. Literatur menyebutkan bahwa virus herpes mungkin
dijumpai tersebar di seluruh lingkungan. Sehingga sering terjadi pemaparan, baik yang
menimbulkan gejala maupun tidak. Banyak orang sehat mempunyai antibodi terhadap
berbagai jenis virus herpes. Infeksi herpes dapat ditegakkan dengan kenaikan titer
antibodi yang bermakna selama sakit atau sesudahnya. Kenaikan jumlah titer antibodi
pada infeksi herpes ini masih kontroversial. Sebuah studi melaporkan pada saat
dilakukan pemeriksaan pada subyek dengan lesi herpes menunjukkan titer antibodi
yang lebih tinggi daripada subyek dengan tanpa lesi. Sebuah literatur lain
menyebutkan bahwa untuk menegakkan diagnosis infeksi herpes primer, titer antibodi
sekurang-kurangnya 4 kali lipat. Jika tidak, lesi tersebut merupakan rekuren
(sekunder). Kadar anti HSV yang meningkat secara bermakna belum tentu ditemukan
bersamaan dengan ditemukan lesi pada rongga mulut pada pasien. Pada kasus pasien
saya, diagnosa lebih condong kepada recurent apthous stomatitis daripada herpetic
intraoral recurent, hal tersebut karena:
1. Gambaran klinis yang beruapa batas jelas, dangkal, bentuk oval atau bulat
7
dengan bagian tengahnya nekrosis dengan pseudomembran kekuningan
yang dikelilingi daerah kemerahan (halo eriteme) yang merupakan
gambaran klinis dari recurent apthous stomatitis sangat sesuai dengan
gambaran klinis pada pasien saya.
2. Tidak adanya gejala predormal berupa demam yang biasanya menyertai
herpetic intra oral menguatkan diagnosa rekuren apthous stomatitis pada
pasien saya.
3. Lokasi awal terjadinya lesi yaitu di jaringan tak berkeratin yaitu pada bibir,
hal ini merupakan ciri khas lokasi terjadinya recurent apthous stomatitis
4. Faktor etiologi pada pasien saya terjdi dari truama terhadap alat
orthodontik removable dan dari defisiensi faktor hematik(zat besi, vit B
dan asam folat) yang merupakan faktor etiologi dari recurent apthous
stomatitis dapat dilihat dari bibir pasien yang pecah-pecah.
Walaupun stomatitis ini bersifat self limited atau dapat sembuh dengan
sendirinya, akan tetapi kehadirannya sangat menganggu pada saat proses
pengunyahan, bicara dan bahkan menganggu kegiatan membersihkan rongga
mulut.Terapai Stomatitis Aphthous, obat-obat yang sering digunakan untuk terapi
stomatitis aphtous ini adalah obat analgesik untuk mengurangi rasa sakit, agen
antiseptik untuk mengurangi infeksi sekunder, antibody topical untuk menghilangkan
berbagai gejala yang tunbul akibat infeksi sekunder, kemudian steroid topical sebagai
anti inflamasi. Kenalog in orabase adalah syntetic corticosteroid yang dapat berperan
sebagai anti inflamasi, antipuritic dan antiallergic. Setiap gram dari kenalog
menyediakan 0,1 % triamcinolone acetonide dalam bentuk paste yang berisi gelatin,
pectin dan carboboxymethylcellulose sodium pada plastibase (Plasticized
Hydrocarbon Gel), suatu polyethylene dan mineral oil gel base. Bentuk pasta berperan
sebagai media untuk mengaplikasikan komponen aktif yang digunakan untuk
perawatan pada jaringan rongga mulut. Media tersebut juga menyediakan
perlindungan yang dapat menurunkan rasa sakit sebagai asosiasi dari iritasi oral secara
temporer. Aksi dari korticosteroid anti inflamasi adalah mereduksi eksudasi leukosit
dan plasma; menjaga integritas dari membran dengan mencegah cel menjadi oedem;
menghambat lepasnya lisosim oleh granulocytes; menghambat fagositosis;
menstabilkan membran intraceluler dari lisosimes; mengurangi terbenuknya scar
formation karena menghambat proliferasi dari fibroblas. Preparat tersebut
dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap semua
8
komponen yang terdapat dalam preparat tersebut; lesi yang diakibatkan oleh
jamur,virus atau bakteri; meski pada masa kehamilan tidak ditemukan efek samping
dari penggunaan preparat tersebut terhadap perkembangan janin, tetapi preparat
tersebut seharusnya tidak digunakan pada wanita pada masa kehamilan dengan
pertimbangan dari dokter atau dokter gigi bahwa keuntungan penggunaan lebih besar
daripada efek buruk dari preparat tersebut. Pada kasus saya, penggunaan kenalog
untuk terapi stomatitis adalah tepat karena kortikosteroid dapat bekerja sebagai anti
inflamasi, antipuritic dan antiallergic dapat menujukan progres penyembuhan lesi
setelah 1 minggu perawatan. Progres penyembuhan tersebut tidak akan terjadi jika
diaplikasikan untuk lesi herpes yang merupakan akibat dari virus.

IV. Kesimpulan
1. Recurent apthous stomatitis (RAS) dan herpes intraoral rekuren adalah kelainan yang
sering terjadi pada rogga mulut dan diagnosa kedua kelainan tersebut sering tertukar
satu sama lain karena kedua lesi yang berbeda ini mempunyai karakteristik yang mirip
satu sama lain. Oleh karena itu para praktisi di bidang gigi dan mulut seharusnya
mampu membedakan kedua kelainan tersebut.
2. Kenalog in orabase adalah syntetic corticosteroid yang dapat berperan sebagai anti
inflamasi, antipuritic dan antiallergic lesi rongga mulut.

V. Daftar Pustaka
1. Setiani, T, Sari, F, dan Usri, K. Penerapan Penggunaan Daun Lidah Buaya (Aloe
vera) Untuk Pengobatan Stomatitis Aftosa (Sariawan) Di Desa Ciburial
Kecamatan Cimeyan Kabupaten Bandung. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Padjajaran
2. Sufiawati, I. 2008. Diagnosa Bandinga Antara Herpes Intraoral Rekuren Dengan
Stomatitis Aftosa Rekurent. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran.
Bandung
3. Quijano, D dan Rodriguez, M. 2007. Topical Corticosteroid in Recurent Apthous
Stomatits. Systemic Review. Pontificia Universidad Javeriana, Facultad de
Odontología, Epidemiología Clínica, Universidad Nacional de Colombia,
Bogotá, Colombia
4. Yordan, B dan Prihandini, I.W.S. 2003. Efek Pasta Gigi Non Detergen Pada
Ginggivitis dan Stomatitis Apthosa Pemakai Alat Cekat. Fakultas Kedokteran
Gigi, Universitas Gadjah Mada.

VI. Lampiran
Terlampir

Vous aimerez peut-être aussi