Vous êtes sur la page 1sur 6

Liberty Manik

Foto Liberty Manik


Liberty Manik (lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, 21 November 1924 – meninggal 16
September 1993 pada umur 68 tahun) adalah seorang komponis dan pengajar musik
di Institut Seni Indonesia (Yogyakarta). Ia juga dikenal sebagai filolog (ahli
bahasa) Batak kuno.

Pendidikan
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar melanjutkan ke sekolah keguruan HIK
di Muntilan, Magelang. Menyelesaikan studi doktor musik di Universitas Berlin, Jerman
dengan predikat cum laude. Disertasinya mengenai musik Arab pada zaman Abad
Pertengahan.
Di tanah kelahirannya Sidikalang, didirikan patung Liberty Manik di Lokasi Taman Wisata
Iman untuk mengenang ia.

Karya

 Pencipta lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa, Desaku.


 Menerjemahkan dan mementaskan oratorium Mattheus
Passion dan Weichnachtsoratorim karangan J.S. Bach di Yogyakarta tahun 1980-an.
T.B. Simatupang
T.B. Simatupang

Kepala Staf Angkatan Perang ke-2

Masa jabatan

29 Januari 1950 – 4 November 1953

Presiden Soekarno

Pendahulu Jenderal Besar TNI Soedirman

Pengganti Jenderal Besar TNI Abdul Harris Nasution

Informasi pribadi

Lahir 28 Januari 1920

Sidikalang, Sumatera Utara, Hindia Belanda

Meninggal dunia 1 Januari 1990 (umur 69)

Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia

Pasangan Sumarti Budiardjo Simatupang

Anak 4

Alma mater KNIL (1940)

Dinas militer

Pihak Indonesia

Dinas/cabang
TNI Angkatan Darat

Masa dinas 1941 - 1959

Pangkat

Letnan Jenderal TNI

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Tahi Bonar Simatupang atau yang lebih dikenal dengan
nama T.B. Simatupang (lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920 – meninggal
di Jakarta, 1 Januari 1990 pada umur 69 tahun)[1] adalah seorang tokoh militer di Indonesia.
Simatupang pernah ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf Angkatan Perang
Republik Indonesia (KASAP) setelah Panglima Besar Jenderal Soedirman wafat pada
tahun 1950. Ia menjadi KASAP hingga tahun 1953. Jabatan KASAP secara hierarki
organisasi pada waktu itu berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan
Laut, Kepala Staf Angkatan Udara[2] dan berada di bawah tanggung jawab Menteri
Pertahanan.[3]
Simatupang meninggal dunia pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Pada tanggal 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang.[4] Saat ini
namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta
Selatan.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia,
mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah baru, pecahan Rp. 500,

Awal kehidupan
Bonar, nama kecil Simatupang, dilahirkan di Sidikalang, sekarang jadi ibukota Kabupaten
Dairi, Provinsi Sumatera Utara, sebagai anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya
seorang ambtenaar bernama Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan ibunya bernama
Mina Boru Sibutar. Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf (PTT: Post,
Telefoon en Telegraaf) yang sering berpindah tempat tugas, mulai dari Sidikalang pindah
ke Siborong-borong, kemudian ke Pematang Siantar.[5]
Bonar menempuh pendidikannya di HIS Pematangsiantar dan lulus pada 1934. Ia
melanjutkan sekolahnya di MULO Dr. Nomensen di Tarutung pada tahun 1937, lalu
ke AMS di Salemba, Batavia dan selesai pada 1940. Saat bersekolah di Batavia, Bonar
terbilang siswa yang pintar, termasuk fasih berbahasa Belanda.
Saat belajar sejarah, Bonar pernah mendebat guru sejarahnya hingga dia diusir, karena
gurunya dianggap terlalu merendahkan kemampuan bangsa Indonesia. Gurunya
tersebut, Meneer Haantjes, menyatakan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin
bersatu mencapai kemerdekaan karena perbedaan besar di antara suku-suku, dan bahwa
penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk
mengalahkan Belanda karena fisiknya yang pendek tidak mengizinkan untuk tentara yang
baik. Bonar menyatakan bahwa Meneer Haantjes telah menyebarkan mitos yang
ketidakbenarannya akan dibuktikan sejarah selanjutnya. Direktur sekolah, Meneer de Haan,
seorang Calvinis yang taat, memberikan nasihat padanya agar dalam mengemukakan
pendapat diusahakan tidak menyakiti hati orang lain. Semula Bonar merasa nasihat itu adalah
nasihat orang yang berjiwa kolonial. Namun di kemudian hari, Simatupang merasa andaikan
dia menerima nasihat direkturnya lebih sungguh, mungkin dia tidak akan mengalami
kesulitan dalam kehidupannya selanjutnya.
Pada bulan Mei 1940, Negeri Belanda diinvasi oleh pasukan Nazi Jerman, Angkatan Darat
Kerajaan Belanda (KL, Koninlijke Leger) dibubarkan dan senjatanya dilucuti, demikian pula
akademi militer kerajaan (KMA: Koninlijke Militaire Academie) di Breda dan diungsikan
ke Bandung, Hindia Belanda. Bonar yang baru usai menyelesaikan pendidikan menengahnya
di AMS Batavia, memutuskan mengikuti ujian masuk KMA untuk membuktikan ucapan
gurunya tentang mitos orang Indonesia tidak akan pernah merdeka dan tidak bisa
membangun angkatan perang tidak benar.
Bonar lulus KMA pada tahun 1942 dengan mendapatkan gelar taruna mahkota dengan
mahkota perak karena dinilai berprestasi khususnya di bidang teori. Rekan seangkatannya di
KMA antara lain A.H. Nasution dan lex Kawilarang. Pada masa itu ,menurut Nasution, Bonar
sudah membaca dan mendalami buku "Tentang Perang" karya Carl von Clausewitz. Dalam
pertemuan alumni, biasanya SBonaryang paling banyak bicara dan memberikan analisa-
analisa. Bahkan menurut Kawilarang, seandainya SBonarorang Belanda, dia pasti akan
mendapatkan mahkota emas. Tak lama kemudian, balatentara Kekaisaran Jepang menginvasi
Hindia Belanda hingga menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942.
Bonar menikah dengan Sumarti Budiardjo yang merupakan adik dari teman
seperjuangannya Ali Budiardjo. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yaitu: Tigor,
Toga, Siadji, dan Ida Apulia. Salah seorang di antaranya meninggal. Ia dikarunia empat cucu,
yaitu: Satria Mula Habonaran, Larasati Dameria, dan Kezia Sekarsari, serta Hizkia Tuah
Badia.

Karier militer
Karier militer Bonar diawali saat diterima menjadi kadet di KMA, Bandung pada tahun 1940.
Setelah menempuh pendidikan selama 2 tahun, Bonar pun lulus sebagai perwira muda.
Namun belum sempat ditugaskan di KNIL (Koninlijke Nederlands Indische Leger), pasukan
Jepang keburu merebut kekuasaan di Hindia Belanda dan KNIL pun dibubarkan dan
senjatanya dilucuti. Bonar dan beberapa temannya sesama perwira pribumi direkrut Jepang
dan ditempatkan di Resimen Pertama di Jakarta dengan pangkat Calon Perwira.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Bonar
bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan kemudian turut bergerilya bersama
Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman melawan pasukan Belanda yang berniat menguasai
kembali bekas koloninya tersebut. Selama perang kemerdekaan Indonesia tersebut, ia pun
diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (WAKASAP) RI pada
tahun 1948 hingga 1949. Dalam kedudukannya tersebut, Bonar ikut mewakili TNI dalam
delegasi Republik Indonesia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,
Negeri Belanda. Misi utama mereka adalah mendesak Belanda menghapus KNIL dan
menjadikan TNI sebagai inti kekuatan tentara Indonesia. Ketika Jenderal Soedirman wafat
pada tahun 1950, Bonar dalam usia yang sangat muda (29 tahun) diangkat sebagai Kepala
Staf Angkatan Perang RI (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal hingga tahun 1953.
Peristiwa 17 Oktober 1952
Selama masa jabatannya tersebut, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, di mana terjadi
gelombang demonstrasi di Jakarta yang menuntut pembubaran parlemen. Moncong-moncong
meriam dihadapkan oleh militer menghadap ke Istana Negara, suatu upaya militer untuk
menekan Presiden Soekarno. Terbersit kabar juga bahwa Kolonel Bambang Soepeno
menemui Presiden Soekarno menyampaikan tekad para panglima Divisi untuk meminta agar
Kolonel Abdul Haris Nasution dicopot dari jabatannya sebagai KSAD (Kepala Staf TNI
Angkatan Darat). Bonar selaku KSAP bersama Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono
IX dan KSAD Kolonel A.H. Nasution menemui Presiden untuk mengkonfirmasi kebenaran
berita tersebut dan sikap presiden mengenai usulan Bambang Soepeno. Presiden Soekarno
menyatakan bila itu memang benar dia mempersilahkan diganti. Tanpa ragu Bonar
menyatakan bahwa Presiden telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan mendasar.
Sistem di Angkatan Bersenjata akan terganggu bila panglima divisi bisa meminta KSAD
untuk dicopot, dan seterusnya, Panglima Divisi bisa dicopot bila ada pengaduan dari
bawahannya. Bonar tegas menyatakan kepada Presiden, selama dia menjabat KSAP, dia tidak
akan membiarkan itu terjadi.[6]
Akhir Karier Militer
Presiden Soekarno menghapuskan jabatan KSAP pada tahun 1953. kemudian pada
tahun 1954-1959, Bonar diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen PertahananRI.
Setelah non aktif dari kemiliteran, Bonar menyibukkan diri dengan menulis buku dan
mengajar di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, sekarang Seskoad, dan
Akademi Hukum Milter/AHM). Dia sangat menyadari waktunya di militer akan segera
berakhir. Untuk itu ada hal yang ingin dilakukannya sehingga perannya di militer bisa
berlanjut, yaitu dengan menyiapkan Doktrin dan Kader melalui tulisan dan membekali
perwira-perwira di sekolah militer. Akhirnya dia resmi dipensiunkan dari dinas militer pada
tanggal 21 Juli 1959 dalam usia 39 tahun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.

Aktivitas di luar militer


Simatupang pernah mengatakan bahwa ada tiga Karl yang memengaruhi hidup dan
pikirannya, yaitu Carl von Clausewitz, seorang ahli strategi kemiliteran, Karl Marx dan Karl
Barth, teolog Protestan terkemuka abad ke-20. Seluruh kehidupan Simatupang mencerminkan
peranan ketiga pemikir besar itu. Setelah melepaskan tugas-tugas aktifnya sebagai militer,
Simatupang terjun ke pelayanan Gereja dan aktif menyumbangkan pemikiran-pemikirannya
tentang peranan Gereja di dalam masyarakat.
Dalam aktivitas gerejawinya itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia, Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja-gereja Asia,
Ketua Dewan Gereja-gereja se-Dunia, dll.
Di lingkungan kemasyarakatan, Simatupang menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas
Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen
(IPPM). Ia bahkan merupakan salah satu pencetus lembaga pendidikan ini, ketika di
Indonesia belum banyak orang yang memikirkannya. Simatupang percaya bahwa Indonesia
membutuhkan pemimpin-pemimpin yang menguasai ilmu manajemen di dalam perusahaan
maupun di tengah masyarakat.
Pada 1969 Simatupang dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa,
Oklahoma, Amerika Serikat.

Vous aimerez peut-être aussi