Vous êtes sur la page 1sur 13

3.

1 Antibiotik local pada endodontic

Antibiotik sistemik efektif secara klinis sebagai tambahan pada kasus endodontik
bedah dan nonbedah, penggunaannya bukan tanpa risiko dari efek potensial sistemik yang
merugikan, terutama kemungkinan terjadinya reaksi alergi, toksisitas, efek samping dan
perkembangan resistensi dari mikroba. Juga, penggunaan sistemik dari antibiotik bergantung
pada sirkulasi darah untuk membawa obat ke daerah yang terinfeksi yang mungkin tidak
memiliki vaskularisasi normal, meliputi pulpa gigi nekrotik dan jaringan periradikuler. Oleh
karena itu, aplikasi lokal antibiotik dapat lebih efektif untuk membawa antibiotic
(Bains,2012).

3.2 Alergi untuk bahan yang digunakan dalam endodontik formaldehid

Formaldehida merupakan penyebab umum dari dermatitis kontak alergi.


Dilaporkan bahwa terdapat 40% - 60% reaksi yang disebabkan formaldehida. Ada
penurunan sensitisasi formaldehida sejak 1980 karena resin finishing tekstil (melepaskan
jumlah rendah formaldehida) dan mengurangi jumlah formaldehida (1%) digunakan dalam
larutan aqueous tes patch. Pasien yang alergi terhadap formaldehida biasanya perempuan
yang menderita eczema di tangan atau wajah. Dalam dental literatur 28 pasien dengan
reaksi cepat terhadap formaldehida yang mengandung senyawa saluran akar telah
dijelaskan. Karakteristik dari alergi formaldehida adalah reaksi anafilaksis atau syok dan
urtikaria umum. Alat yang paling dapat dipergunakan untuk menentukan diagnosa alergi
formaldehida adalah penilaian antibodi IgE spesifik untuk formaldehida
(Hoogstraten,1991).
Formaldehida sebagai bahan dalam praktik kedokteran gigi, yaitu: root canal-
filling material yang digunakan dalam terapi endodontik, formokresol, polimer,
sealer/semen begitu juga dengan resin komposit. Bahan – bahan tersebut mengandung
paraformaldehida yang selanjutnya akan membebaskan formaldehida dalam air sehingga
dalam jumlah yang cukup akan menimbulkan reaksi alergi local (Maya,2001).
Formaldehida juga dapat bereaksi dengan molekul lain seperti protein kulit, protein serum,
protein dari ruang pulpa atau bahkan komponen lain dari root canal sealant untuk menjadi
alergen lengkap (Sporcic, 2001).
Formaldehida masuk ke tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan absorpsi kulit.
Reaksi patologis yang berhubungan dengan formaldehida berupa lesi bronkus pada sistem
pernafasan, lesi gastrointestinal pada sistem penyerapan, dan nekrosis kulit atau dermatitis
kontak mungkin disebabkan oleh mekanisme iritasi sederhana. Gejala dari alergi
formaldehida berupa syok anafilaksis, urtikaria, dan dapat bermanifestasi menjadi asma.
Pelepasan formaldehida akan terus meningkat jika dilakukan perawatan endodontik
berulang dan pengisian bahan gigi secara berlebih dengan ekstrusi dari sealant di periapeks
atau di granuloma apikal dari periapeks. Penggunaan natrium hipoklorit 3% untuk
desinfektan, obturasi dengan gutta percha dan semen/sealant tanpa formalin, dan
menghindari ekstrusi apikal dapat diusulkan untuk mengurangi terjadinya reaksi alergi
formadehida (Hakel, 2000).

3.3 Alergi pada Rootcanal Sealers dan Material Obturasi

Secara umum, alergi pada zinc oxida sangat jarang ditemukan dan hanya satu kasus
perawatan saluran akar yang berhasil pada pasien dengan alergi zinc oxide yang
dilaporkan. Munaco et al (1975) dan Pascon & Spanberg (1990) melaporkan bahwa Gutta-
percha memiliki biokompatibilitas yang baik; namun, konsentrasi tinggi dari zinc oxide
bisa meningkatkan toksisitasnya. Karena itu, dewasa ini material filling berbasis resin
(Resilon) diperkenalkan sebagi alternatif dari gutta-percha yang terdiri atas polyester,
difunctional methacrylate resin, kaca bioaktif, dan sealer resin. Penelitian telah
membuktikan bahwa resilon biokompatibel dan merupakan alternatif yang baik untuk
pasien yang alergi terhadap material berbasis zinc oksida-eugenol. Eugenol berperan
sebagai iritan kontak dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe IV dan gejala
anafilaksis umum. Reaksi alergi terhadap eugenol juga dilaporkan pada pasien dengan
inflamasi gingival pada area mukosa disekitar bridge metal-keramik. Kontak alergi
stomatitis juga dilaporkan saat eugenol digunakan sebagai material restorasi sementara dan
lesi sembuh setelah material diganti dengan glass ionomer (Javidi, 2014).
Obturasi sistem saluran akar merupakan langkah terakhir dalam perawatan saluran
akar. Gutta-percha (GP) merupakan bahan yang paling umum digunakan untuk obturasi
sistem saluran akar. Meskipun demikian GP juga memiliki kelemahan, salah satunya yaitu
kemampuan sealing yang buruk. Oleh karena itu, harus digunakan dengan sealer saluran
akar untuk memberikan seal yang efektif. Sealer yang paling umum digunakan dalam
perawatan saluran akar adalah sealer berbasis ZOE (zinc oxide eugenol), yang telah
dimodifikasi untuk keperluan endodontik. Bubuk sealer ini mengandung zinc oxide (ZnO),
yang umunya dicampur dengan cairan eugenol. Keuntungan dari sealer ZOE adalah
aktivitas antimikrobanya dan popularitas di kalangan dokter, terutama bila digunakan
dengan teknik obturasi thermoplasticized. Tapi eugenol ditemukan bocor dari sealer ZOE,
yang dapat menginduksi efek toksik dan mengurangi transmisi di sel-sel saraf.
Sitotoksisitas sealer saluran akar ZOE ini disebabkan eugenol bebas yang dilepaskan dari
bahan set (Javidi, 2014). Eugenol berperan sebagai iritan kontak yang menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe IV, di mana gejala klinisnya muncul setelah beberapa jam paparan.
Gejala klinis tersebut berupa urtikaria kontak yang ditandai dengan reaksi “wheal dan
flare” pada kulit. Eugenol juga dapat menyebabkan rekasi hipersensitivitas tipe I, namun
hal ini sangat jarang terjadi. Reaksi hipersensitivitas ini ditandai dengan agitasi, urtikaria,
gatal pada wajah, leher, tangan, kaki, badan dan kemerahan yang meluas di belakang
telinga dalam beberapa menit setelah penggunaan eugenol.

Meskipun alergi terhadap eugenol jarang terjadi, namun perlu diperhatikan untuk
menanyakan riwayat alergi pasien terhadap dental material. Identifikasi dan eliminasi
alergen yang menyebabkan timbulnya reaksi sangat penting untuk mengatasi kondisi
tersebut, serta untuk mencegah kekambuhan. Ketika timbul gejala pada kulit, pasien harus
dibawa ke dokter kulit untuk konsultasi, dan tes epikutaneus harus dilakukan oleh dokter
kulit. Jika hasil tes dikonfirmasi positif oleh dokter kulit, bahan penyebab harus
dieliminasi (Tammannavar, 2013).

3.3.1 Ledermix Paste

Tidak ada alergi terhadap pasta Ledermix yang dilaporkan kecuali satu kasus
dimana pasien wanita mengalami reaksi tipe I dalam bentuk urtikaria, malaise, dan demam
saat campuran pasta ledermix dan kalsium hidroksida digunakan sebagai pengobatan
intrakanal. Gejala alerginya menghilang setelah membersihkan pasta ledermix dan
mengulang pengobatan menggunakan kalsium hidroksida.
Ledermix merupakan kombinasi dari steroid dan antibiotik. Formulasi ledermix
paste mengandung 1% triamsinolon dan 3% demeclocycline. Formulasi ini pertama kali
direkomendasikan untuk digunakan dalam endodontic treatment. Misalnya seperti Acute
irreversible pulpitis, Acute apical periodontitis, Inflammatory root resorption,
menghambat & mengurangi jumlah bakteri di dalam saluran akar, dll (Ehrmann, 2003).
Rongga mulut terus terpapar zat yang menyebabkan reaksi alergi dan memberikan
kontribusi terhadap kenaikan pengeluaran untu kesehatan setiap tahunnya. Reaksi alergi
umum pada staf kedokteran gigi adalah alergi terhadap lateks, akrilat dan formaldehida.
Sementara polymethymethacrylates dan lateks memicu reaksi delayed hypersensitivity,
natrium metabisulfit dan nikel menyebabkan reaksi langsung (cepat). Untuk menegakkan
diagnosis, penting untuk mendapatkan riwayat yang tepat terkait dengan alergi,
pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi seperti uji tambalan dan MELISA. Dengan
demikian, karena kenaikan jumlah pasien dengan alergi dari bahan yang berbeda, dokter
gigi harus mengetahui tentang alergi terhadap beberapa material sehingga dapat mencegah
manifestasi alergi di klinik gigi.
Beberapa material kedokteran gigi dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas.
Reaksi tersebut umumnya berupa reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed hypersensitivity)
dan reaksi hipersensitvitas tipe I (immediate hypersensitivity). Timbulnya toksisitas
ataupun reaksi alergi dari material kedokteran gigi ini umumnya terjadi akibat kebocoran
monomer atau lepasnya beberapa elemen dari material (alergen) yang kemudian bereaksi
dengan antibodi. Namun, reaksi hipersensitivitas ini sangat kecil kejadianya dan umumnya
hanya terjadi pada mereka yang memang memiliki riwayat alergi (atopi), sehingga
biokompatibilitas material kedokteran gigi masih bisa diterima (kecuali amalgam)
(Ehrmann, 2003).

3.3.2 Kombinasi Ledermix dan Calcium Hydroxide

Kombinasi pasta Ledermix dengan calcium hydroxide diperkenalkan oleh Schroeder.

Awalnya digunakan untuk perawatan gigi nekrotik dengan pembentukan akar yang tidak

sempurna. Campuran 50-50 pasta Ledermix dan calcium hydroxide juga dianjurkan sebagai

intrakanal dressing pada kasus saluran akar yang terinfeksi, nekrosis pulpa, dan infeksi

dengan pembentukan akar yang tidak sempurna (sebagai dressing awal sebelum hanya

menggunakan calcium hydroxide untuk apeksifikasi), perforasi, inflamasi resorpsi akar,

inflamasi resorpsi tulang periapikal, dan untuk perawatan lesi radiolusen periapikal yang luas.

Telah ditunjukkan bahwa campuran 50-50 menyebabkan pelepasan yang lebih lambat dan

difusi komponen aktif dari pasta Ledermix, yang membuat medikamen bertahan lama pada

kanal. Hal ini membantu mempertahankan sterilitas akar untuk waktu yang lebih lama dan

juga mempertahankan konsentrasi yang lebih tinggi dari semua komponen dalam saluran.

Campuran 50-50 pasta Ledermix dan pasta calcium hydroxide tidak merubah pH dan

oleh karena itu diperkirakan bahwa campuran akan bereaksi dalam pola yang sama ketika

hanya calcium hydroxide yang digunakan. Taylor dkk menunjukkan bahwa untuk dua

indikator mikroorganisme, L.casei dan S.mutans (yang merupakan kariogen), campuran 50-

50 secara marginal lebih efektif dibandingkan pasta lain yang digunakan sendirian. Namun,

Seow mengemukakan bahwa untuk S.sanguins dan S.aureus, penambahan dari hanya 25

persen volume Calyxl (calcium hydroxide pada pasta saline) (Otto and Co, Frankfurt,
Jerman) pada Ledermix menjadikan daya hambat total pada daerah yang umumnya hanya

terjadi daya hambat sebagian. Penelitian terakhir menyarankan bahwa beberapa medikamen

sebaiknya tidak digunakan dalam kombinasi, dan bahwa jika dua medikamen dengan

aktivitas mikrobial yang kuat dikombinasikan, dapat tidak terjadi efek sinergisti atau aditif.

Chu dkk membandingkan keefektifan disinfeksi saluran akar dengan radiolusensi

periapikal ketika dirawat dengan antibiotik/medikamen steroid lainnya (Ledermix atau

Septomixine) atau pasta calcium hydroxide (Calasept, Speiko, Darmstadt, Jerman). Hasil

penelitian mereka menunjukkan bahwa pada kelompok Ledermix, 38 strains bakteri

disembuhkan. Kelompok Septomixine dengan 25 strains, dan kelompok Calasept dengan 25

strains. Bakteri gram-positif fakultatif anaerob cocci (meliputi staphylococci dan

streptococci) merupakan yang paling sering dibandingkan gram negatif obligat anaerob rods

setelah perawatan pada ketiga kelompok. (Mittermuller, 2012)

3.3.3 Septomoxine Forte

Septomixine Forte (Septodont, Saint-Maur, Perancis) mengandung dua antibiotik:

neomycin dan polymixin B sulphate. Keduanya dapat dipertimbangkan untuk digunakan

melawan bakteri endodontik yang umum dilaporkan karena aktifitas spektrum yang tidak

sama. Neomycin merupakan bakterisidal melawan gram negatif bacilli tetapi tidak efektif

melawan bacteriodes dan spesies yang berhubungan, seperti halnya melawan jamur.

Polymixin B sulphate tidak efektif melawan bakteri gram positif, seperti yang dikemukakan

oleh Tang dkk yang mendemonstrasikan bahwa aplikasi rutin Septomixine Forte selama satu

minggu tidak efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri intrakanal yang tersisa selama

kunjungan. Selain itu, meskipun agen anti inflamasi (kortikosteroid), dexamethasone (pada

konsentrasi 0.05%), efektif secara klinis, triamcinolone dianggap memiliki efek samping

sistemik yang lebih rendah (Mittermuller, 2012).

3.3.4 Clindamycin
Clindamycin efektif melawan banyak patogen endodontik, meliputi actinomyces,

eubacterium, fusobacterium, propionobacterium, microaerophilic streptococci, peptococcus,

peptostreptococcus, veillonella, prevotella, dan porphyromonas. Secara khusus efektif

melawan black-pigmented prevotella dan spesies porphyromonas secara in vitro.

Molander dkk menyelidiki efek clindamycin pada infeksi saluran akar ketika

digunakan sebagai dressing intrakanal. Capsul clindamycin 150 mg dicampur dengan air

steril dan digunakan pada saluran akar yang terinfeksi. Setelah pengambilan sampel awal

bakteriologi dan instrumentasi rutin, serbuk clindamycin dicampur menjadi pasta dengan

saline yang diaplikasikan selama 14 hari. Ada atau tidaknya bakteri ditentukan pada sampel

yang diambil segera setelah pengangkatan dressing, dan setelah periode tujuh hari selama

dimana kanal diisi dengan cairan sampling. Hasil mengindikasikan bahwa clindamycin tidak

lebih menguntungkan dibandingkan dressing saluran akar konvensional, misalnya seperti

calcium hydroxide. Namun, konsentrasi obat aktif dan kemampuannya untuk penetrasi ke

dalam pada sistem saluran akar belumlah jelas. Tidak ada kontrol negatif yang digunakan.

Namun, pasta clindamycin berhasil dalam mengeliminasi perkembangan bakteri pada

21 dari 25 gigi yang diuji selama 14 hari. Pada empat gigi, enterococci merupakan flora yang

dominan meskipun telah dilakukan perawatan antibiotik. Gilad dkk mengevaluasi efektifitas

clindamycin pada ethylene vinyl acetate, EVA, dalam mereduksi perkembangan bakteri in

vitro. Serat clindamycin diproduksi sebagai berikut: 0.075 g calcium phosphate monobasic

yang dikombinasikan dengan 10 ml air suling, dan ditambahkan pada larutan yang

mengandung 0.050 g clindamycin phosphate dan 10 ml air suling. Kombinasi larutan

kemudian lyophilized selama 24 jam, dan serbuk hasil disaring untuk memperoleh ukuran

partikel 45 microns yang sama. Powder (125 mg) dikombinasikan dengan 375 mg partikel

EVA dan diproses melalui ekstrusi plastometer pada diameter 2 mm, 1 mm, dan 0.5 mm.

Extrusion akhir menghasilkan 250 mm-long fiber, dengan dosis akumulasi rata-rata

0.2 mg serat clindamycin/mm. Hasil dari uji sensitifitas bakteri menunjukkan bahwa pada
konsentrasi 10 microgram/ml, semua bakteri yang diuji menunjukkan tingkat daya hambat

yang bervariasi, terutama P.intermedia, diikuti dengan F.nucleatum, P.micros, dan

S.intermedius. Mereka juga menemukan bahwa serat clindamycin/EVA secara signifikan

mengurangi jumlah bakteri yang ada pada gigi manusia yang diekstraksi. Lebih lanjut, serat

clindamycin/EVA menunjukkan kemampuan untuk melepaskan obat aktif selama sedikitnya

dua minggu.

Lin dkk membandingkan efek antibakteri dari clindamycin dan tetracycline pada

model tubulus dentinalis, seperti halnya menggunakan uji difusi agar. Hasil penelitian mereka

menunjukkan bahwa clindamycin secara signifikan mengurangi jumlah bakteri pada setiap

lapisan dentin dibandingkan dengan tetrasiklin. Uji difusi agar dimana pengenceran 1/3 dan

1/9 digunakan, menunjukkan bahwa kedua medikamen memiliki aktifitas antibakteri, tetapi

clindamycin secara signifikan lebih baik. Pada pengenceran 1/27, clindamycin memiliki efek

yang kecil dan tetracycline tidak memiliki efek sama sekali (Kaur, 2015).

3.3.5 Triple antibiotic paste

Infeksi sistem saluran akar dianggap sebagai infeksi polimikroba, terdiri atas bakteri

aerob dan anaerob. Karena kompleksitas dari infeksi saluran akar, tampak bahwa setiap

antibiotik tunggal dapat berakibat pada sterilisasi yang tidak efektif pada kanal. Besar

kemungkinan kombinasi akan dibutuhkan. Kombinasi antibiotik juga akan menurunkan

kemungkinan dari perkembangan strains bakteri resisten.

Kombinasi yang paling menjanjikan terdiri atas metronidazole, ciprofloxacin, dan

minocycline. Sato dkk mengevaluasi potensi campuran ciprofloxacin, metronidazole, dan

minocycline untuk membunuh bakteri pada lapisan yang dalam dari dentin saluran akar in

situ. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada bakteri yang teratasi dari dentin yang terinfeksi

pada dinding saluran akar 24 jam setelah aplikasi kombinasi obat, kecuali pada satu kasus

dimana sedikit bakteri diatasi (Kaur, 2015).


Hoshino dkk menyelidiki efek antibiotik dari campuran ciprofloxacin, metronidazole,

dan minocycline, dengan dan tanpa tambahan rifampicin, pada bakteri yang diambil dari

dentin dinding saluran akar yang terinfeksi. Efektifitas juga ditentukan dalam melawan

bakteri dari dentin karies dan pulpa yang terinfeksi, yang dapat menjadi prekursor bakteri dari

dentin akar yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa pada penggunaan tunggal, tidak ada

obat yang secara total mengeliminasi bakteri. Namun, dalam kombinasi, obat-obat tersebut

dapat secara konsisten mensterilkan semua sampel. Iwaya dkk melaporkan premolar kedua

mandibula yang nekrotik dengan keterlibatan periapikal dan traktus sinus.

Protokol perawatan saluran akar standar dan apeksifikasi, agen antimikroba

(metronidazole dan ciprofloxacin) digunakan pada saluran akar, setelah saluran akar

dibiarkan kosong. Pemeriksaan radiografi menunjukkan dimulainya penutupan apikal lima

bulan setelah selesainya protokol antimikrobial. Ketebalan dinding kanal dan penutupan

apikal secara sempurna dikonfirmasi 30 bulan setelah perawatan, mengindikasikan potensi

revaskularisasi dari pulpa gigi permanen yang masih muda pada ruang saluran akar yang

bebas bakteri. Takushige dkk mengevaluasi efektifitas pasta poliantibiotik yang terdiri atas

ciprofloxacin, metronidazole, dan minocycline, pada hasil klinis yang disebut dengan “Lesion

Sterilization and Tissue Repair”, LSTR, terapi pada gigi sulung dengan lesi periradikuler.

Hasil menunjukkan bahwa pada semua kasus, gejala klinis seperti pembengkakan gingiva,

traktus sinus, nyeri rangsangan, nyeri spontan, dan nyeri saat menggigit, menghilang setelah

perawatan, meskipun pada keempat kasus tanda dan gejala klinis akhirnya diatasi hanya

setelah perawatan ulang dengan menggunakan prosedur yang sama. Dengan demikian, jika

ada abses gingiva dan fistula, akan menghilang setelah beberapa hari (Kaur, 2015).

Gigi permanen pengganti erupsi tanpa kelainan apapun atau ditemukan normal secara

radiografi dan pada proses erupsi. Semua kasus yang dievaluasi menunjukkan keberhasilan.

Rata-rata waktu fungsi gigi sulung adalah 680 hari (range: 68-2.390 hari), kecuali untuk satu

kasus dimana gigi permanen pengganti tidak ada karena faktor kongenital. Windley dkk
menilai efektifitas triple antibiotic pasta pada gigi anjing yang belum dewasa dengan

periodontitis apikal. Saluran diberi tanda sebelum (S1) dan sesudah irigasi (S2) dengan

1.25% NaOCl dan setelah dressing dengan triple antibiotic paste (S3), yang terdiri atas

metronidazole, ciprofloxacin, dan minocycline. Pada S1, 100% dari sampel yang dikultur,

positif bakteri dengan rata-rata nilai CFU 1.7x10. Pada S2, 10% dari sampel yang dikultur,

bebas bakteri dengan rata-rata nilai CFU 1.4x10. Pada S3, 70 persen dari sampel yang

dikultur, bebas bakteri dengan rata-rata nilai CFU hanya 26. Berkurangnya rata-rata nilai

CFU antara S1 dan S2, serta antara S2 dan S3, signifikan secara statistik.

3.3.6 Metronidazole

Metronidazole merupakan senyawa nitroimidazole yang memiliki spektrum luas dari

aktifitas melawan protozoa dan bakteri anaerob. Diketahui memiliki aktifitas antibakteri

anaerob cocci yang kuat, sebagaimana halnya gram negatif dan gram positif bacilli, keduanya

telah digunakan dan secara topikal digunakan pada perawatan penyakit periodontal.

Metronidazole dengan cepat menembus membran sel bakteri, yang kemudian akan mengikat

pada DNA, merusak struktur helix, dan menyebabkan kematian sel yang cepat. Roche dan

Yoshimori menyelidiki aktifitas metronidazole melawan abses odontegenik pada isolasi klinis

in vitro. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa metronidazole memiliki aktifitas yang

baik dalam melawan bakteri anaerob yang diisolasi dari abses odontogenik tetapi tidak

memiliki aktifitas melawan bakteri aerob (Ehrmann, 2003).

Siqueira dan deUzeda menyelidiki aktifitas antibakteri dari 0.12% metronidazole gel;

10% metronidazole gel; calcium hydroxide dan camphorated paramonochlorophenol

(CPMC); dan calcium hydroxide dan gliserin menggunakan uji difusi agar. Hasil

menunjukkan bahwa calcium hydroxide/pasta CPMC efektif melawan semua bakteri strains

yang diuji. Chlorhexidine juga menghambat semua strains, sama efektifnya dengan calcium

hydroxide/pasta CPMC melawan semua strains.


Metronidazole juga menghambat pertumbuhan semua anaerob obligate yang diuji dan

lebih efektif dibandingkan calcium hydroxide/CPMC dalam melawan dua strains. Pada

penelitian lain, Lima dkk menyelidiki efektifitas chlorhexidine atau antibiotik dalam

mengeliminasi biofilm E.faecalis. Mereka menemukan bahwa ada perbedaan signifikan

antara formulasi yang diuji. Hubungan clindamycin dengan metronidazole secara signifikan

mengurangi jumlah sel dalam one-day biofilm. Namun, dari semua medikasi yang diuji,

hanya 2% chlorhexidine mengandung medikasi yang dapat mengeliminasi sebagian besar

one-day dan three-day biofilm E.faecalis (Ehrmann, 2003).

Wang dkk mengeliminasi efek metronidazole-chlorhexidine pada perawatan chronic

periodontitis apikal. Mereka menemukan bahwa tingkat efektifitas perawatan metronidazole-

chlorhexidine adalah 97.6%. Yu dkk mengevaluasi efek pasta yang dibuat dari erytromycin

ethylsuccinate, metronidazole, dan CP dalam mensterilkan saluran akar. Observasi klinis dari

180 pasien dengan apex akar pada periodontitis akut dan kronik menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan yang signifikan antara erythromycin-ethylsuccinate-metronidazole-CP dengan

formocresol dalam sterilisasi saluran akar. Oleh karena itu, iritabilitas dan tingkat toksik dari

pasta dapat dikurangi dengan menggunakan erythromycin-ethylsuccinate-metronidazole-CP

dibandingkan FC.

Mereka menyimpulkan bahwa sterilisasi saluran akar dengan erythromycin-

ethylsuccinate-metronidazole-CP aman dan efektif dalam restorasi penyakit apex akar. Gao

dkk menyelidiki pelepasan yang berkelanjutan gutta percha point yang mengandung

metronidazole, SRDGM, untuk disinfeksi saluran akar, dan menentukan konsentrasi obat in

vitro dan waktu yang menentukan konsentrasi obat efektif. Hasil penelitian mereka

menunjukkan bahwa SRDGM mengandung metronidazole 2013 microgram; yang dapat

melepaskan 68.24% dari total obat dalam 24 jam in vitro. Konsentrasi metronidazole efektif

melepaskan paling lama lebih dari 10 hari. Pada hari kesepuluh, juga ada 33.13 microg/ml
metronidazole yang dilepaskan, yang lebih dari konsentrasi daya hambat minor

metronidazole (Ehrmann, 2003).

Hoelscher dkk mengevaluasi efek antimikroba dari lima antibiotik (amoxicillin,

penicillin, clindamycin, metronidazole, dan doxycycline) ketika ditambahkan pada Kerr Pulp

Canal Sealer EWT dalam melawan E.faecalis. Mereka menemukan bahwa semua antibiotik

yang disebutkan, kecuali metronidazole, dapat meningkatkan efektifitas antimikroba pada

sealer. Krithikadarra dkk menyelidiki disinfeksi tubulus dentinalis menggunakan 2%

chlorhexidine gel, 2% metronidazole gel, bioactive glass (S3S4) dibandingkan dengan

calcium hydroxide. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa persentase daya hambat

keseluruhan dari pertumbuhan bakteri (pada kedalaman 200 microm dan 400 microm) adalah

100% dengan 2% chlorhexidine gel. Daya hambat pertumbuhan adalah sedang dengan 2%

metronidazole gel (86.5%), diikuti dengan bioactive glass (62.8%) dan calcium hydroxide

(58.5%).

3.3.4 Efek samping potensial

Ketika klinisi membuat keputusan apakah akan meresepkan antibiotik atau tidak

dalam hubungannya dengan perawatan endodontik, penting untuk mengenali risiko dan efek

samping dari antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak berbeda dengan medikasi lain dalam

keuntungan penggunaannya yang harus memperhatikan risiko yang ada, dari perspektif

perawatan langsung pasien dan masalah kesehatan publik global. Efek samping antibiotik

yang umumnya diresepkan untuk infeksi antibiotik adalah reaksi hipersensitif dan drug fever

terhadap penicillin dan antibiotik βlactam lainnya, pseudomembraneous colitis, yang kadang-

kadang terjadi pada clindamycin atau antibiotik lain, nausea, muntah, dan distress

gastrointestinal umum dengan macrolides, fotosensitifitas yang dapat disertai dengan

toksisitas renal dan tetracycline yang dihubungkan dengan penggunaan aminogycosides

(Sporcic, 2001).
Efek samping hipersensitifitas lebih umum terjadi pada βlactam antibiotic, dan drug

rash, serum sickness, dan reaksi anafilaktik yang harus dikenali baik oleh klinisi. Drug fever

merupakan efek samping hipersensitifitas antibiotik yang paling umum. Drug fever terjadi

pada 10-15% demam yang tidak dapat dijelaskan pada pasien rumah sakit di AS, dan dapat

terjadi dengan medikasi lain, tetapi umumnya dengan βlactam dan sulfonamide. Efek

samping gastrointestinal umum terjadi pada banyak medikasi, khususnya pada antibiotik

macrolide. Clarithromycin (seperti Biaxin XL) dan azithromycin yang berhubungan dengan

kurangnya irigasi GI dibandingkan erythromycin.

Diare merupakan gejala yang paling sering dari distress GI pada pasien dengan

macrolides, βlactam atau clindamycin, dan iritasi langsung pada mukosa intestinal atau

ketidakseimbangan flora intestinal. Seperti yang ditekankan sebelumnya, satu jenis

komplikasi antibiotik akibat ketidakseimbangan mikrobial adalah pertumbuhan clostridium

difficile, menyebabkan pseudomembraneous colitis, kondisi yang jarang terjadi namun serius.

Kondisi ini dapat berkembang hingga enam minggu setelah berakhirnya terapi dan biasanya

disebabkan oleh clindamycin, ampicillin, atau cephalosporins, terutama pada pasien yang

dirawat di rumah sakit (Sporcic, 2001).

Satu efek samping yang paling serius yang paling sering terjadi, penggunaan

antibiotik secara sembarangan, tidak hanya bagi individu pasien tetapi juga dari perspektif

kesehatan publik global, yaitu meningkatnya resistensi strain bakteri. Seperti yang ditekankan

sebelumnya, persentase β-lactamase-postive bakteri cenderung meningkatkan infeksi

endodontik pada pasien sebelum penggunaan β-lactam antibiotik.

Kelompok mikroorganisme lain yang menjadi bakteri resisten obat yang paling serius

adalah enterococci. Enterococci, khususnya E.faecalis dan E.faecium, merupakan yang

mikroflora yang paling umum pada saluran akar pada kegagalan kasus endodontik (Sporcic,

2001).
Daftar Pustaka

1. Bains R, Loomba K, Loomba A. Allergy to Mercury from Dental Amalgam :


Case Report. Asian Journal of Oral Health & Allied Sciences. 2012;2(2).
2. Hoogstraten IM, et al. Reduced frequency of nickel allergy upon oral nickel
contact at an early age. Clin. exp. Immunol. 1991; 85: 441-445
3. Nananvati Ronak S. Anaphylactic shock management in dental clinics: An
overview.2013
4. Maya L, Angelina KY, Assya K, Mariana TY, Maria DG. Allergic contact
dermatitis from formaldehde exposure. Journal of IMAB 2012;18: 255-262.
5. Sporcic Z, Paranos S. Allergy to a tooth devitalizing material. Allergy
2001;56: 249.
6. Koch MJ, Wünstel E, Stein G. Formaldehyde release from ground root canal
sealer in vitro. J Endodontics 2001;27: 396–397.
7. Hakel Y, Braun JJ, Zana H, Boukari A, De Blay F, Pauli G. Anaphylactic
shock during endodontic treatment due to allergie to formaldehyde in a root
canal sealant. J Endodontics 2000;26: 529–531.
8. Javidi M, Zarei M, Naghavi N, Mortazavi M, Nejat AH. Zinc oxide
nano-particles as sealer in endodontics and its sealing ability. Contemporary
Clinical Dentistry. 2014 Mar;5(1): 20-24
9. Kaur A, Shah N, Logani A, Mishra N. Biotoxicity of commonly used root
canal sealer. J Conserv Dent. 2015 Apr;18(2): 83-88
10. Tammannavar P, Pushpalatha C, Jain S, Sowmya SV. An unexpected positive
hypersensitive reaction to eugenol. BMJ Case Rep. 2013; 1-4
11. Ehrmann EH, Messer HH, Adams GG. The relationship of intracanal
medicaments to postoperative pain in endodontics. Int Endo J 2003;36:868-
875.
12. Mehdipour O, Kleir DJ, Everbach RE. Anatomy of Sodium Hypochlorite
Accidents. Compend Cont Educ Dent 2007; 28(10)
13. Al-Sebaei MO, Halabi OA, El-Hakim IE. Sodium hypochlorite accident
resulting in life-threatening airway obstruction during root canal treatment .
Dovepress journal. 2015
14. Mittermuller P, Szeimies RM, Landthaler M, Schmalz G. A rare allergy to a
polyether dental impression material. Clin Oral Invest. 2012;16(4):1111-16.
24

Vous aimerez peut-être aussi