Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. FA
Umur : 21 thn
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Hila hila desa ekatiro kab. Bulukumba
Agama : Islam
No. RM 64 11 33
Tanggal masuk : 09/12/2013
1
- Riwayat berobat di puskesmas di berikan obat furosemid.
- Riwayat berobat di dokter diberikan obat furosemid, metil prednisolon,
dan spiranolectam
Riwayat Psikososial:
- Riwayat Minum Alkohol (-)
- Riwayat Merokok (-)
Riwayat keluarga:
- Riwayat keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama
(-)
Tanda vital :
Tekanan Darah : 130/100 mmHg
Nadi : 64 x/menit reguler, kuat angkat
Pernapasan : 30 x/menit, Tipe : Thoracoabdominal
Suhu : 37oC (axilla)
2
Gerakan : ke segala arah
Tekanan bola mata : dalam batas normal
Kelopak Mata : edema palpebra (+)
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)
Kornea : jernih
Pupil : bulat, isokor 2,5mm/2,5mm
Reflex cahaya +/+
Telinga
Pendengaran : dalam batas normal
Tophi : (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Mulut
Bibir : pucat (-), kering (-)
Lidah : kotor (-),tremor (-), hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-),
Gigi geligi : caries (-)
Gusi : perdarahan gusi (-)
Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
DVS : R+0 cm H2O
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Dada
Inspeksi :
3
Bentuk : normochest, simetris kiri = kanan
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Buah dada : simetris kiri = kanan
Sela iga : dalam batas normal
Paru
Palpasi :
Nyeri tekan : (-/-)
Massa tumor : (-/-)
Fremitus raba : vocal fremitus menurun pada kedua
basal paru
Perkusi :
Paru kiri : peralihan dari sonor ke pekak
setinggi CV Th VII
Paru kanan : peralihan dari sonor ke pekak
setinggi CV Th VII
Batas paru-hepar : ICS V-VI
Batas paru belakang kanan : setinggi CV Th X
Batas paru belakang kiri : setinggi CV Th XI
Auskultasi :
Bunyi pernapasan :Vesikuler, Bunyi pernafasan
menurun setinggi CV Th VII
bilateral
Bunyi tambahan : Rh Wh
+ + - -
+ + - -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi :dalam batas normal
batas atas jantung : ICS II sinistra
4
batas kanan jantung : ICS III-IV linea parasternalis dextra
batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular,
bunyi tambahan (-)
Perut
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : NT (-) MT (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Perkusi : Asites, Shifting dullness (+)
Alat kelamin : Skrotum edema (+)
Ekstremitas
Edema +/+
+/+
5
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
6
Pemeriksaan Penunjang Lainnya :
Urinalisis tanggal 09-12-2013
Protein : +3/>=300
Glukosa : +/100
Bilirubin : +/1
Blood : +2/80
Sedimen eritrosit : 20
Analisi Gas Darah tanggal 14-10-2013
Kesan : Alkalosis Metabolik
Foto thorax AP tanggal 09-12-2013
Kesan : - Efusi pleura bilateral terutama kiri
USG Abdomen Atas + Bawah tanggal 18-10-2013
Kesan : - Efusi Pleura bilateral
- Ascites
Protein Esbach tanggal 19-10-2013
Hasil : 3.8 gram/L/24 jam
VI. ASSESMENT :
- Edema anasarka e.c Susp. Sindrom Nefrotik
VII. PLANNING
Pengobatan :
Oksigen 2-3 L/menit
Diet rendah protein 0.8 mg/kgBB/hari, diet rendah garam <6 gram/hari
Spronolakton 50 mg 1-0-0
Furosemide 40 mg 1-0-0
Metilprednisolon 0.8 mg/kgBB/hr
Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
Captopril 6.25 mg 2x1
7
Mengukur berat badan dan lingkar perut per hari
Konsul ke subdivisi Ginjal Hipertensi
Konsul ke bagian THT
Rencana pemeriksaan :
o Biopsi Ginjal
o EKG
o ASTO
VIII. PROGNOSIS
Quad ad functionam : Bonam
Quad ad sanationam : Bonam
Quad ad vitam : Bonam
8
bilateral pada hemithorax basal PT, aPTT, GOT, GPT, Ureum,
paru (S) Creatinin, Albumin, Protein
BJ : I/II murni regular total, GDS, Kolesterol total,
Peristaltik (+) kesan N, Asites, LDL, HDL, TG, elektrolit
Shifting dullness (+) - Urinalisis
Ext : Edema +/+ - Foto thorax
A : Suspek SN - Konsul THT
11/12/2013 S: P:
T : 120/80 mmHg Sesak (+), Batuk (+), Demam (+), O2 3 Liter/menit
N : 88 x/i nyeri menelan (+), Nafsu makan Diet rendah protein 0.8
P : 38 x/i menurun (+), kaki bengkak (+) gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 37,6⁰C BAB : biasa, BAK : kesan kurang gram/hari
Furosemide 200 mg/24 jam/SP
BB: 83 kg O: Paracetamol 1 amp / 8 jam
LP : 91.5 cm SS / GC / CM /drips
Anemis -/-, ikterus -/-, Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
MT(-), NT(-), DVS R+0 Simvastatin 20 mg 0-0-1
cmH2O
BP : vesikuler,
BT : Rh +/+, Wh -/- Plan : USG Abdomen,
BP menurun setinggi Th VII Protein Esbach, ASTO
bilateral
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N,
Shifting dullness (+)
Ext : Edema +/+
A : Suspek SN
Efusi pleura bilateral
9
Laringitis
12/12/2013 S: P:
T : 110/70 mmHg Sesak berkurang, Batuk berkurang, O2 3 Liter/menit (jika perlu)
N : 88 x/i Demam (-), nyeri menelan (+), Diet rendah protein 0.8
P : 28 x/i Nafsu makan berkurang (+), kaki gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 36.5⁰C bengkak (+) gram/hari
BAB : biasa, BAK : kesan kurang Furosemide 40 mg 0-1-0
BB: 82.5 kg O: Spironolakton 25 mg 1-0-0
LP : 91 cm SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1
MT(-), NT(-), DVS R+0
cmH2O Plan : Protein esbach, ASTO
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/-
BP menurun setinggi Th VII
bilateral
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N, Asites
(+) Shifting dullnes (+)
Ext : Edema +/+
A : Suspek SN
Efusi pleura bilateral
Laringitis
17/10/2013 S: P:
T : 100/70 mmHg Sesak berkurang, Batuk berkurang, O2 3 Liter/menit (jika perlu)
N : 80 x/i Nyeri menelan (+), Nafsu makan Diet rendah protein 0.8
P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 36.2⁰C O: gram/hari
SS / GC / CM Furosemide 40 mg 0-1-0
10
BB: 81.5 kg Anemis -/-, ikterus -/-, Spironolakton 25 mg 1-0-0
LP : 91 cm MT(-), NT(-), DVS R+0 Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
cmH2O Simvastatin 20 mg 0-0-1
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/- Plan : Protein Esbach, ASTO
BP menurun setinggi Th VII
bilateral
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N, Asites
(+) Shifting dullnes (+)
Ext : Edema +/+
A : Suspek SN
Efusi pleura bilateral
Laringitis
18/10/2013 S: P:
T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk berkurang, Nyeri O2 3 Liter/menit (jika perlu)
N : 80 x/i menelan (+), Nafsu makan Diet rendah protein 0.8
P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak tapi sudah gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 36.5⁰C berkurang gram/hari
O: Furosemide 40 mg 0-1-0
BB: 81 kg SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
LP : 91 cm Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1
MT(-), NT(-), DVS R+0 Spironolakton 25 mg 1-0-0
cmH2O Metilprednisolon 4 mg 7-0-0
BP : vesikuler, (pertama diminum 4 tab,
BT : Rh -/-, Wh -/- selang 1 jam diminum 3 tab)
BP menurun setinggi Th VII
bilateral Plan:
BJ : I/II murni regular Konsul ke subdivisi GH
Peristaltik (+) kesan N, Asites
11
(+)
Ext : Edema +/+
A : SN
Efusi pleura bilateral
Laringitis
19/10/2013 S: P:
T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk berkurang, Nyeri O2 3 Liter/menit (jika perlu)
N : 80 x/i menelan (+), Nafsu makan Diet rendah protein 0.8
P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak tapi sudah gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 36.5⁰C berkurang gram/hari
O: Furosemide 40 mg 0-1-0
BB: 80 kg SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
LP : 90.5 cm Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1
MT(-), NT(-), DVS R+0 Spironolakton 25 mg 1-0-0
cmH2O Metilprednisolon 4 mg 7-0-0
BP : vesikuler, (pertama diminum 4 tab,
BT : Rh -/-, Wh -/- selang 1 jam diminum 3 tab)
BP menurun setinggi Th VII
bilateral Plan : Biopsi ginjal, ASTO
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N, Asites
(+) Shifting dullnes (+)
Ext : Edema +/+
A : Sindrom Nefrotik
Efusi pleura bilateral
Laringitis
20/10/2013 S: P:
T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk berkurang, Nyeri O2 3 Liter/menit (jika perlu)
N : 80 x/i menelan (+), Nafsu makan Diet rendah protein 0.8
12
P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak tapi sudah gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 36.5⁰C berkurang gram/hari
O: Furosemide 40 mg 0-1-0
BB: 80 kg SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
LP : 90 cm Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1
MT(-), NT(-), DVS R+0 Spironolakton 50 mg 1-0-0
cmH2O Metilprednisolon 4 mg 7-0-0
BP : vesikuler, (pertama diminum 4 tab,
BT : Rh -/-, Wh -/- selang 1 jam diminum 3 tab)
BP menurun setinggi Th VII
bilateral Plan : Biopsi Ginjal, ASTO
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N, Asites
(+) Shifting dullnes (+)
Ext : Edema +/+
A : Sindrom Nefrotik
Efusi pleura bilateral
Laringitis
21/10/2013 S: P:
T : 100/70 mmHg Batuk berkurang, Nyeri menelan O2 3 Liter/menit (jika perlu)
N : 80 x/i berkurang, Kaki bengkak tapi sudah Diet rendah protein 0.8
P : 28 x/i berkurang gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 36.5⁰C O: gram/hari
SS / GC / CM Furosemide 40 mg 0-1-0
BB: 79 kg Anemis -/-, ikterus -/-, Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
LP : 90 cm MT(-), NT(-), DVS R+0 Simvastatin 20 mg 0-0-1
cmH2O Spironolakton 50 mg 1-0-0
BP : vesikuler, Metilprednisolon 4 mg 7-0-0
BT : Rh -/-, Wh -/- (pertama diminum 4 tab,
BP menurun setinggi Th VII selang 1 jam diminum 3 tab)
13
bilateral
BJ : I/II murni regular Plan : Biopsi Ginjal, ASTO
Peristaltik (+) kesan N, Asites
(+) Shifting dullnes (+)
Ext : Edema +/+
A : Sindrom Nefrotik
Efusi pleura bilateral
Laringitis
22/10/2013 S: P:
T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk (+) dahak (+), O2 3 Liter/menit (jika perlu)
N : 80 x/i Nyeri menelan berkurang, Kaki Diet rendah protein 0.8
P : 24 x/i bengkak tapi sudah berkurang gr/kgBB/hr, rendah garam <6
S : 36.5⁰C O: gram/hari
SS / GC / CM Furosemide 40 mg 0-1-0
BB: 79 kg Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1
LP : 89 cm MT(-), NT(-), DVS R+0 Spironolakton 50 mg 1-0-0
cmH2O Metilprednisolon 16 mg 2-0-0
BP : vesikuler, Ambroxol tab 30 mg 3x1
BT : Rh -/-, Wh -/- Captopril 6.25 mg 2x1
BP menurun setinggi Th VII
bilateral Plan : Biopsi Ginjal, ASTO
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N, Asites
(+) Shifting dullnes (+)
Ext : Edema +/+
A : Suspek SN
Efusi pleura bilateral
Laringitis
14
X. RESUME
Pasien laki-laki umur 49 tahun datang dengan keluhan utama dispnea yang
dialami sejak ±2 hari sebelum Masuk RS. Ada DOE dan Orthopne. Batuk
dirasakan ±2 hari sebelum Masuk RS. Ada nyeri ulu hati dan nafsu makan
menurun. Ada disfagi, odinofagi dan odinofoni. Demam dialami sejak ±2 hari
sebelum masuk RS, terus menerus, turun dengan pemberian paracetamol. Edema
anasarka sejak ±2 tahun sebelum masuk RS, awalnya dimulai dari kaki kemudian
naik ke perut dan wajah. Edema berkurang jika mengonsumsi obat herbal. BAB :
±3 hari sekali, warna kuning coklat, BAK : Kesan kurang, warna kuning jernih.
Ada riwayat opname di RS Haji 1 bulan yang lalu dengan diagnosa Sindrom
nefrotik. Riwayat pengobatan dengan herbal selama 2 tahun terakhir serta obat
metilprednisolon dosis 4-4-4 yang didapat dari RS Haji, edema berkurang dengan
obat tersebut, namun 5 hari terakhir pasien berhenti minum obat, edema muncul
kembali dan semakin parah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 84
kali per menit reguler; kuat angkat, pernapasan 28 x/menit, tipe thoracoabdominal
serta suhu 38,6oC (axilla). Pada wajah didapatkan edema palpebra. Pada palpasi
thorax didapatkan vocal fremitus menurun pada kedua basal paru, pada perkusi
didapatkan peralihan dari sonor ke pekak setinggi CV Th VII bilateral. Pada
auskultasi didapatkan bunyi pernapasan menurun setinggi CV Th VII bilateral.
Pada abdomen didapatkan asites dengan shifting dullness (+). pada skrotum dan
extremitas juga didapatkan edema.
Pada pemeriksaan penunjang diperoleh hasil laboratorium leukosit
20.41x103/uL, Hb 12.2 g/dL, protein total 4.2 g/dL, albumin 1.3 g/dL, kolesterol
total 449 mg/dL, kolesterol HDL 42 mg/dL, kolesterol LDL 350 mg/dL,
Trigliserida 225 mg/dL. Pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan adanya
alkalosis metabolik. Pada pemeriksaan urinalisis diperoleh protein 500/++++ dan
blood 50/+++. Pada pemeriksaan foto thorax diperoleh kesan Efusi pleura
bilateral dan Dilatatio et elongatio aortae. Pemeriksaan USG abdomen didapatkan
kesan Efusi pleura bilateral dan ascites. Pada pemeriksaan protein esbach
diperoleh hasil 3.8 gram/L/24 jam
15
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, maka pasien didiagnosis Sindrom Nefrotik.
XI. DISKUSI
Pasien laki-laki umur 49 tahun datang dengan keluhan utama sesak napas,
maka kita dapat memikirkan berbagai kemungkinan. Sesak napas dapat berasal
dari paru dan non paru. Dari paru misalnya asma, PPOK, TB paru, efusi pleura.
Dari non paru misalnya pada gagal jantung, anemia, asidosis metabolik. Pada
anamnesis, sesak nafas dialami sejak ±2 hari sebelum masuk RS. Ada DOE dan
Orthopnea tapi tidak ada PND. Batuk dirasakan ±2 hari sebelum Masuk RS, tidak
ada lendir dan darah, tidak ada riwayat batuk berdarah dan batuk lama, tidak ada
riwayat alergi dan asma. Pada pemeriksaan thorax didapatkan rhonki pada kedua
lapangan paru dan adanya bunyi pernafasan yang menurun setinggi CV Th VII
bilateral. Pada foto thorax dan USG abdomen didapatkan kesan efusi pleura
bilateral. Sehingga bisa dipikirkan bahwa penyebab sesak pada pasien ini adalah
adanya cairan pada cavum pleura atau efusi pleura serta edema paru akut.
Pada pasien ini didapatkan adanya keluhan badan bengkak sejak ±2 tahun
sebelum masuk RS, awalnya dimulai dari kaki kemudian naik ke perut dan wajah.
Bengkak pada badan berkurang jika mengonsumsi obat herbal. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya edema palpebra, asites serta edema pada extremitas.
Adanya edema generalisata pada pasien ini bisa mengarahkan diagnosa pada
berbagai kemungkinan misalnya sindrom nefrotik, GGA oliguria, Gagal jantung
kongestif, Sirosis Hepatis, Kwashiorkor. Berdasarkan hasil laboratorium darah
didapatkan albumin 1.3 g/dL, protein total 4.2 g/dL, Kolesterol total 449 mg/dL,
kolesterol HDL 42 mg/dL, kolesterol LDL 350 mg/dL dan trigliserida 225mg/dL.
Hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan protein 500/++++ dan blood 50/+++.
Pemeriksaan protein esbach diperoleh hasil 3.8 gram/L/24 jam. Karena hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini memenuhi
Kriteria diagnosis sindrom nefrotik yaitu adanya edema anasarka, proteinuria
masif (≥3.5 g/hari), hipoalbuminemia (<3,5 gr/dL), dan hiperkolestrolemia, maka
diagnosis pasien ini diarahkan pada sindrom nefrotik.
16
Proteinuria pada pasien ini disebabkan karena adanya peningkatan
permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein yaitu berdasarkan ukuran molekul
(size barrier) dan berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada Sindrom
Nefrotik kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu sehingga protein dapat
lolos pada saat proses filtrasi glomerulus.
Hipoalbuminemia pada pasien ini disebabkan oleh proteinuria masif
dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia dapat pula
terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proximal. Hipoalbuminemia juga dapat menyebabkan efusi pleura oleh karena
terjadi penurunan tekanan koloid osmotik vaskular pleura.
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Kedua mekanisme tersebut
ditemukan secara bersama pada pasien SN.
Hiperlipidemia disebabkan oleh meningkatnya LDL (Low Density
Lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Mekanisme hiperlipidemia
pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan
menurunnya katabolisme.
Pasien ini mengeluhkan nyeri dan sulit menelan disertai suara serak yang
mengarahkan diagnosis Laringitis. Hal ini bisa berhubungan dengan penyakit SN
yang diderita. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral , seluler dan
gangguan sistem komplemen.
Pengobatan pada SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Pada praktek sehari-
17
hari, intake protein yang direkomendasikan untuk penderita sindrom nefrotik yaitu
0,8-1 g/kg/hari, dengan anjuran asupan protein berasal dari protein nabati dan
protein dari ikan. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-
macam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1
hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya. Sampai 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu namun 50% pasien akan
mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Untuk terapi
suportif/simtomatik ACE inhibitor diindikasikan untuk mengurangi proteinuria,
pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis
1-3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan dengan dosis 1-2
mg/kg per hari.
Komplikasi sindrom nefrotik yang bisa terjadi yaitu keseimbangan
nitrogen menjadi negatif, tromboemboli, kekurangan vitamin D, infeksi serta
gangguan fungsi ginjal.
Keseimbangan nitrogen merupakan salah satu komplikasi SN yang terjadi
oleh karena proteinuria yang masif. Tromboemboli bisa terjadi karena adanya
peningkatan koagulasi intravaskular, kelainan ini disebabkan oleh perubahan
tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan
fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
Kekurangan vitamin D juga merupakan komplikasi SN. Vitamin D yang
terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan
kadar plasma. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan
gangguan sistem komplemen. Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami
gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan
atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain
yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
18
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
19
II. ETIOLOGI
a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik
idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan
gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi :1,2,3
1. GN lesi minimal (GNLM)
2. Glomerulosklerosis fokal (GSF)
3. GN membranosa (GNMN)
4. GN Membranoproliferatif (GNMP)
5. GN proliferatif lain
b. Penyebab Sekunder1,2,3
1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra,
skistosoma
2. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma :paru, payudara,
colon, myeloma multiple, karsinoma ginjal
3. Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective
tissue disease)
4. Metabolik : Diabetes militus, amylodosis
20
5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid,
kaptopril, heroin
6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom
nefrotik yang sensitive terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa
kelainan minimal, tidak perlu biopsy), dan resisten steroid atau SNRS yang
lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy.
III. EPIDEMIOLOGI
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan= 2:1, sedangkan pada
masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. Biasanya 1 dari 4 penderita
sindrom nefrotik adalah penderita dengan usia>60 tahun. Namun secara tepatnya
insiden dan prevalensi sindrom nefrotik pada lansia tidak diketahui karena sering
terjadi salah diagnosa2
IV. PATOFISIOLOGI
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus ( kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh
besarnya molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrane basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin1
b. Hipoalbuminemia
Hipoalbumin disebabka oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat ( namun tidak memadai untuk mengganti kehilagan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun1
21
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan
hipoalbumineia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan
onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar
tubuh dan menigkatkan edema.1,2
c. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density
lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein)
dapat meningkat, normal atau meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein
lipid disintesis oleh penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum
dan penurunan tekanan onkotik.1,2
d. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C,
dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII,
VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi
sel endotel serta menurunnya factor zymogen.1,2,3
VI. DIAGNOSA
22
hipoalbuminemia <3.5 g/dl, edema, hiperlipidemia, lipiduria, dan
hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venerologi diperlukan untuk
menegakkan diagnosa thrombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal.1,2,3
a) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria
berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.2
b) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies:
epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.2
c) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed
collection atau single spot collection. Timed collection dilakukan melalui
pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama
23
keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg.
Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein
urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari
sebanyak ≥ 3g.2,8
d) USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.2
e) Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset
usia> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak
diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan
diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki
pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan
minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal,
karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap
steroid.2
f) Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
VIII. PENATALAKSANAAN
24
Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan
yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Pengobatan dengan
kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.2,5
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat
badan/hari selama 4 – 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama
4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi bila
terapi diteruskan sampai 20-24 minggu namun 50% pasien akan mengalami
kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.2,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5
g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang
lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak
memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan
kortikosteroid.5
Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik
dan glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada
pasien dengan insufisiensi ginjal moderat sampai berat. Restriksi protein tidak lagi
direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik.1,4
Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat
diberikan SN yang disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena
pemberian diuretik dapat memperburuk gejala tersebut. Pada edema sedang atau
25
edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari.
Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih
dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari. Bila edema menetap
dengan pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus
albumin. Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg
intravena. Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran
cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload).
Penderita yang mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas
dan gagal jantung.1,2,5
Dietetik
Intake sodium harus dikurangi minimal 6 gram/hari untuk meminimalkan
edema dan hipertensi dan untuk memberikan efek potensiasi dengan ACE
inhibitor dan ARB. Intake protein pada sindrom nefrotik masih menjadi
perdebatan. Beberapa studi menunjukkan bahwa diet tinggi protein tidak efektif
untuk mengoreksi hipoalbuminemia. Bahkan peningkatan intake protein
cenderung meningkatkan proteinuria dan hiuperfiltrasi glomerulus. Justru, diet
rendah protein (<0,8 g/kg/hari) mempunyai efek anti proteinuria yang cukup
berarti. Pada praktek sehari-hari, intake protein yang direkomendasikan yaitu 0,8-
1 g/kg/hari, dengan anjuran asupan protein berasal dari protein nabati dan protein
dari ikan. Suplementasi albumin tidak ada manfaatnya dan tidak
direkomendasikan, kecuali pada kasus hipovolemia yang berat.
IX. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah
selulitis dan peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi adalah
infeksi gram negative.
2. Hipertensi
26
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau
terjadi sebagai akibat efek samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan
golongan inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau
beta adrenergic blockers.1,2,5
3. Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik
yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan
muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan
perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa
anak memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia diterapi dengan pemberian
cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1
g/kg berat badan.1,2,5
4. Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular,
keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor
pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan
dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin.
Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2
g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN
dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan
dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan
bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan
dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena.1,2,5
5. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida,
fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat,
namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar
27
kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat
proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan
tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk
melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN
juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid
kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan
mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas. Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat
asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan.1,2,5
X. PROGNOSIS
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian
tersering pada SN. Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis
pasien dengan SN bergantung pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi
dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid.2
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami
remisi proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien
yang mengalami frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid.
Penyakit ginjal kronik dapat muncul pada 25-30 % pasien dengan
glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10
tahun.2
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki
kemungkinan relaps yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka
panjang pada fungsi ginjal sangat baik, dengan resiko rendah untuk gagal ginjal.2
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati
lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan
20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek
samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik,
katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.2,4
28
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang
kurang baik. Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan
insidens gagal ginjal dan komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode
trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait pengobatan, seperti komplikasi
infeksi dari pemberian imunosupressive.2 Penderita SN non relaps dan relaps
jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan
dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko besar untuk
memperoleh efek samping steroid. SN resisten steroid mempunyai prognosis yang
paling buruk.2,5
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang
menyertainya. Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan
langsung tingkat mortalitas. Biasanya, ada respon yang baik terhadap blockade
angiotensin, dengan penurunan proteinuria, dan level subnefrotik. Jarang terjadi
remisi nyata. Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi
ginjal, beberapa pasien akan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.2
29