Vous êtes sur la page 1sur 12

ASPEK GENDER DALAM MASALAH LINGKUNGAN DAN KESEHATAN

Dasar Teori
Lingkungan dan Kesehatan
Teori Gordon
• Keseimbangan antara Agent – Environment – Host
• Upaya untuk memanipulasi Agent sehingga melemah
• Upaya untuk memanipulasi Host sehingga lebih kuat
• Upaya untuk memanipulasi Environment sehingga merugikan Agent dan menguntungkan Host
Agent (A) adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest,
tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi/mencukupi syarat untuk menimbulkan penyakit.
Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest.
Host atau pejamu : manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan arthropoda yang dapat
memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent menular dalam kondisi alam. (lawan dari
percobaan)”.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada diluar host baik benda mati, benda hidup, nyata atau
abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen, termasuk host yang
lain
Teori Blum
 Status Kesehatan dipengaruhi oleh 4 variabel utama  Lingkungan, Perilaku, Pelayanan
Kesehatan, dan Genetik/Demografi
 Intervensi dilakukan terhadap keempat variabel tersebut sehingga dapat meningkatkan Status
Kesehatan.
Beberapa Isu Lingkungan
 Kerusakan hutan
 Pencemaran sungai dan laut
 Masalah air dan limbah
 Penggunaan zat kimia dalam pertanian dan industri pangan
 Dampak teknologi modern: Makanan Transgenik
1) Kerusakan Hutan
 Penyebab
 Pertambangan
 Industri kayu
 Industri pulp dan kertas
 Perkebunan
 Perubahan fungsi lahan  hutan berubah menjadi kawasan industri dan pemukiman
 Bencana ekologis
Akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem
pengurusan alam yang telah menyebabkan hancurnya pranata kehidupan masyarakat
 Banjir
 Tanah longsor
 Akibat bagi perempuan
 Status perempuan yang rendah + peran domestik  perempuan tidak ikut dalam
penetapan kebijakan pengelolaan hutan, sistem masyarakat tidak membela
kepentingan perempuan.
 Kesulitan air bersih  bertambah banyaknya waktu dan tenaga yang harus
dikeluarkan perempuan untuk menyediakan air bersih bagi keluarganya &
melakukan kegiatan domestik yang berkaitan dengan air.
 Berkurangnya lahan bagi tanaman pangan keluarga  semakin sulit bagi perempuan
untuk menyediakan makanan bagi keluarga  masalah gizi terutama pada anak dan
ibu hamil.
 Berkurangnya lahan pekerjaan bagi perempuan yang tinggal di kawasan hutan yang
berperan sebagai orang tua tunggal  mereka biasanya bekerja sebagai buruh
harian seperti mengangkut hasil hutan, membersihkan lahan, dan menjual rumput.
 Ibu hamil menjadi lebih menderita dan rentan terhadap gangguan kesehatan karena
beratnya beban atas tugas-tugas domestik.
 Bila terjadi bencana ekologis akibat kerusakan hutan, anak-anak dan perempuan
adalah kelompok yang paling menderita.
2) Pencemaran Sungai dan Laut
a. Penyebab
 Pengelolaan limbah industri yang tidak memadai
 Pengelolaan limbah domestik yang tidak memadai
b. Akibat bagi kesehatan
 Penurunan kualitas air sungai yang dijadikan sumber air bersih, baik yang langsung
digunakan masyarakat maupun yang menjadi bahan baku pada instalasi pengolahan air
bersih.
 Kontaminasi bahan pangan  kontaminasi ikan dan hasil laut lain  meningkatnya
morbiditas kronik
c. Akibat bagi perempuan
o Lebih banyak waktu dan tenaga untuk menyediakan air bersih bagi keluarga.
o Gangguan fungsi reproduksi pada perempuam akibat pencemaran logam berat pada
sungai dan laut.
o Anak-anak dan ibu hamil lebih rentan terhadap penyakit akibat pencemaran logam
berat.
3) Masalah air dan limbah
 Penyebab
 Tidak tersedia suplai air bersih yang memadai
 Tidak ada sistem pengelolaan limbah cair yang saniter
 Tidak ada sistem pembuangan tinja yang saniter
 Tidak ada sistem pengelolaan sampah yang memadai
 Akibat bagi kesehatan
 Penurunan kualitas sanitasi lingkungan
 Penurunan kualitas higiene perorangan
 Kontaminasi air, tanah, udara dan makanan
 Peningkatan transmisi penyakit menular
 Peningkatan morbiditas dan mortalitas
 Akibat bagi perempuan
 Tugas domestik perempuan  menyediakan air bersih, menyediakan
makanan/minuman, membersihkan alat masak/makan, anak, dan rumah tinggal.
 Lebih banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan perempuan untuk memenuhi tugas-
tugas domestiknya.
 Lebih banyak waktu, tenaga dan biaya untuk menanggulangi penyakit, terutama pada
anak-anak.
 Kerugian yang sangat besar ketika terjadi bencana  banjir akibat tidak berfungsinya
saluran drainage dan pendangkalan sungai.
 Pada saat bencana anak-anak dan perempuan adalah kelompok yang paling menderita.
4) Penggunaan bahan kimia
Alasan penggunaan zat kimia dalam pertanian dan industri pangan
 Peningkatan kebutuhan pangan akibat pertambahan penduduk  pupuk, pestisida dan
obat-obat ternak digunakan untuk meningkatkan produksi pangan.
 Kebutuhan untuk mengawetkan bahan pangan pada saat transportasi dari tempat produksi
ke tempat pemukiman penduduk sebagai konsumen.
 Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pangan  berkembanglah teknologi fortifikasi
pangan.
 Kebutuhan untuk dapat menikmati bahan makanan sepanjang waktu tanpa dipengaruhi
musim  berkembanglah teknologi dan industri makanan awetan.
 Kebutuhan untuk lebih mudah dan nyaman dalam kehidupan sehari-hari  berkembanglah
industri makanan bayi dan makanan instant.
Penyebab terjadinya masalah
 Dosis dan teknik penggunaan pupuk yang salah
 Dosis dan teknik penggunaan pestisida yang salah
 Penggunaan obat-obat ternak dengan jenis, dosis dan metoda yang salah  residu dlm
bahan pangan
 Penggunaan bahan kimia yang tidak diizinkan sebagai food additive  mis. pewarna tekstil
untuk makanan
 Penggunaan food additive legal dgn dosis yang salah
Akibat bagi kesehatan
 Pencemaran badan air (sungai, danau, dam) oleh sisa pupuk yang berlebihan.
 Keracunan pada petani yang menggunakan pestisida.
 Residu antibiotika dalam bahan makanan hewani (ayam, sapi) menyebabkan manusia
seperti minum antibiotika dengan dosis yang salah  timbul resistensi bakteri terhadap
antibiotika tersebut.
 Residu hormon pemicu pertumbuhan dalam bahan makanan hewani  timbul gangguan
pertumbuhan dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder pada anak-anak.
 Terjadinya penyakit kronik degeneratif (kanker) akibat mengonsumsi makanan yang
mengandung bahan kimia dengan jenis dan/atau jumlah yang salah.
Akibat bagi perempuan
 Perempuan banyak yang bekerja di sektor pertanian  banyak menderita keracunan akibat
penggunaan pestisida yang salah.
5) Bahan Pangan Transgenik
Ancaman terhadap kelangsungan ekologis
 Sekitar 25% tanaman transgenik di dunia dimasuki protein Bt yang bisa memusnahkan
serangga (hama) non-target.
 Kontaminasi genetik tak terkendali.
 Ketidakseimbangan antara musuh alami (predator) dan hama.
Ancaman terhadap kesehatan manusia
 Tanaman hasil rekayasa genetika merupakan bom waktu biologis yang dapat mengganggu
sistem kekebalan manusia.
Ancaman terhadap kesehatan manusia
 Tanaman transgenik dapat berkombinasi dengan virus dan bakteri lain membentuk patogen
baru.
 DNA tanaman transgenik yang diserap bakteri di tanah dan saluran cerna manusia akan
menyulitkan pengobatan terhadap infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri-bakteri tersebut.
 Setelah proses pencernaan, DNA tanaman transgenik akan tetap hidup dan dapat melompat
ke genom sel mamalia sehingga dapat menimbulkan kanker.
Ancaman terhadap kesehatan manusia
 75% tanaman transgenik yang toleran terhadap herbisida menggunakan glufosinat dan
glifosat.
 Amonium glufosinat menyebabkan keracunan pada sistem neurologik, pernafasan, gastro-
intertinal, dan hematologik serta menimbulkan cacat bawaan.
 Glifosat merupakan penyebab utama keracunan di Inggris.
 Hasil penelitian pada mencit menunjukkan anak-anak mencit yang diberi makanan
transgenik memiliki risiko mati 6-8 kali lebih besar daripada anak-anak tikus yang tidak diberi
makanan transgenik.

Pengarusutamaan Gender di Tatanan Internasional


Tuntutan terhadap pentingnya melakukan pengaru utamaan gender di bidang lingkungan tidak
berdiri sendiri atau terisolasi dari berbagai kesepakatan baik pada tingkat nasional maupun
global. Bahwa lingkungan dan gender merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan ini
dibuktikan dengan aplikasi dari kesepakatan – kesepakan ditingkat internasional dimana
Indonesia ikut meratifikasinya. Kesepakatan-kesepakatan yang secara ekspilisit memuat
komitmen atas pentingnya mengaitkan gender dan pengelolaan lingkungan diantaranya adalah:
 Konferens Lingkungan Hidup di Stockholm 1972.
Pada Konferensi intemasional pertama mengenai lingkungan hidup tersebut telah disadari
pentingnya mengaitkan masalah lingkungan dengan masalah perempuan. Walaupun belum
secara eksplisit dicantumkan namun perspektif gender telah mewarnai kesepakatan
internasional tersebut.
 Konferensi W orld Conservation Strategy, I 980.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh The International Union for the Conservation of Nature
(IUCN), World Wildlife Fund (WWF), dan United Nations Environment Programme (UNEP).
Pertemuan ini juga mempunyai agenda kegiatan untuk kelompok perempuan. Padat ahun1
987,k onferensi dunia tentang lingkungan dan pembangunan atau the United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) menerbitkan laporannya Our
Common Future yang memfokuskan perhatian pada konsep pembangunan yang
berkelanjutan.
 Pada tahun 1992, UNCED mengadakan KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio Janeiro, Brasil.
Menjelang pertemuan tersebut dilakukan persiapan-persiapan dalam dua bentuk kegiatan
yang bersamaan yang diselenggarakan di Miami, Florida pada b ulan November 1999 , yaitu
" Pertemuan Perempuan Sedunia" (G IobaI Assembly of Women ) dan" Kongres Perempuan
Sedunia untuk Planet yang Sehat" (World Women's Congress for a Healthy Planet).
Keduanya memberikan masukan penting mengenai perempuan dalam proses persiapan
UNCED. Sebaliknya UNCED memberikan peluang yang unik dengan
Mengaitkan isu perempuan dalam pembangunan dan lingkungan: Women, Environment and
DevelopmenI (WED).
 Kft di Rio de Janeiro, 1992, menghasilkan sejumlah dokumen. Dokumen yang dianggapa
penting adalalah A genda2 1, yang merupakan blueprint untuk menerapkan pembangunan
berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan secara utuh.
Negara peserta, termasuk Indonesia setuju untuk mengimplementasikannya di negara
mereka masing-masing. Meskipun Agenda 21 lidak secara eksplisit menyebutkan keterkaitan
kelestarian lingkungan dengan (keadilan) gender, akan tetapi menekankan perlunya
pemberdayaan perempuan,d an mendesak pemerintah negara-negara peserta untuk segera
meratifikasi dan mengimplementasi' the Nairobi Strategies' dan semua konvensi y ang
relevan dengan perempuan Semangat dari Agenda 21 juga dirancang untuk
memberikanmpenghargaan kepada kebijakan perempuan dan strateginya untuk bertahan di
dalam masyarakat lokal dan bahkan di dalam masyarakat global yang lebih besar. Bahkan
bab 24 dari Agenda2 1 d|buat khususus untuk perempuan dengan judul "Tindakan Global.
untuk Perempuan Guna Mencapai Pembangunan y ang Berkelanjutan dan Berkeadilan(
Global Action.f or women Towards Sustainable and Equitable Development). Dokumen
tersebut merekomendasikan beberapa tindakan untuk menutup kesenjangan gender,
dengan penekanan pada percmpuan di desa".
 Konferensi Perempuan Sedunia l V di Beijing tahun 1995, yang antara lain menghasilkan
Deklarasi Beijing berhasil menengarai "12 Critical Areas" yang salah satu diantaranya adalah
pelibatan perempuan dalam mengambil keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
sebuah plan of action dihasilkan yang dikenal sebagai Beijing PIatfurm of Action lengkap
dengan stateginya'
 Forum pertemuan pertama Menteri Lingkungan Hidup sedunia di Malmo, Swedia pada
Tahun 2000, pada Pasal 19 Deklarasi Malmo telah disepakati untuk memberikan penekanan
yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan yang berperspektif gender. Kesepakatan atasp entingnya perspektif gender
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan p.*buttgonutr beikelanjutan dipertegas lagi pada
world summit on suslainable Develofment (WSSD) yang diselenggarakan pada tanggal 27
Agustus - 5 September 2OO2d i JohannesburgA, frika Selatan. Dalam kesepakatan tersebut
dinyatakan dalam Plan of Implementation bahwa berbagai aspek yang terkait dengan
pemberdayaan perempuanh arus menjadi prioritas. Misalnya,d alam bagian kesehatan dan
pembangunan terkelanjutan ditegaskan bahwa masalah kesehatan yang berkaitan dengan p
embangunan harus mimberikan prioritas pada anak dan perempuan sebagai kelompok
utama dalam pembangunan berkelanjutan.
Pengarusutamaan gender di tingkat nasional
 UUD 1945 Pasal 34
 GBHN 1999-2000
 PROPENAS 2000-2004
 Inpres 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
 Surat Edaran Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor B.55/MEN.I/YI12002
tentang Pengukuhan Focal Point PUG pada Sektor

Analisis Gender dalam Program Pengelolaan Lingkungan Hidup


REPETA 2003
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan llidup Berwawasan Gender dalam REPETA 2OO3

Kebijakan untuk melakukan analisis gender sudah termuat dalam REPETA 2002 Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup pada Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam REPETA 2002 akan dialokasikan dana
untuk pelatihan analisis gender bagi staf KMNLH dan Bapedal. Pelatihan analisis gender tersebut
sangat dibutuhkan agar setiap program dan kegiatan yang dilakukan dapat responsif gender.
Dengan berbagai kendala dan potensi yang ada, analisis gender diidentifikasikan terhadap berbagai
program pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada dalam PROPENAS 2000 -
2004. Hasil dari analisis tersebut diperoleh 3 program pembangunan yang relevan terhadap isu
gender:
 program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan
hidup (program);
 program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup (program
3), dan
 program peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan SDA dan Pelestarian Lingkungan
Hidup (program5 ).

Setelah dilakukan analisis secara lebih seksama dengan mempertimbangan keterbatasan data
pembuka wawasan waktu dan kapasitas pemahaman menganalisis gender pada Kelompok Kerja
Gender maka disepakati bahwa analisis gender hanya dilakukan terhadap satu program saja yaitu
Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup (Program3 ).
Selanjutnya diidentifikasi kegiatan-kegiatan yang berada dalam program tersebut yang diduga
berpeluang untuk terjadinya bias gender. Secara detail dan sistematis dilakukan analisis terhadap
program tersebut dengan mempertimbangkan berbagai aspek gender.

Data Pembuka Wawasan Gender


Terhadap Program terpilih, yaitu program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan
pencemaran'lingkunghaind up( program3 ), diterapkan proses seperti yang diuraikan tersebut di
atas. Aspek pencemaran misalnya sangat erat kaitannya dengan kualitas hidup perempuan. Sebagai
salah satu contoh data pembuka wawasan gender yang digunakan dan terkait dengan pencemaran
lingkungan adalah hasil Penelitian Dr. Nani Djuangsih (1987). Ia menemukan residu DDT dalam ASI
sebanyak 11,1 ppb di daerah Lembang. Residu dalam ASI ini dapat diturunkan ke bayi dan akan
mempengaruh kesehatannya. Data seperti ini sangat diperlukan mengingat data ini secara spesifik
dapat memberikan data terpilah yang mengetengahkan kerugian yang diderita kaum perempuan
yang membahayakan kesehatan anak yang dikandungnya dan disusuinya. Analisis data terpilah
memberikan pemahaman bahwa tingkat kerentanan dampak pencemaran berbeda antala laki-laki
dan perempuan. Perbedaan dampak tersebut dapat disebabkan oleh faktor biologis perempuan
(misalnya residu pada ASI) maupun karena pembagian kerja (division of labor) yang acap kali
memosisikan perempuan pada pihak yang rentan. Misalnya, residu pestisida terhadap kesehatan
dampak asap rokok terhadap laki-laki dan perempuan dampak teknologi yang dikembangkan pada
masa green revolution terhadap partisipasi perempuan dalam pertanian dan lain-lainnya.

Identifikasi Kesenjangan Isu Gender

Analisis terhadap kesenjangan dan isu gender digunakan melalui penerapan parameter yang menjadi
acuan yaitu akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Keempat acuan tersebut dikaji terhadap suatu
program agar dapat ditemukan faktor kesenjangan dan isu gender yang potensial timbul. Pada
program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dilakukan juga
pengkajian dengan menggunakan keempat acuan tersebut. Dari program tersebut kemudian dilihat
ke masing-masing sub-program atau kegiatan pokok. Dari kegiatan pokok inilah kemudian dicermati
rencana tindak dari masing-masing kegiatan pokok dengan menggunakan analisis gender. Data
pembuka wawasan gender seperti dicontohkan di atas juga menggambarkan adanya kesenjangan
gender dimana perempuan kurang memperoleh kesempatan dalam mengakses informasi tentang
bahaya kerusakan lingkungan dan pencemaran yang berasal dari pestisida. Data ini juga menyiratkan
adanya isu gender dimana akses atau mekanisme penyampaian informasi tentang bahaya kerusakan
dan pencemaran lingkungan tentang bahaya pestisida tidak sesuai dengan target grup dalam hal ini
kelompok perempuan, karena pelatihan atau penyampain informasi tentang penggunaan pestisida
yang bijaksana diperdesaan biasanya diikuti oleh kepala keluarga, dalam hal ini laki-laki. Sama halnya
dengan proses pemanfaatan data untuk pembuka wawasan, dalam proses Identifikasi kesenjangan
dan isu gender pun pada awalnya banyak mengalami kesulitan dan terjadi banyak perdebatan.
Perbedaan persepsi mengenai akses antara perempuan dan laki-laki, misalnya, tidak mudah untuk
diterima karena berbagai faktor dependen yang menentukan ketersediaan akses itu sendiri.
Misalnya apakah suatu pelatihan telah dapat diakses secara setara baik oleh laki-laki maupun
perempuan.

Penentuan Program Aksi dan Indikator Kinerja


Proses penentuan Program Aksi (Rencana Tindak) dan Indikator Kinerja didasarkan kepada program
REPETA yang sudah disusun KMNLH/ BAPEDAL : Program Aksi dan Indikator Kinerja yang ada
kemudian dimodifikasi untuk mengatasi adanya kesenjangan dan isu gender sesuai dengan hasil
analisis gender.Tidak semua Program Aksi dan Indikator Kinerja harus dirubah apabila diyakini tidak
berpeluang menirnbulkan kesenjangan gender maka tidak mengalami perubahan. Sebagai contoh
Indikator Kinerja yang tidak berubah adalah indikator kinerja tentang tersusunnya peta potensi dan
kondisi ekosistem pesisir dan laut. Di bawah ini dicantumkan beberapa program yang mengalami
modifikasi.

Program Aksi sebelum Analisis Gender:


Pengendalian pencemaran limbah dan residu kegiatan pertanian dan perkebunan.

Program Aksi sesudah Analisis Gender:


Pengendalian pencemaran limbah dan residu kegiatan pertanian dan perkebunan yang berperspektif
gender .

Indikator sebelum Analisis Gender, antara lain:


Tersosialisasinya pedoman proses pembuatan pestisida ramah lingkungan industri skala kecil.
Tersusunnya profil pencemaran pestisida sungai Prokasih.

Indikator sesudah Analisis Gender:


Dengan penambahan indikaktor sebagai berikut:
Teridentifikasi dan tersosialisasi informasi dampak dan pengendalian pencemaran limbah pertanian
dan residu pestisida kegiatan pertanian dan perkebunan yang berperpektif gender,
Tersedianya data terpilah tentang pencemaran limbah dan residu kegiatan pertanian dan
perkebunan.

Aspek SDM
Penerapan analisis gender sebagai salah satu instrumen untuk digunakan dalam penyusunan
perencanaan lingkungan relatif masih baru. Berbagai pendekatan yang selama ini digunakan belum
menyentuh secara sistematis aspek gender. Hal ini selain disebabkan memang instrumen analisis
gender masih baru juga disadari bahwa kapasitas sumber daya manusia yang telah memperoleh
keterampilan dalam rnenggunakaan alat analisis tersebut masih belum mernadai. Kalaupun sudah
memperoleh pelatihan namun belum pernah digunakan secara praktis, Dengan masih belum
dimilikinya sumber daya manusia yang menguasai penerapan analisis gender maka proses aplikasi
analisis gender masih dilakukan secara trial and error. Berdasarkan pengalaman tersebut beberapa
hal dapat d ijadikan sebagai lessons learned-.
Keterkaitan antara analisis gender sebagai alat analisis (tool analysis) dan suatu
pendekatan(approach) perlu dipilah secara jelas sehingga internalisasi Gender Analisys Pathway
(GAP) dapat dilakukan secaral lebih operasional ke dalam proses
perencanaan. Untuk hal ini perlu dilakukan pelatihan agar individu yang menggunakan alat tersebut
dapat menerapkanny secara benar.
Penyiapan SDM yang solid untuk melakukan analisis perlu dilakukan secara sistematis dan tidak
parsial. Mengingat aspek gender relatif baru, maka diperlukan SDM yang betul-betul memiliki
pemahaman mengenai GAP. Untuk itu, penyiapan
melalui uji-coba atau simulasi yang intensif seharusnyad ilakukan terlebih dahulu sebelum GAP
diterapkan.
Berbagai pengalaman penerapan GAP menunjukkan bahwa kesiapan SDM untuk menerima caralalat
analisis gender sangat menentukan. Untuk itu diperlukan suatu pre-conditioning dalam
penerapannya. Hal ini terasa masih sangat minim atau relatif
tidak dilakukan sehingga ada keterkejutan pada saat diperkenalkannya analisis gender. Oleh karena
itu, pre-conditioning sangat diperlukan sebelum diterapkannya analisis gender tersebut.

Aspek lnstitusi
Penerapan analisis gender dengan pendekatan pendampingan melalui inistitusi eksternal cukup
berhasil dilakukan dalam berbagai kasus pengembangan masyarakat (community development).
Namun, berbagai kajian menunjukan bahwa pendampingan untuk mengintemalisasikan suatu
instrumen dalam sistem birokrasi, terutama dinegara berkembang seringkali mengalami kendala
yang cukup serius (lihat misalnya reinventing government). Pendekatan seperti yang dilakukan
dalam proses penerapan analisis gender menyebabkan rendahnya rasa kepemilikan (sense of
ownership) terhadap instrumen yang ditawarkan. Dengan keadaan tersebut, maka dalam
pengambilan keputusan tingkat banding untuk mempertahankan hasil analisis sangat rendah.
Dengan kata lain, instrumen tersebut baru diterima secara sektoral, parsial dan individual. Secara
institusi belum terbentuk suatu bonding terhadap alat tersebut. Padahal dalam internalisasi gender
ke dalam pengambilan
keputuan sangat dipengaruhi kelekatan isu gender (gencler bondedness) secara institusi mengingat
gender bersifat normatif, abstrak dan multi-persepsi. Untuk itu, perlu dipikirkan pendekatan yang
berbasis Iearing organization and participatory sehingga analisis gender sejak dari awal telah
menjadi bagian dan tidak dipaksakan terinternalisasi kedalam mekanisme perencanaan lingkungan
hidup Beberapa saran dapat dikemukakan dari pengalaman menerapkan analisis gender:

 Keterlibatan seluruh pihak harus dimulai dari sejak awal perencanaan dengan menghindari
pendekatan yang bersifat subyek-obyek. Pendekatan seperti internalisation from within misalnya
akan lebih efektif digunakan daripada pendekatan yang birokratis dengan menggunakan
kewenangan.
 Fleksibilitas dalam mengembangkan pendekatan yang ditawarkan dengan menyesuaikan pada
kondisi dan situasi di masing-masing sektor. Gender sebagai suatu pendekatan memang bersifat
generik namun aplikasi dari pendekatan tersebut haruslah berdasarkan kondisi dan situasi spesifik
sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Dengan demikian, adalah tepat bila diberikan kebebasan
masing-masing sektor untuk mengembangkan GAP sehingga akan dihasilkan misalnya GAP-
Lingkungan GAPSosial, GAP-Pendidikan dan sebagainya yang mengacu pada pendekatgn gender.
 Integrasi antar berbagai pendekatan dalam implementasi gender. Dengan berkembangnya gender
sebagai suatu prinsi yang harus diperhatika dalam berbagai hal maka muncul pula berbagai
pendekatan dalam aplikasinya. Di satu sisi hal tersebut menguntungkan namun dalam keperluan
praktis dapat menjadi kendala. Untuk itu, diperlukan pengintergrasian berbagai pendekatan
tersebut menjadi suatu menu yang nantinya dapat menjadi pilihan bagi penggunanya. Hal ini
seringkali tidak disadari sehingga pada tingkat pelaksana timbul sikap resistens terhadap
pendekatan yang berbeda dari yang pemah mereka peroleh.
 Intervensi ke dalam proses perencanaan memang akan sangat efektif bila diterapkan pada institusi
sektoral seperti pendidikan,k esehatan dan sebagainya. Namun, masalah lingkungan yang bersifat
multi-dimensi, multi-sektoral dan multi-pihak seringkali tidak menggunakan pendekatan
perencanaan yang sentralistik sehingga unit perencana dalam institusi lingkungan hanya bersifat
adminisrasi dan tidak substansial untuk itu, intervensi gender ke dalam kebijakan lingkungan akan
lebih tepat dan mengena sasaran apabila dilakukan secara tematik dengan melihat prioritas
masalah yang dihadap miisalnya pencemaran dan lingkungan hidup.Penggunaan GAP sebagai alat
analisis/metodologi untuk menemukan kesenjangan gender dalam kegiatan dan program
pengelolaan lingkungan cukup efektif dan bermanfaat. Namun, seperti yang sering dialami
berbagai instrumen, proses pengambilan keputusan dan kebijakan membutuhkan tidak hanya
kesahihan dan obyektifitas tetapi juga legitimasi terhadap suatu keputusan. Dari pengalaman
melakukan GAP di KLll diperoleh suatu pelajaran bahwa GAP saja belum menjamin pertimbangan
gender dapat menjadi suatu kebijakan. Satu tahapan yang dapat mempertajam hasil GAP agar
dapat menjadi acuan (reference) bagi pengambilan keputusan dengan mempertimbangkaan aspek
gender perlu dilakukan. Untuk itu, perlu dikaji secara lebih detil dan sistematis dengan memahami
proses perencanaan lingkungan dengan menentukan intervensi GAP dapat dilakukan.
Penutup

Kementerian Lingkungan Hidup telah memulai suatu langkah penting yaitu dengan melakukan
pengarusutamaan gender dalam pengeloaan lingkungan hidup yang dijabarkan dalam Repeta 2003
terhadap salah satu kebijakan program pembangunannya, Meskipun baru dimulai dengan satu
program akan tetapi dapat menjadi entry point terhadap usaha yang
besar, yaitu pengarusutamaan gender dibidang lingkungan hidup. Dengan memberikan perspektif
gender berarti memberi kepastian dan pertanggungjawaban bahwa kebijakan program tersebut
memberi keadilan bagi perempuan dan laki-laki. Suatu hal yang terabaikan selama ini, sehingga
intervensi kebijakan program tidak berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki. Oleh karena
itu, pengarusutamaan gender yang sudah dirintis perlu diinternalisasikan ke dalam sistem yang
sudah berjalan. Melembagakan pengarusutamaan gender ini sedapat mungkin menghindari
pendekatan proyek atau bersifat ad hoc. Internalisasi diharapkan dapat dilakukan dari dalam (from
within) untuk mengurangi sikap resistens Berikut ini beberapa faktor penting yang dapat
dipertimbangkan untuk melembagakan pengarusutamaan gender dalarn lingkungan KLH:
 Keteladanan kepemimpina Seperti terlihat dari dukungan politik yang dilakukan secara terbuka
dan kongkrit terhadap inisiatif pengarusutamaan gender dari pucuk pimpinan, para pengambil
keputusan atau yang satu level dengannya EselonI I sebagai pengelola program berperan
menerjemahkan sikap para pengambil kebijakan ( Inpres,S K Menteli, Eselon I) ke dalam tujuan
yang nyata dan yang kiranya dapat dicapai. Oleh sebab itu pemahaman Eselon II mengenai
konsep gender dan mengapa harus melakukan pengarusutamaan gender ini, menjadi sangat
menentukan.
 Kebijakan pengarusutamaan gender yang eksplisit. Sistem birokrasi memerlukan kepastian
aturan. Oleh karena itu, dengan dikeluarkannya Inpres No.9 Tahun 2000 Tentang memberikan
kehalusan semua sektor untuk melakukan pengarusutamaan gender. Secara lebih spesifik SK
Menteri Negara LH tentang pengarusutamaan gender akan memberi dukungan legal bagi semua
unit untuk melakukannya.
 Tim Pokja dan Tim Teknis yang handal dan proaktif. Pembaharuan pengetahuan mengenai isu
yang berkaitan dengan gender, antara lain melalui pertemuan-pertemuan aktif (internal maupun
dengan sektor lain dan ahli gender) membahas dan mengevaluasi pengarusutamaan gender
dalam proses secara periodik. Menentukan langkah-langkah, dibantu oleh ahli gender atau
orang yang ahli di bidangnya (dari dalam maupun dari luar instansi).
 Insentif agar kepedulian terhadap gender dapat tumbuh dari dalam dan mengurangi pendekatan
yang formal maka perlu dikembangkan dorongan melalui insentif terhadap berbagai upaya atau
inisiatif positif yang telah tumbuh.
 Sosialisasi dan Advokasi. Adanya Inpres,berbagai Surat Keputusan yang berkaitan dengan
pengarusutamaan gender mapun konsep gender itu sendiri, belum diketahui secara merata,
terutama kepada mereka yang bertanggung-jawab membuat kebijakan program, perencanaan
dan pelaksanaan. Sebab itu awal-awalnya sosialisas dan advokasi diperlukan termasuk sosialisasi
untuk meningkatkan kesadaran gender dan relevansinya gender analisis/pengarusutamaan
gender untuk perbaikan kualitas kebijakan dan efektivitas kebijakan program.
 Transparansi dan Akuntabiltas. Memperkuat dalam sistim suasana transparansi dan
akuntabilitas pengarusutamaan gender dalam semual evel. Dengan demikian suasana menjadi
kondusif untuk melakukan sesuatu yang baru, seperti proses melakukan pengarusutamaan
gender ini.
 Terstruktur dalam Sistem. Terlembaganya mekanisme pengarusutamaan gender yang didukung
struktur. Sehingga ada wadah formal yang memfasilitasi proses pertemuan secara berkala,
menyusun panduan, menyusun piranti dan laporan sampai dengan pertanggungiawaban kinerja.
Hal ini harus merupakan suatu sistem berlanjut untuk mekanisme kebijakan program yang
responsif gender berikutnya.
 Jaringan lnformasi Sistem. Tersedianya data mutakhir dan efektifnya bentuk data dan informasi
yang sudah berperspektif gender, piranti dan prosedur melakukan pengarusutamaan gender;
keharusan mendeposit data dan informasi pada Jaringan
 Informasi sistim; dan seterusnya.
 Menjadi Bagian dari Program Prioritas Kementerian. Karena pengarusutamaan gender adalah
baru, jadi tidak otomatis sifatnya. Oleh sebab itu untuk sementara, sebelum menjadi rutin dan
melembaga harus ada (orang atau sekelompok orang, bisa dari tim Pokja atau Tim Teknis) yang
bertanggung jawab untuk memastikan pengarusutamaan gender masuk dalam program prioritas
instansi.
 Membangun Jaringan Kerja dengan Stakeholders. Jaringan kerja internal antar unit kerja
maupun dengan eksternal misalnya dengan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
sebagai koordinator pengarusutamaan gender, BAPPENAS serta departemen terkait lainya,
termasuk dengan lembaga-lembaga non Pemerintah, agar supaya ada sharing pengalaman, yang
memang sangat dibutuhkan dengan usaha baru macam pengarusutamaan gender ini.
 Monitoring dan Evaluasi. Mengikuti sistim yang ada, hanya memasukkan perspektif
gender,dengan menekankan pada apa dampak intervensi program terhadap perempuan dan
laki-laki. Monitoring dan Evaluasi juga diberikan pada proses jalannya
 Pengarusutamaan gender di Departemen. Hasilnya secara teratur harus diinformasikan pada
unit yang bertanggung jawab atas jalannya pengarusutamaan gender di Departemen, untuk
dibicarakan dengan Tim Pengarah.
 Pelaporan. Sesuai dengan Inpres No.9 Tahun 2000, setiap sektor harus melaporkan kegiatan
pengarusutamaan gender kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Pemberdayaan
Perempuan untuk dipergunakan sebagai bahan pengambilan kebijakan yang responsif gender.

Vous aimerez peut-être aussi