Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Dasar Teori
Lingkungan dan Kesehatan
Teori Gordon
• Keseimbangan antara Agent – Environment – Host
• Upaya untuk memanipulasi Agent sehingga melemah
• Upaya untuk memanipulasi Host sehingga lebih kuat
• Upaya untuk memanipulasi Environment sehingga merugikan Agent dan menguntungkan Host
Agent (A) adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest,
tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi/mencukupi syarat untuk menimbulkan penyakit.
Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest.
Host atau pejamu : manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan arthropoda yang dapat
memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent menular dalam kondisi alam. (lawan dari
percobaan)”.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada diluar host baik benda mati, benda hidup, nyata atau
abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen, termasuk host yang
lain
Teori Blum
Status Kesehatan dipengaruhi oleh 4 variabel utama Lingkungan, Perilaku, Pelayanan
Kesehatan, dan Genetik/Demografi
Intervensi dilakukan terhadap keempat variabel tersebut sehingga dapat meningkatkan Status
Kesehatan.
Beberapa Isu Lingkungan
Kerusakan hutan
Pencemaran sungai dan laut
Masalah air dan limbah
Penggunaan zat kimia dalam pertanian dan industri pangan
Dampak teknologi modern: Makanan Transgenik
1) Kerusakan Hutan
Penyebab
Pertambangan
Industri kayu
Industri pulp dan kertas
Perkebunan
Perubahan fungsi lahan hutan berubah menjadi kawasan industri dan pemukiman
Bencana ekologis
Akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem
pengurusan alam yang telah menyebabkan hancurnya pranata kehidupan masyarakat
Banjir
Tanah longsor
Akibat bagi perempuan
Status perempuan yang rendah + peran domestik perempuan tidak ikut dalam
penetapan kebijakan pengelolaan hutan, sistem masyarakat tidak membela
kepentingan perempuan.
Kesulitan air bersih bertambah banyaknya waktu dan tenaga yang harus
dikeluarkan perempuan untuk menyediakan air bersih bagi keluarganya &
melakukan kegiatan domestik yang berkaitan dengan air.
Berkurangnya lahan bagi tanaman pangan keluarga semakin sulit bagi perempuan
untuk menyediakan makanan bagi keluarga masalah gizi terutama pada anak dan
ibu hamil.
Berkurangnya lahan pekerjaan bagi perempuan yang tinggal di kawasan hutan yang
berperan sebagai orang tua tunggal mereka biasanya bekerja sebagai buruh
harian seperti mengangkut hasil hutan, membersihkan lahan, dan menjual rumput.
Ibu hamil menjadi lebih menderita dan rentan terhadap gangguan kesehatan karena
beratnya beban atas tugas-tugas domestik.
Bila terjadi bencana ekologis akibat kerusakan hutan, anak-anak dan perempuan
adalah kelompok yang paling menderita.
2) Pencemaran Sungai dan Laut
a. Penyebab
Pengelolaan limbah industri yang tidak memadai
Pengelolaan limbah domestik yang tidak memadai
b. Akibat bagi kesehatan
Penurunan kualitas air sungai yang dijadikan sumber air bersih, baik yang langsung
digunakan masyarakat maupun yang menjadi bahan baku pada instalasi pengolahan air
bersih.
Kontaminasi bahan pangan kontaminasi ikan dan hasil laut lain meningkatnya
morbiditas kronik
c. Akibat bagi perempuan
o Lebih banyak waktu dan tenaga untuk menyediakan air bersih bagi keluarga.
o Gangguan fungsi reproduksi pada perempuam akibat pencemaran logam berat pada
sungai dan laut.
o Anak-anak dan ibu hamil lebih rentan terhadap penyakit akibat pencemaran logam
berat.
3) Masalah air dan limbah
Penyebab
Tidak tersedia suplai air bersih yang memadai
Tidak ada sistem pengelolaan limbah cair yang saniter
Tidak ada sistem pembuangan tinja yang saniter
Tidak ada sistem pengelolaan sampah yang memadai
Akibat bagi kesehatan
Penurunan kualitas sanitasi lingkungan
Penurunan kualitas higiene perorangan
Kontaminasi air, tanah, udara dan makanan
Peningkatan transmisi penyakit menular
Peningkatan morbiditas dan mortalitas
Akibat bagi perempuan
Tugas domestik perempuan menyediakan air bersih, menyediakan
makanan/minuman, membersihkan alat masak/makan, anak, dan rumah tinggal.
Lebih banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan perempuan untuk memenuhi tugas-
tugas domestiknya.
Lebih banyak waktu, tenaga dan biaya untuk menanggulangi penyakit, terutama pada
anak-anak.
Kerugian yang sangat besar ketika terjadi bencana banjir akibat tidak berfungsinya
saluran drainage dan pendangkalan sungai.
Pada saat bencana anak-anak dan perempuan adalah kelompok yang paling menderita.
4) Penggunaan bahan kimia
Alasan penggunaan zat kimia dalam pertanian dan industri pangan
Peningkatan kebutuhan pangan akibat pertambahan penduduk pupuk, pestisida dan
obat-obat ternak digunakan untuk meningkatkan produksi pangan.
Kebutuhan untuk mengawetkan bahan pangan pada saat transportasi dari tempat produksi
ke tempat pemukiman penduduk sebagai konsumen.
Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pangan berkembanglah teknologi fortifikasi
pangan.
Kebutuhan untuk dapat menikmati bahan makanan sepanjang waktu tanpa dipengaruhi
musim berkembanglah teknologi dan industri makanan awetan.
Kebutuhan untuk lebih mudah dan nyaman dalam kehidupan sehari-hari berkembanglah
industri makanan bayi dan makanan instant.
Penyebab terjadinya masalah
Dosis dan teknik penggunaan pupuk yang salah
Dosis dan teknik penggunaan pestisida yang salah
Penggunaan obat-obat ternak dengan jenis, dosis dan metoda yang salah residu dlm
bahan pangan
Penggunaan bahan kimia yang tidak diizinkan sebagai food additive mis. pewarna tekstil
untuk makanan
Penggunaan food additive legal dgn dosis yang salah
Akibat bagi kesehatan
Pencemaran badan air (sungai, danau, dam) oleh sisa pupuk yang berlebihan.
Keracunan pada petani yang menggunakan pestisida.
Residu antibiotika dalam bahan makanan hewani (ayam, sapi) menyebabkan manusia
seperti minum antibiotika dengan dosis yang salah timbul resistensi bakteri terhadap
antibiotika tersebut.
Residu hormon pemicu pertumbuhan dalam bahan makanan hewani timbul gangguan
pertumbuhan dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder pada anak-anak.
Terjadinya penyakit kronik degeneratif (kanker) akibat mengonsumsi makanan yang
mengandung bahan kimia dengan jenis dan/atau jumlah yang salah.
Akibat bagi perempuan
Perempuan banyak yang bekerja di sektor pertanian banyak menderita keracunan akibat
penggunaan pestisida yang salah.
5) Bahan Pangan Transgenik
Ancaman terhadap kelangsungan ekologis
Sekitar 25% tanaman transgenik di dunia dimasuki protein Bt yang bisa memusnahkan
serangga (hama) non-target.
Kontaminasi genetik tak terkendali.
Ketidakseimbangan antara musuh alami (predator) dan hama.
Ancaman terhadap kesehatan manusia
Tanaman hasil rekayasa genetika merupakan bom waktu biologis yang dapat mengganggu
sistem kekebalan manusia.
Ancaman terhadap kesehatan manusia
Tanaman transgenik dapat berkombinasi dengan virus dan bakteri lain membentuk patogen
baru.
DNA tanaman transgenik yang diserap bakteri di tanah dan saluran cerna manusia akan
menyulitkan pengobatan terhadap infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri-bakteri tersebut.
Setelah proses pencernaan, DNA tanaman transgenik akan tetap hidup dan dapat melompat
ke genom sel mamalia sehingga dapat menimbulkan kanker.
Ancaman terhadap kesehatan manusia
75% tanaman transgenik yang toleran terhadap herbisida menggunakan glufosinat dan
glifosat.
Amonium glufosinat menyebabkan keracunan pada sistem neurologik, pernafasan, gastro-
intertinal, dan hematologik serta menimbulkan cacat bawaan.
Glifosat merupakan penyebab utama keracunan di Inggris.
Hasil penelitian pada mencit menunjukkan anak-anak mencit yang diberi makanan
transgenik memiliki risiko mati 6-8 kali lebih besar daripada anak-anak tikus yang tidak diberi
makanan transgenik.
Kebijakan untuk melakukan analisis gender sudah termuat dalam REPETA 2002 Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup pada Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam REPETA 2002 akan dialokasikan dana
untuk pelatihan analisis gender bagi staf KMNLH dan Bapedal. Pelatihan analisis gender tersebut
sangat dibutuhkan agar setiap program dan kegiatan yang dilakukan dapat responsif gender.
Dengan berbagai kendala dan potensi yang ada, analisis gender diidentifikasikan terhadap berbagai
program pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada dalam PROPENAS 2000 -
2004. Hasil dari analisis tersebut diperoleh 3 program pembangunan yang relevan terhadap isu
gender:
program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan
hidup (program);
program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup (program
3), dan
program peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan SDA dan Pelestarian Lingkungan
Hidup (program5 ).
Setelah dilakukan analisis secara lebih seksama dengan mempertimbangan keterbatasan data
pembuka wawasan waktu dan kapasitas pemahaman menganalisis gender pada Kelompok Kerja
Gender maka disepakati bahwa analisis gender hanya dilakukan terhadap satu program saja yaitu
Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup (Program3 ).
Selanjutnya diidentifikasi kegiatan-kegiatan yang berada dalam program tersebut yang diduga
berpeluang untuk terjadinya bias gender. Secara detail dan sistematis dilakukan analisis terhadap
program tersebut dengan mempertimbangkan berbagai aspek gender.
Analisis terhadap kesenjangan dan isu gender digunakan melalui penerapan parameter yang menjadi
acuan yaitu akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Keempat acuan tersebut dikaji terhadap suatu
program agar dapat ditemukan faktor kesenjangan dan isu gender yang potensial timbul. Pada
program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dilakukan juga
pengkajian dengan menggunakan keempat acuan tersebut. Dari program tersebut kemudian dilihat
ke masing-masing sub-program atau kegiatan pokok. Dari kegiatan pokok inilah kemudian dicermati
rencana tindak dari masing-masing kegiatan pokok dengan menggunakan analisis gender. Data
pembuka wawasan gender seperti dicontohkan di atas juga menggambarkan adanya kesenjangan
gender dimana perempuan kurang memperoleh kesempatan dalam mengakses informasi tentang
bahaya kerusakan lingkungan dan pencemaran yang berasal dari pestisida. Data ini juga menyiratkan
adanya isu gender dimana akses atau mekanisme penyampaian informasi tentang bahaya kerusakan
dan pencemaran lingkungan tentang bahaya pestisida tidak sesuai dengan target grup dalam hal ini
kelompok perempuan, karena pelatihan atau penyampain informasi tentang penggunaan pestisida
yang bijaksana diperdesaan biasanya diikuti oleh kepala keluarga, dalam hal ini laki-laki. Sama halnya
dengan proses pemanfaatan data untuk pembuka wawasan, dalam proses Identifikasi kesenjangan
dan isu gender pun pada awalnya banyak mengalami kesulitan dan terjadi banyak perdebatan.
Perbedaan persepsi mengenai akses antara perempuan dan laki-laki, misalnya, tidak mudah untuk
diterima karena berbagai faktor dependen yang menentukan ketersediaan akses itu sendiri.
Misalnya apakah suatu pelatihan telah dapat diakses secara setara baik oleh laki-laki maupun
perempuan.
Aspek SDM
Penerapan analisis gender sebagai salah satu instrumen untuk digunakan dalam penyusunan
perencanaan lingkungan relatif masih baru. Berbagai pendekatan yang selama ini digunakan belum
menyentuh secara sistematis aspek gender. Hal ini selain disebabkan memang instrumen analisis
gender masih baru juga disadari bahwa kapasitas sumber daya manusia yang telah memperoleh
keterampilan dalam rnenggunakaan alat analisis tersebut masih belum mernadai. Kalaupun sudah
memperoleh pelatihan namun belum pernah digunakan secara praktis, Dengan masih belum
dimilikinya sumber daya manusia yang menguasai penerapan analisis gender maka proses aplikasi
analisis gender masih dilakukan secara trial and error. Berdasarkan pengalaman tersebut beberapa
hal dapat d ijadikan sebagai lessons learned-.
Keterkaitan antara analisis gender sebagai alat analisis (tool analysis) dan suatu
pendekatan(approach) perlu dipilah secara jelas sehingga internalisasi Gender Analisys Pathway
(GAP) dapat dilakukan secaral lebih operasional ke dalam proses
perencanaan. Untuk hal ini perlu dilakukan pelatihan agar individu yang menggunakan alat tersebut
dapat menerapkanny secara benar.
Penyiapan SDM yang solid untuk melakukan analisis perlu dilakukan secara sistematis dan tidak
parsial. Mengingat aspek gender relatif baru, maka diperlukan SDM yang betul-betul memiliki
pemahaman mengenai GAP. Untuk itu, penyiapan
melalui uji-coba atau simulasi yang intensif seharusnyad ilakukan terlebih dahulu sebelum GAP
diterapkan.
Berbagai pengalaman penerapan GAP menunjukkan bahwa kesiapan SDM untuk menerima caralalat
analisis gender sangat menentukan. Untuk itu diperlukan suatu pre-conditioning dalam
penerapannya. Hal ini terasa masih sangat minim atau relatif
tidak dilakukan sehingga ada keterkejutan pada saat diperkenalkannya analisis gender. Oleh karena
itu, pre-conditioning sangat diperlukan sebelum diterapkannya analisis gender tersebut.
Aspek lnstitusi
Penerapan analisis gender dengan pendekatan pendampingan melalui inistitusi eksternal cukup
berhasil dilakukan dalam berbagai kasus pengembangan masyarakat (community development).
Namun, berbagai kajian menunjukan bahwa pendampingan untuk mengintemalisasikan suatu
instrumen dalam sistem birokrasi, terutama dinegara berkembang seringkali mengalami kendala
yang cukup serius (lihat misalnya reinventing government). Pendekatan seperti yang dilakukan
dalam proses penerapan analisis gender menyebabkan rendahnya rasa kepemilikan (sense of
ownership) terhadap instrumen yang ditawarkan. Dengan keadaan tersebut, maka dalam
pengambilan keputusan tingkat banding untuk mempertahankan hasil analisis sangat rendah.
Dengan kata lain, instrumen tersebut baru diterima secara sektoral, parsial dan individual. Secara
institusi belum terbentuk suatu bonding terhadap alat tersebut. Padahal dalam internalisasi gender
ke dalam pengambilan
keputuan sangat dipengaruhi kelekatan isu gender (gencler bondedness) secara institusi mengingat
gender bersifat normatif, abstrak dan multi-persepsi. Untuk itu, perlu dipikirkan pendekatan yang
berbasis Iearing organization and participatory sehingga analisis gender sejak dari awal telah
menjadi bagian dan tidak dipaksakan terinternalisasi kedalam mekanisme perencanaan lingkungan
hidup Beberapa saran dapat dikemukakan dari pengalaman menerapkan analisis gender:
Keterlibatan seluruh pihak harus dimulai dari sejak awal perencanaan dengan menghindari
pendekatan yang bersifat subyek-obyek. Pendekatan seperti internalisation from within misalnya
akan lebih efektif digunakan daripada pendekatan yang birokratis dengan menggunakan
kewenangan.
Fleksibilitas dalam mengembangkan pendekatan yang ditawarkan dengan menyesuaikan pada
kondisi dan situasi di masing-masing sektor. Gender sebagai suatu pendekatan memang bersifat
generik namun aplikasi dari pendekatan tersebut haruslah berdasarkan kondisi dan situasi spesifik
sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Dengan demikian, adalah tepat bila diberikan kebebasan
masing-masing sektor untuk mengembangkan GAP sehingga akan dihasilkan misalnya GAP-
Lingkungan GAPSosial, GAP-Pendidikan dan sebagainya yang mengacu pada pendekatgn gender.
Integrasi antar berbagai pendekatan dalam implementasi gender. Dengan berkembangnya gender
sebagai suatu prinsi yang harus diperhatika dalam berbagai hal maka muncul pula berbagai
pendekatan dalam aplikasinya. Di satu sisi hal tersebut menguntungkan namun dalam keperluan
praktis dapat menjadi kendala. Untuk itu, diperlukan pengintergrasian berbagai pendekatan
tersebut menjadi suatu menu yang nantinya dapat menjadi pilihan bagi penggunanya. Hal ini
seringkali tidak disadari sehingga pada tingkat pelaksana timbul sikap resistens terhadap
pendekatan yang berbeda dari yang pemah mereka peroleh.
Intervensi ke dalam proses perencanaan memang akan sangat efektif bila diterapkan pada institusi
sektoral seperti pendidikan,k esehatan dan sebagainya. Namun, masalah lingkungan yang bersifat
multi-dimensi, multi-sektoral dan multi-pihak seringkali tidak menggunakan pendekatan
perencanaan yang sentralistik sehingga unit perencana dalam institusi lingkungan hanya bersifat
adminisrasi dan tidak substansial untuk itu, intervensi gender ke dalam kebijakan lingkungan akan
lebih tepat dan mengena sasaran apabila dilakukan secara tematik dengan melihat prioritas
masalah yang dihadap miisalnya pencemaran dan lingkungan hidup.Penggunaan GAP sebagai alat
analisis/metodologi untuk menemukan kesenjangan gender dalam kegiatan dan program
pengelolaan lingkungan cukup efektif dan bermanfaat. Namun, seperti yang sering dialami
berbagai instrumen, proses pengambilan keputusan dan kebijakan membutuhkan tidak hanya
kesahihan dan obyektifitas tetapi juga legitimasi terhadap suatu keputusan. Dari pengalaman
melakukan GAP di KLll diperoleh suatu pelajaran bahwa GAP saja belum menjamin pertimbangan
gender dapat menjadi suatu kebijakan. Satu tahapan yang dapat mempertajam hasil GAP agar
dapat menjadi acuan (reference) bagi pengambilan keputusan dengan mempertimbangkaan aspek
gender perlu dilakukan. Untuk itu, perlu dikaji secara lebih detil dan sistematis dengan memahami
proses perencanaan lingkungan dengan menentukan intervensi GAP dapat dilakukan.
Penutup
Kementerian Lingkungan Hidup telah memulai suatu langkah penting yaitu dengan melakukan
pengarusutamaan gender dalam pengeloaan lingkungan hidup yang dijabarkan dalam Repeta 2003
terhadap salah satu kebijakan program pembangunannya, Meskipun baru dimulai dengan satu
program akan tetapi dapat menjadi entry point terhadap usaha yang
besar, yaitu pengarusutamaan gender dibidang lingkungan hidup. Dengan memberikan perspektif
gender berarti memberi kepastian dan pertanggungjawaban bahwa kebijakan program tersebut
memberi keadilan bagi perempuan dan laki-laki. Suatu hal yang terabaikan selama ini, sehingga
intervensi kebijakan program tidak berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki. Oleh karena
itu, pengarusutamaan gender yang sudah dirintis perlu diinternalisasikan ke dalam sistem yang
sudah berjalan. Melembagakan pengarusutamaan gender ini sedapat mungkin menghindari
pendekatan proyek atau bersifat ad hoc. Internalisasi diharapkan dapat dilakukan dari dalam (from
within) untuk mengurangi sikap resistens Berikut ini beberapa faktor penting yang dapat
dipertimbangkan untuk melembagakan pengarusutamaan gender dalarn lingkungan KLH:
Keteladanan kepemimpina Seperti terlihat dari dukungan politik yang dilakukan secara terbuka
dan kongkrit terhadap inisiatif pengarusutamaan gender dari pucuk pimpinan, para pengambil
keputusan atau yang satu level dengannya EselonI I sebagai pengelola program berperan
menerjemahkan sikap para pengambil kebijakan ( Inpres,S K Menteli, Eselon I) ke dalam tujuan
yang nyata dan yang kiranya dapat dicapai. Oleh sebab itu pemahaman Eselon II mengenai
konsep gender dan mengapa harus melakukan pengarusutamaan gender ini, menjadi sangat
menentukan.
Kebijakan pengarusutamaan gender yang eksplisit. Sistem birokrasi memerlukan kepastian
aturan. Oleh karena itu, dengan dikeluarkannya Inpres No.9 Tahun 2000 Tentang memberikan
kehalusan semua sektor untuk melakukan pengarusutamaan gender. Secara lebih spesifik SK
Menteri Negara LH tentang pengarusutamaan gender akan memberi dukungan legal bagi semua
unit untuk melakukannya.
Tim Pokja dan Tim Teknis yang handal dan proaktif. Pembaharuan pengetahuan mengenai isu
yang berkaitan dengan gender, antara lain melalui pertemuan-pertemuan aktif (internal maupun
dengan sektor lain dan ahli gender) membahas dan mengevaluasi pengarusutamaan gender
dalam proses secara periodik. Menentukan langkah-langkah, dibantu oleh ahli gender atau
orang yang ahli di bidangnya (dari dalam maupun dari luar instansi).
Insentif agar kepedulian terhadap gender dapat tumbuh dari dalam dan mengurangi pendekatan
yang formal maka perlu dikembangkan dorongan melalui insentif terhadap berbagai upaya atau
inisiatif positif yang telah tumbuh.
Sosialisasi dan Advokasi. Adanya Inpres,berbagai Surat Keputusan yang berkaitan dengan
pengarusutamaan gender mapun konsep gender itu sendiri, belum diketahui secara merata,
terutama kepada mereka yang bertanggung-jawab membuat kebijakan program, perencanaan
dan pelaksanaan. Sebab itu awal-awalnya sosialisas dan advokasi diperlukan termasuk sosialisasi
untuk meningkatkan kesadaran gender dan relevansinya gender analisis/pengarusutamaan
gender untuk perbaikan kualitas kebijakan dan efektivitas kebijakan program.
Transparansi dan Akuntabiltas. Memperkuat dalam sistim suasana transparansi dan
akuntabilitas pengarusutamaan gender dalam semual evel. Dengan demikian suasana menjadi
kondusif untuk melakukan sesuatu yang baru, seperti proses melakukan pengarusutamaan
gender ini.
Terstruktur dalam Sistem. Terlembaganya mekanisme pengarusutamaan gender yang didukung
struktur. Sehingga ada wadah formal yang memfasilitasi proses pertemuan secara berkala,
menyusun panduan, menyusun piranti dan laporan sampai dengan pertanggungiawaban kinerja.
Hal ini harus merupakan suatu sistem berlanjut untuk mekanisme kebijakan program yang
responsif gender berikutnya.
Jaringan lnformasi Sistem. Tersedianya data mutakhir dan efektifnya bentuk data dan informasi
yang sudah berperspektif gender, piranti dan prosedur melakukan pengarusutamaan gender;
keharusan mendeposit data dan informasi pada Jaringan
Informasi sistim; dan seterusnya.
Menjadi Bagian dari Program Prioritas Kementerian. Karena pengarusutamaan gender adalah
baru, jadi tidak otomatis sifatnya. Oleh sebab itu untuk sementara, sebelum menjadi rutin dan
melembaga harus ada (orang atau sekelompok orang, bisa dari tim Pokja atau Tim Teknis) yang
bertanggung jawab untuk memastikan pengarusutamaan gender masuk dalam program prioritas
instansi.
Membangun Jaringan Kerja dengan Stakeholders. Jaringan kerja internal antar unit kerja
maupun dengan eksternal misalnya dengan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
sebagai koordinator pengarusutamaan gender, BAPPENAS serta departemen terkait lainya,
termasuk dengan lembaga-lembaga non Pemerintah, agar supaya ada sharing pengalaman, yang
memang sangat dibutuhkan dengan usaha baru macam pengarusutamaan gender ini.
Monitoring dan Evaluasi. Mengikuti sistim yang ada, hanya memasukkan perspektif
gender,dengan menekankan pada apa dampak intervensi program terhadap perempuan dan
laki-laki. Monitoring dan Evaluasi juga diberikan pada proses jalannya
Pengarusutamaan gender di Departemen. Hasilnya secara teratur harus diinformasikan pada
unit yang bertanggung jawab atas jalannya pengarusutamaan gender di Departemen, untuk
dibicarakan dengan Tim Pengarah.
Pelaporan. Sesuai dengan Inpres No.9 Tahun 2000, setiap sektor harus melaporkan kegiatan
pengarusutamaan gender kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Pemberdayaan
Perempuan untuk dipergunakan sebagai bahan pengambilan kebijakan yang responsif gender.