Vous êtes sur la page 1sur 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infertilitas adalah kegagalan pasangan suami istri untuk mengalami


kehamilan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi,
selama satu tahun.1 Kurang lebih 10-15% jumlah penduduk mengalami
infertilitas. Insidensi infertilitas meningkat sejak 40 tahun terakhir. Terdapat
banyak keterangan yang dikemukakan sebagai sebab kenaikan ini. Banyak wanita
memperlambat masa mengandung sampai usia yang lebih tinggi, dan fertilitas
menurun bersama dengan meningkatnya penyakit menular seksual yang terjadi
tahun-tahun 1970-an bisa jadi telah meningkatkan kerusakan pada saluran telur.
Tambahan lagi, terdapat keterangan tentang meningkatnya keprihatinan dengan
infertilitas yaitu pasangan-pasangan infertilitas lebih cenderung mencari bantuan
medis. Semua faktor ini berkombinasi dan meningkatkan jumlah kunjungan untuk
infertilitas melebihi 2.000.000 per tahun.2

Hampir setiap pasangan di dunia menginginkan seorang anak, namun


sayangnya tidak setiap perkawinan dianugerahi keturunan. Ada 10-15% pasangan
mengalami infertilitas, meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur
tanpa menggunakan alat kontrasepsi selama setahun atau lebih, keadaan tersebut
lazimnya disebut kekurangsuburan atau dalam bahasa medis disebut sebagai
infertil.3 Anak merupakan anugerah terbesar dalam hidup bagi setiap orang tua.
Karena dengan memiliki anak, berarti mereka memiliki keturunan yang akan
meneruskan generasi keluarga.4

Berbagai faktor dapat menyebabkan seorang wanita dan pria menjadi


infertil. Penyebab seorang wanita infertil dapat disebabkan oleh gangguan ovulasi
yang sering disebabkan oleh Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS). Primary
Ovarian Insufficiency (POI) yang sering muncul ketika wanita berumur lebih dari

1
40 tahun, terhalangnya tuba fallopi yang sering disebabkan oleh Pelvic
Inflammatory Disease (PID), endometriosis, pasca operasi kehamilan ektopik,
kelainan di uterus, dan uterine fibroid.5

Berdasarkan data WHO (2004) dan laporan lainnya, diperkirakan 8-12%


pasangan yang mengalami masalah infertilitas selama masa reproduktif mereka.
Jika 8% dari gambaran global populasi maka sekitar 60-80 juta pasangan yang
belum mempunyai anak. Diperkirakan muncul sekitar 2 juta pasangan infertil
baru setiap tahun dan jumlah ini terus meningkat.6 Pasien yang diteliti dari 33
pusat kesehatan di 25 negara termasuk didalamnya timur dan barat Eropa,
Canada, Australia, Scandinavia, Afrika, Asia, Amerika Latin dan Mediterania
diperoleh kesimpulan bahwa penyebab infertilitas adalah gangguan fungsi
ovarium 33%, oklusi tuba dan perlengketan tuba 36%, endometriosis 6% dan 40%
tidak diketahui penyebabnya. Di Afrika diperoleh 80% wanita infertil karena
oklusi dan perlengketan pada tuba yang disebabkan oleh infeksi. Pada pria,
varicocele menjadi penyebab infertilitas sebanyak 11% pasien, infeksi dan
gangguan jumlah sperma sebanyak 28% pasien, 49% kasus tidak diketahui
penyebabnya.7

Berdasarkan jenis infertilitas, Samiha M dkk melaporkan dari 215 pasangan


yang infertil terdapat 172 kasus (80 %) pasangan yang mengalami infertilitas
primer dan 43 kasus (20 %) pasangan yang mengalami infertilitas sekunder.8
Mosher melaporkan dari semua wanita yang mengalami infertilitas di Amerika
Serikat, infertilitas primer terdapat 65 % wanita dan infertilitas sekunder terdapat
35 % wanita.9

Angka infertilitas di Indonesia diperkirakan berkisar 12-15%.10 Banyaknya


pasangan infertilitas di Indonesia dapat di perhitungkan dari banyaknya wanita
yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak yang masih hidup. Menurut sensus
penduduk terdapat 12 % baik di desa maupun di kota atau sekitar 3 juta pasangan
infertil tersebar di seluruh Indonesia, dari jumlah tersebut terdapat perempuan
infertil 15 % pada usia 30-34 tahun, meningkat 30 % pada usia 35-39 tahun, dan

2
64 % pada usia 40-44 tahun.11 Berdasarkan data rekam medik RSUD Raden
Mattaher Jambi, dalam 3 tahun terakhir banyak dijumpai pasien infertil. Dimana
pada tahun 2014 jumlah pasien infertil berjumlah 190 pasien, pada tahun 2015
berjumlah 94 pasien, dan pada tahun 2016 berjumlah 92 pasien.

Saat ini, infertilitas bukan hanya menjadi masalah medis namun juga
merupakan masalah sosial, berbagai pendekatan diagnostik dan terapi terus
dikembangkan untuk menangani masalah ini.12 Penanganan kasus infertilitas
harus meliputi evaluasi secara komprehensif baik dari pihak suami dan juga istri,
berbasis pada keilmuan secara ilmiah dari aspek fisik maupun psikologi.13 Salah
satu perspektif baru dalam teknologi di bidang reproduksi adalah laparoskopi.
Endoskopi ginekologi di Indonesia mulai berkembang sekitar tahun 1990-an.
Sedangkan di dunia Internasional di mulai pada tahun 1970-an. Di Indonesia
sekarang sudah mulai pesat perkembangannya terutama di pusat-pusat kota,
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Yogyakarta. Dunia
endoskopi sudah sangat pesat perkembangannya sesuai dengan hasil kongres di
Chicago pada tahun 2001 dan terakhir kongres di Berin pada tahun 2001.

Tindakan laparoskopi telah lama digunakan untuk berbagai kasus bedah


seperti appendiktomi, koreksi hernia dan juga pengobatan pada ulkus peptikum.14
Pada tahun 1990-an, laparoskopi merupakan langkah terakhir dalam diagnostik
rutin pasangan infertil.15 Namun saat ini proses evaluasi pasangan infertil telah
mengalami perubahan, pendekatan untuk infertilitas yang paling banyak diterima
tidak lagi fokus dalam upaya penegakan diagnosis etiologi, namun lebih mengacu
pada pemeriksaan yang paling efektif dan efisien, cepat dan murah dengan
menggunakan uji invasif minimal.16 Teknik laparoskopi ini meninggalkan trauma
yang lebih sedikit pada pasien dan meninggalkan kerusakan jaringan tubuh pasien
yang tentunya lebih sedikit juga. Hal ini menyebabkan pasien akan lebih cepat
pemulihannya dan lebih singkat masa rawatannya.

Dengan semakin meningkatnya jumlah tindakan bedah ginekologi yang


sekarang ini dilakukan dengan teknik laparoskopi. Hal ini mengacu kepada

3
permintaan laparoskopi yang berdasarkan bukti dan berkompetensi serta
keterampilan laparoskopi yang baik. Pada saat sekarang ini masih sedikit sekali
penelitian yang terstruktur pada penggunaan laparoskopi.

Oleh karena semakin berkembangnya dan banyaknya permintaan akan


tindakan bedah ginekologi laparoskopi terhadap kejadian infertilitas diseluruh
dunia termasuk di Indonesia, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang
peranan laparoskopi terhadap kejadian infertilitas pada pasien infertil di RSUD
Raden Mattaher Jambi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimana karakteristik infertilitas pada pasien infertil yang dilakukan
tindakan laparoskopi di RSUD Raden Mattaher tahun 2014 – 2016?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik infertilitas pada pasien infertil yang dilakukan
tindakan laparoskopi di RSUD Raden Mattaher tahun 2014 – 2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien infertil (usia, pekerjaan,
status paritas dan jenis infertilitas) yang menjalani laparoskopi di RSUD
Raden Mattaher Jambi Tahun 2014 – 2016.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab infertilitas pada pasien yang
menjalani laparoskopi di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2014 – 2016.
3. Untuk mengetahui diagnosis Pre-Operatif dan Post-Operatif pasien yang
menjalani laparoskopi di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2014 – 2016.
4. Untuk mengetahui jenis tindakan laparoskopi pada pasien infertil yang
menjalani laparoskopi di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2014 – 2016.

4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Instansi Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data epidemiologi kasus infertilitas di
bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden Mattaher Jambi periode 2014-2016,
serta dapat menjadi tambahan informasi dan masukan sebagai evaluasi bagi
RSUD Raden Mattaher Jambi agar pihak rumah sakit terutama di bagian Obstetri
dan Ginekologi Raden Mattaher Jambi dapat mencari data yang lebih lengkap
mengenai faktor penyebab dari infertilitas pada pasien infertil yang dilakukan
tindakan laparoskopi sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik
kedepannya.

1.4.2 Bagi Masyarakat


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat, khususnya
wanita infertil mengenai infertilitas, sehingga masyarakat dapat memahami dan
mengerti mengenai karakteristik infertilitas.

1.4.3 Bagi Peneliti Lainnya


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi
peneliti lain, serta dapat dijadikan sebagai dasar atau bahan untuk penelitian
selanjutnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infertilitas

2.1.1 Definisi

Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil sesudah dua belas bulan atau
enam bulan pada wanita berusia lebih dari 35 tahun tanpa menggunakan alat
kontrasepsi dan melakukan hubungan seksual aktif.17 sedangkan definisi lain
menurut Anwar, infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan
suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun melakukan hubungan
senggama teratur tanpa menggunakan kontrasepsi tetapi belum berhasil
memperoleh kehamilan.18
Definisi lain mengatakan bahwa infertilitas merupakan ketidakmampuan
untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual
sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi.19 Menurut Anwar, infertilitas
terdiri dari dua klasifikasi yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder.
Infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami istri belum pernah mengalami
kehamilan walaupun bersenggama tanpa kontrasepsi sedangkan infertilitas
sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk memperoleh kehamilan setelah
satu tahun pasca persalinan atau pasca abortus tanpa menggunakan kontrasepsi
apapun. 20

2.1.2 Etiologi
Terdapat 5 faktor penyebab infertilitas yang mendasar, yaitu faktor pasangan
pria, faktor servikal, disfungsi ovulasi, adanya masalah pada rahim, atau organ
pelvis pasangan wanita ataupun keduanya dan penyebab yang tidak dapat
dijelaskan.21 Diperkirakan faktor-faktor yang menjadi penyebab infertilitas 40 %
dari faktor istri, 40 % faktor suami dan 20 % kombinasi dari keduanya.22 Greene
CA melaporkan, yang menjadi penyebab infertilitas adalah faktor tuba dan

6
peritoneum 25-35 %, faktor pria 20-35 %, faktor ovulasi 15-25 %, unexplained
faktor 10-20 %, faktor servix 3-5 %, faktor lain (uterus, gaya hidup, BMI, toksin,
aktivitas dll) 1-5 %.23
Menurut penelitian yang disampaikan oleh WHO, pasien yang diteliti dari 33
pusat kesehatan di 25 negara termasuk didalamnya timur dan barat Eropa,
Canada, Australia, Scandinavia, Afrika, Asia, Amerika Latin dan Mediterania
diperoleh kesimpulan bahwa penyebab infertilitas adalah gangguan fungsi
ovarium 33%, oklusi tuba dan perlengketan tuba 36%, endometriosis 6% dan 40%
tidak diketahui penyebabnya. Di Afrika diperoleh 80% wanita infertil karena
oklusi dan perlengketan pada tuba yang disebabkan oleh infeksi. Pada pria,
varicocele menjadi penyebab infertilitas sebanyak 11% pasien, infeksi dan
gangguan jumlah sperma sebanyak 28% pasien, 49% kasus tidak diketahui
penyebabnya.5
Collin dkk melaporkan dari 14000 wanita yang di diagnosa infertil,
disebabkan oleh gangguan produksi oosit termasuk didalamnya anovulasi atau
oligoovulasi (27 %), gangguan kualitas sperma sebanyak (25 %), gangguan pada
tuba (22 %), endometriosis (5 %), faktor uterus, cervix (4 %), infertilitas yang
tidak bisa dijelaskan penyebabnya (17 %).24
Roupa dkk melaporkan dari 110 wanita yang infertil, faktor-faktor yang
menjadi penyebab infertilitas adalah 27,4 % karena faktor tuba, 24,5 % karena
faktor yang bisa dijelaskan, 20 % karena faktor gangguan ovulasi, 9,1 % karena
faktor uterus, 2,7 % karena gangguan fungsi seks, 2,7 % karena faktor usia.25
Di Amerika Serikat, dalam sebuah laporan disebutkan penyebab infertilitas
adalah anovulasi, penyakit pada tuba, faktor servix, endometriosis dan idiopatik
dengan persentase yang tidak tetap.26
Penelitian yang dilakukan oleh Aggie yang meneliti di RS Immanuel
Bandung, melaporkan bahwa yang menjadi faktor yang paling berperan penyebab
terjadinya infertilitas pada seorang wanita adalah faktor tuba sebanyak 45,5 %
wanita,dan gangguan patensi tuba adalah penyebab gangguan ini.27

7
Selama 20 tahun terakhir terdapat pergeseran penyebab infertilitas, dari faktor
ovarium dan uterus mengarah ke faktor tuba dan infertilitas pria. Obstruksi dan
kerusakan tuba menjadi penyebab 35 % pasangan infertil.27

2.1.3 Karakteristik Infertilitas


2.1.3.1 Karakteristik Jenis Kelamin
Infertilitas merupakan satu masalah yang dialami pasangan suami istri
dimanapun di dunia yang dapat memicu berbagai masalah mental sehingga
mempengaruhi rasa percaya diri suatu pasangan serta dapat mempengaruhi
keharmonisan suatu rumah tangga.28
Menurut departemen kesehatan tahun 1998 ketidak suburan atau infertilitas
terjadi pada 3,3 juta pasangan di Indonesia, dimana 35% disebabkan dari pihak
pria dan 50% pihak wanita sedangkan infertilitas yang disebabkan oleh keduanya
sekitar 20 – 30%. Jadi tidak benar anggapan masyarakat bahwa kaum wanita lebih
bertanggung jawab terhadap kesulitan memperoleh keturunan.

2.1.3.2 Karakteristik Usia


Usia merupakan salah satu faktor yang dinilai dalam menetukan fertilnya
suatu pasangan, selama wanita masih dalam reproduksi artinya masih mengalami
haid yang teratur maka kemungkinan besar ia masih bisa hamil. Usia menikah
yang dianjurkan adalah sekurang-kurangnya 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun
untuk pria. Jika dipandang dari prognosis infertilitas, fertilitas maksimal seorang
istri dicapai pada umur 25 tahun dan menurun perlahan-lahan sampai usia 30
tahun dan setelah itu menurun dengan cepat, sedangkan fertilitas suami maksimal
dicapai pada umur 26 – 30 tahun. 29
Dalam kesehatan reproduksi semakin bertambah usia wanita secara umum
fungsi dari alat-alat reproduksi mengalami penurunan begitu juga dengan
kemampuan reproduksi indung telur untuk menghasilkan sel telur mengalami
penurunan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh National Center For Statistics
menunjukkan bahwa wanita subur berusia <25 tahun memiliki kemungkinan

8
hamil 96% dalam satu tahun, kehamilan yang terjadi menurun menjadi 86% pada
wanita berusia 25-34 tahun dan 78% pada mereka 35-44 tahun. Usia ideal untuk
hamil dan melahirkan pada wanita adalah usia 20-30 tahun. Hal ini juga berlaku
pada pria meskipun pria tetap dapat menghasilkan sel sperma sampai usia 50
tahun, yang disebut andropouse. Namun kemampuan mulai menurun seiring
dengan menurunnya kemampuan seksualnya. Hasil penelitian hanya
mengungkapkan hanya sepertiga pria berumur diatas 40 tahun yang mampu
menghamili istrinya dalam waktu 6 bulan dibandingkan dengan pria berumur
dibawah 25 tahun. Oleh sebab itu semakin tua usia akan mempengaruhi kualitas
sel sperma. Oleh karena itu jika menginginkan anak pada usia ini sebaiknya
dilakukan pemeriksaan genetik dan sperma untuk menghindari kelainan genetik
atau janin yang dilahirkan nanti.30

2.1.3.3 Karakteristik Pekerjaan

Ide bahwa pekerjaan tertentu mungkin membuat pekerja memiliki resiko


gangguan reproduksi bukanlah suatu hal yang baru. Pada tahun 1860 seorang
ilmuwan Prancis mencatat bahwa para istri dari pekerja tambang timah cenderung
tidak hamil, dan jika memang hamil maka kemungkinan besar akan gugur. Efek
paparan timah pada kesehatan umum sekarang telah terdokumentasi dengan baik
dan diketahui mengurangi produksi sperma manusia maupun binatang.30

Sumber pekerjaan lain yang dapat mengurangi kualitas sperma adalah yang
berhubungan dengan panas, pestisida, hidrokarbon, radiasi ion dan estrogen.
Sebuah studi dari Australia mengidentifikasi pekerjaan yang beresiko yang
meliputi pekerja transportasi, pekerja industri pembangunan, mekanik motor,
petani dan penambang. Wanita juga memiliki resiko tinggi terhadap infertilitas
dari pekerjaan. Sebuah studi dari AS memeriksa pekerjaan dan resiko infertilitas
wanita dan menemukan bahwa wanita yang terpapar debu kimia, pelarut organik
yang mudah terbakar, pertisida dan terminal tayangan video di tempat kerja

9
memiliki resiko infertilitas yang lebih tinggi. Pekerjaan dapat diklafikasikan:
PNS, wiraswasta, karyawan, buruh dan ibu rumah tangga.

2.1.3.4 Karakteristik Jenis infertilitas30


1. Infertilitas Primer
Infertilitas primer adalah suatu keadaan ketika pasien yang telah menikah
lebih dari satu tahun melakukan hubungan seksual secara teratur dan benar
tanpa usaha pencegahan, tetapi belum juga terjadi kehamilan, atau belum
pernah melahirkan anak hidup.
2. Infertilitas sekunder
Infertilitas sekunder adalah suatu keadaan ketika pasien yang sudah
mempunyai anak, sulit untuk memperoleh anak lagi, walaupun sudah
melakukan hubungan seksual secara teratur dan benar tanpa usaha pencegahan.

2.1.4 Faktor-Faktor yang menyebabkan Infertilitas


2.1.4.1 Faktor Pria31
Penyebab infertilitas pada pria di bagi menjadi 3 kategori utama yaitu :
a. Gangguan produksi sperma misalnya akibat kegagalan testis primer (
hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik
(sindrome Klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung
lainnya terkait anatomi (crytorchidism,varikokel), infeksi (mumps orchitis),
atau gonadotoksin. Stimulasi gonadotropin yang tidak adekuat yang
disebabkan karena faktor genetik (isolated gonadotropin deficiency), efek
langsung maupun tidak langsung dari tumor hipotalamus atau pituitari, atau
penggunaan androgen eksogen, misalnya Danazol, Metiltestoteron (penekanan
pada sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma
yang buruk.
b. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran
genital (prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan

10
biokimia, atau gangguan dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau
penetrasi.
c. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens
bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired) pada
epididmis atau duktus ejakulatorius (penanganan interil).

2.1.4.2 Faktor Wanita


A. Gangguan ovulasi
Gangguan ovulasi jumlahnya sekitar 30-40% dari seluruh kasus infertilitas
wanita. Bila ovulasi tidak terjadi maka tidak akan ada sel telur yang bisa dibuahi.
Gangguan ini sangat mudah didiagnosis menjadi penyebab infertilitas. Karena
ovulasi sangat berperan dalam konsepsi, ovulasi harus dicatat sebagai bagian dari
penilaian dasar pasangan infertil.32 Terjadinya anovulasi dapat disebabkan tidak
ada atau sedikitnya produksi gonadotropin releasing hormon (GnRH) oleh
hipotalamus (40% kasus), sekresi hormon prolaktin oleh tumor hipofise (20%
kasus), PCOS (30% kasus), kegagalan ovarium dini (10%).32
WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 4 kelas33 :
1. Kelas 1: Kegagalan pada hipotalamus hipopise (hipogonadotropin
hipogonadism). Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah,
prolaktin, normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10 %
dari seluruh kelainan ovulasi.
2. Kelas 2 : Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin normogonadism).
Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun estradiol
normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85 % dari seluruh kasus kelainan
ovulasi. Manifestasi klinik kelainan kelompok ini adalah oligomenorea atau
amenorea yang banyak terjadi pada kasus PCOS. Delapan puluh sampai
sembilan puluh persen pasien PCOS akan mengalami oligomenorea dan 30 %
akan mengalami amenorea.
3. Kelas 3 : kegagalan ovarium (hipogonadotropin hipogonadism). Karakteristik
kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar estradiol
rendah. Terjadi sekitar 4-5 % dari seluruh gangguan ovulasi. Kelompok wanita

11
yang mengalami gangguan ovulasi akibat gangguan cadangan ovarium
(premature ovarian failure/disminisshed ovarian reserved).
4. Kelas 4 : Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat disfungsi
ovarium, memiliki kadar prolaktin yang tinggi (hiperprolaktinemia).

B. Kelainan Anatomis
Kelainan anatomis yang sering ditemukan berhubungan dengan infertilitas
adalah abnormalitas tuba fallopii dan peritoneum, faktor serviks,serta faktor
uterus.
1. Infertilitas faktor tuba dan peritoneum
Selama 20 tahun terakhir terdapat pergeseran penyebab infertilitas, dari
faktor ovarium dan uterus mengarah ke faktor tuba. Faktor tuba dan peritoneum
menjadi penyebab kasus infertilitas yang cukup banyak dan merupakan
diagnosis primer pada 30-40 % pasangan infertil.35 Faktor tuba mencakup
kerusakan atau obstruksi tuba fallopii, biasanya berhubungan dengan penyakit
peradangan panggul, pembedahan panggul atau tuba sebelumnya.35 Adanya
riwayat PID, abortus septik, ruptur apendiks, pembedahan tuba, atau kehamilan
ektopik sebelumnya menjadi faktor resiko besar untuk terjadinya kerusakan
tuba. PID tidak diragukan lagi menjadi penyebab utama infertilitas faktor tuba
dan kehamilan ektopik.32,36
Studi klasik pada wanita dengan diagnosis PID setelah di laparoskopi
menunjukkan bahwa resiko infertilitas tuba sekunder meningkat seiring dengan
jumlah dan tingkat keparahan infeksi panggul; secara keseluruhan, insidensi
berkisar pada 10-12 % setelah 1 kali menderita PID, 23-35 % setelah 2 kali
menderita PID, dan 54-75 % setelah menderita 3 kali episode akut PID.34
Infeksi pelvis subklinik oleh Chlamydia Trachomatis yang menyebabkan
infertilitas karena faktor tuba. Meskipun banyak wanita dengan penyakit tuba
atau perlekatan pelvis tidak diketahui adanya riwayat infeksi sebelumnya,
terbukti kuat bahwa “silent infection” sekali lagi merupakan penyebab yang
paling sering. Penyebab lain faktor infertilitas tuba adalah peradangan akibat
endometriosis, Inflammatory Bowel Disease, atau trauma pembedahan.36

12
2. Faktor Serviks
Faktor serviks berjumlah tidak lebih dari 5 % penyebab infertilitas secara
keseluruhan. Tes klasik untuk evaluasi peran potensial faktor serviks pada
infertilitas adalah Post Coital Test (PCT). Dibuat untuk menilai kualitas mukus
serviks, adanya sperma dan jumlah sperma motil pada saluran genitalia wanita
setelah koitus, serta interaksi antara mukus serviks dan sperma.32
Serviks berfungsi sebagai barier terhadap mikrobiologi infeksius dan
merupakan saluran sperma ke dalam uterus. Serviks akan memberi respon secara
imunologis bila bertemu dengan mikrobiologi infeksius namun tidak memberi
respon secara immunologik bila bertemu dengan antigen permukaan
spermatozoa.37
Kelainan Serviks yang dapat menyebabkan infertilitas adalah37 :
a. Perkembangan serviks yang abnormal sehingga dapat mencegah migrasi
sperma atau tidak mampu mempertahankan produk kehamilan
b. Tumor serviks (polip,mioma) dapat menutupi saluran sperma atau
menimbulkan discharge yang mengganggu spermatozoa
c. Servisitis yang menghasilkan asam atau sekresi purulen yang bersifat toksin
terhadap spermatozoa. Streptococcus, staphylococcus, gonococcus,
tricomonas dan infeksi campuran merupakan penyebab terbanyak.

3. Infertilitas karena faktor Uterus

Kelainan Uterus yang menyebabkan infertilitas antara lain :

1. Septum uteri32
Hal ini dapat menghambat maturasi normal embrio karena kapasitas uterus
yang kecil. Septum uteri menurut tingkatan berdasarkan ukuran septum dibagi
menjadi 3 kelompok yakni:
- Stadium I : 0-1 cm
- Stadium II : 1-3 cm
- Stadium III : >3 cm

13
2. Mioma Uteri

Saat ini,mioma uteri dapat dikaitkan dengan infertilitas pada 5-10 %


perempuan, dan mungkin menjadi satu-ssatunya penyebab infertilitas pada 2-13
% tergantung lokasi, jumlah dan besar dari mioma itu sendiri.36 Mioma
khususnya mioma submukosa mungkin mempengaruhi transportasi gamet
dengan cara menghalangi ostium tuba. Pembesaran dari rahim dan distorsi dari
kontur uterus mungkin mempengaruhi implantasi, menyebabkan disfungsional
kontraktilitas uterus, yang pada gilirannya bisa mengganggu dengan migrasi
sperma, transportasi sel telur atau mengganggu nifas.

3. Kelainan endometrium, seperti adanya polip, endometriosis, hiperplasia dan


perlengketan intrauterin (Sindroma Asherman).

Dalam suatu penelitan yang melibatkan grup wanita infertil dengan polip
endometrium yang tidak direseksi (lebih besar dari 2 cm), keluaran IVF pada
wanita yang diterapi (sebelumnya dilakukan polipektomi histeroskopi) dan yang
tidak diterapi tidak berbeda. Prevalensi polip pada wanita infertil, ditaksir dari
rentetan kasus dengan temuan diagnostik histereskopi sekitar 3-5 %.32Sindroma
asherman terjadi oleh karena dilakukannya dilatasi dan kuretase yang merupakan
blind procedure sehingga terjadi intrauterine scar dan akhirnya menjadi sinekhia
intrauterine. Bozdag dkk, mengatakan bahwa penyebab utama dari sindroma
Asherman adalah dilakukannya dilatasi dan kuretrade yang mana merupakan
blind method, yang secara respektif persentase insiden terjadinya sindroma
Asherman akibat kuretase adalah 14-36 %.34

C. Endometriosis
Endometriosis klasik tampak sebagai pigmen hitam-kebiruan seperti lesi
(“powder-burn”) pada permukaan kandung kemih, ovarium, tuba falopi, kantong
rekto-uterina, dan usus besar. Endometriosis non klasik tampak seperti lesi dan
vesikel merah, coklat atau putih. Endometriosis berat dengan kerusakan tuba
falopi dan ovarium menyebabkan adhesi atau munculnya endometrioma,

14
merupakan penyebab infertilitas. Selain itu pada endometriosis yang ringan pun
dapat menyebabkan infertilitas melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1. Produksi prostaglandin sehingga mempengaruhi motilitas tuba atau dan
fungsi korpus luteum
2. Melalui makrofag peritoneum, ditemukan peningkatan aktifitas makrofag
yang akan memfagosit sperma
3. Dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan folikel, disfungsi ovulasi dan
kegagalan perkembangan embrio
Infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh beberapa faktor-faktor
resiko antara lain :
1. Faktor gaya hidup dan lingkungan
Dapat dimengerti, semua pasangan, terutama pasangan infertil, sangat
tertarik mempelajari segalanya dimana mereka mungkin berbuat maksimal agar
mendapat kehamilan. Gaya hidup dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi
fertilitas dan harus dipertimbangkan dan dibicarakan.39 Hampir 62% wanita
Amerika kelebihan berat badan dan lainnya 33 % obesitas. Kelebihan berat badan
didefinisikan dengan indeks massa tubuh (BMI) lebih besar dari 25; dan yang
besar dari 30 disebut obesitas.40 Abnormalitas dari sekresi GnRH dan
gonadotropin relatif sering pada berat badan lebih, obesitas dan yang berat badan
kurang (BMI kurang dari 17). Hubungan antara BMI dan kesuburan pada pria
belum diteliti secara rinci.40
Frekuensi obesitas pada wanita dengan anovulasi dan suatu ovarium
polikistik telah dilaporkan adalah berkisar dari 35 % hingga 60 %. Obesitas
berkaitan dengan tiga perubahan yang mengganggu ovulasi normal dan penurunan
berat badan akan memperbaiki tiga keadaan tersebut : 40
a. Peningkatan aromatisasi perifer dari androgen menjadi estrogen.
b. Penurunan kadar globulin pengikat hormon seks (Sex Hormone Binding
Globulin), menghasilkan peningkatan kadar estradiol dan testosteron bebas.
c. Peningkatan kadar insulin yang dapat merangsang produksi androgen oleh
jaringan stroma ovarium.

15
Beberapa hal yang dapat dikontrol pasangan adalah penyalahgunaan zat;
merokok adalah yang terpenting. Banyak yang tidak perduli sama sekali efek
buruk yang ditimbulkan rokok terhadap kesuburan dan kehamilan.41 Motivasi
pasangan untuk memaksimalkan fertilitas mereka memberikan kesempatan emas
untuk mendidik mereka dan menetapkan strategi penghentian rokok.41
Bentuk lain penyalahgunaan zat juga dapat mempengaruhi infertilitas.
Marijuana menghambat sekresi dari GnRH dan dapat menekan fungsi reproduksi
dari pria dan wanita.39 Pada wanita, marijuana dapat mengganggu fungsi ovulasi.
Penggunaan kokain dapat merusak spermatogenesis dan berkaitan dengan
peningkatan resiko penyakit tuba. Konsumsi alkohol yang berat pada wanita bisa
menurunkan fertilitas; pada pria telah dikaitkan dengan penurunan kualitas semen
dan impoten. Asupan alkohol dalam jumlah yang sedang juga mengurangi
fekundabilitas, walaupun hasil penelitian masih bertentangan. Pada pria dan
wanita, walau pada jumlah yang sedang, konsumsi alkohol berkaitan dengan
angka kehamilan yang lebih rendah dengan ART. Penelitian tidak berhasil
memastikan dampak buruk kafein (lebih dari 250 mg/hari, 2 minuman standard)
terhadap fertilitas, walaupun kadar yang lebih tinggi dapat memperlambat
kehamilan atau meningkatkan terhentinya kehamilan.36,39
Data yang ada menunjukkan bahwa dampak merokok pada fertilitas
bergantung dosis. Mekanisme yang terlibat dapat meliputi akselerasi deplesi
folicular, abnormal siklus atau mutugenesis gamet atau embrio yang diinduksi
oleh toxin pada rokok. Hubungan kausal antara rokok dan infertilitas wanita
belum dulakukan. Penelitian menunjukkan 13 % wanita infertil berhubungan
dengan rokok.39

2. Umur dan Infertilitas Wanita


Penelitian mengenai fertilitas pada populasi Hutterite menunjukan
kesuburan menurun sesuai dengan pertambahan umur. Dimana angka fertilitas
rendah 2,4 %, 11 % wanita tidak melahirkan anak setelah umur 34, 33 % infertil
pada umur 40, dan 87 % infertil pada umur 45.36,42

16
Dengan meningkatknya usia, semakin sulit pula untuk mendapatkan anak.
Usia 20-24 tahun fertilitas wanita mencapai 100 %. Usia 30-34 tahun, fertilitas
wanita 85 %. Usia 35-39 tahun fertilitas wanita tinggal 60 %. Pada usia 40-44
tahun fertilitas wanita tinggal 25%.37

2.1.5 Dampak Sosial Budaya pada Perempuan yang Mengalami Infertilitas


Pada tingkat sosial, dalam banyak kebudayaan infertilitas berhubungan
dengan stigma sosial dan merupakan sesuatu hal tabu untuk dibicarakan, pasangan
yang tidak bisa mempunyai anak, dianggap melanggar norma-norma sosial yang
dapat mengakibatkan perceraian, sehingga pasangan yang subur kemungkinan
memiliki anak dengan pasangan barunya.41
Pada kebudayaan Afrika, perempuan harus menanggung beban kemunduran
reproduksi, penyebab kegagalan reproduksi termasuk masalah infertilitas,
kesedihan, frustasi, tekanan perkawinan, stigma sosial dan beberapa kasus yang
mengancam jiwa. Infertilitas di budaya Afrika dihubungkan juga dengan domain
kehidupan sosial, termasuk kekerabatan, warisan, pola perceraian dan status
ekonomi.43
Dampak psikologis yang dialami menyangkut kondisi internal, hubungan
interpersonal dan seksual suami istri. Berdasarkan beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa infertilitas yang dialami oleh seorang istri akan
menimbulkan dampak psikologis yang cukup berat. Dampak psikologis yang
dialami yaitu munculnya perasaan frustasi, depresi, isolasi, marah, dan rasa
bersalah perasaan tidak sempurna dan kurang berarti. Selain itu infertilitas
berdampak buruk terhadap hubungan suami istri. Mereka menjadi jauh satu sama
lainnya, hubungan menjadi kurang harmonis, kehidupan seks antara suami tidak
lagi hangat dan mesra.44

17
2.1.6 Diagnosis Infertilitas

Investigasi infertilitas biasanya segera dilakukan ketika pasangan datang


untuk konsultasi pertama kali. Jika pasangan telah melakukan usaha untuk
memperoleh kehamilan selama kurang dari 1 tahun, maka pengajuan beberapa
pertanyaan guna memastikan permasalahan utama sangatlah bermanfaat,
pertanyaan yang dapat diajukan antara lain mengenai ketidakteraturan siklus
menstruasi, riwayat adanya bedah pelvis, atau orkidopeksi yang tidak bisa
dihindari. Jika riwayat medis pasangan hasilnya normal, maka pasien harus diberi
penjelasan mengenai harapan peluang kehamilan kumulatif selama satu periode
waktu dan investigasi sebaiknya ditunda sebaiknya ditunda sampai pasangan telah
mencobanya selama periode satu tahun.33

a. Tahap pertama (Fase I)


1. Pemeriksaan riwayat infertilitas (anamnesis)
Anamnesis masih merupakan cara terbaik untuk mencari penyebab infertilitas
pada wanita. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan infertilitas yang harus
ditanyakan kepada pasien adalah mengenai usia pasien, riwayat kehamilan
sebelumnya, panjang siklus haid, riwayat penyakit sebelumnya dan sekarang,
riwayat operasi, frekuensi koitus dan waktu koitus.
Perlu juga diketahui pola hidup dari pasien mengenai alkohol, merokok dan
stress. Hal ini semua dapat mempengaruhi terjadinya infertilitas.33,9
2. Pemeriksaan fisik
Penghitungan indeks massa tubuh (Body Mass Index (BMI)) dihitung dari
tinggi dan berat badan (kg/m2) – kisaran normal BMI adalah 20-25 kg/m2.
Penampilan/rupa pasien secara keseluruhan dapat memberikan petunjuk mengenai
penyakit sistemik ataupun masalah endokrin.36
Wanita dengan siklus menstruasi yang tidak teratur dan tampilan fisik obesitas
mungkin saja berhubungan dengan diagnosis SOPK. Pada umumnya wanita
dengan tampilan overweight atau obesitas mengalami kelainan berupa resistensi
insulin atau bahkan sindroma metabolik. Keberadaan ciri-ciri seksual sekunder
normal sebaiknya diamati.36

18
3. Penilaian ovulasi36,33
Penentuan penyabab infertilitas merupakan kunci pengobatan karena hal
tersebut akan menghasilkan laju kehamilan kumulatif yang menyerupai laju
kehamilan pada wanita normal di usia yang sama. Sangatlah penting untuk
memastikan apakah ovulasi terjadi. Cara yang optimal untuk mengukur ovulasi
pada wanita yang memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur adalah dengan
mengkombinasikan serangkaian pemindaian ultrasound dan pengukuran
konsentrasi serum FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (L2-uteinizing
Hormone) pada fase folikular dan progesteron pada fase luteal.

4. Uji pasca senggama (UPS)


Merupakan cara pemeriksaan yang sederhana tetapi dapat memberi
informasi tentang interaksi antara sperma dengan getah serviks. UPS dilakukan 2
– 3 hari sebelum perkiraan ovulasi dimana “spin barkeit” dari getah serviks
mencapai 5 cm atau lebih .
Pengambilan getah serviks dari kanalis endo-serviks dilakukan setelah 2 –
12 jam senggama. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop. UPS dikatakan
positif, bila ditemukan paling sedikit 5 sperma perlapangan pandang besar (LPB).
UPS dapat memberikan gambaran tentang kualitas sperma, fungsi getah serviks
dan keramahan getah serviks terhadap sperma.27

b. Tahap Kedua (Fase II)


1. Histerosalpingografi (HSG)
Infertilitas tuba didiagnosa sekitar 15% -50% pada pasangan subfertil.
Histerosalpingografi sinar-X (HSG) memberikan gambar rongga uterus dan tuba
Fallopi. HSG merupakan uji pendahuluan yang paling sederhana untuk
menggambarkan rongga uterus tuba Fallopi dan sedikit komplikasi. Pada tahap ini
dilakukan pemeriksaan HSG untuk menilai patensi tuba.27
Pada suatu metaanalisis dari 20 studi yang membandingkan HSG dan
laparoskopi ditemukan bahwa sensitivitas dan spesivisitas HSG untuk patensi tuba
secara berturut-turut adalah 0,65 dan 0,83.27

19
2. Hysterosalpingo-contrast sonography (HyCoSy)27
Saat ini HSG menggunakan ultrasonografi dan medium kontraultrasound
yang mengandung mikropartikelgalaktosa mungkin untuk dilakukan dan demikian
bebas dari kemungkinan risiko radiasi.
Prosedur sebaiknya dilakukan dalam cara dan waktu yang sama di dalam
siklus seperti pada HSG konvesial. Tidak hanya patensi tuba saja dapat diperiksa
tetapi juga sebelum diinjeksikan agen kontras, ultrasound dapat
memvisualisasikan morfologi ovarium dan abnormalitas jaringan lunak, seperti
fibroid atau kelainan cacat bawaan uterus dan servik.

c. Tahap Ketiga (Fase III)


1. Laparoskopi
Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk menilai fungsi tuba
falopi. Laparoskopi memberikan gambaran panoramik terhadap anatomi
reproduktif panggul dan pembesaran dari permukaan uterus,ovarium,tuba, dan
peritoneum. Oleh karenanya, laparoskopi dapat mengidentifikasi penyakit oklusif
tuba yang lebih ringan (aglutinasi fimbria, fimosis), adhesi pelvis atau adneksa,
serta endometriosis yang dapat mempengaruhi fertilitas yang tidak terdeteksi oleh
HSG.27

2.2 Laparoskopi Pada Infertilitas


Laparoskopi adalah suatu alat operasi yang penting dalam bidang diagnosis
dan terapeutik. Istilah laparoskopi digunakan sebagai cara untuk melihat rongga
abdomen dengan bantuan laparoskop melalui dinding abdomen depan, yang
sebelumnya telah dilakukan pneumoperitoneum. Penggunaan laparoskopi untuk
penanganan infertilitas meningkat satu dekade terakhir ini. Di jerman,
Semm(1987) sejak tahun 1960 sampai dengan 1977 dengan teknik yang lebih
disempurnakan, melaporkan penurunan morbiditas dan mortalitas yang bermakna
pada operasi laparoskopi.45 Laparoskopi diagnostik telah digunakan oleh ahli
ginekologi reproduktif sekitar 87% di negara Amerika Serikat sebagai metode
pilihan dalam diagnosa infertilitas.46

20
Gambar 2.1 Teknik Laparoskopi Operatif 45
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan melakukan tekhnik operasi
laparoskopi antara lain :
a. Singkatnya hari perawatan
b. Luka operasi kecil sehingga resiko infeksi lebih kecil
c. Penyembuhan luka lebih cepat
Sedangkan kekurangan melakukan teknik operasi laparoskopi antara lain :
a. Memerlukan instrument khusus
b. Harus dilakukan oleh operator yang berpengalaman dan terlatih dalam
penggunaan laparoskopi

Pada tahun 1991 dr.Vicki Seltzer mengusulkan panduan penggunaan


laparoskopi sebagai alat diagnosis dan terapi. Fatum menyatakan bahwa tindakan
laparoskopi diagnostic sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien infertil yang tidak
diketahui penyebabnya. Meskipun HSG dapat dilakukan untuk melihat fungsi
tuba, namun dengan tindakan laparoskopi, saluran tuba dapat dilihat dengan lebih
jelas dan dapat segera dilakukan koreksi.46

Bonneau menyatakan tindakan laparoskopi diagnostik dapat mengoreksi


saluran tuba sebelum saluran tersebut mengalami kerusakan yang irreversibel. Hal
ini menunjukan bahwa tindakan laparoskopi dapat menjadi alat bantu diagnostik
dan juga terapi pada pasien infertil.47

Nakagawa menyatakan terdapat peningkatan 205 angka keberhasilan


kehamilan selama kurun waktu enam bulan setelah dilakukan tindakan

21
laparoskopi.48 Moini membandingkan keberhasilan kehamilan pasien dengan
endometriosis yang menjalani laparoskopi diagnostik dan laparoskopi operatif,
terdapat 18% pasien yang hamil pada kurun waktu sembilan bulan setelah
tindakan laparoskopi diagnostik.49

2.2.1 Indikasi
1. Indikasi Diagnostik
a. Diagonosis diferensiasi patologi genetalia interna
b. Infertilitas primer atau sekunder
c. Second look operation, apabila diperlukan tindakan berdasarkan operasi
sebelumnya
d. Mencari dan mengangkat translokasi AKDR
e. Pemantauan pada saat dilakukan tindakan histeroskopi
2. Indikasi terapi
a. Kistektomi, miomektomi dan histerektomi
b. Hemostasis perdarahan pada perforasi uterus akibat tindakan
sebelumnya
3. Indikasi operatif terhadap adneksa
a. Fimbrioplasti, salpingostomi dan alpingolisis
b. Koagulasi lesi endometriosis
c. Aspirasi cairan dari suatu konglomerasi untuk diagnostik yang
terapeutik
d. Salpingektomi pada kehamilan ektopik
e. Kontrasepsi (oklusi tuba)
f. Rekontruksi tuba atau reanastromosis tuba pascatubectomi
4. Indikasi operatif terhadap ovarium
a. Pungsi folikel matang pada program ferilisasi in-vitro
b. Biopsi ovarium pada keadaan tertentu (kelainan kromosom atau
bawaan, curiga keganasan)
c. Kistektomi antara lain ada kista coklat, kista dermoid, dan kista
ovarium lain

22
d. Ovariolisis, pada perlekatan periovarium
5. Indikasi operatif terhadap organ dalam rongga pelvis
Lisis perlekatan oleh omentum dan usus.

2.2.2 Kontraindikasi Laparoskopi


1. Kontraindikasi absolut
a. Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukan anestesi.
b. Diatese hemoragik sehingga mengganggu fungsi pembekuan darah.
c. Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas, disertai
dengan distensi dinding perut, sebab kelainan ini merupakan
kontraindikasi untuk melakukan pneumoperitoneum.
2. Kontraindikasi relatif
a. Tumor abdomen yang sangat besar, sehingga sulit untuk memasukkan
trokar kedalam rongga pelvis oleh karena trokar dapat melukai tumor
tersebut.
b. Hernia abdominalis, dikhawatirkan dapat melukai usus pada saat
memasukkan trokar ke dalam rongga pelvis, atau memperberat hernia
pada saat dilakukan pneumoperitoneum. Kini kekhawatiran ini dapat di
hilangkan dengan modifikasi alat pneumoperitoneum otomatis.
c. Kelainan atau insufisiensi paru-paru, jantung, hepar atau kelainan
pembuluh darah vena porta, goiter atau kelainan metabolisme lain yang
sulit menyerap gas CO2.48

2.2.3 Jenis – Jenis Tindakan Operasi Laparoskopi


Di Departemen Obstetri dan Ginekologi, Universitas Kiel, Jerman operasi
bedah laparoskopi ginekologi, seperti enukleasi kista ovarium, miomektomi,
penatalaksanaan kehamilan ektopik, adhesiolysis dan histeroskopi, secara rutin
dilakukan. Operasi laparoskopi pada kehamilan ektopik pertama sekali dilaporkan
oleh Bruhart dkk. Secara tradisional, penatalaksanaan bedah pada kehamilan
ektopik dilakukan dengan laparotomi, namun pada saat ini laparoskopi
mendapatkan popularitas yang signifikan dalam diagnosis dan pengelolaan
kehamilan ektopik.50 Peran laparoskopi dalam pengelolaan bedah kehamilan

23
ektopik juga diakui dan telah menambahkan pendekatan baru dalam modalitas
diagnostik dan terapeutik. Di negara Denmark, sekitar 94% Kehamilan Ektopik
dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan laparoskopi. Laparoskopi
salfingektomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan.50

Laparoskopi diagnostik merupakan instrument penting untuk mengevaluasi


pasien dengan nyeri pelvis atau kronis. Kehamilan ektopik, penyakit radang
panggul, endometriosis, torsi adneksa, dan kelainan pelvis lain dapat segera
didiagnosis dengan laparoskopi. Keuntungan laparoskopi diagnostik adalah
mengurangi secara signifikan komplikasi akibat keterlambatan diagnosis.
Laparoskopi juga digunakan untuk mengevaluasi faktor tuba dan peritoneum pada
kasus infertilitas.51 Peraturan pada laparoskopi diagnostik pada infertilitas
berdasarkan dua hal utama. Yang pertama, apakah perlu dilakukan laparoskopi
diagnostik sebagai pilihan terapi pengobatan dan apakah meningkatkan tingkat
kejadian kehamilan. Yang kedua, apakah laparoskopi di indikasikan setelah induksi
ovulasi yang berkali-kali gagal atau apakah perlu dilakukan teknik reproduksi
buatan untuk meningkatkan kejadian kehamilan.46

Laparoskopi diagnostik pada lesi tuba dapat dilakukan dengan laparoskopi


sebagai terapeutik. Johnson, dkk, melakukan dua penelitian sistemik Cochrane
merekomendasikan laparoskopi salfingektomi sebelum dilakukan tindakan IVF (In
Vitro Fertilization), baik unilateral ataupun bilateral, tergantung dari organ yang
terlibat proses, dimana setelah itu probabilitas untuk terjadinya kehamilan intra
uterine meningkat sampai 95%. 46

Wanita infertil dengan PCOS mempunyai kesulitan dalam ovulasi. Ovulasi


dapat diinduksi secara pembedahan dengan prosedur yang disebut ovarian drilling
atau ovarian diathermy. Prosedur ini berguna untuk wanita dengan PCOS yang
resisten terhadap pengobatan dengan klomifen sitrat. Ovarian drilling dilakukan
secara laparoskopi melalui lubang insisi kecil, kemudian beberapa insisi kecil
dilakukan pada ovarium dengan menggunakan panas atau laser. Proses ini akan
membantu kelainan hormon dan memacu terjadinya ovulasi. Selama lebih dari 20

24
tahun yang lalu tindakan laparoskopi untuk koagulasi kortek ovarium pada pasien-
pasien PCOS yang resisten clomifen akan terjadi peningkatan ovulasi sekitar 92%
dan terjadi peningkatan kesempatan untuk terjadinya kehamilan sekitar 69%.46
Salpingostomi dapat dilakukan pada pengobatan kehamilan ektopik dan infeksi
pada tuba fallopi. Salpingostomi biasanya dilakukan untuk membentuk sebuah
lubang baru pada tuba. Prosedur ini dapat dilakukan secara laparotomy ataupun
laparoskopi.46

Sebuah grup peneliti di Jerman meneliti wanita-wanita yang telah menjalani


laparoskopi miomektomi pada kasus-kasus infertilitas, didapati peningkatan untuk
terjadinya kehamilan setelah miomektomi sekitar 46%, tanpa ada kejadian rupture
uteri yang terjadi ketika persalinan. Mereka menyimpulkan bahwa laparoskopi
dapat dikatakan mempunyai komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit dan
laparoskopi merupakan terapi pilihan pada pasien-pasien infertil dengan mioma
uteri. Miomektomi laparoskopi merupakan teknik operasi pada operasi reproduksi
yang dapat diterima diseluruh dunia.46

Adhesi tuba fallopi diimplikasikan sebagai penyebab infertilitas. Munculnya


kembali adhesi setelah laparoskopi adhesiolisis dapat terjadi sekitar 12% sementara
pada laparotomi dapat terjadi kembali sekitar 50%. Penelitian acak pertama oleh
kelompok Canadian Collaboration membandingkan kejadian infertilitas dengan
endometriosis. Pada grup pertama, laparoskopi reseksi atau ablasi dilakukan pada
kasus minimal atau mild endometriosis, sementara pada grup kedua hanya
dilakukan laparoskopi diagnostik. Pada grup pertama mempunyai kenaikan
peningkatan terjadinya kehamilan sekitar 31% sementara pada grup kedua hanya
18%.46 The European Society for Human Reproduction and Endocrinology
(ESHRE), merekomendasikan tindakan laparoskopi sebagai protokol pada tindakan
bedah pada kasus wanita infertil dengan minimal atau mild endometriosis.46

Di Amerika Serikat, tuba sterilisasi secara laparoskopi biasanya dilakukan


dengan koagulasi bipolar. Metode lainnya pada sterilisasi tuba secara laparoskopi
adalah koagulasi unipolar, parsial salfingektomi, dan teknik mekanik dengan

25
menggunakan spring clips atau silastic rings. Jika dilakukan secara benar, teknik
bipolar koagulasi lah yang memilki efektifitas paling tinggi dan dengan angka
kegagalan angka jangka panjang yang rendah.51

26
2.3 Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas maka pada penelitian ini dapat dibentuk
kerangka teori sebagai berikut :

- Definisi
- Etiologi
- Usia
- Pekerjaan
Infertilitas
- Jenis Infertilitas
- Penyebab infertilitas
- Diagnosis Infertilitas

Laparoskopi

- Laparoskopi pada
infertilitas
- Indikasi & kontraindikasi
laparoskopi
- Jenis – jenis tindakan
laparoskopi

Gambar 2.2 Kerangka Teori

27
2.4 Kerangka Konsep

KARAKTERISTIK

- Usia
- Pekerjaan
- Riwayat paritas
- Jenis Infertilitas

Pasien Infertil Yang


Dilakukan Tindakan
Laparoskopi

TINDAKAN LAPAROSKOPI

- Penyebab infertilitas
- Diagnosis Infertilitas
- Jenis tindakan koreksi

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

28
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini menggunakan
desain penelitian observasional deskriptif yang secara kuantitatif untuk melihat
karakteristik pasien infertil dengan tindakan laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Provinsi Jambi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat data
rekam medis pasien (data sekunder).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dibagian rekam medik Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi pada bulan Agustus 2017.

3.3 Populasi
Semua pasien yang telah didiagnosis menderita infertilitas di RSUD Raden
Mattaher Provinsi Jambi periode Januari 2014 – Desember 2016. Populasi pada
periode tersebut berjumlah 40 orang.

3.4 Sampel Penelitian dan Besar Sampel


Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien wanita infertil yang telah
dilakukan tindakan laparoskopi di RSUD Raden Mattaher periode Januari 2014 –
Desember 2016. Besar sampel yang diambil sebanyak 40 orang yang menderita
infertilitas.

3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi


3.5.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi yang digunakan untuk memperoleh sampel pada penelitian
ini adalah pasien infertil dibagian obstetri dan ginekologi RSUD Raden Mattaher
Jambi periode Januari 2014 – Desember 2016 yang diberi tindakan laparoskopi.

29
3.5.2 Kriteria Eksklusi
Sampel yang dikeluarkan dari pnelitian, dikarenakan oleh :
1. Rekam medik tidak terbaca dengan jelas
2. Rekam medik tidak lengkap
3.5 Cara pengambilan sampel
Data yang diambil Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang diperoleh dari rekam medis dan bagian instalasi bedah sentral di
RSUD Raden Mattaher Jambi periode Januari 2014-Desember 2016 yang diambil
secara total sampling dimana sampel tersebut diambil seluruhnya.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari rekam medis dan bagian instalasi bedah sentral di RSUD Raden
Mattaher Jambi Januari 2014-Desember 2016 kemudian dicatat sesuai dengan
variable yang akan diteliti, adapun langkah pengambilan penelitian ini adalah :

1. Peneliti mengajukan izin pada direktur RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
2. Setelah mendapatkan izin, peneliti mengamati catatan rekam medis pasien
untuk memilih sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria sampel
Isi rekam medis sampel penelitian yang telah dipilih menurut kriteria sampel
dicatat melalui pengisian lembar check list yang sudah disiapkan sesuai dengan
data yang dibutuhkan.

30
3.7 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variable Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Usia Usia ulang Mencatat Rekam medis Data berupa Ordinal
tahun dari rekam pasien yang angka dalam
terakhir medis terdapat di tahun dan
pasien yang ruang rekam dikelompokkan
tercatat medis RSUD berdasarkan
dalam Raden kelompok usia:
rekam Mattaher 1. 20-29 tahun
medis Jambi 2. 30-39 tahun
pasien. 3. 40-49 tahun
4. > 50 tahun

Status Status Mencatat Rekam medis Data status Nominal


pekerjaan pekerjaan dari rekam pasien yang pekerjaan
sehari-hari medis terdapat di dikelompokkan
ruang rekam menjadi:
medis RSUD 1. PNS
Raden 2. Wiraswasta
Mattaher 3. Karyawan
Jambi. 4. IRT

Riwayat Riwayat Mencatat Rekam medis Data riwayat Ordinal


Paritas berapa kali dari rekam pasien yang paritas
melahirkan medis terdapat di dikelompokkan

31
anak ruang rekam menjadi:
medis RSUD 1. 0 kali
Raden 2. 1 kali
Mattaher 3. < 2 kali
Jambi
Jenis Infertilitas Mencatat Rekam medis Jenis infertilitas Nominal
infertilitas adalah dari rekam pasien yang 1. Infertilitas
ketidakmam medis terdapat di primer
puan pasien ruang rekam 2. Infertilitas
untuk medis RSUD sekunder
memperoleh Raden
keturunan Mattaher
setelah Jambi
melakukan
hubungan
seksual
secara
teratur dan
benar tanpa
usaha
pencegahan
lebih dari
satu tahun
Penyebab Penyebab Mencatat Rekam medis Data penyebab Ordinal
infertilitas infertilitas dari rekam pasien yang infertilitas
pada pasien medis terdapat di dikelompokkan
infertil ruang rekam menjadi :
berdasarkan medis RSUD 1. Endometriosis
laparoskopi Raden 2. Kista ovarium
Mattaher 3. Kista

32
Jambi endometrium
4. Mioma uteri
5. PCOS
6. Adhesi

Diagnosis Diagnosa Mencatat Rekam medis 1.Endometriosis Ordinal


pre-operatif awal dari rekam pasien yang 2.Kista ovarium
penyakit medis terdapat di 3.Kista
pasien ruang rekam endometrium
sebelum medis RSUD 4.Mioma uteri
dilakukan Raden 5.PCOS
tindakan Mattaher 6.Adhesi
operasi Jambi
Diagnosis Diagnosa Mencatat Rekam medis 1.Endometriosis Ordinal
post- penyakit dari rekam pasien yang 2.Kista ovarium
operatif pasien medis terdapat di 3.Kista
setelah ruang rekam endometrium
dilakukan medis RSUD 4.Mioma uteri
tindakan Raden 5.PCOS
operasi Mattaher 6.Adhesi
Jambi
Jenis Jenis Mencatat Rekam medis Jenis tindakan Nominal
tindakan tindakan dari rekam pasien yang laparoskopi :
operasi yang dapat medis terdapat di 1. Laparoskopi
laparoskopi dilakukan ruang rekam diagnostik
lebih dari medis RSUD 2. Kistektomi
satu Raden unilatereal/bila
tindakan Mattaher teral
koreksi 3. Laparoscopic
selama ovarian

33
prosedur drilling
laparoskopi 4. Adhesiolysis
berlangsung 5. Salpingostomi
6. Miomektomi

34
3.8 Pengolahan dan Analisis data
3.8.1 Pengolahan data
Sebelum dilakukan pengolahan data, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan
data sekunder dengan bantuan lembar check list data yang dibutuhkan.
Selanjutnya dilakukan tahap pengolahan data melalui beberapa tahap berikut :

1. Editing
Pada tahap ini peneliti akan memeriksa hasil dari data sekunder yang telah
dikumpulkan
2. Coding
Pada tahap ini peneliti melakukan pengkodean data dari variable penelitian
untuk memudahkan dalam pengolahannya
3. Entry
Data yang telah didapat dimasukkan dengan teliti dan cermat kedalam
komputer melalui program atau perangkat lunak pengolah dan penganalisis
data data statistic SPSS
4. Cleaning
Dalam tahap ini data yang sudah dimasukkan dicek kembali, untuk melihat
apakah ada kesalahan seperti pencatatan ganda, salah pengkodean dan
sebagainya, sehingga data siap dianalisis lebih lanjut

3.8.2 Analisis data

Pada penelitian ini, identifikasi data pasien dengan tindakan laparoskopi akan
dihitung dalam bentuk presentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi
menggunakan analisis univariat.

3.9 Etika penelitian


Pada penelitian ini, peneliti menjamin hak-hak pasien dengan cara menjaga
kerahasiaan identitas dan data yang diambil dari rekam medis pasien.
3.10 Keterbatasan penelitian

35
1. Terbatasnya sampel pada penelitian ini. Hal ini disebabkan tidak semua
sampel yang tercatat dapat ditemukan rekam medisnya. Penyebabnya
adalah kurangnya keteraturan pengumpulan status/rekam medis dari
bagian bedah maupun poli atau bangsal kandungan di RSUD Raden
Mattaher Jambi, sehingga peneliti hanya mengambil sampel dari populasi
yang ditemukan.
2. Status penderita yang sulit dibaca karena tulisan yang melakukan
pencatatan pada status pasien tersebut kurang jelas.

3.11 Alur penelitian

36
Bangsal Obstetri dan Ginekologi
Raden Mattaher Jambi
RSUD Raden Mattaher Jambi

Rekam medis (Januari 2014 – Instalasi Bedah Sentral (Januari


Desember 2016) 2014 – Desember 2016)

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Sampel Penelitian

Pengolahan data dan Analisis data

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar 3.1 Alur Penelitian

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT.Bina Pustaka;


2008.
2. Rayburn, William F, J. Christopher Carey. Obstetri & Ginekologi. Jakarta:
Widya Medika; 2001.
3. Heckler. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC; 2001.
4. Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
untuk Bidan. Jakarta: EGC; 2009.
5. Kumar A, Shahin G, Niloofar E, Alan H. Infertility in current Diagnosis
and Treatment Obstetric & Gynecology tenth ed Mc – Graw – Hill.2007.
6. World Health Organization. Infencudity, Infertility, and childlessness in
developing countries. DHS Comparative Reports Calverton, Maryland,
USA : ORC Macro and The World Health Organization, 2004.
7. Cates W, Farley TM,Rowe PJ. Worlwide patterns of infertility : is Africa
different? Lancet 1995;2:596-8.
8. Samiha M, Hassan A.H, Nehad M, Fayek E, Gehan S, Risk Factors For
Primary and Secondary Female Infertility in Alexandria : Hospital Based
Case Control Study. Journal of the Medical Research Institute, 2006; Vol
27 No 4,pp 255-61.
9. Mosher W.Reproductive impairments in the United state. Demography
1998; 31: 915-30.
10. Sumapraja, S. Infertilitas Dalam : Ilmu Kandungan Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008; 496-531.
11. Baziad A. Endokrinologi Ginekologi, edisi kedua, Media Aesculapius, FK
UI, 2008; 225-237.
12. Kiran U, Katke RD. Role of Diagnostic Laparoscopy in the Management
of Reproduction, Contraception, Obstetric and Ginecology. 2016
August:5 (8) ; 2592-2595.
13. Covington SN, Burns LH. Editors. Infertility Counseling. Second ed.
Cambridge University Press. New York.2006.P1-3.

38
14. Gomel V, McComb PF, 2010. Investigation of Tubal and peritoneal
Causes of Infertility. In: Gomel V, Brill Al, editors. Reconstructive and
Reproductive Surgery in Gynecology, 1st ed. London: Informa Healthcare,
p 243-259.
15. Aydin Y,Hassa H, The Role of Lapaoscopy in the Management of
Infertility. Journal of Obstetric and Gynecology, Januari 2014; 34:1-7.

16. Hulka and Reich. Textbook of Laparoscopy 2nd ed. W.B. Philadelphia:
Saunders Company; 1994:85-95.
17. Ambarwati, Eny Ratna. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta : Pustaka
Rihana; 2011.
18. Anwar, M, Baziad, A. & Prabowo, R.P. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.
19. Straight, B. Panduan Belajar Keperawatan Ibu – Bayi Baru Lahir, Jakarta :
EGC; 2005.
20. Willem O, lan C, Silke D,Gamal S,Paul D. Infertility and the Provision of
the infertility medical Services in deleveloping countries. Human
Reproduction Update. 2008;Vol 14.No 6 pp 605-621.
21. H Lashen, Investigations for Infertility. Obstetrics,Gynaecology and
Reproductive Medicine. 2007;No 17. Pp 211-16.
22. Set G.D, David B.S. Evaluation Of Female Infertility in Reproductive
Endocrinology and Infertility, 2010; Vol 16.
23. Greene CA, O Keane JA. Investigation of the infertility coupeln :
Copeland LJ,Jarrel JF,Textbook of gynecology.2nd ed.2000:357-371.
24. Collin JA. Unexplained infertility. In Keye WR, Chang RJ. Rebar RW
editors Infertility, Evaluation and Treatment, Philadelphia, WB sounders;
1995 : pp249-262.
25. Roupa Z, Polikandrioti M, Sotiropoulou P, Faros E, Koulari A, Wozniak
G,;Causes of Infertility in Women at Reproductive Age. Health Science
Journal, 2012: pp 80-87.

39
26. Mohan S, Siladitya B, Demographics of Infertility and Management of
Unexplained Infertility, Best Practise & Research Clinical Obstetrics and
Gynaecology. 2012; Vol 26 pp729-738.
27. Aggie. Gambaran Faktor-faktor resiko infertilitas wanita di poliklinik
Rumah Sakit Immanuel Bandung : Subbagian Fertilitas Endokrinologi
Reproduksi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran RSUP Dr.Hasan.2010.
28. Djuwanto Tono., Ritonga Mulyanusa. Evaluasi Fungsi Tuba dalam
Infertilitas. Bandung : Subbagian Fertilitas Endokrinologi Reproduksi
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran RSUP Dr.Hasan. 2010.
29. Manuaba, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana
Untuk Bidan, EGC, Jakarta;2009.
30. Prawirohardjo, Ilmu Kandungan Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta;2005.
31. Kasdu D. Kiat Sukses Pasangan Memperoleh Keturunan. Puspa Swara,
Jakarta;2001.
32. Human Reproduction Update. Sperm transport in the female reproductive
tract. Oxford Journal, 2005; 12(1) : Pp.23-37.
33. Missmer S A, Mary EA, Robert LB, Marlene BG. Infertility: Woman and
Health. 2nd Edition, 2013; Chapter 17: pp251-70.
34. Djuwantono T, Hartanto B, Wiryawan P. Step By Step Penanganan
Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Dalam praktik Sehari-hari.
Jakarta: Sagung Seto. 2012 : 33-61.
35. Mauricio S.A, Ludovico M, Riccardo M, Anatomical Causes of Female
Infertility and their Management. International Journal of Gynecology and
Obstetrics 123.2013; pp 518-524.
36. Erica C.D, Ceana H N. Tubal Factor infertility, Diagnosis and
Management in the Era of Assisted Reproductive Technology, Obstet
Gynecol Clin N am 39. 2012; pp 551-566.

40
37. Boivin J, Bunting L, Collins JA, Nygren KG. International estimates of
infertility prevalence and treatment seeking: Potensial need and demand
for infertility medical care. Hum Reprod. 2009;24: 2379-2380.
38. Robert L B. Female Infertility; Reproductive Endocrinology 7th Edition
2010.
39. Lawrence M.K, Benjamin M.C, Shayne M.P, Damon R.R.Fertility and
Sterility, 2013; Vol 100.No.4 pp 1025-32.
40. Felicia P, Gamal I S,Charles C. The Changing Prevalence of infertility.
International journal of Gynecology and Obstetrics, 2013.vol 123.pp 54-
58.
41. Praween Agrawal MPS PhD. Obesity and Reproductive Health among
Indian Women: Journal of Society and Communication Volume 2012, 38-
68.
42. Thorn P, Understanding Infertility. Psychological and social Consideration
from an Counseling Perspective. International journal of Fertility and
Sterility, Vol 3, No 2, Aug-sep 2009. Pages 48-51.
43. Hestiantoro A.Infertilitas dalam : Anwar M,Baziad A,Prabowo RP, editor.
Ilmu kandungan edisi Ketiga : Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2011. Hlmn 425-35.
44. Mogebe D.K. Denyling and preserving self, Batsawana woman’s
experience of Infertility, African journal of Reproductive Health. 2005.Vol
9.pp26-37.
45. Izatulla J, Harun O.R, Oybek R, Nodira Z. Social Correlates of Female
Infertility in Uzbekistan. Nagoya J.Med.2012 Vol 74:pp273-283.
46. Sijanovic C., Vidosavljevic D., et al. Role of Laparoscopy Surgery in
Treatment of Infertility. Departement of Minimally Invasive Gynaecology,
Clinics for Gynaecology and Obstetrics. Clinical University Centre of
Osijek, Croatia, 2011.
47. Bonneau C, Chanelles O, Siferb C, Poncelet C. Use of laparoscopy in
unexplained infertility. European Journal of Obstetrics Gynecology and
Reproductive Biology. 2012.

41
48. Nakagawa K, Ohgi S, Horikawa T, Kojima R, iyo M, Saito H.
Laparoscopy Should be Strongly Considered for Women with
Unexplained Infertility. Journal of Obstetrics and Gynecology Research.
2007: 3(5): 665-70.
49. Moini A, Bahar L, Ashrafinia M, Eslami B, Hosseini R, Ashrafinia N.
Fertility Outcome after Operative Laparoscopy versus No Treatment in
infertile Women with Minimla or Mild Endometriosis. Royal Institute
International Journal of Fertility and Sterility. Vol 5, No 4, Jan-Mar 2012,
pages: 235-240.
50. Shresta J., Saha R., Comparison of Laparoscopy and Laparotomy in the
Surgical Management of Ectopic Pregnancy. Original Article.
Departement of Obstetrics and Gynaecology Khatmandu Medical College
Teaching Hospital, Bakhtapur, Nepal. Journal of the College of Physician
and Surgeons Pakistan 2012, Vol.22 (12): 760-764.
51. Larsen CR., Grantcharov T., et al. Objective Assasment of Surgical
Competence In Gynaecology: Development and validation of Obstetrics
and Gynaecology. 2008.

42

Vous aimerez peut-être aussi