Vous êtes sur la page 1sur 38

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

“Seorang wanita dengan Kolesistolitiasis”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :
Mira Ramdian Ningsih
30101306994

Pembimbing :
dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
PERIODE 2 OKTOBER – 28 OKTOBER 2017

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Mira Ramdian Ningsih


NIM : 30101306994
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung
Bagian : Ilmu Radiologi
Judul Laporan Kasus : Seorang wanita dengan Kolesistolitiasis
Diajukan : Oktober 2017
Pembimbing : dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

Telah diperiksa dan disahkan tanggal: ...........................................

Mengetahui,

Pembimbing Ketua SMF

dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Seorang wanita dengan Kolesistolitiasis” guna memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung Semarang di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Kota Semarang periode 2 Oktober – 28 Oktober 2017.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus ini.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad
2. dr. Oktina Rachmi Dachliana, Sp.Rad
3. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad
4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang
5. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu Radiologi.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan segala pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.

Semarang, Oktober 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1. Anatomi Kandung Empedu .................................................................. 3
2.2. Fisiologi Kandung Empedu .................................................................. 6
2.3. Kolelitiasis ........................................... Error! Bookmark not defined.
2.3.1. Definisi .............................................................................................. 8
2.3.2. Klasifikasi ......................................................................................... 8
2.3.3. Faktor Resiko .................................................................................. 11
2.3.4. Patofisiologi .................................................................................... 14
2.3.5. Manifestasi Klinis ........................................................................... 15
2.3.6. Diagnosis ......................................................................................... 16
2.3.7. Penatalaksanaan .............................................................................. 19
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 22
3.1. Identitas Penderita ....................................................................... 22
3.2. Anamnesis ................................................................................... 22
3.3. Pemeriksaan Fisik........................................................................ 23
3.4. Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 26
3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding ............................................... 30
3.6. Penatalaksanaan ........................................................................... 31
3.7. Prognosis ..................................................................................... 31
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Batu empedu atau Kolelitiasis merupakan penyakit paling umum yang


terjadi pada sistem saluran cerna. Laporan otopsi menunjukkan prevalensi batu
empedu 11% sampai 36%. Prevalensi terjadinya Kolelitiasis dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk usia, jenis kelamin, manusianya dan riwayat keluarga
meningkatkan angka kejadian 2 kali lebih besar (Debas, 2004). Peluang terjadinya
batu empedu meningkat diusia lebih dari 50 tahun. Menurut National Health and
Nutrition Examination Survey ke tiga (NHANES III) prevalensi pada perempuan
16.6% dan pada laki-laki 7.9%.
Pasien dengan batu kandung empedu sering asimptomatik dan terdiagnosis
secara tidak sengaja saat ultrasonografi, CT scan, atau radiografi abdomen atau
laparotomi. Kurang lebih 3% kasus batu kandung empedu asimptomatik menjadi
simptomatik (kolik bilier) per tahun. Dalam 20 tahun, pasien dengan batu
kandung empedu asimptomatik 50% tetap bebas gejala dan 20% terjadi
komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu kolesistitis, koledokolitiasis
dengan atau tanpa kolangitis, pakreatitis, fistula kolesistokoledokal,
kolesistoduadenal, atau kolesistoenterik dan karsinoma kandung empedu
(Lesmana, 2014).
Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen merupakan gejala tersering. Nyeri
muncul 1 jam setelah makan, bersifat konstan, dapat menjalar ke abdomen
kuadran kiri atas atau punggung belakang (Sherwood, 2001). Penelitian di Jakarta
yang melibatkan 325 pasien dengan dugaan penyakit bilier, nilai diagnostik
ultrasonografi dalam mendiagnosis batu kandung empedu telah dibandingkan
dengan endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) sebagai acuan
metode standar kolangiografi direk. Secara keseluruhan akurasi ultrasonografi
untuk batu saluran empedu adalah sebesar 77%. ERCP sangat bemanfaat dalam
mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90%, spesivisitas 98%, dan
akurasi 96%, tetapi prosedur ini invasif dan dapat menimbulkan komplikasi

1
pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal (Welling dan Simeone,
2009).
Pada kasus ini akan disampaikan seorang wanita dengan kolelitiasis, dengan
harapan dapat menambah informasi tentang imejing kolelitiasis sehingga dapat
membantu dalam mendiagnosisnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kandung Empedu

Gambar 1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier


(Paulsen and Waschke, 2013)
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir,
yang terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang
memisahkan lobus kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung
empedu. Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga
10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu menempel
pada hati oleh jaringan ikat longgar, yang mengandung vena dan saluran
limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Saluran
biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke
duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus
kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta
3
hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan
duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis.
Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter
0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian
menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002).

Gambar 2. Anatomi kandung empedu (Welling dan Simeone, 2009)


Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan
kolum. Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian besar
menempel dan tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah
bagian sempit dari kandung empedu (Greenberger, 2011; Hunter, 2014).
Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi
infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh
lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat

4
bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang
disebut kantong Hartmann (Sjamsuhidayat, 2010).
Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan
diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk
spiral yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur
cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi
dapat menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung
dengan duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis
(Sjamsuhidayat, 2010; Greenberger, 2011).
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus
kiri. Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang
memiliki panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke
dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus
koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas
dan dinding duodenum membentuk papila vater yang terletak di sebelah
medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter
oddi yang mengatur aliran empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus
pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus
koledokus di dalam papila vater, tetapi dapat juga terpisah (Sjamsuhidayat,
2010; Greenberger, 2011; Brunicardi, 2010).
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika
yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi
pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan. Aliran
vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena
kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati
dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan
akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu
menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu
ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau

5
sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk
ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari
saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf
preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik
simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri
hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik
berasal dari cabang nervus vagus (Welling dan Simeone, 2009).

Gambar 3. Vaskularisasi kandung empedu (a) arteri hepatika kanan


(b) arteri koledokus kanan (c) arteri retroduodenal (d) cabang kiri arteri
hepatika (e) arteri hepatika (f) arteri koledokus kiri (g) arteri hepatika
komunis (h) arteri gasroduodenal (Greenberger, 2011).

2.2. Fisiologi Kandung Empedu


Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari cairan
empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan
empedu dengan absorpsi air dan natrium (Brunicardi, 2010). Empedu diproduksi
6
oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu
yang diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami
pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter
akan mengalami relaksasi kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum.
Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat disemprotkan secara intermiten karena
tekanan saluran empedu lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan
empedu diatur oleh tiga faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung
empedu, dan tahanan dari sfingter koledokus (Sjamsuhidayat, 2010; Greenberger,
2011).
Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran
mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal
ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah
makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding
kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi
yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris
komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga
dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf
vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya
ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan
kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung

7
empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam
makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu
sekitar 1 jam. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen
terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik
yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan
(Sjamsuhidayat, 2010).

2.3. Kolelitiasis
2.3.1. Definisi
Kolelitiasis adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Merupakan
pembentukan batu di dalam kandung empedu. Kolelitiasis atau batu empedu
merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material yang
menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis)
atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.

2.3.2. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 2 (dua) golongan (Lesmana, 2014), yaitu :

1. Batu kolesterol
Batu yang berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
yang mengandung > 50% kolesterol). Batu kolestrol murni merupakan hal
yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya
merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu yang
disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 %
kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu,
senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu

8
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada
jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik
segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam
empedu, lesitin dan kolesterol.
Pembentukan batu kolesterol melalui tiga fase :

a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi
dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada
rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kadar kolesterol akan relatif
tinggi pada keadaan sebagai berikut :
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

9
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel
yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal
kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam
empedu.
c. Fase pertumbuhan batu
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana
kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti
batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila
konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat
supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada
pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi,
karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik.
Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan
mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
2. Batu bilirubin atau Batu pigmen
Batu bilirubin atau pigmen biasanya terjadi akibat proses hemolitik atau
infestasi E.Coli atau ascaris lumbricoides ke dalam empedu yang dapat
mengubah bilirubin bebas yang mungkin dapat menjadi Kristal kalsium
bilirubin.
Batu pigmen dibagi menjadi dua kelompok :
a. Batu Pigmen Hitam
Batu pigmen mengandung <20% kolesterol dan berwarna gelap disebabkan
oleh kalsium bilirubinat. Batu pigmen hitam biasanya berukuran kecil,
mudah pecah, berwarna hitam dan berduri. Batu ini terbentuk akibat
supersaturasi dari kalsium bilirubinat, karbonat, dan fosfat, biasanya
penyebab sekunder dari gangguan hemolitik seperti penyakit herediter
spherositosis dan penyakit sickle cell dan pada orang dengan penyakit

10
sirosis. Seperti batu kolesterol, batu pigmen hampir selalu terbentuk di
kandung empedu. Kelebihan bilirubin terkonjugasi seperti pada peristiwa
hemolitik, akibat dari peningkatan produksi bilirubin tidak terkonjugasi.
Sirosis juga dapat meningkatkan sekresi bilirubin tidak terkonjugasi. Ketika
kondisi berubah menjadi meningkatkan bilirubin tak terkonjugasi pada
empedu, pengendapan dengan kalsium terjadi.

b. Batu Pigmen Coklat


Batu pigmen coklat biasanya berdiameter kurang dari 1 cm, berwarna
kecoklatan, rapuh dan kadang-kadang berkonsistensi seperti lumpur. Batu
ini biasanya terbentuk di dalam kandung empedu atau duktus bilier,
biasanya dampak sekunder dari infeksi bakteri akibat dari stasis empedu.
Pengendapan kalsium bilirubinat dan badan sel bakteri merupakan
komposisi utama batu berpigmen coklat. Bakteri seperti Escherichia coli
mensekresikan β-glukoronidase yang dapat memecah bilirubin glukoronida
dan menghasilkan bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak larut dalam air.
Bilirubin tak terkonjugasi ini mengendap dengan kalsium dan bersama
dengan badan sel bakteri membentuk batu lunak berwarna coklat pada
sistem saluran bilier.

2.3.3. Faktor Resiko


1. Umur
Frekuensi batu empedu akan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Setelah usia 40 tahun risiko terjadi batu empedu 4 hingga 9 kali
lipat karena memiliki paparan panjang untuk banyak faktor kronis
seperti hiperlipidemia, konsumsi alkohol, dan DM. Hal ini akan
menyebabkan penurunan motilitas kandung empedu dan terbentuknya
batu empedu. Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-
50 tahun. Jenis batu juga akan berubah dengan bertambahnya usia. Pada
awalnya terutama jenis batu kolesterol (sekresi kolesterol meningkat
dan saturasi empedu) namun dengan bertambahnya usia cenderung
11
menjadi batu pigmen. Selanjutnya gejala dan komplikasi akan
meningkat dengan bertambahnya usia hal tersebut sering dilakukan
tindakan kolesistektomi (Sherwood, 2001).
2. Jenis Kelamin dan Paritas
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu
kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki.
Pada wanita usia reproduksi, resiko Kolelitiasis adalah 2-3 kali lebih
tinggi dari pada laki-laki. Alasan untuk ini belum dijelaskan secara
penuh. Kehamilan juga berkontribusi terhadap pembentukan batu di
kandung empedu. Kolelitiasis sangat umum pada multipara (paritas 4
atau lebih). Perbedaan gender dan seringnya batu empedu terdeteksi
pada wanita hamil dikaitkan dengan latar belakang hormonal.
Peningkatan kadar estrogen diketahui untuk meningkatkan ekskresi
kolesterol dalam empedu dengan menyebabkan supersaturasi kolesterol.
Selama kehamilan, selain peningkatan kadar estrogen, fungsi
pengosongan kandung empedu menurun, sehingga menimbulkan
endapan empedu dan batu empedu (Sherwood, 2001).
3. Genetik
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa riwayat keluarga, genetika,
diet, dan kebiasaan budaya memiliki peran utama dalam timbulnya batu
empedu. Dimana ABCG8 D19H genotipe heterozigot atau homozigot
telah meningkatan risiko terjadinya batu empedu secara signifikan.
ABCG8 D19H dapat menyebabkan penyerapan kolesterol di usus
rendah, meningkatkan kolesterol serum, dan sintesis kolesterol di hati
tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi insulin. Penelitian
barubaru ini didapatkan fakta bahwa, kerentanan seseorang terhadap
terjadinya batu empedu dipengaruhi oleh Mucin gene polymorphisms
atau FGFR4 polymorphism. The mucin-like protocadherin gene
(MUPCDH) polymorphism rs3758650 dianggap sebagai penanda

12
genetik untuk memprediksi terjadinya penyakit batu empedu
(Sherwood, 2001).
4. Obesitas
Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait
dengan faktor pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi
kolesterol dan membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan
sekresi empedu menyebabkan pembentukan batu empedu (Sherwood,
2001). Orang dengan obesitas terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi
kolesterol dalam empedu.
5. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Penurunan
level High density lipoprotein (HDL) merupakan salah satu risiko
terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier utamanya berasal dari HDL –
C. Penurunan konsentrasi HDL – C dikaitkan dengan resistensi insulin.
Penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan kadar Trigliserida
(TG) menyebabkan penurunan kontraksi dari kandung empedu yang
berakibat pembentukan batu empedu (Debas, 2014).
6. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus dikaitkan dengan terjadinya batu empedu masih
kontroversi. Penelitian pada tikus dengan hiperinsulinemia terdapat
spesifik spesifik FOXO1 protein yang dapat mengakibatkan
peningkatan konsentrasi kolesterol dalam bile. Hiperglikemia
menghambat sekresi bile dari hati dan dapat menggangu kontraksi dari
kantung empedu serta menpunyai efek terhadap molititas dari kandung
empedu hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya batu empedu
(Debas, 2014).
7. Obat-obatan
Obat hormon estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk
pengobatan kanker prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol.
Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran
kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan

13
resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai
faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi
pengosongan kantung empedu.

2.3.4. Patofisiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan
tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu,
karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis
empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus (Guyton & Hall, 2008).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu
empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap,
menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat
menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air
dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari
empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah
kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang
dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah
mengalami perkembangan batu empedu (Guyton & Hall, 2008).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus,
batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial
atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu
14
terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus
sistikus (Sjamsuhidayat, 2010).
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan
empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan
(3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,
kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak
larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam
bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan
lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik
(Hunter, 2014).
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk
suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang
lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2014).

2.3.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi dari batu kandung empedu (Kolesistolitiasis), yaitu :
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat
kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia,
mual (Lesmana, 2014). Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua
penderita dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan

15
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari penderita yang benar-
benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada
data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua penderita
dengan batu empedu asimtomatik (Hunter, 2014).
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik
biliaris, nyeri pasca prandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi
oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir
setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu,
dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan
dengan serangan kolik biliaris (Hunter, 2014).
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien.
Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus
sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa
mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut. Kolik
bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara
30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.
Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke
abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus
dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada
banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.

2.3.6. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil:
A. Penemuan Klinis
1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah
asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia
yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
16
Pada yang simptomatis, pasien biasanya datang dengan keluhan
utama berupa nyeri kolik bilier yaitu nyeri dibagian uluhati
atau perut kuadran kanan atas yang menjalar hingga region
interskapular, atau ke bahu kanan. Nyeri biasanya timbul
setelah makan (terutama dalam 1 jam setelah makan makanan
yang berlemak) dan sering pada malam hari sampai
membangunkan penderita dari tidur. Keluhan lain seperti mual,
muntah, dan demam sering menyertai.

2. Pemeriksaan Fisik
Adanya nyeri tekan pada regio epigastrium atau perut kuadran
kanan atas dan Murphy’s sign positif apabila sudah terjadi
peradangan pada kandung empedu.

B. Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium.
Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi lekositosis.
Apabila terjadi choledocholithiasis akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan
oleh batu didalam duktus koledokus. Kadar Fosfatase Alkali
serum dan mungkin juga kadar Amylase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.

2. Pemeriksaan Foto Polos Abadomen


Kurang lebih 10 % dari batu kandung empedu bersifat radio
opak sehingga terlihat pada foto polos abdomen.

17
Gambar 4. Foto Polos Abdomen pada pasien kolelitiasis
(Rasad, 2005)
3. USG Abdomen
Penggunaan USG dalam mendeteksi batu di saluran empedu
sensitivitasnya sampai 98 % dan spesifitas 97,7 %. Keuntungan lain
dari pemeriksaan cara ini adalah mudah dikerjakan, aman karena tidak
infasif dan tidak perlu persiapan khusus. Ditambah pula bahwa USG
dapat dilakukan pada penderita yang sakit berat, alergi kontras, wanita
hamil dan tidak tergantung pada keadaan faal hati. Ditinjau dari
berbagai segi keuntungannya, pemeriksaan USG sebaiknya dipakai
sebagai langkah pemeriksaan awal. Dengan pemeriksaan ini bisa
ditentukan lokasi dari batu tersebut, ada tidaknya radang akut, besar
batu, jumlah batu, ukuran kandung empedu, tebal dinding, ukuran
CBD (Common Bile Duct) dan jika ada batu intraduktal.

18
(a) (b)
Gambar 5. USG abdomen (a) normal kandung empedu (b) terdapat
batu pada kandung empedu (Rasad, 2005).

4. Computed Tomography (CT) berguna untuk mendeteksi atau


mengeksklusikan batu empedu, terutama batu yang sudah terkalsifikasi,
namun lebih kurang sensitif dibandingkan dengan USG dan
membutuhkan paparan terhadap radiasi (Rasad, 2005).
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Cholangiopancreatography
(MRCP) lebih berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan
saluran empedu yang terdilatasi (Rasad, 2005).
6. Endocospic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) lebih
untuk mendeteksi batu pada saluran empedu (Rasad, 2005).

2.3.7. Penatalaksanaan
A. Penatalaksaan non bedah
1. Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm dan batu

19
kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus
sistikus paten (Sjamsuhidayat, 2010).
2. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP
terapeutik dengan melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik
ini mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga sekarang sebagai
standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan
basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar
tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar
bersama tinja. Untuk batu saluran empedu sulit (batu besar, batu
yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas
saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur
endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan
batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser (Sjamsuhidayat,
2010).
3. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu
dengan gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan
beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien
yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini
(Sjamsuhidayat, 2010).

B. Penatalaksaan bedah
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut (Sjamsuhidayat, 2010).

20
2. Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopik. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung empedu
diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di
dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah
bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau
semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan
stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan
kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7
Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk
pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang
diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10
mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal (Sjamsuhidayat, 2010).

21
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Penderita


Nama : Ny. T
Usia : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Lempongsari Barat IV/339 Gajah Mungkur, Semarang
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Rawat Inap
Ruang : Nakula 2
Tanggal masuk : 1 Oktober 2017
No.RM : 398***
3.2. Anamnesis
Anamnesis pada pasien dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2017, pukul 15.00
WIB di kamar rawat inap Ruang Nakula 2 RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Kota Semarang dan didukung dengan catatan medis.
 Keluhan Utama :
Nyeri ulu hati
 Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang


pada tanggal 1 Oktober 2017 pukul 19.00 WIB dengan keluhan nyeri
ulu hati sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan menjalar ke bahu kanan.
Nyeri dirasakan sesaat (30 menit – 1 jam) setelah makan terutama
makanan berlemak seperti makanan bersantan dan gorengan.
Sebelumnya pasien sudah minum obat maag namun tidak membaik.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah lebih dari 10 kali disertai
pusing selama 3 hari SMRS. Pasien mempunyai kebiasaan makan
makanan berlemak serta pasien juga jarang berolahraga. Kebiasaan

22
merokok dan konsumsi alkohol disangkal. Keluhan mata kuning,
demam, BAK berwarna pekat seperti teh, BAB berwarna pucat
disangkal. BAK dan BAB dalam batas normal.

 Riwayat penyakit Dahulu:


- Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Diakui 2 tahun
- Riwayat kencing manis : Diakui 3 tahun
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal :Diakui, 1 minggu
sebelumnya post operasi batu ginjal kanan di RS Roemani
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat keluhan serupa : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Diakui (ayah)
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat sosioekonomi :
Pasien memiliki 4 orang anak, suaminya bekerja sebagai pedagang
sedangkan pasien bekerja sebagai ibu rumahtangga, pasien periksa
menggunakan BPJS.

3.3. Pemeriksaan Fisik (Tanggal 6/10/2017)


STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Tampak lemah
- Kesadaran : Composmentis
- Status Gizi : Overweight

23
STATUS ANTROPOMETRIK
- TB : 158 cm
- BB : 62 kg
- IMT = BB(kg)/TB²(m²)
= 62 kg/(1,58 m)²
= 24,8 (Overweight)
TANDA VITAL
- Tekanan Darah : 200/100 mmHg
- HR (Nadi) : 120x/ Menit , reguler,isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Napas) : 22x/ Menit , reguler
- Suhu : 37,1 °C

STATUS INTERNUS
- Kepala : Bentuk normocephale, tidak teraba benjolan.
- Rambut : Warna putih, mudah dicabut, distribusi merata
- Mata :
- Bola mata : tidak terdapat eksoftalmus
- Konjungtiva : anemis +/+, perdarahan -/-,
- Sklera : ikterus -/-
- Palpebra : oedema -/-
- Pupil : bulat, isokor 3 mm/ 3mm, reflek cahaya +/+
- Hidung :
- Deformitas (-)
- Nafas cuping hidung (-/-),
- Tidak tampak adanya sekret atau perdarahan
- Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang : normal, discharge (-/-)
- Pendengaran : normal
- Perdarahan : tidak ada

24
- Mulut :
- Bibir : tidak ada kelainan kongenital, sianosis (-), oedem (-)
- Lidah : ukuran normal, tidak kotor, tidak tremor
- Gigi : perawatan gigi kurang
- Mukosa : hiperemi (-), stomatitis (-)
- Leher :
- Deviasi trakea : - (posisi trakea simetris)
- Kaku kuduk : - (negatif)
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : tidak ada peningkatan JVP
- KGB : tidak ada pembesaran

- PF Thoraks :
a. Paru :
1. Inspeksi : laju nafas 20x/menit, pola nafas regular, simetris,
ketertinggalan gerak (-/-), retraksi (-/-), pergerakan otot bantu
pernafasan (-/-)
2. Palpasi : fremitus vokal normal, nyeri tekan (-), gerakan
dada simetris, tidak ada ketertinggalan gerak.
3. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
4. Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-)
b. Jantung :
1. Inspeksi : pulsasi ictus cordis tampak kuat angkat
2. Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V linea
mid clavicularis sinistra
3. Perkusi : kardiomegali (-)
4. Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-),
gallop (-)

25
- PF Abdomen :
1. Inspeksi : permukaan perut datar, pelebaran pembuluh darah(-),
sikatrik (-), massa (-), tanda peradangan (-), caput medusa (-),
sikatrik (-), striae (-), hiperpigmentasi (-)
2. Auskultasi : bunyi peristaltik usus normal, tidak ada bising usus,
tidak ada bising pembuluh darah.
3. Palpasi :
 Superfisial Nyeri tekan abdomen regio epigastrium (+),
Massa (-), defence muscular (-)
 Dalam  Nyeri tekan dalam (-)
 Organ  Hepar tidak teraba membesar, tepi tajam, permukaan
halus, konsistensi kenyal, lien schuffner (0), ginjal dextra et
sinistra tak teraba membesar
 Murphy’s Sign (-)
 Tes undulasi (-)
4. Perkusi :
 Perkusi 4 regio  timpani
 Hepar  pekak (+), liver span dextra 12 cm, sinistra 6 cm
 Lien  traube space (+)
 Ginjal  nyeri ketok ginjal kanan (+)
 Pekak sisi dan pekak ahli (-)
- PF Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, Oedema +/+, capillary refill <2 detik
- Inferior : Akral hangat, Oedema +/+, capillary refill <2 detik

3.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 1 Oktober 2017
Pemeriksaan Lab Hasil
Hematologi
Hemoglobin 9,3 g/ dL (L)

26
Hematokrit 27 (L)
Jumlah leukosit 12,9 /µL (H)
Jumlah Trombosit 184 /µL
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 544 mg/dL (H)
Kolestrol 259 (H)
Trigliserida 160 (H)
Ureum 65,9 mg/dL (H)
Creatinin 2,3 mg/dL (H)
Natrium 117,4 mmol/L (L)
Kalium 4,31 mmol/L
Calsium 1,17 mmol/L

b. Pemeriksaan USG Abdomen

27
28
29
Pembacaan Hasil USG Abdomen

Tanggal : 6 Oktober 2017 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang


DESKRIPSI:

- HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, ekogenitas


normal, tepi rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V.Porta dan V. Hepatika
tak melebar.
- VESIKA FELEA tak membesar, dinding tak menebal, tampak batu
multipel dengan ukuran terbesar sekitar 0,92 cm, tak tampak sludge.
- LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tak melebar, tak
tampak nodul.
- PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tak
melebar.
- GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas,
PCS tampak melebar ringan, tak tampak batu, tak tampak massa.
- GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas,
PCS tak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
- AORTA tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi
paraaorta.
- VESIKA URINARIA dinding tak menebal, permukaan regular, tak
tampak batu/massa.

KESAN :

- Mulitipel Kolesistolitiasis (ukuran terbesar 0,92 cm).


- Mild Hydronephrosis kanan.

3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding

- DIAGNOSIS KERJA :
Kolesistolitiasis dan Gagal ginjal Akut

30
- DIAGNOSIS BANDING :
1. Polyp vesica fellea
2. Kolesistisis
3. Koledokolitiasis

3.6. Penatalaksanaan
- Infus RL 1500cc  20 tpm
- Injeksi ranitidine 2x1 ampul IV
- Injeksi Ceftriaxone 2x1gr IV
- Injeksi Humalog 20 IU
- Injeksi Ketorolac 10mg (bila perlu)
- Amilodipine 1x10mg po (malam)
- Valsartan 1x160mg po (pagi)
- Asam Folat syr 3x1C
- Acarbose 3x50mg (diminum bersama suapan pertama)
- Buscopan 3x10mg
- Simvastatin 1 x 10 mg

3.7. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad sanactionam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam

31
BAB IV
PEMBAHASAN

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan pada


kandung empedu. Pasien biasanya datang dengan keluhan utama berupa nyeri
kolik bilier yaitu nyeri dibagian uluhati atau perut kuadran kanan atas yang
menjalar hingga region interskapular, atau ke bahu kanan. Nyeri biasanya timbul
setelah makan (terutama dalam 1 jam setelah makan makanan yang berlemak) dan
sering pada malam hari sampai membangunkan penderita dari tidur. Keluhan lain
seperti mual, muntah, dan demam sering menyertai. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium atau perut kuadran kanan atas dan
Murphy’s sign positif apabila sudah terjadi peradangan pada kandung empedu.

Pada kasus ini, pasien mengeluh nyeri ulu hati sejak 3 hari SMRS. Nyeri
dirasakan menjalar ke bahu kanan. Nyeri dirasakan sesaat (30 menit – 1 jam)
setelah makan terutama makanan berlemak seperti makanan bersantan dan
gorengan. Sebelumnya pasien sudah minum obat maag namun tidak membaik.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah lebih dari 10 kali disertai pusing
selama 3 hari SMRS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada regio
epigastrium dan pemeriksaan Murphy’s sign negatif.

Angka kejadian kolelitiasis lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding


laki-laki yaitu 4:1 dan juga pada orang yang sering mengkonsumsi makanan
tinggi lemak. Kasus ini sesuai dengan epidemiologi terjadinya kolelitiasis, dimana
pasien yang menderita batu empedu adalah pasien perempuan dan mempunyai
kebiasaan makan makanan yang berlemak seperti makanan bersantan dan
gorengan.

Dari gambaran radiologi, didapatkan gambaran radioopaq atau radiolusen


(sesuai jenis batu) pada Foto Polos Abdomen. Namun pada Kolelitiasis,
pemeriksaan USG abdomen merupakan golden diagnose , apabila didapatkan
adanya lesi hiperekoik dengan acoustic shadow di dalam kandung empedu artinya
terdapat batu di dalam kandung empedu.
32
Hasil pemeriksaan USG abdomen yang dilakukan pada Ny.T tampak lesi
hiperekoik multipel dengan acoustic shadow pada kandung empedu dengan
ukuran terbesar 0,92cm yang artinya terdapat batu multipel dengan ukuran
terbesar 0,92cm pada kandung empedu. Sehingga dari hasil pemeriksaan USG
abdomen pada pasien Ny.T sesuai dengan gambaran Kolelitiasis yaitu tampak lesi
hiperekoik dengan acoustic shadow.

33
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi, F.C., et al., 2010. Schwartzs Principles of Surgery, 10th ed.
USA : McGraw-Hill Education.
2. Debas, H.T., 2004. Biliary Tract. Dalam: Gastrointestinal Surgery:
Pathophysiology and Management. USA: Springer. 198-220
3. Greenberger NJ, Paumgartner G.2011. Diseases of the gallbladder and
bile duct. Dalam: Fauci AS, Kosper DL, Longo D, Braunwald E, Hauser
SL, Loscalzo J, et al (eds). Harrison’s principle of internal medicine. 18th
edition. New York: Mc Graw-Hill
4. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta: EGC
5. Hunter JG, Oddsdettir M. 2014. Gallbladder and extrahepatic billiary
system. Eighth edition. New York: Mc Graw-Hill.
6. Lesmana L. 2014. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1.
Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.380-4.
7. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi
Umum dan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
8. Rasad K, Ekayuda. 2005, Radiologi Diagnostik, Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI.
9. Sherwood, L., 2001. Fisiolologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC. 565-570.
10. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. 570-9.
11. Welling,T.H. dan Simeone, D.M., 2009. Gallbladder and Biliary Tract:
Anatomy and Structural Anomalies. Edisi ke-5. USA: Wiley-Blackwell.

34

Vous aimerez peut-être aussi