Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Menurut mitos dalam syair hoho (sastra lisan Nias kuno) yang berkembang di
Pulau Nias, alam semesta beserta seluruh isinya merupakan ciptaan Lowalangi. Lowalangi
menciptakan langit dengan cara mengaduk-aduk angin yang beraneka warna dan
kekuasaaan dalam kegelapan dengan menggunakan tongkat gaib yang disebut sihai. Proses
pengadukan berlangsung selama beberapa hari. Hasilnya terciptalah langit yang memiliki
beberapa lapisan dan masing-masing lapisan dihubungkan dengan sebuah tangga. Lapisan
terakhir atau sering disebut lapisan ke-9 adalah tempat tinggal manusia dan makhluk hidup
lain yang disebut Teteholi Ana’a yang letaknya sangat jauh dari Pulau Nias. Pada lapisan
inilah Lowalangi menciptakan sebatang pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora'a.
Pohon itu kemudian berbuah dan buahnya dierami oleh seekor laba-laba emas selama 9
(sembilan) bulan, yang juga merupakan ciptaan Lowalangi. Dari buah yang dierami tersebut
menetaslah sepasang ‘dewa’ pertama di alam semesta. Mereka adalah Tuhamora'aangi
Tuhamoraana'a yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana'a yang
berjenis kelamin perempuan. Namun, karena sepasang ‘dewa’ itu tidak mengikuti perintah
Lowalangi maka mereka dikeluarkan dari Teteholi Ana’a dan ditempatkan di suatu tempat
yang bernama Tatembari Ana’a, dan tempat tersebut masih berada di langit lapisan terakhir.
Setelah berada di Tatembari Ana’a, sepasang ‘dewa’ ini beranak cucu dan pada beberapa
keturunan berikutnya lahirlah seseorang yang bernama Langi Sagörö sebagai manusia
pertama.
Manusia diciptakan oleh Lowalangi dari buah atau biji pohon yang tumbuh dari
jantung makhluk hidup pertama, lalu berbagai dewa keluar dari buah lain dari bagian pohon
tersebut, di antaranya Lature, Barasi-Lulu dan Baliu.
Saat dua buah terbawah masih sangat kecil, Lature berkata pada Barasi-Lulu
dan Baliu bahwa buah-buah paling bawah ini miliknya. Tapi Baliu berkata "Kalau kamu bisa
membuat manusia dari buah-buah ini, mereka milikmu, jika tidak berarti bukan milikmu,".
Lature pun mencoba untuk membuat manusia tetapi tidak berhasil. Lalu Lowalangi
memberikan sebuah ‘alat’ ke Barasi-Lulu untuk membuat manusia dan dengan ‘alat’ inipun
Barasi-Lulu tidak mampu membuat manusia namun berhasil membuat tubuh manusia yaitu
laki-laki dan perempuan tanpa nyawa. Kemudian Lowalangi memberikan kepada Baliu
angin sambil berkata, "masukkan semua angin itu ke dalam tubuh manusia itu melalui
mulutnya, bila seluruh angin dapat terserap maka manusia itu akan hidup abadi dan bila
hanya sebagian maka umurnya tergantung pada jumlah angin yang masuk." Baliu
melakukan perintah Lowalangi dan manusia itu pun menjadi hidup, namun tidak semua
angin yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia itu terserap. Lalu Baliu memberikan nama
kepada manusia itu, yaitu Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a yang berjenis kelamin laki-laki
1
dan Burutiraoangi Burutiraoana'a yang berjenis kelamin perempuan. Jadilah mereka
sebagai manusia pertama.
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dari sepasang dewa ciptaan
Lowalangi pada beberapa keturunan kemudian lahirlah manusia yang bernama Langi
Sagörö. Langi Sagörö memiliki 2 (dua) orang istri. Istri pertama, bernama Rici Akhi Langi
atau Sirici, melahirkan bela. Istri kedua bernama Nazaria Walangi atau Sinaria, melahirkan
Nadaoya. Suatu hari Langi Sagörö memerintahkan kedua anaknya tersebut turun ke bumi
menggunakan liana lagara (sejenis tumbuhan berupa tali yang sangat kuat dan biasanya
merambat pada batang pohon). Karena liana lagara yang digunakan bela telah rapuh, maka
dia tersangkut di atas pohon dan akhirnya memilih untuk tetap tinggal di atas pohon. Inilah
yang kemudian disebut sebagai Sowanua atau Ono Mbela. Ono Mbela dikenal memiliki kulit
yang putih dan berparas cantik. Sowanua berasal dari dua kata yaitu “so” dan “banua”
(wanua). So berarti pemilik atau penguasa dan Banua (wanua) berarti kampung. Jadi
Sowanua mengandung arti sebagai pemilik kampung atau penduduk asli yang juga dapat
diartikan sebagai orang yang terlebih dahulu datang di suatu daerah sebelum orang lain
datang.
Sowanua atau Bela merupakan pemilik atau penguasa segala jenis binatang
hutan atau binatang liar, misalnya: babi hutan, kijang, rusa, kancil, landak, trenggiling,
berbagai unggas dan lain-lain. Itulah sebabnya pada zaman dahulu kala para pemburu
binatang di hutan selalu meminta izin kepada Sowanua atau Bela sebelum berburu.
Permohonan izin tersebut diwujudkan dalam bentuk memberikan persembahan kepada
Sowanua atau Bela. Sowanua atau Bela dikategorikan sebagai dewa hutan yang bertakhta di
atas pohon dan ada juga sebagian yang menggambarkan mereka sebagai leluhur orang
jahat.
Sebutan Sowanua maupun Bela merupakan bukti pengakuan dan penghormatan
pendatang bagi manusia-manusia primitif. Proses perkembangan terjadi ketika para
pendatang semakin maju dan ‘manusia primitif’ kalah bersaing dengan para pendatang baru
yang memiliki berbagai keahlian dan pengetahuan. Sowanua atau Bela sebagai manusia
primitif semakin terdesak dan terpinggirkan dan pada akhirnya mereka dianggap sebagai
makhluk halus atau setan.
Dalam buku E.E.W.G. Schröder “Nias, Ethnograpische, geographische en
historische aanteekeningen en studien” Brill, Leiden, Vol. I., Teks Boek III. – Historie, 1917
yang dikutip Kazwini (1203 – 1283), lahir di Kazvin, Adzarbaydjan seorang kalifah terakhir
dinasti Abassid di Bagdad mengatakan bahwa masyarakat di pulau Niyan (maksudnya pulau
Nias) hidup telanjang. Mereka berkulit putih dan sangat cantik. Karena kecantikan yang luar
biasa itu, mereka menjauhkan diri dan tinggal bersembunyi di bukit-bukit karena takut
diketahui.
Lalu anak Ibu Sinaria yang bernama Nadaoya hidup dan menetap di dalam gua-
gua. Secara fisik Nadaoya berbeda dengan Sowanua / Ono Mbela. Nadaoya memiliki kepala
dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Baik Sowanua / Ono Mbela
2
maupun nadaoya yang merupakan anak dari Langi Sagörö merupakan penghuni pertama
Pulau Nias.
Sejalan dengan itu, dalam syair-syair hoho lain yang berkembang di Pulau Nias,
dikenal ada 3 (tiga) jenis manusia yang merupakan penghuni pertama dan dipercaya
sebagai nenek moyang masyarakat Nias. Jenis manusia itu adalah Niha Safusi Uli, Niha Sebua
Gazuzu, dan Lani Ewöna.
Niha Safusi Uli adalah kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal
di atas pohon. Dalam hoho mereka disebut Ono Mbela. Niha Sebua Gazuzu adalah kelompok
manusia yang memiliki kepala besar yang tinggal di gua-gua. Dalam hoho mereka disebut
Nadaoya. Lani Ewöna adalah kelompok manusia yang sebenarnya yang disebut “ono niha”
(anak manusia). Kelompok terakhir ini sudah memiliki keahlian dan pengetahuan yang
lebih tinggi dari kedua pendahulunya.
Ono Mbela dan Nadaoya sudah menghuni Pulau Nias jauh sebelum “ono niha”
datang ke pulau ini. Ono Mbela dan Nadaoya kemudian kalah bersaing dengan para
pendatang dan seringkali “dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari
golongan manusia. Akibat dominasi dari kelompok pendatang maka baik Ono Mbela
maupun Nadaoya mulai terdesak dan akhirnya menghilang atau lenyap dan bahkan
mungkin membaur dengan para pendatang.
Menurut teori persebaran kebudayaan leluhur ‘ono niha’ berasal dari daratan
Cina bagian Selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini merupakan hasil kajian secara
linguistik dan arkeologi. Masyarakat Nias yang disebut ‘ono niha’ termasuk penutur bahasa
Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum
Masehi hingga awal-awal Masehi. Ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa kedatangan
grup etnis “manusia” ke Nias boleh jadi sekitar tahun 1250 M sampai dengan tahun 1416 M
yang dikaitkan dengan koloni Cina di Singkuang. Ketrampilan orang Nias dalam membuat
patung kayu, menhir, benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak
kemungkinan diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini
bertambah kuat jika melihat peralatan dan gaya arsitektur di Nias. Secara tegas Elio
Modigliani dalam bukunya “Un Viagio Nias” (1890), mengatakan bahwa leluhur orang Nias
datang dari seberang lautan secara bergelombang yang berasal dari Indostan, atau dari
Indocina – Vietnam sekarang.
Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui Pelabuhan
Singkuang, Tapanuli Selatan. Secara geografis kota Singkuang terletak persis di sebelah
Utara pantai barat Sumatera. Mereka kemudian bergerak ke arah Barat dan sampai di
wilayah Lahusa dan Gomo. Kedatangan orang-orang Yunan dengan kemampuan teknologi
yang lebih maju inilah yang disinyalir telah mendesak keberadaan Ono Mbela dan Nadaoya.
Karena kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya alam, mereka lama-kelamaan
menjadi punah.
Di lain pihak, FM Schitger dalam bukunya berjudul "Forgotten Kingdoms"
mengatakan bahwa berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dan adat-istiadat di Pulau Nias dalam
hal mendirikan batu / megalith sewaktu mengadakan pesta, maka ada kemungkinan
masyarakat Nias memiliki nenek moyang yang sama atau paling tidak berasal dari daerah
yang sama dengan suku Naga dan Khassi di negara Birma.
Sejak kedatangan “ono niha”, maka böwö (adat-istiadat), goi-goi (hukum),
fondrakö (peneguhan hukum) dan nga’ötö niha (silsilah) mulai menjadi perhatian di pulau
Nias. Pada waktu itu budaya kerja seperti, beternak babi, ayam, membuka ladang dan
3
berkebun, penghormatan terhadap nenek moyang, teristimewa terhadap orang tua dan
penyembahan patung-patung mulai dikenal di pulau Nias. Juga mengenal pandai besi,
pembangunan rumah, pengukiran patung dan pemahatan batu megalit. Mereka menjunjung
tinggi penghormatan kepada nenek moyang, dan melantunkan tutur syair-syair pemujaan.
Dari uraian di atas, maka kemungkinan besar nenek moyang masyarakat Nias
yang disebut ‘ono niha’ adalah apa yang mereka sebut Lani Ewöna. Kemungkinan Lani
Ewöna inilah yang merupakan imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian Selatan.
Walaupun demikian, tidaklah tertutup kemungkinan bahwa keturunan Lani Ewöna dapat
saja kawin dengan keturunan Sowanua yang disebut juga Ono Mbela dan Nadaoya. Apalagi
bila diperhatikan ciri-ciri fisik masyarakat Nias secara umum yang berkulit putih, mata agak
sipit, bertubuh gempal dan pendek. Perkembangan selanjutnya tentu hampir tidak ada lagi
kelompok etnis lain yang menjadi pesaing keturunan Lani Ewöna di Pulau Nias.
Selanjutnya tradisi lisan mengungkapkan bahwa pusat kerajaan Nias yang
pertama adalah di Börönadu (sebuah desa yang sekarang merupakan wilayah Kecamatan
Gomo) dan masyarakatnya mendiami tanah di sepanjang Sungai Gomo. Dari sinilah
akhirnya mereka mulai berpindah dan menyebar ke seluruh Pulau Nias. Konon, nenek
moyang masyarakat Gunung Sitoli dan sekitarnya merupakan keturunan penduduk
Börönadu yang bernama Lase dan nenek moyang masyarakat Teluk Dalam dan sekitarnya
adalah keturunan orang Börönadu yang bernama Sadawamölö. Tradisi lisan ini juga
dilengkapi dengan pendapat M.G.Thomsen dalam bukunya yang berjudul “Famareso
Ngawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalith kultur) ba Danö Nias” (1976) yang
menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga besar dari Börönadu ke tempat-tempat lain
di Pulau Nias berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu dengan perhitungan 1
(satu) generasi sama dengan 25 tahun. Telambanua dan keluarganya pindah dari Börönadu
kira-kira 40 generasi yang lalu. Laia dan keluarganya pindah dari Börönadu 38 generasi
yang lalu. Ndruru dan keluarganya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua dan
keluarganya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Hulu dan keluarganya pindah dari
Börönadu 26 generasi yang lalu.
Sejak proses persebaran tersebut, kelompok-kelompok keluarga besar di Nias
mulai terbentuk yang pada akhirnya memunculkan bibit-bibit persaingan dan permusuhan
antar sesama penghuni Pulau Nias. Sebagai contoh, penduduk Börönadu menginformasikan
bahwa orang-orang yang meninggalkan Börönadu adalah mereka yang tidak menghormati
adat dan leluhur. Persaingan tersebut sampai saat ini kadang-kadang masih terasa. Suasana
interaksi antar marga dan antar kampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau
kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga
berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Harga
diri seseorang ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga
lain yang telah dipenggal.
4
(pisces), ular (ophodia), kura-kura (rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap
(artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda.
Penelitian ilmiah terakhir yang dilakukan untuk mengetahui asal-usul
masyarakat suku Nias adalah penelitian Deoksiribo Nukleat Acid (DNA). Penelitian ini
dilakukan oleh dua peneliti asal Belanda, yakni ahli genetika Professor Ingo Kennerknecht
dari University of Münster, Jerman, dan Mannis van Oven, mahasiswa S-3 bidang Biologi
Molekuler Forensik, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, Belanda. Professor
Ingo Kennerknecht mengumpulkan 407 sampel darah atau air liur orang Nias dari 11 klan
atau marga yang tersebar di Nias bagian Utara, Tengah hingga Selatan. Pengambilan sampel
dilakukan dalam kurun waktu tahun 2002 dan 2003. Sampel kemudian dikirim ke
laboratorium di Jerman untuk ekstraksi DNA, lalu ekstraksi DNA tersebut dibawa ke
Rotterdam untuk selanjutnya dianalisis.oleh Professor Ingo dan Mannis Van Oven.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan genetik orang Nias khususnya
dari garis keturunan ayah termasuk kategori rendah atau dengan kata lain DNA orang Nias
tidak begitu bervariasi. Hanya dua marka genetik kromosom Y yang ditemukan, yaitu O-
M119 dan O-M110. Kedua marka genetik ini hanya ditemukan pada suku bangsa asli Taiwan
yang memulai penyebaran ras Austronesia ke berbagai belahan dunia seperti Madagaskar,
Asia Tenggara, Papua, hingga Easter Island.
Sebagai perbandingan, Mannis van Oven juga menganalisis darah orang Karo
dan orang Batak sebagai etnis yang secara geografis berdekatan dengan Pulau Nias. Hasil
analisisnya menunjukkan bahwa DNA orang Karo dan orang Batak lebih bervariasi. Selain
itu marka genetik kromosom Y yang ditemukan yaitu O-M119 dan O-M110 sama sekali
tidak terdapat pada sampel darah orang Karo dan orang Batak. Hal ini mengindikasikan
bahwa nenek moyang orang Nias berbeda dengan nenek moyang orang Karo maupun orang
Batak.
Selanjutnya dengan membandingkan DNA 1.500 sampel dari 38 populasi dari
Asia Timur, Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Australia, hasil analisis menunjukkan
keseragaman DNA orang Nias. Secara genetik (DNA) orang Nias paling mirip dengan
populasi dari Taiwan dan Filipina.
Secara internal, hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel yang diteliti
memiliki haplogrup O-M119. Walaupun demikian berdasarkan analisis STR kromosom Y,
penyempitan genetik orang Nias memicu perbedaan yang sangat kuat di antara 11 klan atau
marga orang Nias yang dijadikan sampel. Ternyata secara genetika, orang di Nias di bagian
Utara dan Tengah sangat berbeda dengan orang Nias di bagian Selatan. Orang Nias di bagian
Utara dan Tengah hanya memiliki marka genetik O-119. Sedangkan orang Nias bagian
Selatan, sama-sama mewarisi marka genetik O-110 yang dominan pada kromosom Y
mereka.
Dari analisis mtDNA, ada 18 haplogrup yang ditemukan. Haplogrup ini berkaitan
dengan penyebaran orang Taiwan. Hampir semua haplogrup mtDNA yang terdeteksi di Nias
sama dengan suku asli Asia bagian Timur dan hanya sekitar 2% haplogrup yang mungkin
berasal dari Asia Tenggara. Meskipun demikian, ruang distribusinya tidak seekstrem pada
hasil kromosom Y.
Semua tipe kromosom Y dan hampir semua tipe mtDNA di Nias bisa
dihubungkan dengan nenek moyang ras Austronesia yang sebagian besar berasal dari
Taiwan, yang kemudian melewati Filipina dan menyebar ke Pulau-pulau di Asia Tenggara
5
sekitar 4.000-5.000 tahun lalu. Data ini didukung juga dengan bahasa Nias yang masuk
dalam rumpun bahasa Austronesia.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini masih memerlukan tindaklanjut karena
kesamaan DNA orang Nias dengan Taiwan hanya 40 persen dan sebagian kecil di Filipina.
Hal ini mengindikasikan bahwa sisanya berasal dari daerah lain. Orang Nias justru bertalian
darah dengan penduduk Taiwan, yang terpaut jarak 3.500 kilometer ke arah Timur Laut.
Dari hasil penelitian ini, Mannis Van Oven menduga orang Nias mewarisi gen
mereka dari orang Taiwan yang bermigrasi ke Indonesia melalui Filipina menuju
Kalimantan dan Sulawesi. Gelombang migrasi manusia modern ini sebenarnya dimulai dari
Afrika. Gelombang ini sampai di Taiwan 6.000 tahun lalu. Proses aliran gen hingga mencapai
Nias 1.000-2.000 tahun kemudian. Rute ini didukung bukti kemiripan DNA suku Nias
dengan penduduk Filipina. Orang Nias kemungkinan besar berasal dari Taiwan sekitar
4000-5000 tahun yang lalu.
Eduard Fries, seorang misionaris dan pelukis yang tinggal di Nias selama hampir
16 tahun (1904 – 1920) menulis buku dalam bahasa Nias berjudul “Nias – Amuata Hulo
Nono Niha” yang terbit tahun 1919. Pada halaman 52-53 buku tersebut, Fries menulis
sebagai berikut:
6
misa boto niha; tenga sa fameta’oe niha geloeaha halöwönia no
andrö, ha ba wanechegö da’ö fefoe, wa no i’ohalöwögoi, ba lö ahori
moetanö ba zoera zi no isöndra ......”
Artinya adalah:
“Yang sering diceritakan dahulu kala ialah bahwa dulunya telah diturunkan
manusia dari suatu tempat di lapisan atas bumi yang bernama Teteholi Ana’a. Nama leluhur
mereka adalah Sirao. Mereka ditempatkan pada 3 (tiga) tempat, yaitu: Leluhur Hia
menempati hulu Gomo, lokasi tempat dimana ‘börö nadu’ berada sampai sekarang; Leluhur
Daeli menuju Onoawembo di Hulu Nidanoi, dan Leluhur Gözö berada di bagian Utara.
Barangkali intinya adalah bahwa orang Nias bukan berasal dari satu keturunan, karena
sejak zaman dahulu manusia sudah mendiami tiga lokasi. Lama kelamaan, ketiga puak itu
bercampur dan bertambah banyak sampai akhirnya Nias dipenuhi oleh manusia. Dan dari
mana leluhur mereka datang, apakah dari tanah Batak, atau dari pulau lain, atau apakah
merupakah hasil ‘pertemuan’ para pelayar dari pulau lain, tidaklah jelas. Dan biarpun
disebutkan silsilah yang 24-30 generasi banyaknya, kita tidak tahu apakah itu benar atau
tidak. Yang kita tahu dari sumber asing hanyalah tulisan seorang Persia bernama Soleiman,
yang pernah datang ke kepulauan Hindia ini pada tahun 850 sesudah masehi; Soleiman
pernah juga singgah di Nias (yang disebutnya: “Nian”). Soleiman mengisahkan bahwa di
Nias dia menemukan orang-orang yang biasa memenggal kepala manusia. Jadi saat ini tidak
ada jalan lain untuk menelusuri asal usul orang Nias, selain penelitian terhadap sosok dan
raut muka orang Nias, mana tahu dari situ para peneliti bisa menjelaskan mengapa sosok
dan rupa orang Nias berbeda-beda, walaupun mereka telah membaur cukup lama sehingga
menjadi satu suku bangsa. Untuk itu pada tahun 1910 dari Negeri Belanda diutuslah
seseorang yang ahli di bidang itu yang bernama Dr. Kleinweg de Zwaan yang mengelilingi
Pulau Nias untuk mengukur fisik orang Nias; pekerjaannya bukan untuk menakut-nakuti
orang, tetapi untuk mencoba mengetahui hal-hal yang disebutkan di atas. Hasil usaha Dr.
Kleinweg de Zwaan ini belum seluruhnya dibukukan”.
Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya adalah ciptaan Lowalangi.
Langit yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai menciptakan semua itu, beliau
kemudian menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut Tora’a. Pohon itu kemudian
berbuah dua buah, yang setelah dierami seekor laba-laba emas, yang juga merupakan
ciptaan Lowalangi, menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta ini. Mereka ini
bernama Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a yang berjenis laki-laki dan Burutiraoangi
Burutiraoana’a yang berjenis perempuan. Keturunan sepasang dewa pertama ini kemudian
mendiami sembilan lapis langit. Untuk menciptakan sesuatu itu, Lowalangi mempergunakan
udara dari berbagai warna sebagai bahannya. Warna-warna itu ia aduk dengan tongkat gaib
yang disebut sihai.
Salah satu keturunan sepasang dewa pertama itu, yang bernama Sirao kemudian
menjadi raja di langit lapisan pertama, yang terletak paling dekat dengan bumi. Nama langit
lapisan pertama ini Teteholi Ana’a. Sirao ini mempunyai tiga orang istri, dan dari mereka itu
masing-masing diperoleh tiga orang anak laki-laki. Di antara kesembilan orang putra Sirao
7
itu, timbul pertentangan untuk memperebutkan takhta Raja Sirao yang sudah lanjut usia itu
dan hendak mengundurkan diri sebagai raja.
Adapun anak-anak Sirao tersebut adalah :
1) Hiawalangi Sinada
2) Gözö Helahela Danö
3) Daeli Bagambolangi
4) Hulu Börödanö
5) Bawuadanö
6) Zangaröfa
7) Lakindrolai Sitambalina
8) Sifusö Kara
9) Luomewöna
Ada juga versi yang lain, yaitu:
1) Bawuadanö
2) Zangaröfa
3) Bela
4) Simanga Buaweto Alitö
5) Samadu Sonamo Dalö
6) Hia Walangi Adu alias Hia Walangi Luo
7) Gözö Hela-hela Danö
8) Daeli Sanau Talinga alias Daeli Sanau Tumbo
9) Luomewöna
Selain itu ia mempunyai seorang cucu yang merupakan anak dari Luo Mewona
yang bernama Silogu Hiambanua (anak Luo Mewona).
Ketika Sirao sudah mulai tua, maka ia selalu memikirkan siapa di antara anak-
anaknya yang akan menggantikannya menjadi raja kelak di kemudian hari. Anak-anaknya
yang berjumlah 9 (sembilan) orang tersebut semuanya berkambisi menjadi raja. Oleh sebab
itu Sirao mengadakan lomba ketangkasan menari di atas tombak bermata mata sembilan
yang dipancangkan di suatu lapangan di depan istana. Sayembara itu ternyata dimenangkan
oleh putranya yang bungsu, bernama Luo Mewöna. Kebetulan sekali putra bungsu inilah
anak yang paling dikasihi oleh Raja Sirao dan juga sangat dihormati rakyatnya. Hal ini
dikarenakan ia memiliki sifat-sifat yang rendah hati, walaupun sebenarnya ia adalah
seorang yang gagah perkasa dan sangat bijaksana. Sifat-sifat ini juga terlihat sewaktu ia
sedang mengikuti sayembara itu. Oleh karenanya ia segera dikukuhkan menjadi raja di
Teteholi Ana’a, menggantikan ayahnya Sirao yang sudah lanjut usia.
Untuk menenteramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao kemudian
mengabulkan permohonan mereka untuk diturunkan ke bumi yang dalam hal ini Pulau Nias.
Selain itu, untuk mengawasi tingkah laku abang-abangnya itu, raja Luo Mewöna
menurunkan juga putera sulungnya yang bernama Silögu Banua di Hiambanua Onomandra,
di negeri Ulu Moro’ö, yang terletak di Kecamatan Mandrehe sekarang di Kabupaten Nias
Barat.
Dari 8 (delapan) orang putra Sirao yang diturunkan, ada 4 (empat) orang yang
tidak selamat, yaitu: Bawuadanö, Zangaröfa, Lakindrolai Sitambalina, dan Sifusö Kara atau
dalam versi yang lain disebut Bawuadanö, Zangaröfa, Bela, dan Simanga Bua Weto Alitö.
Bawuadanö diturunkan ke bumi yang luas, dan jatuh persis di tengah-tengah
pusaran bumi, sehingga ia menjadi PENOPANG BUMI yang dalam bahasa Niasnya dikatakan
8
“Da'ö Zanaya Tanö Sisagörö, Da'ö Zanaya Tanö Sebolo”. Itulah sebabnya dalam kepercayaan
masyarakat Nias kuno, seseorang dilarang mengucapkan sumpah palsu dengan
menyebutkan nama Bawuadanö, sebab ia akan marah kalau seseorang melakukan sumpah
palsu dengan menyebut namanya, sehingga orang tersebut dalam waktu yang tidak terlalu
lama pasti akan mati. Bawuadanö dikenal juga sebagai Laturadanö yang karena terlalu berat
tubuhnya sewaktu diturunkan, terus menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar.
Dialah yang menjadi penadah bumi. Jika timbul perang dan ada darah manusia yang
merembes ke dalam tanah mengenai tubuhnya, maka ia sangat marah dan menggoyang-
goyangkan tubuhnya hingga terjadi gempa bumi. Untuk menghentikan gempa bumi itu,
orang Nias berseru, “Biha Tuha! Biha Tuha!” Artinya: “Sudah Kakek! Sudah Kakek!” Ucapan
itu diserukan sebagai tanda insaf dan tidak membunuh lagi.
Zangaröfa diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di tengah-tengah air sehingga
ia menjadi PENGUASA AIR. Itulah sebabnya dalam kepercayaan masyarakat Nias kuno
seseorang dilarang membuang air besar di sungai karena Zangaröfa akan marah apabila
sumber airnya kotor. Apabila dilanggar maka dapat menyebabkan kecelakaan / hanyut
(ahani) atau tidak mendapatkan ikan (lö ahulu) kalau hendak mencari ikan di sungai.
Bela diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di atas pohon yang besar sehingga
ia menjadi PENGUASA POHON. Itulah sebabnya dalam kepercayaan masyarakat Nias kuno,
seseorang dilarang keluar rumah kalau sedang hujan campur panas (teu sino) dan setelah
teu sino biasanya akan dilanjutkan dengan angin kencang dan hujan lebat, sebab Bela
sedang marah karena hutannya banyak yang dirusak, sehingga ia kekurangan tempat
berteduh. Orang yang keluar rumah saat itu bisa-bisa sakit yang disebut tesafo, dan akibat
hujan deras beserta angin kencang maka dapat menyebabkan pepohonan bertumbangan
dan banjir.
Simanga Bua Weto Alitö atau Samadu Sonamo Dalö diturunkan ke bumi yang
luas dan jatuh di atas batu yang besar sehingga ia menjadi GURU ILMU HITAM di Nias.
Simanga Bua Weto Alitö atau Samadu Sonamo Dalö dipercayai sebagai kakeknya
Laowömaru yang punya cita-cita menghubungkan dataran Nias dengan dataran Sumatera
namun tidak sempat karena dia keburu meninggal.
Selanjutnya, dari kedelapan putra Sirao itu, ada 4 (empat) orang dapat
diturunkan dengan selamat, sehingga menjadi leluhur mado (marga) orang Nias zaman
sekarang. Mereka ini adalah:
1) Hiawalangi Sinada atau disebut juga Hia Walangi Adu atau Hia Walangi Luo dan sering
disingkat “Hia” diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di daerah Gomo tepatnya di
Börönadu. Hingga saat ini perkampungan Börönadu masih dihuni penduduk dan di
sana masih dapat dilihat peninggalan kuno megalitkultur, seperti kuburan Hia, tugu-
tugu batu, dan sebagainya yang di antaranya ada yang berumur 3000-4000 tahun.
Setelah Hia diturunkan ke bumi, maka bumi Nias di bagian Selatan menjadi miring. Hia
adalah leluhur marga Hia, Laia, Waruwu, Harefa, Telaumbanua, Gulö, Mendröfa, dan
lain-lain.
2) Gözö Hela-hela Danö, atau disingkat “Gözö” diturunkan ke bumi dan jatuh di daerah
bagian Utara Pulau Nias tepatnya di barat laut Hilimaziaya Kecamatan Lahewa
kemudian mendirikan perkampungan pertamanya yang diberi nama Hili Gözö.
Sekarang tinggal puing dengan bukti peninggalannya sepasang Tugu Batu. Setelah Gözö
diturunkan ke bumi, maka bumi Nias melengkung seperti bungkuk udang. Gözö
merupakan leluhur marga Baeha, Dawölö, dan lain-lain.
9
3) Daeli Bagambolangi atau disebut juga Daeli Sanau Talinga atau Daeli Sanau Tumbo
sering disingkat menjadi “Daeli” diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di Tölamaera
di Talu Nidanoi. Kini tinggal puing, dengan bukti peninggalannya Kuburan Daeli
bernisan batu. Daeli termasuk anak kesayangan dari Raja Sirao, maka ketika Daeli
diturunkan ke bumi Pulau Nias bersamanya diikutsertakan seperangkat perhiasan
emas dan perak, peralatan tombak dan pedang serta berbagai alat timbangan (raewe-
raewe ana’a, raewe-raewe balaki, raewe-raewe firö, mburusa, gari, afore, lauru, ba
wali’era). Setelah Daeli diturunkan ke bumi, maka bumi Nias menjadi rata dan tidak lagi
melengkung. Daeli merupakan leluhur marga Daeli, Gea, Larosa, dan lain-lain.
4) Hulu Borodano atau Hulu saja, yang diturunkan di suatu tempat di Laehuwa, (di tepi
sungai Oyo), kecamatan Alasa. Saat ini di sana tinggal puing dengan bukti
peninggalannya beberapa tugu batu. Hulu merupakan leluhur marga Hulu, Nazara,
Zaluchu, dan lain-lain.
Selain itu, ada seorang cucu Sirao yaitu putera sulung dari Luomewöna yang
turut diturunkan ke bumi dengan selamat yaitu Silögubanua.
5) Silögubanua atau disingkat Silögu diturunkan di bumi di sebelah Barat Pulau Nias dan
mendirikan perkampungan pertamanya di Hiambua (di sebelah Timur Sungai Oyo).
Saat ini sebagian masih dihuni oleh penduduk dan masih terdapat peninggalan kuno
beberapa Tugu Batu. Silögubanua merupakan leluhur marga Zebua, Zai, Zega, dan Iain-
lain.
Perkampungan pertama 5 (lima) orang leluhur inilah yang menjadi pusat
penyebaran penduduk secara bergelombang menurut waktu lalu mendirikan pemukiman
baru. Pemukiman baru itu juga menjadi pusat kedua penyebaran penduduk. Demikian
seterusnya hingga memenuhi pelosok Pulau Nias dan bahkan sampai di Kepulauan Hinako
(sebelah barat) dan Kepulauan Batu (sebelah tenggara).
Pada mulanya, sebagai identitas masing-masing keturunan dari 5 (lima) orang
leluhur mereka memakai istilah ono (anak). Misalnya: Ono Hulu, Ono Gea, Iraono Lase, dan
sebagainya. Tetapi pada masa Pemerintahan Belanda salah satu kebijakan waktu itu adalah
penerbitan surat pas yaitu semacam Kartu Penduduk. Maka sejak itulah mulai dipergunakan
istilah mado (marga). Mado bukan hanya diambil dari nama leluhur pertama, tetapi juga
dari nama leluhur berikutnya yang lebih terkenal atau memiliki kejayaaan pada masanya.
Demikianlah hingga sampai saat ini kita mengenal bermacam-macam mado masyarakat
Nias, misalnya:
o Mado dari keturunan Hia adalah: Hia, Laia, Waruwu, Harefa, Telaumbanua, dan lainnya
o Mado dari keturunan Gözö adalah: Baeha, Dawölö, dan lainnya
o Mado dari keturunan Hulu adalah: Hulu, Nazara, Zaluchu, dan lainnya
o Mado dari keturunan Daeli adalah: Daeli, Gea, Larosa, dan lainnya
o Mado dari keturunan Silögubanua adalah: Zebua, Zai, Zega, dan lainnya
10
BAGIAN 2
Ada berbagai versi cerita rakyat Nias Selatan mengenai asal-usul nenek moyang
mereka, di antaranya adalah legenda mengenai Inada Samihara Luo (Dewi Matahari). Inada
Samihara Luo lahir dari kabut. Inada Samihara Luo menciptakan manusia dengan melalui
tubuhnya yang terbelah kemudian lahirlah Inada Samadulo Hösi yang menjadi ibu para
dewa dan manusia. Samadulo Hösi mempunyai 2 (dua) pasang anak kembar. Pasangan
pertama Latura Danö alias Lawaero Watua (pria) dan Hinaya Ndrao Tane’a Danö alias
Hinaya Ndrao Jisiwa Bulua (putri). Pasangan ini kawin sumbang (incest). Pasangan kedua
Sabölö Luo Gögömi alias Sabölö Luo Sabua alias Lowalani (putra) dan Nadawa Mölö alias
Najaria Mbanua (putri), juga kawin sumbang. Najaria Mbanuwa sering diidentikkan dengan
Silewe Nasarata (Nias bagian Utara) sebagai penghubung antara penghuni dunia bagian atas
(kaum dewa) dengan penghuni dunia bagian bawah (manusia), karena di Nias bagian
Selatan penghubung itu adalah Najaria Mbanua. Selain itu ada juga sebagian di wilayah Nias
bagian Selatan dijumpai beberapa mitos asal-usul, di antaranya adalah Mitos tentang Sihai.
Dari berbagai versi cerita tersebut, ada beberapa persamaan dan tidak jarang pula ada
beberapa perbedaan.
Walaupun demikian, salah satu tradisi yang dapat dijadikan sumber untuk
menggali informasi mengenai asal-usul nenek moyang masyarakat Nias Selatan adalah
melalui syair-syair “hoho” yang dilantunkan pada acara-acara tertentu.
Konon, di suatu daratan Asia terdapat suatu kerajaan yang kehidupan
masyarakatnya telah diatur sedemikian rupa melalui titah / peraturan Raja sehingga barang
siapa yang melanggar aturan yang telah ditetapkan Raja akan dikenakan sanksi. Salah satu
ketentuan tersebut adalah bahwa barang siapa yang hamil di luar nikah (hamil sebelum
menikah), maka akan dihukum gantung. Ketentuan ini telah berlangsung begitu lama dan
sudah banyak wanita yang dihukum gantung akibat hamil di luar nikah, dan lelaki yang
menghamilinya juga tidak terlepas dari hukuman mati.
Pada suatu waktu, satu-satunya Puteri Raja pada waktu itu hamil di luar nikah.
Khabar ini tersebar sampai ke seluruh pelosok negeri. Rakyat harap-harap cemas dan
menunggu apa tindakan Raja terhadap puterinya itu, apalagi yang menghamili puterinya itu
adalah seorang pengawal Raja dan kepercayaan Raja yang gagah perkasa.
Dalam keadaan kalut, Raja memanggil para penasehatnya untuk meminta
pendapat mereka terhadap kejadian itu. Dari hasil pembicaraan tersebut, keluarlah
keputusan Raja bahwa pengawal Raja yang menghamili Puteri Raja harus dihukum mati,
sedangkan Puteri Raja dihukum dengan cara dibuang dengan sampan ke tengah laut yang
ditemani seekor anjing sebagai pengawalnya.
Akhirnya, Puteri Raja yang dalam keadaan hamil tersebut dinaikkan di atas sebuah
sampan bersama seekor anjing dan perbekalan hidup secukupnya dan merekapun
dihanyutkan. Berlayarlah sampan itu, sementara puteri raja bersama anjing pengawalnya
pun pasrah saja kemana pun terbawa angin.
Pada suatu hari, sampan (dalam bahasa Nias disebut “owo”) Puteri Raja yang
dalam keadaan hamil tersebut terdampar dalam posisi terbalik di Pulau Nias tepatnya di
sekitar Luaha Zusua (muara sungai Susua) di daerah Kecamatan Lahusa sekarang. Puteri
Raja yang dalam keadaan sedih (sakao dödö), dan menderita / miskin (si numana) untuk
11
pertama kalinya menginjakkan kakinya di daratan yaitu di daratan sekitar Luaha Zusua di
Pulau Nias. Dalam syair hoho Puteri Raja tersebut bernama ‘Sibowo Döfi Madala’ yang
artinya Puteri Bintang Kejora. Ada juga beberapa namanya dalam syair hoho, di antaranya
Simadulo Hösi - Simadulo Rao Watua alias Samihara Luo Gögömi - Samihara Luo Sambua.
Ditinggalkannyalah sampan tersebut di Luaha Zusua, ia naik ke darat menyusuri
sungai Susua ke arah hulu dan tibalah dia di suatu tempat yang bernama Börönadu di
daerah Gomo, di situlah ia mendirikan tempat berteduh / rumah (dalam bahasa Nias, rumah
disebut “omo”. Tidak lama kemudian tibalah saatnya bagi dia untuk melahirkan, maka
lahirlah seorang Puteranya yang ketika dewasa dia beri nama ‘Ho-me-mobörö, Ho-ba-
mböröta alias Ho-ba-vobörö - Voböröta Hia alias Hia Walani Adu - Hia Walani Luo’. Puteri
Raja tersebut yang sering juga disebut “Inada Samihara Luo” membesarkan Puteranya
tersebut sampai dewasa. Ketika dewasa, dia menyuruh anaknya tersebut untuk menjelajahi
seluruh Pulau Nias guna mendapatkan seorang wanita yang bakal dijadikan isterinya.
Sebelum diberangkatkan, dia membekali Puteranya itu sebuah cincin ‘laeturu hara
masö, laeturu hara masa’ dengan pesan bahwa apabila dia bertemu dengan seorang wanita,
dia harus mencobakan cincin tersebut pada jari wanita itu. Apabila cincin tersebut sesuai
dengan jari wanita yang ditemuinya, agar dia mengambil wanita itu menjadi isterinya.
Berangkatlah sang Putera meninggalkan ibunya di Börönadu menjelajahi seluruh
Pulau Nias. Suatu saat tibalah dia kembali di Luaha Zusua tempat sampan ibunya dulu
terdampar. Karena dia melihat ada sampan di situ, dia mencoba untuk menetap di daerah
itu dengan harapan dapat bertemu dengan wanita untuk dijadikan isteri. Ketika dia melihat
ada sekam padi yang hanyut di muara sungai Zusua, diapun beranggapan bahwa di hulu
sungai tersebut kemungkinan ada manusia. Dia pun menyusuri sungai Susua ke arah hulu
dan akhirnya dia bertemu dengan seorang wanita. Wanita itupun bertanya darimana dia
berasal dan mau kemana tujuannya. Dia pun menceritakan pesan ibunya untuk menjelajahi
seluruh pulau itu, dan apabila bertemu dengan seorang wanita maka dia akan
memasangkan cincin pemberian ibunya tersebut ke jari wanita itu dan apabila cincin
tersebut sesuai di jari wanita itu, maka dia akan mengambil wanita itu menjadi isterinya.
Wanita yang ditemuinya tersebut yang memang ibunya sendiri menyadari bahwa tidak ada
penghuni pulau tersebut selain mereka berdua. Akhirnya cincin tersebut dipasangkan di jari
ibunya, dan dia mengambil ibunya menjadi isterinya.
Hasil perkawinan mereka, lahirlah anak mereka kembar seorang putera yang
diberi nama Sadawa Mölö, dan seorang puteri yang diberi nama Sorai Zisöma alias Sorai
Zösöma yang akhirnya anak kembar inipun menjadi suami isteri dan dari perkawinan
mereka, lahirlah anak-anak mereka sebagai berikut:
1. Sebua Tendroma
2. Takhi
3. Hondrö
4. Fau
5. Maha
6. Zinö
7. Lalu
8. Ramö
9. Boto
12
Karena perselisihan akibat kelahiran seekor anak kijang (laoyo), maka menyebarlah mereka
di berbagai daerah di Pulau Nias, guna menghindari pertengkaran. Mereka inilah yang
menjadi nenek moyang orang Nias saat ini.
Selain itu, ada juga legenda yang berkembang di Nias bagian Selatan, yaitu ada 3
(tiga) orang laki-laki keturunan Ho (Ho adalah salah satu anak dari Hia) dari Nias Tengah
meninggalkan orang tuanya dan pergi berkelana ke arah Selatan. Ketiga anak itu bernama
Mölö, Zinö, dan Lalu. Kemudian dari nama-nama mereka inilah muncul 3 (tiga) öri di Nias
bagian Selatan. Mölö tinggal dan menetap di daerah Maenamölö, Zinö tinggal dan menetap
di daerah Mazinö, dan Lalu tinggal dan menetap di daerah Ono Lalu.
Mölö yang menurut versi Gomo bernama Sadawamölö tinggal dan menetap di
daerah Maenamölö memiliki 5 (lima) orang anak laki-laki, yaitu: Takhi, Fau, Maha, Hondrö,
dan Boto. Mereka menyebar di sekitar Hili Onotakhi, Orahili Fau, Siwalawa, Onohondrö,
Botohösi, dan lain sebagainya. Keturunan Takhi adalah marga Waoma dan Dachi, keturunan
Fau adalah marga Fau, Wau, Manaö, keturunan Maha adalah marga Sarumaha, keturunan
Hondrö adalah marga Hondrö dan keturunan Boto tidak diketahui sampai sekarang.
13
BAGIAN 3
ÖRI
Apakah yang dimaksud dengan “öri” ? Dalam catatan sejarah, pada masa
pemerintahan kolonial Jepang yaitu sekitar tahun 1942, daerah yang dihuni oleh keturunan
Ho di Nias bagian Selatan dibagi dalam 8 (delapan) öri, yaitu: Öri Maenamölö I, Öri
Maenamölö II, Öri Fau I, Öri Fau II, Öri Sarumaha, Öri Mazinö, Öri OnoLalu, dan Öri To'ene
Asi.
Kata “öri” berasal dari nama sebuah benda yang menyerupai gelang dan terbuat
dari sejenis loyang / logam serta kalau diperhatikan secara seksama tidak akan pernah
kelihatan persambungannya. Konon, gelang tersebut pada mulanya diperoleh dari seekor babi
hutan yang sudah tua (sökha so’öri = babi hutan bergelang, yaitu babi hutan yang sudah
sangat tua). Menurut legenda yang berkembang öri tersebut merupakan pemberian
bela (sejenis makhluk halus penguasa hutan) dengan tujuan agar babi hutan tersebut
memiliki kekebalan terhadap berbagai jenis senjata sehingga sangatlah sulit untuk diburu
oleh manusia. Pada sökha so’öri, gelang tersebut terletak pada jungurnya, yaitu pada taring
sebelah bawah, dan diganjal taring sebelah atas sehingga tidak mudah jatuh. Apabila öri
tersebut masih berada / lengket di badan seekor babi hutan, maka babi hutan tersebut
menjadi kebal terhadap berbagai macam jenis senjata berburu, seperti: pisau, tombak,
panah, dan lain sebagainya dan bahkan babi hutan tersebut dapat menghilang. Biasanya
same’asu (pemburu babi hutan), apabila hendak menangkap babi hutan tersebut, mereka
menggunakan jaring yang dibawa sewaktu berburu. Apabila sökha so’öri sudah masuk
dalam jaring sebagai perangkapnya, barulah öri tersebut dilepaskan. Tentu dengan lepasnya
öri dari badan sökha so’öri maka kekebalan tubuhnya praktis tidak ada lagi dan sökha so’öri
tersebut dapat dibunuh. Anehnya, kemanapun sökha so’öri ini pergi, ia selalu dikawal
beberapa ekor babi hutan yang pada umumnya memiliki taring panjang dan runcing. Bila
sökha so’öri mau berkubang, babi hutan pengawalnya mengelilingi lokasi sekitar kubangan,
dan bila telah dirasa aman maka öri yang dimililiki oleh sökha so’öri itu disangkutkan pada
suatu tunggul batang pohon.
Sebagai tambahan, perlu disampaikan bahwa asal muasal Kalabubu (kalung dalam
tari perang masyarakat Nias Selatan) adalah öri sebagai lambang kesaktian dan kekebalan.
Kalabubu selalu dipergunakan sebagai penghalang kelewang musuh pada saat musuh
hendak menebas leher. Dengan memakai kalabubu diharapkan kelewang musuh mental dan
tidak mampu menebas leher.
Gbr. 1 : Kalabubu
14
Perkembangan selanjutnya öri dijadikan sebagai sebutan untuk suatu wilayah
kekuasaan. Dengan demikian maka öri adalah sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh
seorang Tuhenöri (Kepala öri, atau dapat disebut sebagai Kepala Negeri). Wilayah öri terdiri
dari beberapa kampung (banua). Setiap banua dipimpin oleh seorang Balö Si’ulu (Balo =
ujung, puncak, ; Si’ulu = kasta tertinggi masyarakat Nias Selatan).
Setiap banua yang merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat, terdapat
kasta-kasta masyarakat sebagai berikut:
1. Si’ulu, yaitu bangsawan atau pemimpin tertinggi dalam suatu komunitas masyarakat
dan keturunannya
2. Si’ila, yaitu cendekiawan atau orang yang memiliki pengetahuan mengenai adat-istiadat
3. Sato, yaitu masyarakat biasa
4. Sawuyu, yaitu tawanan dari kampung lain atau orang yang dijadikan budak.
Mengacu pada hal ini, maka secara filosofi tujuan hidup masyarakat Nias
khususnya masyarakat di Nias bagian Selatan adalah: Memiliki kemuliaan (perwujudan
si’ulu), ilmu pengetahuan (perwujudan si’ila), anak/keturunan (perwujudan sato), dan
kekayaan (perwujudan sawuyu), atau dalam bahasa aslinya: Lakhömi (kemuliaan),
Fa’onekhe (kepintaran), Ono (anak), dan Harato (harta). Keempat pilar inilah yang secara
simbolis biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam setiap rumah adat
masyarakat Nias Selatan.
Struktur öri masih bertahan sampai masa pemerintahan Republik Indonesia.
Namun, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara yang pada saat itu dijabat
oleh putera Nias yang bernama Pendeta Roost Telaumbanua, Nomor 222/V/GSU, tanggal 24
Juli 1965, komunitas masyarakat yang disebut öri dihapus dan banua diganti menjadi desa.
Walaupun demikian, dalam tatanan masyarakat Nias di bagian Selatan öri tersebut masih
eksis khususnya dalam ihwal adat-istiadat.
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa Mölö dan keturunannya hidup di
daerah Öri Maenamölö. Sebagai akibat perkembangan kekuasaan dan adat istiadat masing-
masing komunitas, maka keturunan Tachi (sekarang disebut Dachi) memproklamirkan
daerahnya sebagai daerah Maniamölö sehingga ketika terjadi pemekaran Kecamatan Teluk
Dalam, maka daerah Onotachi diberikan nama sebagai kecamatan Maniamölö.
15
BAGIAN 4
KERAJAAN ONOTACHI
Tachi mempunyai anak 9 (dua) orang. Anak pertama dan kedua adalah seorang
laki-laki. Faoma merupakan anak pertama, yang ketika ayahnya menanyakan kepadanya
“Kepada siapakah nama Tachi diberikan ?” Lalu ia menjawab “Faoma manö, Ama” (artinya:
sama saja, ayah). Berdasarkan jawaban itu maka ayahnya yang bernama Tachi memberi
namanya “Faoma” dan kepada anak ke-2 dia beri nama “Tachi”. Anak ketiga juga seorang
laki-laki yang namanya tidak diketahui, namun sebagian mengatakan bahwa keturunannya
saat ini menggunakan marga Da’o. Anak ke-4 bernama “Gari”, yang setelah dewasa
merantau ke daerah Öri To’ene. Anak ke-5 dan ke-6 adalah puteri. Anak ke-7 bernama
“Waya” yang setelah dewasa merantau ke Pulau Tello. Anak ke-8 dan ke-9 adalah puteri.
Setelah Tachi meningal dunia, maka Faoma diangkat oleh rakyat menjadi Balö
Si’ulu dan didirikanlah kerajaan di puncak Gunung Hiliamaigila yang pada saat itu dikenal
sebagai Hili Onotachi. Di pihak lain, Kerajaan Fau sebagai kerajaan tetangga juga
berkembang. Kedua kerajaan ini selalu berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya
baik Kerajaan Onotachi maupun Kerajaan Fau. Akibatnya kedua kerajaan ini saling
menyerang dan terjadilah perang yang pada masa itu tidak pernah berkesudahan. Masing-
masing ingin menjadi penguasa daerah yang ditinggalkan oleh kakek mereka Mölö.
Suatu saat, terjadilah perdamaian antara kedua kerajaan ini di Zumali (dekat desa
Onohondrö sekarang). Perdamaian itu dilaksanakan dalam suatu acara yang disebut
Fondrakö (acara adat terbesar suku Nias). Dalam kesepakatan itu, pembagian harta kakek
mereka yang bernama Mölö adalah sebagai berikut:
1. Pembagian wilayah kerajaan.
Diletakkan 2 (dua) buah batu besar (daro-daro) di puncak gunung Hiliamaigila atau
sekitar 100 depa dari pintu gerbang (bawagöli) desa Lahusa Fau sekarang sebagai titik
perbatasan (gola danö). Kemudian dengan mengikuti garis perjalanan matahari,
ditarik garis lurus ke arah laut dan di sisi yang lain ditarik garis lurus menuju daerah
Aramö. Setelah itu ditetapkanlah bahwa sebelah Timur merupakan daerah Fau dan di
sebelah Barat merupakan daerah Faoma.
2. Harta emas, ¼ untuk Faoma dan ¾ untuk Fau
3. Harta berupa tanaman dan bangunan-bangunan Mölö disahkan menjadi hak milik Fau
di daerah Fau dan hak milik Faoma di daerah Faoma
4. Ternak dibagi 2 sama banyak
5. Seni budaya:
a. Faoma menjadi pemilik sah: timbangan emas (fanulo gana’a) dan alat pengukur
besarnya seekor babi (afore)
b. Fau menjadi pemilik sah: alat ukur jumlah padi/beras (tumba) dan aramba
(gendang)
Fondrakö adalah suatu acara musyawarah dari tokoh-tokoh adat untuk
menetapkan hukum tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam suatu wilayah
tertentu dan bagi yang melanggar akan dikenakan sangsi adat. Asal muasal Fondrakö di
seluruh kepulauan Nias pada hakekatnya berasal dari Fondrakö Börönadu sebagai
Fondrakö tertinggi di Pulau Nias. Bila suatu komunitas masyarakat Nias melanggar
16
Fondrakö maka akan terjadi bala seperti berjangkitnya berbagai jenis penyakit pada
manusia, hewan ternak dan tanaman, bencana alam, atau peperangan.
Sakralnya pelaksanaan Fondrakö tersebut dapat diketahui dari syair hoho sebagai
berikut:
Ya’afatö vaha zanawö
Ya’aetu mbagi zanerogö
Ya’asila dödö ba ya’aboto dalu zonönö
Ya’aeru vaha ba ya’asila hulu zanalösi
Ba sanosilö’ögö ya löna mowa’a, ya löna molehe, yalöna mona’ötö,
ya mate löna lewatö, ba ya taiha manö mae sau
Pada umumnya, materi yang dibahas dalam suatu acara Fondrakö, antara lain:
1) Huku sifakhai ba mboto niha (ketentuan yang menyangkut tubuh manusia).
2) Huku sifakhai ba gokhöta (ketentuan yang menyangkut harta kekayaan)
3) Huku sifakhai ba rorogöfö sumane (ketentuan yang menyangkut etika).
4) Huku sifakhai ba va’auri niha (ketentuan yang menyangkut proses kehidupan yang
terdiri dari: lahir, kawin, mati).
5) Huku sifakhai ba halöwö (ketentuan yang menyangkut pekerjaan dan pemerintahan).
Setelah Fondrakö yang diselenggarakan di Hili Amaigila atau Hili Onotachi
ditetapkan, maka keputusan-keputusan Fondrakö menjadi hukum yang wajib ditaati.
Dengan demikian maka seluruh rakyat di daerah Maenamölö hidup dalam keadaan aman,
tertib dan dapat mencari nafkah serta melakukan kegiatan sehari-hari tanpa dibayang-
bayangi oleh serangan musuh yang biasanya mendadak.
17
BAGIAN 5
18
3. Putri bungsu Faoma (berumur 14 tahun dan merupakan anak kesayangan Faoma)
dijadikan isteri Tohönavanaetu Halawa.
Akhirnya selama 2 (dua) tahun lamanya Tohönavanaetu Halawa berperang
untuk membasmi gerombolan Fanambai sebanyak 70 orang dan berhasil. Sebagai
perjuangan terakhir, Tohönavanaetu Halawa membunuh Fanambai (pimpinan perampok)
di Hinako disaksikan langsung oleh saudaranya Lakoya Halawa. Walaupun demikian, masih
ada 1 (satu) ekor harimao yang melarikan diri ke tengah hutan belantara ketika Fanambai
dibunuh. Tohönavanaetu Halawa pun mencari harimao yang lari ke tengah hutan belantara
namun tidaklah ditemukan dan akhirnya dibiarkan.
Atas kemenangan itu, dipukullah gendang di Hinako yang konon suara gendang
itu terdengar sampai di Hili Onotachi sehingga rakyat Maenamölö tahu bahwa
Tohönavanaetu Halawa telah mampu menghabisi gerombolan Fanambai. Tak lama
berselang, datanglah Tohönavanaetu Halawa ke Hili Onotachi dengan membawa kepala
(binu) Fanambai yang diikat pada pinggangnya, dilengketkan pada pedang yang digunakan
untuk membunuh Fanambai. Inilah asal muasal gagang pedang di daerah Onotachi
dilengkapi dengan rago ifö yang dipasang pada saembu (sarung pedang) yang bermakna
sebagai “pengganti” kepala Fanambai.
Atas keberhasilan itu, maka Tohönavanaetu Halawa itu diberikan gelar “Tuha”
sehingga namanya menjadi Tuha Tohönavanaetu Dachi atau Tuha Tohalawa Dachi atau
Tuha Dohalawa Dachi. Sejak saat itu, Tuha Tohönavanaetu Dachi menjadi Raja Onotachi,
sedangkan anak-anak Tachi bertugas sebagai Ere (imam / dukun dalam agama kuno Nias).
Oleh sebab itu, hingga saat ini marga Dachi asli (bukan keturunan Tuha Tohönavanaetu
Dachi) sering juga disebut Na’ötö Gere (keturunan imam / tabib).
Selama kepemimpinan Tuha Tohönavanaetu Dachi, masyarakat Onotachi hidup
dalam keadaan aman dan damai. Roda kehidupan masyarakat berjalan nomal kembali.
Namun, beberapa tahun kemudian, secara mendadak pada malam hari perkampungan Hili
19
Onotachi di Hiliamaigila dibakar oleh rakyat Kerajaan Fau. Serangan yang bersifat
mendadak itu membuat Kerajaan Onotachi menjadi kacau balau dan tidak sempat
mengadakan perlawanan. Pemerintahan dan kehidupan masyarakat lumpuh total.
Tohönavanaetu Dachi pun akhirnya membawa rakyatnya mengungsi ke Bawö. Di dalam
pengungsian, masyarakat Kerajaan Onotachi hidup sekedarnya dengan mengolah tanah di
Bawö. Semakin lama kebutuhan mereka tidak lagi mencukupi dan Tuha Tohönavanaetu
Dachi dan keluarganya yang biasa hidup berkelimpahan akhirnya tidak dapat bertahan
hidup di Bawö. Tuha Tohönavanaetu Dachi bersama isterinya yang sedang mengandung dan
kedua mertuanya pindah ke Taro’o Zi’o. Di Taro’o Zi’o, Tuha Tohönavanaetu Dachi selalu
mengintip perahu atau kapal laut yang lewat di tengah lautan dan bila ada kapal yang lewat
dia membajaknya dan menangkap penumpangnya serta merampas barang-barang bawaan
kapal itu. Itulah cara Tuha Tohönavanaetu Dachi hidup dan menghidupi keluarganya yaitu
dengan cara merampok kapal yang lewat dan penumpang kapal ditawannya serta
dijadikannya budak.
Selama 4 (empat) bulan Tuha Tohönavanaetu Dachi tinggal di Taro’o Zi’o, lahirlah
anaknya yang pertama seorang laki-laki dan diberi nama Taliwu Ndraha Dachi. Ketika
kelahiran anak raja mereka dan keberadaan Tuha Tohönavanaetu Dachi terdengar rakyat
Onotachi di Bawö, maka spontan seluruh rakyat yang ada di Bawö pindah ke Taro’o Zi’o.
Delapan tahun kemudian, lahirlah anak ke-2 Tuha Tohönavanaetu Dachi yaitu seorang
putera dan diberi nama Taihöwa Dachi. Di Taro’o Zi’o itulah kedua mertua Tuha
Tohönavanaetu Dachi meninggal karena sudah lanjut usia.
Setelah Tuha Tohönavanaetu Dachi berumur sekitar 80 tahun ia mengalami sakit-
sakitan, lalu ia meminta kepada isteri dan anak-anaknya supaya diizinkan meninjau isteri-
isterinya dan anak-anaknya yang dia tinggalkan di seluruh kepulauan Nias dan kemudian ia
pulang ke daerah asalnya. Selain itu dia meninggalkan pesan bahwa masih ada
pekerjaannya yang belum tuntas yaitu menangkap dan membunuh harimao. Setelah
diizinkan, berangkatlah Tuha Tohönavanaetu Dachi namun sampai akhir hayatnya dia tidak
pernah kembali di Taro’o Zi’o.
20
BAGIAN 6
21
dengan pedang di Geho (Lahusa Sisarahili / dekat Hilinamazihönö sekarang). Pada saat di
Geho inilah lahir anaknya yang pertama yang dia beri nama Lahembaewa Dachi (putera)
yang artinya “jejak belut” sebagai kenangan perjalanan hidupnya yang seperti belut dan
susah ditangkap sampai dia berhasil mengembalikan kejayaan Kerajaan Onotachi.
Setelah menguasai kembali kerajaan Onotachi, Taihöwa Dachi mengumpulkan
kembali rakyatnya dari Taro’o Zi’o. Atas keberanian dan kebesaran Taihöwa Dachi tersebut
maka rakyat Onotachi beserta abangnya Taliwu Ndraha Dachi memberikan gelar “Tuha”
kepadanya dengan nama Tuha Farökha.
Setelah beberapa tahun memerintah, lahirlah puteri Taihöwa Dachi yang bernama
Lai ana’a. Sayangnya puterinya ini hilang dari pangkuan ibunya (nihalö ba hagita) pada saat
sedang menyusui. Waktu itu ibunya menyusui Lai Ana’a tepat di bawah “lawa-lawa” (bagian
atap rumah yang terbuka sebagai sumber cahaya matahari ke dalam rumah). Oleh sebab itu
sampai sekarang ibu-ibu di daerah ini dilarang menyusui anaknya tepat di bawah bagian
atap yang terbuka (böi finu nonou itahö lawa-lawa = jangan menyusui anak tepat di bawah
lawa-lawa). Anehnya, Lai Ana’a tidak hilang begitu saja. Konon Lai Ana’a diambil oleh
penguasa langit dan sebagai gantinya turunlah hujan emas (emas murni 16 karat) sebagai
mahar Lai Ana’a. Setelah dihitung maka jumlah emas yang diturunkan itu adalah 69 batu (1
batu = 10 gram) yang lazim disebut “Sara ambö Fitunafulu” (1 kurang 70). Inilah asal muasal
mahar seorang gadis keturunan Si’ulu di daerah ini sebesar 1 kurang 70 batu, dengan
perincian sebagai berikut:
Kemudian perincian mahar ini pun akhirnya diterapkan juga untuk mahar seorang
gadis pada umumnya (bukan keturunan Si’ulu), dengan beberapa pengurangan sehingga
mahar tersebut menjadi 27 batu. Perinciannya adalah sebagai berikut:
22
No. Uraian Jumlah
(batu)
1. Böli Nafo 3
2. Böli Mboto 12
3. Famokai Mbawa Galawasa 0
4. Tagusö Gana’a 3
5. Böli We Jusu 0
6. Famaluaya Ono 0
7. Famokai Dalu’i 0
8. Böli Nefe Guro 0
9. Böli Mbagolö Gana’a 0
10. Taroma Nawua 0
11. Ö Nono Sebua 3
12. Fondra’u Damo 3
13. Fanara Watö 3
Jumlah 27
Anak ke-3 dari Taihöwa Dachi bernama Baatu Ra adalah seorang putera yang
setelah dewasa dia menghentakkan kakinya ke tanah (ibörö danö) dan pergi merantau ke
luar Pulau Nias sehingga sampai saat ini tidak diketahui lagi keturunannya. Walaupun
demikian, ada beberapa orang di Kepulauan Mentawai yang mengakui bahwa nenek
moyang mereka berasal dari Pulau Nias yang bermarga Dohalawa bernama Tahewa (suatu
nama yang mirip dengan Taihöwa).
Dengan demikian maka Taihöwa Dachi memiliki 3 (tiga) orang anak, yaitu:
1. Lahembaewa Dachi gelar Tuha Sondrege Tanö
2. Lai Ana’a Dachi (puteri)
3. Baatu Ra Dachi gelar Tuha Samörö Tanö
Untuk mempertahankan kerajaan Onotachi, Lahembaewa Dachi dilatih oleh
ayahnya Taihöwa Dachi untuk menguasai ilmu bela diri dan agar memiliki kesaktian
sehingga Lahembaewa Dachi menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, pemberani dan
sangat disegani bukan hanya di Kerajaan Onotachi tetapi juga di daerah Kerajaan Fau dan
Kerajaan Hondrö di Botohösi apalagi ia merupakan Putera Makhota Kerajaan Onotachi.
Akibatnya Lahembaewa Dachi menjadi sombong dan sering berbuat sesuka
hatinya. Dia bahkan mengeluarkan ultimatum bahwa seluruh gadis yang cantik di Kerajaan
Botohösi dan di Kerajaan Fau tidak boleh kawin dengan orang lain karena harus menjadi
isterinya. Dengan demikian maka Lahembaewa Dachi memiliki banyak isteri yang setiap
hari dipaksa mengolah tanah (bertani) dan kemanapun ia pergi harus ditandu oleh isteri-
isterinya secara bergantian termasuk ketika ia pergi berburu ke hutan yang merupakan
kegemarannya. Ironisnya, atas perilakunya tersebut ayahnya Taihöwa Dachi tidak pernah
menegur apalagi melarangnya.
Suatu hari, untuk menyenangkan ayahnya Taihöwa Dachi yang sudah tua
Lahembaewa Dachi pergi berburu ke tengah hutan untuk mencari harimao pengawal setia
Fanambai musuh bebuyutan kakeknya Tohönavanaetu Dachi. Setelah beberapa hari
berburu di tengah hutan rimba, akhirnya Lahembaewa Dachi menemukan Harimao tersebut
dan dia tidak membunuh harimao itu dengan tombak atau pedang tetapi Lahembaewa
Dachi berkelahi secara langsung dengan harimao tersebut sekaligus untuk membuktikan
23
kehebatan dan kesaktiannya. Perkelahian berlangsung sengit dan akhirnya Lahembaewa
Dachi memenangkan perkelahian dan membawa harimao tersebut kepada ayahnya dalam
keadaan hidup.
Keberanian dan kesaktian Lahembaewa Dachi inilah yang dijadikan lambang
keberanian dan ketangkasan Onotachi. Ketika harimao tersebut sampai di istana, beberapa
pemuda disuruh mengikat harimao tersebut di atas tandu dan mengusung tinggi-tinggi
sambil berkeliling kampung. Inilah yang merupakan cikal bakal “Famadaya Harimao”
(upacara pengusungan harimao) di Kerajaan Onotachi yang dilakukan setiap 7 tahun sekali
sebagai bagian dari Upacara Fondrakö. Acara Famadaya Harimao dilakukan untuk
mengenang kembali keperkasaan nenek moyang marga Dachi yang bernama Lahembaewa
Dachi.
Famadaya Harimao awalnya adalah sebuah tradisi yang dilakukan untuk memberi
semangat prajurit berperang. Namun, seiring pergantian waktu nilai sakral dan makna
upacara berkurang. Satu di antara penyebabnya adalah perkembangan agama Kristen yang
pesat di daerah yang dulunya merupakan kerajaan ini.
Mengapa di Kerajaan Onotachi mereka tidak mengenal prosesi “Famatö Harimao”?
Untuk diketahui bahwa harimao yang telah ditangkap hidup-hidup oleh Lahembaewa Dachi
dikandang dan dipelihara di lingkungan istana. Ketika tiba waktunya “Fondrakö”, harimao
tersebut dibawa dengan ditandu ke tempat berlangsungnya acara Fondrakö (suatu acara
untuk menyusun, menambah, mengurangi, atau meninjau kembali hukum adat yang
dilakukan setiap 7 tahun sekali). Setiba di sana, salah satu materi pembahasan yang
dilakukan adalah mau diapakan Harimao tersebut. Dalam rapat tersebut banyak usulan
yang disampaikan, di antaranya: tetap dipelihara, dikembalikan ke tengah hutan, bergantian
memeliharanya, dibunuh dan dijadikan santapan, dan lain-lain. Akhirnya sebagian besar
peserta rapat menyetujui agar harimao tersebut dipenggal lehernya dan tulang-belulangnya
24
dipatah-patahkan kemudian dibuang sebagai simbol “buang sial”. Dalam kondisi demikian,
kepalanyalah yang masih utuh. Dari sini lahirlah kebiasaan “Famatö Harimao” (acara
mematah-matahkan harimao) yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh rakyat Fau
karena rakyat Onotachi yang mengusungnya dan rakyat Fau yang mematahkannya. Sejak
kejadian ini, maka setiap “Fondrakö” selalu diakhiri dengan acara “Famatö Harimao” yaitu
mematah-matahkan duplikat harimao yang dibuat dari kayu sebagai simbol “buang sial”.
Itulah asal usul makanya di Kerajaan Onotachi tidak dikenal “Famatö Harimao” tetapi yang
dikenal adalah “Famadaya Harimao”.
Selain itu, bentuk kepala harimao yang masih utuh inilah yang menjadi cikal bakal
dari bentuk “ndrana mbelewa gari” (gagang kelewang) di daerah ini karena binatang
tersebut dianggap sakti sehingga apabila gagang kelewang dibentuk/diukir menyerupai
kepala binatang ‘harimao’ maka kelewang tersebut memiliki tuah atau memiliki kesaktian.
25
Gbr. 5 :Perlengkapan ‘Tari’ Perang
26
Setelah anak Lahemböwö Dachi yang bernama Wa’atuha Dachi berumur 19 tahun,
ia menyampaikan niatnya kepada ayahnya untuk menyerang kerajaan Fau agar wilayah
kerajaan Onotachi yang telah dikuasai oleh Fau direbut kembali. Usulan tersebut ditolak
mentah-mentah oleh ayahnya Lahemböwö Dachi yang merupakan Raja Onotachi pada
waktu itu. Adapun alasan ayahnya adalah karena kerajaan Fau jauh lebih banyak dari
Onotachi, dimana pada waktu itu rakyat Onotachi yang dapat dikerahkan untuk berperang
hanya sekitar 150 orang sedangkan Kerajaan Fau sekitar 2000 orang.
Sejak kejadian itu, berpikirlah Wa’atuha Dachi bagaimana caranya untuk
menyerang kerajaan Fau walaupun dengan jumlah pemuda yang bisa diharapkan untuk
berperang relatif sedikit. Suatu saat muncullah inspirasinya untuk ‘berguru’ ilmu hitam.
Maka berangkatlah Wa’atuha Dachi ke Tögi Mbögi di daerah Lahömi dan di sana ia berguru
selama kurang lebih 6 (enam) bulan. Sepulang dari Lahömi, ia mengusulkan kepada ayahnya
agar kampung Hili Lowalani guna persiapan penyerangan kerajaan Fau. Usulannya inipun
ditolak oleh ayah dan saudara-saudaranya.
Walaupun usulannya ditolak, dengan dendam kesumat yang terpatri di dadanya
untuk menyerang kerajaan Fau, akhirnya Wa’atuha Dachi memberanikan diri pindah ke
Bawöhösi dan pada saat itu hanya 17 Kepala Keluarga yang mengikutinya. Sampai di
Bawöhösi Wa’atuha Dachi mendirikan perkampungan bersama pengikutnya dan kampung
itu diberi nama Bawö Maniamölö.
Bermodalkan ilmu hitam yang dimilikinya, Wa’atuha Dachi mulai memerangi
kampung-kampung kecil yang ada di sekitarnya. Secara perlahan, kampung-kampung kecil
dikalahkan dan ditaklukkan serta rakyatnya di bawa ke Bawö Maniamölö menjadi
budaknya. Selama 9 (sembilan) tahun dia memerangi kampung-kampung kecil di sekitarnya
akhirnya kampung Bawö Maniamölö menjadi perkampungan yang besar dengan penghuni
sekitar 200 Kepala Keluarga dan ada sekitar 270 orang laki-laki yang bisa diharapkan untuk
berperang. Semakin lama kampung Bawö Maniamölö yang dipimpin oleh Wa’atuha Dachi
semakin ditakuti dan disegani.
Setelah dirasa kuat, mulailah Wa’atuha Dachi memerangi kerajaan Fau. Sasaran
pertama adalah kampung Orahili Fau karena inilah pusat kerajaan Fau dan di kampung
inilah rakyat terbanyak kerajaan Fau. Pada peperangan ini kerajaan Fau tidak sanggup
melawan dan takluk yang akhirnya menyerah dan dibuatlah perdamaian dengan syarat
bahwa seluruh bekas daerah kerajaan Onotachi yang dikuasai kerajaan Fau dikembalikan
menjadi wilayah kekuasaan Wa’atuha Dachi. Akhirnya kerajaan Onotachi pun pulih kembali
dan seluruh rakyat yang tadinya tinggal di Hili Lowalani akhirnya mengikuti jejak Wa’atuha
Dachi, berbondong-bondong pindah ke Bawö Maniamölö. Artinya bahwa pusat kerajaan
Onotachi adalah Bawö Maniamölö dan Wa’atuha Dachi diberi gelar Tuha Ilawa Luo.
Sebelumnya telah disampaikan bahwa Lahemböwö Dachi memiliki 3 (tiga) putera ,
yaitu: Lataögö Dachi, Sawuamböwö Dachi, dan Wa’atuha Dachi.
Adapun anak Lataögö Dachi (anak pertama Lahemböwö Dachi) adalah:
1. Balaki (puteri), setelah dewasa kawin dengan anak keturunan Si’ulu Botohösi yang
bernama Faösi’aro Hondrö (seorang yang buta matanya)
2. Tuhozatarö Dachi (putera), pada umur 5 tahun ayahnya meninggal sehingga ia
dipelihara oleh adek ayahnya yang paling bungsu yang bernama Wa’atuha Dachi
Adapun anak Sawuamböwö Dachi (anak ke-2 Lahemböwö Dachi) adalah:
1. ----------- atau namanya tidak diingat lagi, tetapi anaknya bernama Sindruhu Dachi.
27
a. Sindruhu Dachi pada isterinya pertama memperoleh anak yang diberi nama Tofali
Dachi, dan Tofali Dachi memperanakan Nieli Dachi (ex Wedana 1948) dan
Benyamin Dachi (tinggal di Pulau Tello)
Anak Nieli Dachi ialah:
Samsidar Dachi
Letkol (Purn) Edu Dachi
Edi Dachi
Siwa Dachi
Asril Dachi
b. Sindruhu Dachi pada isterinya kedua memperoleh anak yang diberi nama Sao’ötö
Dachi
Anak Sao’ötö Dachi :
----------- (seorang puteri) yang kawin pada Moharo Dachi (anak Samacho
Dachi) dan anak mereka seorang puteri bernama Sarina Dachi
Sohuku Dachi (putera)
------------₪₪₪---------------
28
Penulis
Penulis adalah keturunan ke-9 dari Tuha Tohönavanaetu Dachi dengan silsilah sebagai
berikut:
1) Tuha Tohönavanaetu Dachi memperanakkan Taihöwa Dachi gelar Tuha Farökha
2) Taihöwa Dachi memperanakkan Lahembaewa Dachi gelar Tuha Sondrege Tanö
3) Lahembaewa Dachi memperanakkan Lahemböwö Dachi gelar Tuha Sanuri Niha
4) Lahemböwö Dachi memperanakkan Wa’atuha Dachi gelar Tuha Ilawa Lani
5) Wa’atuha Dachi memperanakkan Faösi’aro gelar Tuha Maenamölö
6) Faösi’aro Dachi memperanakkan Faohiniwaö Tuha Meziwa Lawa
7) Faohiniwaö Dachi memperanakkan Hewafaohi Dachi dengan nama baptisan katolik
Alexander Hewafaohi Dachi
8) Hewafaohi Dachi memperanakkan Imanuel Dachi
9) Imanuel Dachi memperanakkan Rahmat Alyakin Dachi (penulis).
29
LAMPIRAN I
Anaknya pada isteri pertama yang bernama Benegowi, keturunan Si’ulu Lahusa yang
bernama .........
1. BURUSI DACHI (puteri) yang setelah berumur sekitar 16 tahun dikawinkan dengan
keturunan Si’ulu Hilifalawu yang bernama : Sidefa Laia
Anaknya pada isteri kedua yang bernama Sotöra, keturunan Si’ulu Lahusa yang bernama
...............
2. ZIKHA ARO DACHI (Tuha Ilawa Niha)
3. WA’Ö ARO DACHI (Tuha Ono Maria / Tuha Saitö Tanö)
4. FASA ARO DACHI – tidak memiliki keturunan
5. WALA ARO DACHI – tidak memiliki keturunan
6. NDROI SAHILU DACHI
Anaknya pada isteri ketiga yang bernama Ndraigaji, keturunan Si’ila Ono Dachi yang
bernama ..........
7. ANULETA DACHI (Tuha Öli Mejiwa)
8. FAOHINIWAÖ DACHI (Tuha Mijiwa Lawa)
Anaknya pada isteri keempat yang bernama Afiamböwö, anak penduduk Ono Dachi yang
bernama .........
9. ...............................
Pada isteri pertama yang bernama LAE ANA’A, keturunan Si’ulu Bawödobara yang
bernama ......
2.1. RATE DACHI (Tuha Kamörö Lahömi)
Pada isteri kedua yang bernama ............, keturunan Si’ulu Hiligeho yang bernama
................
2.2. HUMAGA DACHI (putera)
Pada isteri ketiga yang bernama ........., keturunan Si’ulu Lahusa yang bernama .......
2.3. LAMARI DACHI (puteri) yang sesudah dewasa menjadi isteri dari BARANI
DACHI
30
3. Keturunan WA’Ö ARO DACHI (Tuha Ono Maria / Tuha Saitö Tanö)
Pada isteri pertama yang bernama SIRUTO, keturunan Si’ulu Lahusa yang bernama ........
3.1. MAGA MBÖWÖ DACHI (putera)
3.2. OROI DACHI (putera)
Pada isteri kedua yang bernama FIKUCI, keturunan Si’ulu Lahusa yang bernama ............
3.3. BAHUKU DACHI (putera)
3.4. OLALÖMA DACHI (Tuha Sanara Bawa)
3.5. ANÖTÖISA DACHI (putera)
3.6. SITUMBU DACHI (puteri)
3.7. SITARASI DACHI (puteri), yang sesudah dewasa kawin dengan keturunan
Si’ulu Hilimaenamölö
31
1.4. MAEFITI DACHI (puteri), sesudah dewasa kawin dengan FAGOHI NEHE di
Bawömataluo
1.5. HEWA NIWAÖ DACHI (putera)
1.6. AMAEDOLA DACHI (putera)
1.7. MESINANÖ DACHI (puteri)
Selanjutnya,
2.1. Keturunan RATE DACHI (Tuha Kamörö Lahömi) dengan isterinya yang bernama
FANULO, anak Si’ulu Botohilitanö yang bernama LAFAU / TUHA HARIMAO
2.1.1. SOWA’A DACHI (putera)
2.1.2. FARUDI DACHI (putera)
2.1.3. FOHAKA DACHI (putera)
2.1.4. SUTO DACHI (puteri)
2.1.5. FACHRUDDIN FA’OHAHAU DACHI (putera)
3.1. Keturunan MAGA MBÖWÖ DACHI dengan isterinya yang bernama ZIMEA
3.1.1. MAENAROTO DACHI
3.2. Keturunan OROI DACHI dengan isterinya yang bernama .... dari Hili’amaetaniha
3.2.1. FATÖNÖNI DACHI (putera)
3.2.2. ELIAKI DACHI (putera)
32
3.4.2. BANAWUA DACHI (puteri), setelah dewasa kawin dengan MANAWA LAIA di
Hilifalawu
3.4.3. MAESUTO DACHI (puteri), setelah dewasa kawin dengan FORATE GE’E di
Botohilitanö
3.4.4. BADUHO DACHI (putera)
3.4.5. MUCHTAR VASOLA DACHI (putera)
3.4.6. TAHELA DACHI (putera)
3.5. Keturunan ANÖTÖISA DACHI, tidak ada. Beliau sempat sekolah HIS di Batavia (Jakarta
sekarang) dan MULO di Negeri Belanda. Beliau belum sempat kawin karena meninggal
muda karena diracuni di Teluk Dalam.
Pada isteri kedua yang bernama SIMAEBULUSI keturunan Si’ulu Botohilitanö, tidak
ada keturunan
3.7. Keturunan SITARASI DACHI, yang sesudah dewasa kawin dengan keturunan Si’ulu
Hilimaenamölö
3.7.1. .......
6.1. Keturunan LASIMANI DACHI (puteri) dengan suaminya LIONG NAA tidak ada, namun
anak OLALÖMA DACHI dari isterinya yang pertama yaitu GEMUSA DACHI mereka
angkat sebagai anak.
33
6.4.3. BARISI DACHI (puteri)
6.4.4. DANIALAI DACHI (puteri)
6.4.5. FILI DACHI (puteri)
6.4.6. MARIZA DACHI (puteri)
6.4.7. NIHAENA DACHI (puteri)
6.4.8. DAHAE DACHI (puteri)
6.4.9. SODA DACHI (puteri)
6.4.10. SALASO DACHI (putera)
34
7.3.2. BARILAI DACHI (puteri)
7.3.3. RASI DACHI (puteri)
7.3.4. MANI DACHI (puteri)
7.3.5. ELIA DACHI (putera)
7.3.6. SAI ARO DACHI (putera)
8.5. Keturunan HEWA NIWAÖ DACHI dengan isterinya SARIATI SARUMAHA dari Siwalawa
8.5.1. MEFETI DACHI (puteri)
8.5.2. IMANUEL DACHI (putera)
8.5.3. FAIGIMBÖWÖ DACHI (putera)
8.5.4. ANÖTÖNA DACHI (putera)
8.5.5. RUKUN DACHI (putera)
8.5.6. AZASI DACHI (puteri)
8.5.7. ELIHUD DACHI (putera)
8.5.8. NILAI DACHI (puteri)
8.5.9. ANJURAN DACHI (putera)
35
8.7.1. ANASAMBÖWÖ LASE (putera)
8.7.2. .......................... (puteri)
36
LAMPIRAN II
Anaknya pada isterinya yang bernama BARASI ONO LUO, keturunan Si’ulu Bawömataluo
1. KANOLO DACHI (Tuha Siwa Sahilu)
2. SOLAGÖ NIHA DACHI (Tuha Hifo Bagötö)
Selanjutnya,
1.1. Keturunan FAREDO DACHI dengan isterinya FORICI, keturunan Si’ulu Botohilitanö
1.1.1. SIMANULO DACHI (puteri)
37
2.1.2. MOHAKA DACHI (putera)
2.1.3. SOHIRO DACHI (putera)
2.1.4. DESILI DACHI (putera)
2.1.5. FALAWU DACHI (putera)
Pada isteri kedua yang bernama LAMARI, anak dari ZICHA ARO DACHI (Tuha Ilawa
Niha)
2.2.11. TASBITA DACHI (puteri)
2.2.12. FOLAMARI DACHI (puteri)
2.3. Keturunan SOFULO DACHI dengan isterinya yang bernama NITULO, keturunan
Si’ulu Botohilitanö
2.3.1. FATALIWA’A DACHI
Pada isteri pertama yang bernama NITULO (janda abangnya SOFULO DACHI)
2.4.1. OGUNA’Ö DACHI (puteri), setelah dewasa kawin dengan FAJAWAGÖ di
Lahusa
38
2.4.2. FARETA DACHI (putera)
2.4.3. MOHARO DACHI (putera)
2.4.4. GAWA DACHI (putera)
2.4.5. FALIWA DACHI (putera)
39
LAMPIRAN III
KETURUNAN SAI’Ö / LAI
Keturunan Sai’ö / Lai dengan suaminya yang bernama TUHOBADANÖ, keturunan Si’ulu
Orahili / Hiliamaetaniha
1. ...............
40
LAMPIRAN IV
Keturunan Laedawa / Kamega Dachi (Tuha Samega Tanö) dengan isterinya yang bernama
........
1. SALICHO DACHI (Tuha Sondrakö Niha)
2. .................
1. Keturunan SALICHO DACHI (TUHA SONDRAKÖ NIHA) dengan isterinya yang bernama
.........
1.1. MAKE DACHI (Tuha Siwa Alitö)
1.2. PDT MAREKO DACHI (putera)
1.3. SIASIOHOI DACHI (puteri)
1.4. SAMARI DACHI (puteri)
Selanjutnya,
41
1.2.5. AOLOMA DACHI (putera)
1.2.6. YAKIN DACHI (putera)
1.2.7. YULI DACHI (puteri)
1.2.8. .....................DACHI (putera)
1.2.9. .....................DACHI (puteri), setelah dewasa kawin dengan ..........
MARUNDURI di Hinako
1.2.10. IDA DACHI (puteri)
1.3. Keturunan SIASIOHOI DACHI dengan suaminya yang bernama FARESO DACHI
1.3.1. BAZIMAE DACHI (puteri)
1.3.2. OFULOA DACHI (putera)
1.4. Keturunan SAMARI DACHI dengan suaminya yang bernama FALIWA DACHI
1.4.1. ...................
1.4.2. ....................
42
LAMPIRAN V
43
LAMPIRAN VI
44
LAMPIRAN VII
45
46
BÖRÖGU
BAGIAN 3: Ö R I ........................................................................................................................................................... 14
48