Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2005), perilaku kesehatan (health behavior) adalah

respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,

penyakit, dan faktor-faktor yang memengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti

lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan.

Menurut Green yang dikutip Notoatmodjo (2003), perilaku itu sendiri

ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu:

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban,

dan sebagainya.

3. Faktor- faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan

ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang

atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan

perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan

memperkuat terbentuknya perilaku.

Universitas Sumatera Utara


2.2. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera

pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).

Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak

sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan

secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud

dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada

situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan

seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah

Universitas Sumatera Utara


dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan)

terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan

yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang

berlaku di masyarakat.

2.3. Tindakan atau praktik (practice)

Menurut Notoatmodjo (2003), praktik atau tindakan ini dapat dibedakan

menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:

a. Praktik terpimpin (guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih

tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu

hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.

Universitas Sumatera Utara


c. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya,

apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah

dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

2.4. Faktor Sosial Ekonomi

Masalah-masalah sosial dapat diartikan sebagai sesuatu kondisi yang

mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat dan

merupakan sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai akan tetapi dirasakan

perlu untuk diatasi atau diperbaiki.

Fungsi sosial ekonomi meliputi keadaan penduduk di suatu masyarakat

(jumlah, umur, distribusi seks, dan geografis), keadaan keluarga (besarnya, hubungan,

jarak kelahiran) dan tingkat pendidikan. Faktor ekonomi meliputi pekerjaan,

pendapatan keluarga, dan pengeluaran (Supariasa, 2001).

Tingkat pendidikan juga termasuk dalam faktor ini. Tingkat pendidikan

berhubungan dengan status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan

kemungkinan akan meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli

makanan (Hartriyanti, 2007).

Berbagai faktor sosial ekonomi ikut memengaruhi pertumbuhan anak. Faktor

sosial ekonomi tersebut antara lain: pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya dan

pendapatan keluarga. Faktor tersebut diatas akan berinteraksi satu dengan yang

lainnya sehingga dapat memengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada anak. Pada

Universitas Sumatera Utara


akhirnya ketersediaan zat gizi pada tingkat seluler rendah yang mengakibatkan

pertumbuhan terganggu (Supariasa, 2001).

2.4.1. Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk

memengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga

melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pendidikan merupakan

salah satu unsur penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi

yang dimiliki akan lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau

kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1986).

2.4.2. Pekerjaan

Menurut Kartasaputra yang dikutip Yusrizal (2008), dalam melangsungkan

kehidupannya manusia melakukan berbagai kegiatan atau pekerjaan fisik yang

memerlukan energi. Energi yang berasal dari makanan diperlukan manusia untuk

metabolisme basal, aktivitas fisik dan efek makanan. Pada anak-anak dan wanita

hamil atau menyusui memerlukan kebutuhan energi yang lebih besar untuk

pembentukan jaringan baru.

2.4.3. Pendapatan

Menurut Berg (1986), pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan

kuantitas dan kualitas makanan. Ada hubungan erat antara pendapatan dan gizi di

dorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi

perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan

gizi. Jelas juga kalau rendahnya peningkatan pendapatan orang miskin dan lemahnya

Universitas Sumatera Utara


daya beli masyarakat telah tidak memungkinkannya untuk mengatasi kebiasaan

makan dan cara-cara yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk

anak-anak.

2.5. Gizi

2.5.1. Pengertian Gizi

Istilah gizi berasal dari bahasa Arab ”giza” yang berarti zat makanan; dalam

bahasa Inggris dikenal dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat

gizi atau sering diartikan sebagai ilmu gizi (Irianto, 2007).

Menurut Supariasa (2001), gizi adalah suatu proses organisme menggunakan

makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari

organ-organ, serta menghasilkan energi.

2.5.2. Penyakit-Penyakit Gizi

1) Penyakit Kurang Kalori dan Protein (KKP)

Penyakit ini terjadi karena ketidakseimbangan antara konsumsi kalori atau

karbohidrat dan protein dengan kebutuhan energi, atau terjadinya defisiensi atau

defisit energi dan protein. Pada umumnya penyakit ini terjadi pada anak balita, karena

pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat (Notoatmodjo, 2003).

2) Penyakit Kegemukan (Obesitas)

Penyakit ini terjadi karena ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan

kebutuhan energi, yaitu konsumsi kalori terlalu berlebih dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara


kebutuhan atau pemakaian energi. Akibat dari obesitas ini, para penderitanya

cenderung menderita penyakit-penyakit: kardio-vaskuler, hipertensi, dan diabetes

mellitus (Notoatmodjo, 2003).

3) Anemia (Penyakit Kurang Darah)

Penyakit ini terjadi karena konsumsi zat besi (Fe) pada tubuh tidak seimbang

atau kurang dari kebutuhan tubuh. Program penanggulangan anemia besi, khususnya

untuk ibu hamil sudah dilakukan melalui pemberian Fe secara cuma-cuma melalui

Puskesmas atau Posyandu. Akan tetapi karena masih rendahnya pengetahuan

sebagian besar ibu-ibu hamil, maka program ini tampak berjalan lambat (Almatsier,

2003).

4) Xerophthalmia (Defisiensi Vitamin A)

Penyakit ini disebabkan karena kekurangan konsumsi vitamin A di dalam

tubuh. Program penanggulangan xerophthalmia ditujukan pada anak balita dengan

pemberian vitamin A secara cuma-cuma melalui puskesmas dan atau posyandu. Di

samping itu, program pencegahan dapat dilakukan melalui penyuluhan gizi

masyarakat tentang makanan-makanan yang bergizi, khususnya makanan-makanan

sebagai sumber vitamin (Irianto, 2007).

5) Penyakit Gondok Endemik

Zat Iodium merupakan zat gizi esensial bagi tubuh, karena merupakan

komponen dari hormon Thyroxin. Terapi penyakit ini pada penderita dewasa

umumnya tidak memuaskan. Oleh sebab itu, penanggulangan yang paling baik adalah

pencegahan, yaitu dengan memberikan dosis iodium kepada para ibu hamil

(Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara


2.5.3. Penyebab Masalah Gizi

Masalah gizi (malnutrition) adalah gangguan pada beberapa segi

kesejahteraan per orangan dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak

terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan (Rimbawan,

2004).

Malnutrition (gizi salah, malnutrisi) adalah keadaan patologis akibat

kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi

(Supariasa, 2001).

Berbagai studi menunjukkan bahwa gizi kurang pada anak balita disebabkan

oleh penyebab langsung dan berbagai penyebab tidak langsung. Anak yang

mengalami gizi kurang dan gizi buruk umumnya disebabkan oleh beberapa hal

berikut:

Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang

mungkin diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang

kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi

sering diserang penyakit atau demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi.

Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya

(imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang

dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi dalam

kenyataan keduanya (makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan

penyebab kurang gizi.

Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan

Universitas Sumatera Utara


pangan di keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan

seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun gizinya.

Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan

waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan

sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan

lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang

terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling

berhubungan dan berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan

keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, terdapat

kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola

pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan

yang ada demikian juga sebaliknya.

Dalam berbagai faktor penyebab masalah gizi yang disebutkan diatas,

kemiskinan dinilai memiliki peranan yang cukup menonjol. Kemiskinan merupakan

penyebab dari rendahnya kualitas intake zat gizi, penyakit infeksi, buruknya

pengetahuan dan praktek keluarga berencana, yang pada akhirnya berpengaruh pada

rendahnya status gizi anak balita dan ibu hamil (Dinkes Propinsi Sumut, 2006).

Konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks.

Daly, et al. (1979) membuat model faktor-faktor yang memengaruhi keadaan gizi

yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh

pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan makanan (Supariasa, 2001).

Universitas Sumatera Utara


Status Gizi Anak Balita

Intake Gizi Status Infeksi

Pola asuh
Pemberian ASI/MP ASI, Pola
Ketahanan
Asuh, Penyediaan Makanan
Pangan Yankes&Kesling
Sapihan, Praktik Higiene
Asuh

Komunikasi, Informasi Dan Edukasi

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi


(Menurut Unicef, yang dikutip DinKes Propinsi Sumut, 2006).

2.5.4. Gizi buruk

Gizi buruk adalah keadaan di mana asupan zat gizi sangat kurang dari

kebutuhan tubuh. Umumnya gizi buruk ini di derita oleh balita karena pada usia

tersebut terjadi peningkatan energi yang sangat tajam dan peningkatan kerentanan

terhadap infeksi virus / bakteri (Almatsier, 2003).

Adapun klasifikasi gizi buruk adalah sebagai berikut:

1. Kwashiorkor

Dengan gejala klinis:

- wajah membulat dan sembab

Universitas Sumatera Utara


- edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis)

- pandangan mata sayu

- cengeng dan rewel

- rambut kusam, pirang dan mudah dicabut

- bercak merah coklat pada kulit (crazy pavement dermatosis)

- perubahan status mental, apatis dan rewel

- otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk

- anoreksia

- pembesaran hati

- sering disertai dengan anemia, diare dan infeksi

2. Marasmus

Dengan gejala klinis:

- tampak sangat kurus, tinggal tulang terbalut kulit

- wajah seperti orang tua

- cengeng dan rewel

- perut cekung

- iga gambang

- kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy

pant/pakai celana longgar)

- disertai dengan diare kronik dan sembelit

Universitas Sumatera Utara


3. Kwashiorkor-marasmus

Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan

marasmus, dengan BB/U <60% baku median World Health Organization-National

Centre for Health Statistics (WHO-NCHS) disertai edema yang tidak mencolok

(Depkes RI, 2000).

2.5.5. Penilaian Status Gizi Balita

Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering

disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah

WHO-NCHS. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dalam pemantauan status

gizi (PSG) anak balita tahun 1999 menggunakan baku rujukan WHO-NCHS. Pada

Loka Karya Antropometri tahun 1975 telah diperkenalkan baku Harvard.

Berdasarkan Semi Loka Antropometri, Ciloto, 1991 telah direkomendasikan

penggunaan baku rujukan WHO-NCHS.

Berdasarkan baku harvard status gizi dapat dibagi menjadi empat yaitu:

a. Gizi lebih untuk overweight, termasuk kegemukan dan obesitas.

b. Gizi baik untuk well nourished

c. Gizi kurang untuk under weight yang mencakup mild dan moderate PCM

(Protein Calori Malnutrition)

d. Gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmik-kwasiokor dan

kwasiokor.

Dalam klasifikasi status gizi menurut Rekomendasi lokakarya Antropometri,

1975 serta Puslitbang Gizi, 1978 digunakan lima macam indeks yaitu: BB/U, TB/U,

Universitas Sumatera Utara


LLA/U, BB/TB, dan LLA/TB. Baku yang digunakan adalah Harvard. Garis baku

adalah persentil 50 baku Harvard.

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Menurut Rekomendasi Lokakarya


Antropometri 1975 dan Puslitbang Gizi 1978
Kategori BB/U*) TB/U*) LLA/U BB/TB*) LLA/TB

Gizi baik 100-80 100-95 100-85 100-90 100-85

Gizi kurang < 80-60 < 95-85 < 85-70 < 90-70 < 85-75

Gizi buruk**) < 60 < 85 < 70 < 70 < 75

*) Garis baku adalah persentil 50 baku Harvard


**) Kategori gizi buruk termasuk marasmus, marasmik-kwashiokor dan kwashiokor.

Adapun cara yang dilakukan untuk menilai status gizi anak usia 0-5 tahun

adalah dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Indeks LLA/U

digunakan pada anak usia ½-5 tahun dan 6-17 tahun dan LLA/TB pada anak usia 1-

10 tahun. Setiap indeks tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-

masing (Irianto, 2007).

2.5.6. Upaya Pencegahan Gizi Buruk

Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai

upaya pencegahan terjadinya gizi buruk/KEP berat di tingkat rumah tangga yaitu:

- Ibu membawa anak untuk ditimbang di posyandu secara teratur setiap bulan

untuk mengetahui pertumbuhan berat badannya

- Ibu memberikan hanya ASI saja kepada bayi usia 0-6 bulan

- Ibu tetap memberikan ASI kepada anak sampai usia 2 tahun

Universitas Sumatera Utara


- Ibu memberikan MP-ASI sesuai usia dan kondisi kesehatan anak sesuai

anjuran pemberian makanan

- Ibu memberikan makanan beraneka ragam bagi anggota keluarga lainnya

- Ibu segera memberitahukan pada petugas kesehatan/kader bila balita

mengalami sakit atau gangguan pertumbuhan

- Ibu menerapkan nasehat yang dianjurkan petugas

2.5.7. Upaya Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia

Upaya penanggulangan masalah gizi dilakukan dalam bentuk pelayanan

secara langsung ke masyarakat, yaitu dilakukan dalam bentuk pelayanan gizi di

puskesmas dan posyandu. Pelayanan gizi di posyandu dengan sasaran khusus ibu dan

anak. Pelayanan secara tidak langsung dilakukan dalam bentuk penyuluhan gizi,

fortifikasi makanan dengan vitamin, pemakaian garam beryodium serta pemanfaatan

pekarangan (Suhardjo, 1999).

Perbaikan gizi kelompok balita dicoba dijangkau melalui Taman BALITA.

Program PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dan UPGK (Usaha Perbaikan Gizi

Keluarga). Di taman balita diadakan upaya rehabilitasi para penderita KKP dan

melatih para ibu dan mereka yang bertanggung jawab atas pengurusan balita di dalam

keluarga, bagaimana mengurus dan memasak serta menyediakan makanan bergizi

bagi anak-anak balita.

Proyek PMT berupa pemberian makanan bergizi, suplemen pada makanan

anak balita yang biasa dikonsumsi untuk terapi dan rehabilitasi anak-anak yang

kondisi gizinya tidak memuaskan. Kegiatan-kegiatan ini terutama ditujukan kepada

Universitas Sumatera Utara


masyarakat lapisan yang kurang mampu, baik di kota, tetapi terutama di daerah

pedesaan. Program UPGK merupakan upaya pendidikan terpadu untuk meningkatkan

produksi bahan makanan bergizi di lahan pekarangan sekitar rumah, dipergunakan

untuk konsumsi meningkatkan kondisi kesehatan gizi keluarga (Sediaoetama, 2008).

2.6. Kerangka Konsep

Pengaruh pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap tindakan ibu dalam

pencegahan gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Amplas Kota Medan

Tahun 2010 digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut:

Pengetahuan
Tindakan ibu
dalam pencegahan
Sosial ekonomi gizi buruk pada
- Pendidikan balita
- Pekerjaan
- Pendapatan
- Jumlah anggota
keluarga
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep, dapat dirumuskan definisi konsep variabel

penelitian sebagai berikut:

1. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003).

2. Sosial ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur sosial ekonomi

keluarga misalnya, harus melalui variabel-variabel: tingkat pendidikan,

pekerjaan dan pendapatan keluarga itu (Notoatmodjo, 2005).

Universitas Sumatera Utara


3. Tindakan adalah pelaksanaan atau mempraktekkan apa yang diketahui

ataupun disikapinya (Notoatmodjo, 2003).

2.7. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh pengetahuan terhadap tindakan ibu dalam pencegahan gizi

buruk pada balita.

2. Ada pengaruh sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah

anggota keluarga) terhadap tindakan ibu dalam pencegahan gizi buruk pada

balita.

Universitas Sumatera Utara

Vous aimerez peut-être aussi