Vous êtes sur la page 1sur 18

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI

A. Tinjauan Teorotis
1. Konsep Dasar Halusinasi
a. Pengertian
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).
(Direja, 2011, Hal. 109)
Halusinasi adalah terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana
tidak terdapat stimulus. (Yosep, 2010, hal. 217)
halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecap, perabaan, ataupun pengiduaan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Selain itu perubahan
persepsi sensori : halusinasi bias juga diartikan sebagai persepsi sensori
tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa
adanya rangsangan dari luar meliputi semua sitem penginderaan (
pendengeran, penglhatan, penciuman, perabaan, dan pengecapan ). (Fitria,
2009, hal. 51)
b. Jenis – Jenis Halusinasi
Ada beberapa halusinasi (Maramis, 2005, hal.119) membagi halusinasi
menjadi 10 jenis meliputi:
1) Halusinasi Pendengaran (auditory-hearing voices or sounds)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara
bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar
sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara
tersebut ditunjukkan pada penderita sehingga tidak jarang penderita
bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut. Suara tersebut
dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat bahkan mungkin datang
dari tiap bagian tubuhnya sendiri. Suara bisa menyenangkan,
menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman, mengejek,
memaki atau bahkan yang menakutkan dan kadang-kadang mendesak
atau memerintah untuk berbuat sesuatu seperti membunuh atau
merusak.
2) Halusinasi Penglihatan (visual-seeing persons or thinks)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik).
Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran,
menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.
3) Halusinasi Penciuman (olfaktory-smelling odors)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan
dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita.
Bau dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita
sebagai suatu kombinasi moral.
4) Halusinasi Pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi
penciuman penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik
lebih jarang dari halusinasi gustatorik.
5) Halusinasi Raba (taktile-feeling bodily sensation)
Merasa diraba , disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang
bergerak di bawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan
skizofrenia.
6) Halusinasi kinestetik :
Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan, atau anggota
badannya bergerak ( umpamanya anggota badan bayangan atau
“phantomlimb” ).
7) Halusinasi visceral :
Perasaan tertentutimbul di dalam tubuhnya.
8) Halusinasi hipnagogik :
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum
tertidur persepsi sensorik berkerja salah.
9) Halusinasi hipnopompik :
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum
terbangun sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula
pengalaman halusinatorik dalam impian yang normal.
10) Halusinasi histerik :
Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.

c. Psikopatologi
1) Halusinasi merupakan salah satu respon persepsi paling maladaptif
individu dalam rentang respon neurobiologi (Direja, 2010, hal.110).
rentang respon tersebut dapat digambarkan :

Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis  Kadang-kadang  Waham


 Persepsi akurat proses pikir  Halusinasi
 Emosi konsisten terganggu  Kerusakan proses
dengan  Ilusi emosi
pengalaman  Emosi berlebihan  Perilaku tidak
 Perilaku cocok atau kurang terorganisasi
 Hubungan sosial  Perilaku yang  Isolasi sosial
harmonis tidak biasa
 Menari diri

Gambar 1. Rentang Respon pada Klien dengan GangguanNeurobiologis

2) Halusinasi dibagi didalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang


dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya (Direja, 2010,
hal. 110), yaitu :
TABEL 1
FASE – FASE HALUSINASI, KARAKTERISTIK
DENGAN PERILAKUNYA

Fase Halusinasi Karakterisrik Perilaku Klien


1 2 3
Fase 1 : Klien mengalami perasaan mendalam Tersenyum atau tertawa yang
Comforting seperti ansietas, kesepian, rasa tidak sesuai, menggerakkan bibir
Ansietas sedang, bersalah takut dan mencoba untuk tanpa suara, pergerakan mata yang
Halusinasi berfokus pada pikiran menyenangkan cepat, respon verbal yang lambat
menyenangkan untuk meredakan ansietas. jika sedang asyik, diam dan asyik
Individu mengenali bahwa pikiran – sendiri.
pikiran dan pengalaman sensori jika
ansietas dapat ditangani.
Nonpsikotik
Fase 2 : Pengalaman sensori menjijikkan dan Meningkatnya tanda – tanda
Condeming menakutkan. Klien mulai lepas kendali sistem syaraf otonom akibat
Ansietas berat, dan mungkin mencoba untuk ansietas seperti peningkatan
Halusinasi menjadi mengambil jarak dirinya dengan denyut jantung, pernafasan dan
menjijikkan sumber yang dipersepsikan. Klien tekanan darah.
mungkin mengalami dipermalukan Rentang perhatian menyempit.
oleh pengalaman sensori dan menarik Asyik dengan pengalaman sensori
diri dari orang lain. dan kehilangan kemampuan
Psikotik ringan membedakan halusinasi dengan
realita.
Fase 3 : Klien berhenti menghentikan Kemauan yang dikendalikan
Controlling perlawanan terhadap halusinasi dan halusinasi akan lebih diikuti.
Ansietas berat, menyerah pada halusinasi tersebut. Isi Kesukaran berhubungan dengan
pengalaman sensori halusinasi menjadi menarik. Klien orang lain. Rentang perhatian
menjadi berkuasa mungkin mengalami pengalaman hanya beberapa detik atau menit.
kesepian jika sensori halusinasi Adanya tanda – tanda fisik
berhenti. ansietas berat : berkeringat,
Psikotik tremor, tidak mampu mematuhi
perintah.
Fase 4 : Pengalaman sensori menjadi Perilaku teror akibat panik.
Conquering mengancam jika klien mengikuti Potensi kuat suicide atau
Panik perintah halusinasi. Halusinasi homicide.
Umumnya menjadi berakhir dari beberapa jam atau hari Aktivitas fisik merefleksikan isi
melebur dalam jika tidak ada intervensi terapeutik. halusinasi seperti perilaku
halusinasinya kekerasan, agitasi, menarik diri
atau katatonia.
Tidak mampu berespon terhadap
perintah yang komplek.
Tidak mampu berespon lebih dari
satu orang.
3) Tanda dan gejala
bicara kacau, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan mendengar
suara suara yang tidak jelas dari mana sumbernya, menarik diri,
mudah tersinggung, marah, ekspresi wajah tegang tidak dapat
membedakan hal yang nyata dan tidak nyata, ketakutan, mengamuk,
sikap curiga dan bermusuhan, bengong, tidak mau mengurus diri,
mengumik-ngumik dan afek datar.
d. Etiologi
1) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya
respon neurobiologi seperti pada halusinasi (Yosep, 2010, Hal. 218)
antara lain :
a) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak
mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri
dan lebih rentan terhadap stres.
b) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
c) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan yang dialami seseorang maka di dalam tubuh
akan dihasilka suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan
accetylcholin dan dopamin.
d) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil study
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan
yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2) Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi yang berkontribusi pada munculnya
respon neurobiologi seperti pada halusinasi (Yosep, 2010, Hal.218)
antara lain :
a) Perilaku
Respon klien tarhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, perasaan tidak aman gelisah dan bingung, perilaku
merusak didi, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak
nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1193 dalam yosep (2010)
mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas
hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang
dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual
sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :
(1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
(2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.
Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap ketakutan tersebut.
(3) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari
ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua prilaku klien.
(4) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal
dan comforting, klien menganggap hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Klien asik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak didapatkan di dunia nyata.isi halusinasi
dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain
idividu cenderung untuk itu, aspek penting dalam
melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
pengalaman interpersonal yang memuaskan serta
mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak
berlangsung.
(5) Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi dimulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah
dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.
Irama srikardiannya terganggu, karena ia sering tidur malam
dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan
tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi
lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya
memburuk.
3) Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan
halusinasi meliputi :
a) Regresi, menjadi malas beraktivitas
b) Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu
benda.
c) Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan
stimulus internal.
d) Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien.

e. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada perubahan persepsi sensori : halusinasi
dengan mengacu pada diagnosa medis skizofrenia yaitu :
1) Terapi Somatik
Pengobatan penderita skizofrenia ditujukan pada gejala-gejala
yang menonjol. Apabila gejala yang menonjol berupa gaduh, gelisah,
agresif, delusi, (waham), halusinasi, sulit tidur dapat diberikan obat
antipsikosis dosis efektif besar seperti chlorpromazine (CPZ) 100 mg
dalam bentuk injeksi atau oral sesuai dengan keadaan klien. Dosis ini
diberikan 100-500 mg/hari dan dapat dinaikan sesuai kebutuhan
penderita skizofrenia dengan delusi menonjol, tidak ada atau kurang
gangguan tidur, tidak begitu gaduh dapat diberi Trifluferasine (TFP) 5
mg (1-2 kali sehari) atau Halloperidol 2 mg (2 kali sehari). Penderita
harga diri rendah dapat diberikan Stelazine 5 mg (1-3 kali sehari) yang
merupakan obat penenang dengan daya kerja anti psikotik.
2) Terapi Kejang Listrik
Terapi elektrokonvulsif (elektroconvulsive therapy, ECT)
mengindikasi kejang grand mal secara buatan dengan cara
mengalirkan arus listrik melalaui elektrode yang dipasang pada satu
atau kedua plipis. Jumlah terapi yang di berikan dalam satu rangkaian
berpariasi sesuai dengan masalah awal pasien dan respons therapiutik
yang di kaji selama terapi. Rentang yang paling umum untuk
mengatasi gangguan efektif adalah 6-12 terapi, sedangkan untuk
pasien skizofrenia jumlah terapi lebih banyak lagi. ECT biasanya
diberikan dua sampai tiga kali dalam seminggu dengan hari yang
bergantian walaupun terapi ini dapat diberikan lebih sering atau lebih
jarang.
Indikasi ECT adalah :
o Penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap obat
antidepresi atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat.
o Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak berespon lagi
terhadap obat.
o Pasien dengan bunuh diri akut yang sudah tidak menerima
pengobatan untuk dapat mencapai efek terapiutik
o Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah
daripada efek terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia
dengan blok jantung, dan respon kehamilan.
3) Psikotherapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah
emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih
dalam hubungan profesional secara sukarela dengan maksud hendak
menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala yang ada,
mengoreksi prilaku yang terganggu dan mengembangkan
pertumbuhan kepribadian secara positif. (Direja, 2011, hal. 168)
4) Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila tidak menarik diri
dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan bersama
(Maramis, 2005, Hal. 232). Di dalam rehabilitas terdapat terapi
aktivitas kelompok yang dibagi menjadi empat yaitu : terapi aktivitas
kelompok stimulasi kognitif atau persepsi (klien dilatih untuk
mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah
dialami), terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori(aktivitas
digunakan sebagai stimulus pada sensori klien), terapi aktivitas
kelompok orientasi realitas(klien diorientasikan pada kenyataan yang
ada disekitar klien, yaitu diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang
pernah mempunyai hubungan dengan klien), terapi aktivitas kelompok
sosislisasi(klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu
yang ada disekitar klien)( Keliat, 2005, hal.13).
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Halusinasi
Proses Keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu
pelayanan optimal. Dengan menggunakan proses keperawatan dapat terhindar
dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisi tidak unik bagi individu
klien. (Keliat, 2005, Hal. 1)
Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar
utama dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
jiwa. Hal ini penting karena peran perawat dalam asuhan keperawatan jiwa
adalah membantu klien untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Proses Keperawatan terdiri atas 4 langkah yang
sistematis yang dijabarkan sebagai berikut :
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data perumusan
masalah klien, pohon masalah, diagnosa keperawatan. Data yang
dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis sosial dan spiritual (Keliat,
2005, Hal. 3)
1) Pengumpulan data
a) Persepsi dan harapan klien dan keluarga terhadap masalah dan
pemecahannya. Klien biasanya tidak menyadari dirinya sakit dan
tidak menyadari adanya masalah. Persepsi keluarga terhadap
masalah biasanya dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan
keperawatannya.
b) Pengkajian psikologis
(1) Status emosi
Biasanya klien bicara sendiri, sering membentak teman, sering
mengamuk, sering bengong, kalau diajak berbicara pandangan
tajam, kecemasan berat atau panik.
(2) Konsep diri
(a) Gambaran diri (body image)
Merupakan sikap klien terhadap tubuhnya baik disadari
maupun tidak disadari yang meliputi ukuran, fisik,
penampilan dan potensi tubuh.
(b) Ideal diri (self ideal)
Merupakan persepsi klien tentang bagaimana dia
bertingkah laku berdasarkan standar pribadi, gambaran
diri, aspirasi, tujuan yang ingin dicapai.
(c) Harga diri
Merupakan pendapat klien tentang kesejahteraan atau nilai
yang telah dicapai dengan menganalisa berapa banyak
kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya.
(d) Peran diri
Merupakan serangkain pola tingkah laku yang diharapkan
oleh masyarakat yang dihubungkan dengan fungsi klien
dalam kelompok sosialnya.
(e) Identitas diri
Merupakan kesadaran klien untuk menjadi diri sendiri
yang tidak ada duanya dengan mensintesa semua
gambaran diri sebagai suatu kesatuan utuh dan perasaan
berbeda dengan orang lain.
(3) Gaya komunikasi
Bicaranya cepat, sering terjadi penyimpangan komunikasi,
bicaranya keras.
(4) Pola interaksi
Interaksi akan menjadi terbatas dan hanya terjadi dengan orang
yang dipercaya, sering bengong.
(5) Pola pertahanan yang sering dipakai adalah ngamuk.
c) Pengkajian sosial
(1) Pendidikan dan pekerjaan
Hal ini tidak mutlak mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa
atau perubahan perilaku.
(2) Hubungan sosial
Klien sulit untuk melakukan hubungan sosial dengan
lingkungannya.
(3) Faktor sosial budaya
Budaya tertentu dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
jiwa, biasanya klien berasal dari masyarakat yang mempunyai
berbagai aturan yang menekan seperti pingitan.
d) Pengkajian keluarga
Klien biasanya mempunyai keluarga yang menderita kelainan
jiwa. Hubungan atau komunikasi dalam keluarga juga
mempengaruhi gangguan jiwa. Klien lebih banyak berasal dari
keluarga yang hubungan interen dan antara keluarganya kurang
baik serta kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua atau
pasangan.
e) Pengkajian kesehatan fisik
Kesehatan fisik seseorang tidak mutlak dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan jiwa.
f) Status mental
(1) Kebenaran data
Informasi yang diberikan biasanya sulit dipahami dan
dianalisis karena sering memberikan keterangan yang tidak
sesuai.
(2) Status sensorik
Perhatiannya cepat berubah, klien sering melamun, tersenyum
dan menangis tanpa sebab.
(3) Status persepsi
Halusinasi ada, klien mengatakan mendengarkan bisikan –
bisikan.
(4) Status motorik
Klien biasanya mengalami peningkatan aktivitas.
(5) Afek
Sering terjadi penumpulan afek, pendataran afek atau afek
yang tidak sesuai.
(6) Orientasi
Sering mengalami disorientasi baik disorientasi tempat, waktu
dan orang.
(7) Pikiran
Sering mengalami gangguan dalam arus pikiran atau
tindakannya bukan berasal dari dirinya.
(8) Delusi atau waham
Biasanya terjadi delusi atau waham terutama waham curiga.
(9) Insight
Penghayatan terhadap dirinya kurang, klien tidak mampu
menghayati berbagai hal yang dapat menimbulkan berbagai
masalah bagi dirinya.Prilaku klien yang mengalami halusinasi
sangat tergantung pada jenis halusinasinya, apakah
halusinasinya merupakan halusinasi pendengaran, penglihatan,
penghidu, pengecapan, peraba, kinesthetik atau chanesthetik.
Apabila perawat mengidentifikasikan adanya tanda- tanda dan
prilaku halusinasi, maka pengkajian selanjutnya harus
dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasinya
saja, validasi informasi tentang halusinasinya sangat
diperlukan meliputi :
(a) Isi halusinasi yang dialami klien
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang
didengar, berkata apabila halusinasi yang dialami adalah
halusinasi pendengaran, atau bentuk bayangan yang dilihat
oleh klien bila halusinasinya adalah halusinasi
penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi
penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi
pengecapan, atau merasakan apa yang dipermukaan tubuh
bila halusinasi perabaan.
(b) Waktu dan frekwensi halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien
kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari,
seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul.
Bila memungkinkan klien diminta menjelaskan kapan
persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut. Informasi ini
penting untuk mengidentifikasikan pencetus halusinasi dan
menentukan bila mana klien perlu diperhatikan saat
mengalami halusinasi.
(c) Situasi pencetus halusinasi
Perawat mengidentifikasi situasi yang dialami klien
sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan
menanyakan kepada klien kejadian yang dialami sebelum
halusinasi muncul. Selain itu perawat juga dapat
mengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul
halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
(d) Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah
mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apa
yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman
halusinasi. Apakah klien mampu mengontrol stimulasi
halusinasi atau sudah tidak berdaya terhadap stimulasi.

2) Analisa data
Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah
menganalisa data untuk merumuskan masalah – masalah yang dihadapi
klien. Data tersebut diklasifikasikan menjadi data subyektif dan
obyektif.
a) Data subyektif
Menyatakan mendengar suara – suara dan melihat sesuatu
yang tidak nyata, tidak percaya terhadap lingkungan, sulit tidur,
tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi, rasa berdosa,
menyesal dan bingung terhadap halusinasi, perasaan tidak aman,
merasa cemas, takut dan kadang – kadang panik kebingungan.
b) Data obyektif
Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata,
pembicaraan kacau kadang tidak masuk akal, sulit membuat
keputusan, tidak perhatian terhadap perawatan dirinya, sering
manyangkal dirinya sakit atau kurang menyadari adanya masalah,
ekspresi wajah sedih, ketakutan atau gembira, klien tampak gelisah,
insight kurang, tidak ada minat untuk makan.

3) Pohon Masalah
Pohon masalah adalah kerangka berpikir logis yang berdasarkan
prinsip sebab dan akibat yang terdiri dari masalah utama, penyebab dan
akibat. (Fitria,2009, hal. 60)

Resiko tinggi perilaku Akibat


kekerasan

Masalah
Perubahan sensori : halusinasi
utama

Kerusakan Interaksi sosial, :


menarik diri Penyebab

Harga diri rendah kronis

Gambar 2. Pohon masalah Halusinasi


4) Diagnosa keperawatan
Perumusan diagnosa keperawatan merupakan langkah keempat dari
pengkajian setelah pohon masalah. Diagnosa keperawatan adalah
penilaian klinis tentang respon aktual atau potensial individu, keluarga
atau masayarakat terhadap masalah kesehatan klien/proses kehidupan
(Carpenito dalam Keliat, 2005, Hal.2 )
Rumusan diagnosa dapat PE yaitu permasalahan (P) yang
berhubungan dengan etiologi (E) dan keduanya ada hubungan sebab
akibat secara ilmiah. Rumusan PES sama dengan PE hanya ditambah
simptom (S) atau gejala sebagai data penunjang.
Dalam keperawatan jiwa ditemukan diagnosa anak – beranak,
dimana jika etiologi sudah diberikan tindakan dan permasalahan belum
selesai maka P dijadikan etiologi pada diagnosa yang baru, demikian
seterusnya. Hal ini dapat dilakukan karena permasalahan tidak selalu
disebabkan oleh satu etiologi yang sama sehingga walaupun etiologi
sudah diberi tindakan maka permasalahan belum selesai (Keliat, 2005
hal. 6). Dari data yang muncul diatas kemudian dapat dirumuskan
masalah sehingga ditemukan diagnosa keperawatan, yaitu :
a) Risiko tinggi melakukan kekerasan yang berhubungan dengan
halusinasi dengar dan lihat.
b) Perubahan sensori : halusinasi dengar dan lihat yang berhubungan
dengan menarik diri.
c) Kerusakan interaksi sosial : menarik diri yang berhubungan dengan
harga diri rendah kronis.
b. Perencanaan

Perencanaan
Dx. Kep. Intervensi
Tujuan Umum Tujuan Khusus
3 4 5 6
Resiko tinggi melakukan Klien tidak 1. Klien dapat membina hubungan 1. Bina hubungan saling percaya
kekerasan yang melakukan saling percaya untuk 2. Ciptakan lingkungan yang hangat
berhubungan dengan kekerasan mengendaliakan emosinya. 3. Dorong dan beri kesempatan klien untuk mengucapkan perasaan
halusinasi dengar dan
4. Mau berjabat tangan
lihat.
5. Menunjukkan rasa senang, kontak mata ada
2. Klien dapat mengenal 1. Adakan kontak sering dan singkat.
halusinasinya 2. Observasi perilaku (verbal dan non verbal) yang berhubungan dengan
halusinasi
3. Terima halusinasi sebagai hal yang nyata bagi klien dan tidak nyata bagi
perawat
4. Identifikasi bersama klien tentang waktu munculnya halusinasi dan frekwensi
timbulnya halusinasi
5. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaanya ketika halusinasi muncul
6. Diskusikan dengan klien mengenai perasaanya saat terjadi halusinasi
3. Klien dapat mengendalikan 1. Identifikasi bersama klien tindakan yang biasa dilakukan bila suara-suara
halusinasinya tersebut ada
2. Beri penguatan dan pujian terhadap tindakan klien yang positif
3. Bersama klien merencanakan kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi
4. Diskusikan cara mencegah timbulnya halusinasi
5. Contoh : bicara dengan orang lain, melakukan kegiatan, mengatakan pada
suara saya tidak mau dengar.
6. Dorong klien untuk memilih cara yang akan digunakannya dalam menghadapi
halusinasinya.
7. Beri penguatan dan pujian terhadap pilihan klien yang benar.
8. Dorong klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan cara yang telah dipilih
dalam menghadapi halusinasi.
9. Diskusikan dengan klien hasil upaya yang telah dilakukan
10. Beri penguatan atas upaya yang berhasil dan beri jalan keluar supaya yang
belum berhasil
4. Klien mendapat dukungan untuk 1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga
mengendalikan halusinasinya. 2. Kaji pengetahuan keluarga tentang halusinasi dan tindakan yang dilakukan
dalam merawat klien.
3. Beri penguatan dan pujian terhadap tindakan yang positif
4. Diskusikan dengan keluarga tentang halusinasi, tanda dan cara merawat klien
di rumah.
5. Anjurkan keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien di rumah
6. Beri penguatan dan pujian terhadap tindakan yang tepat.
5. Klien dapat menggunakan obat 1. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang obat untuk mengendalikan
untuk mengendalikan halusinasi.
halusinasinya 2. Bantu klien untuk pastikan bahwa klien minum obat sesuai dengan program
dokter.
3. Observasi tanda dan gejala terkait efek dan efek samping obat.
4. Diskusikan dengan dokter tentang efek dan samping obat.
Perubahan sensori Klien dapat 1. Klien dapat membina hubungan 1. Bina hubungan saling percaya:
perseptual : halusinasi berhubungan saling percaya dengan perawat. i. Sikap terbuka dan empati
dengar dan lihat yang dengan orang ii. Terima klien apa adanya
berhubungan dengan lain, lingkungan iii. Sapa klien dengan ramah
menarik diri sehingga iv. Tepati janji
halusinasi dapat v. Jelaskan tujuan pertemuan
dicegah
vi. Pertahankan kontak mata selama interaksi
vii. Penuhi kebutuhan dasar klien saat itu.
2. Klien dapat mengenal perasaan 1. Kaji pengetahuan klien tentang prilaku menarik diri
yang menyababkan prilaku 2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan penyabab menarik
menarik diri. diri
3. Diskusikan bersama klien tentang prilaku menarik dirinya
4. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaanya.
3. Klien dapat mengetahui 1. Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
keuntungan berhubungan dengan 2. Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat berhubungan dengan orang
orang lain. lain.
3. Beri pujian terhadap kemampuan klien dalam menyebutkan manfaat
berhubungan dengan orang lain.
4. Klien dapat berhubungan dengan 1. Dorong klien untuk menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain.
orang lain secara bertahap 2. Dorong dan bantu klien berhubungan dengan orang lain secara bertahap antara
lain:
3. Klien – perawat
4. Klien – perawat – perawat lain
5. Klien – perawat – perawat lain – klien lain
6. Klien – kelompok kecil Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
7. Klien – keluarga
8. Libatkan klien dalam kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dan Activity
Daily Living (ADL) ruangan.
9. Reinforcement positif atas keberhasilan yang telah dicapai klien.
5. Klien mendapat dukungan 1. Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan anggota keluarga.
keluarga dalam berhubungan 2. Dorong Klien untuk mengemukakan perasaan tentang keluarga
dengan orang lain. 3. Dorong klien untuk mengikuti kegiatan bersama keluarga seperti : makan,
ibadah dan rekreasi.
6. Keluarga dapat mengunjungi 1. Jelaskan pada keluarga kebutuhan klien
klien di rumah sakit setiap 2. Bantu keluarga untuk tetap mempertahankan hubungan dengan klien, yaitu
minggu secara bergantian memperlihatkan perhatian dengan meningkatkan kunjungan ke RS.
3. Beri Klien penguatan misalnya dengan membawakan makanan kesukaan klien.
c. Pelaksanaan
Pelaksanaan dikerjakan oleh tim keperawatan sesuai dengan rencana
tindakan yang telah dibuat bersama klien, antara lain : membina hubungan
saling percaya, mendorong klien untuk mengungkapkan masalahnya,
melatih klien untuk mengenal dan mengendalikan halusinasi, mengkaji
pengetahuan keluarga tentang halusinasi dan tindakan yang dilakukan
dalam merawat klien, mendiskusikan dengan klien dan keluarga tentang
manfaat berhubungan dengan orang lain, memberi kesempatan pada klien
untuk mengungkapkan perasaan penyebab klien tidak mau bergaul dan
mengkaji penyebab tidak mau komunikasi dengan orang lain.

d. Evaluasi
Evaluasi yang ingin dicapai diantaranya yaitu : klien tidak melakukan
tindakan yang dapat melukai dirinya sendiri dan orang lain, klien dapat
meningkatkan keterbukaan dan hubungan saling percaya, klien mampu
menyebutkan tindakan yang bisa dilakukan saat halusinasi muncul, klien
dapat mengenal dan mengendalikan halusinasinya, klien mau
mengungkapkan perasaannya dan klien dapat menjaga kebersihan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar.2012.Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT


Refika Aditama.
Direja, Ade Herman Surya.2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:
Nuha Medika
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono.2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta:
Salemba Medika)

Vous aimerez peut-être aussi