Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ASKEP EPILEPSI
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
1. ARVIE NURIL IKHSAN
2. FITRI WULANDARI
3. JIHAN MARSELIA
4. MILA PEBRIYANTI
5. REGINA ANANDIA
6. WIRA ANISA
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini . Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi kami khususnya .
Penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
PEMBAHASAN
A. DEFINISI EPILEPSI
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data World
Health Organization (WHO), 2001 menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk
dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat
pada pria.
Epilepsi secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
epilambanmein yang berarti ‗serangan‘ (Harsono, 1999). Kata ini menandakan ada
sesuatu dari luar badan seseorang yang menimpa orang tersebut sehingga orang
tersebut jatuh. Tahun 1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan epilepsi
sebagai penyakit yang terjadi karena ketidakstabilan dan kerusakan pada jaringan
saraf di otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita
(Indrayati, 2004).
Epilepsi merupakan penyakit yang ditandai dengan kejadian kejang yang
berulang dan reversibel. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi
klinik utama epilepsi disebabkan oleh berbagai hal, yang dapat menimbulkan kelainan
fungsional (motorik, sensorik, otonom atau psikis). Serangan epilepsi berkaitan
dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral yang berlebihan dan berlangsung
lokal. Pelepasan mendadak muatan listrik memberikan gerakan maupun persepsi
abnormal yang berlangsung singkat. Secara prinsip, serangan terjadi berulang kali
dengan pola yang sama, tanpa memandang tempat, waktu dan keadaan (Harsono,
1999). Kejang sendiri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak sementara, tiba-
tiba, yang dapat tampak sebagai kehilangan aktivitas motorik abnormal, kelainan
tingkah laku, gangguan sensoris, disfungsi autonom dengan perubahan atau gangguan
fungsi kesadaran (Hay, 2003).
Gambaran klinis serangan epilepsi tergantung pada fungsi daerah otak yang
mencetuskan lepas muatan listrik abnormal serta jalur-jalur yang dilalui oleh lepas
muatan listrik tersebut atau bagian disekitar jalur tersebut, sehingga manifestasi
serangan epilepsi dapat terjadi sebagai serangan beraneka ragam dan kompleks
(Gunawan, 1998).
Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa kejang umum, kejang fokal, penurunan
kesadaran, kelainan tingkah laku sampai manifestasi klinik lainnya yang penyebabnya
masih sulit dimengerti (Harsono, 1999). Adanya variasi dalam manifestasi klinis ini,
maka cukup sulit membedakan jenis epilepsi secara klinis. Bangkitan epilepsi tidak
selalu bersifat eksitasi atau kejang melainkan dapat juga bersifat fenomena negatif
berupa menghilangnya kesadaran dan tonus otot, sehingga kadang-kadang epilepsi
sulit dibedakan dengan penyakit lain yang mirip gejalanya, maka diperlukan
pemeriksaan penunjang lain seperti EEG (Andarini, 2007).
B. KLASIFIKASI EPILEPSI
2) Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi
pada daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
c) Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba
mengalami kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien
terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada
salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan kepala
yang terkulai.
d) Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara
cepat, bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot
tertentu. Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien
mengalami hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.
C. ETIOLOGI EPILEPSI
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan listrik
secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis normal dan stabilitas saraf,
dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi medis yang dapat
menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga luka trauma pada otak
(Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis
terapi yang tepat bagi pasien.
Kejang terjadi akibat pengeluaran sejumlah neuron yang abnormal akibat dari
berbagai proses patologi sehingga berdampak pada otak. Epilepsi bukanlah suatu
penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena suatu penyakit. Secara
umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika terjadinya pelepasan
aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan
terganggunya kerja otak (Harsono, 1999).
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
2) Epilepsi sekunder
Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul ialah akibat dari
adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan bawaan
sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada
waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini bersifat
reversibel, misalnya karena tumor, trauma, luka kepala, infeksi atau radang
selaput otak, penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU) dan
kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan.
Epilepsi sekunder merupakan 1/3 kasus yang diketahui penyebabnya.
Kelainan dapat terjadi bawaan atau pada masa perkembangan anak (Pedley,
1995). Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala,
trauma persalinan, demam tingi, stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah
kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis,
meningitis) dan reaksi alergi. Untuk menentukan faktor penyebab dapat
diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali.
D. PATOGENESIS EPILEPSI
Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi neuron. Perubahan-
perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion
ekstraseluler, voltage-gated-ion-channel opening dan menguatnya sinkroni neuron
sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.
Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial
listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik (Shih,
2007).
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion-ion dalam ruang ekstraseluler dan
intraseluler, serta gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron
(Harsono, 2001). Aktivitas dari ion-ion tersebut yang menimbulkan potensial
membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif
membran neuron, yakni membran mudah dilewati oleh ion K dari ekstraseluler ke
intraseluler dan kurang untuk ion Ca, Na dan Cl. Perbedaan konsentrasi yang dibuat
ini yang akan menimbulkan potensial membran.
Beberapa mekanisme yang dapat mempengaruhi keseimbangan hipereksibilitas
antara lain (Rogers dan Cavazos, 2008):
a) Perubahan distribusi, jumlah, tipe dan kandungan kanal ion pada
membran saraf. Faktor-faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat
merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran
mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel.
Influks dari Ca ini akan menimbulkan letupan depolarisasi membran
dan melepas muatan listrik yang berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Cetusan listrik abnormal ini yang kemudian menstimulasi
neuron-neuron sekitarnya yang terkait di dalam sel. Sifat khas dari
epilepsi ialah terjadinya penghentian serangan akibat proses inhibisi.
Diduga sistem inhibisi ini merupakan pengaruh neuron-neuron
disekitarnya. Keadaan lain yang menyebabkan hentinya serangan
epilepsi ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak (Shih, 2007);
E. DIAGNOSIS EPILEPSI
Diagnosis epilepsi ditegakkan apabila ada kejang berulang yang tidak disertai
demam dan tidak membutuhkan provokasi. Biasanya didasarkan pada riwayat
penyakit dan pemeriksaan Electroenchepalography (EEG), namun dapat juga dengan
pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak, Single-photon Emission
Computed Tomography (SPECT), Positron Emission Tomography (PET),
Magnetoencephalography (MEG) yang dapat digunakan untuk menentukan etiologi
epilepsi, letak fokus dan mengklasifikasikan sindroma epilepsi. EEG masih menjadi
standar baku pada penegakan diagnosis epilepsi.
Pemeriksaan EEG dapat menentukan prognosis pada kasus tertentu dan sebagai
pertimbangan dalam penghentian obat antiepilepsi. Diagnosis pasti dengan
menyaksikan sendiri secara langsung bangkitan epilepsi jarang sekali dilakukan,
sehingga pemeriksaan yang teliti dan pemeriksaan EEG sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis tipe bangkitan epilepsi dan penyakit-penyakit neurologi yang
mungkin berhubungan atau mencetuskan bangkitan epilepsi misalnya ensefalopati dan
defek otak fokal (Andarini, 2007). Namun gangguan fungsi otak tidak selalu
tercermin dalam rekaman EEG. Kenyataannya didapat bahwa gambaran EEG normal
dapat terjadi pada anak dengan kelainan otak yang jelas dan sebaliknya, gambaran
EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat, rekaman EEG yang
normal tidak mengesampingkan adanya epilepsi (Lamsudin, 1992). Gambaran EEG
abnormal paling sering ditemukan pada kejang parsial kompleks dan epilepsi absence
(Blume, 1992). Sebanyak 10 – 40% pasien epilepsi tidak menunjukkan gambaran
EEG abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormal ringan dan tidak khas dapat
dijumpai pada 15% populasi normal (Pedley dkk., 1995).
Dalam beberapa kasus, khususnya pada kejang tipe GTC (atau mungkin CP),
kadar prolaktin serum dapat meningkat. Kadar prolaktin serum yang didapat 10 – 20
menit dari kejang tonik klonik dapat berguna dalam membedakan aktivitas kejang
dengan aktivitas pseudoseizure (Chen dkk., 2005).
F. PENGOBATAN EPILEPSI
Tujuan utama pengobatan epilepsi pada anak adalah tidak hanya membebaskan
pasien dari serangan kejang tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat, tetapi juga
mengoptimalkan kualitas hidup penderita epilepsi (Gidal dan Garnett, 2005).
Prinsip penatalaksanaan terapi pada pasien pediatrik sedikit lebih kompleks
dibandingkan kelompok pasien lainnya dan memerlukan perhatian yang khusus.
Penentuan diagnosis epilepsi yang tepat akan membantu dalam menentukan terapi,
meramalkan prognosis dan pemberian informasi kepada pasien dan keluarganya.
Banyak dokter tidak mulai memberikan pengobatan hingga bangkitan kejang yang
selanjutnya terjadi. Sebaliknya beberapa dokter lain, langsung memberikan
pengobatan ketika kejang pertama terjadi (Rogers dan Cavazos, 2008). Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2007
merekomendasikan untuk memulai memberikan OAE setelah kejang pertama pada
keadaan sebagai berikut :
a) Kejang parsial dan kejang umum tonik klonik, termasuk kejang berulang dalam
1 hari dan status epileptikus.
b) Kejang berikut biasanya datang dengan keluhan sering kejang, seperti absence,
mioklonik, atau atonik.
c) Kejang yang memerlukan penanganan khusus, seperti kejang neonatus. Tujuan
dari pengobatan epilepsi pediatrik adalah dapat mengendalikan
Obat antiepilepsi merupakan obat yang mampu mengontrol jenis kejang tertentu
yang sesuai dengan mekanisme aksi obat tersebut. Obat antiepilepsi digolongkan
dalam 2 periode (Shih, 2007), yaitu:
a) Senyawa lama, terdiri dari karbamazepin, klonazepam, ethosuksimid,
fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan asam valproat. Senyawa ini telah
ditemukan, digunakan cukup banyak dan sering kali dijadikan obat-obat lini
pertama.
b) Senyawa baru, terdiri dari felbamat, gabapentin, lamotrigin, topiramat,
levetiracetam, oxcarbazepin, zonisamid dan pregabalin. Obat ini baru
ditemukan dan digunakan sehingga data-data mengenai penggunaan obat
tersebut masih sedikit. Selain itu, ada obat yang diciptakan sebagai terapi
adjuvant/add-on. Akan tetapi, lamotrigin yang pada awalnya digunakan
sebagai adjuvant kini telah dipertimbangkan menjadi lini pertama bagi jenis
epilepsi umum (Wells, 2009).
Ada 4 mekanisme aksi utama OAE yaitu:
d) Mengikat kanal Ca
Contoh obat: Ethosuksimid, Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin,
Zonisamid.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba
disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya
tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
Riwayat penyakit dahulu:
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
Tumor Otak
Kelainan pembuluh darah
Demam.
Strok
gangguan tidur
penggunaan obat
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak
ada memar, tidak jatuh.
Intervensi Rasional
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti
mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu Sebagai informasi pada perawat untuk
jika merasa ada sesuatu yang tidak segera melakukan tindakan sebelum
nyaman, atau mengalami sesuatu yang terjadinya kejang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan terjadinya
kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang Memberi informasi pada perawat tentang
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan Dukungan psikologis dan motivasi dapat
motivasi pada pasien membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi
perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok Memberikan kesempatan untuk mendapatkan
penyokong, seperi yayasan epilepsi dan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
sebagainya. masalah dari orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,
kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman Menghilangkan stigma buruk terhadap
dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi
menular dapat menular).
D. EVALUASI
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 22 bulan
Tanggal lahir : 23 juli 2012
Agama : Islam
Alamat : Jl. Saco Gang taman sari II, Ragunan – Pasar Minggu
Tanggal masuk rumah sakit : 20 mei 2014
No. rekam medis : RSUS.0000532456
Anamnesa
Keluhan utama
Kejang 2 x sejak pagi
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kejang 2X sejak pagi.
Kejang pertama terjadi pada saat pasien sedang dilakukan EEG, saat itu pasien
sedang tidur, tiba-tiba kejang selama 5 detik, kejang terjadi pada seluruh badan
pasien, dengan tangan tegak lurus ke bawah, lalu kejang berhenti sendiri. setelah
kejang selesai, pasien kembali sadar dalam 5 menit. Kejang kedua terjadi saat
pasien sedang dibawa ke poliklinik anak, dimana saat itu pasien sedang
digendong oleh ayahnya. Bentuk kejang yang dialami pasien sama seperti kejang
yang pertama, berlangsung selama 10 detik, dan kembali sadar dalam 10 menit.
Demam disangkal.
o Suhu : 36,4oC
2) Pemeriksaan motorik
Ekstremitas atas
Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
Kekuatan:
Tangan kanan: 5
Tangan kiri : 5
Ekstremitas bawah
Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
Kekuatan:
Kaki
kanan: 5
Kaki kiri :
5
DAFTAR PUSTAKA