Vous êtes sur la page 1sur 29

MAKALAH

ASKEP EPILEPSI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1
1. ARVIE NURIL IKHSAN
2. FITRI WULANDARI
3. JIHAN MARSELIA
4. MILA PEBRIYANTI
5. REGINA ANANDIA
6. WIRA ANISA

DOSEN PEMBIMBING : Ns. DWI CHRISTINA NINGRUM, M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


SYEDZA SAINTIKA
PADANG
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini . Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi kami khususnya .

Padang, April 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI .............................................................................................................................................................. 3
BAB I ....................................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................................................... 4
BAB II ...................................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................................... 6
A. DEFINISI EPILEPSI ....................................................................................................................................... 6
B. KLASIFIKASI EPILEPSI .................................................................................................................................. 7
C. ETIOLOGI EPILEPSI ................................................................................................................................... 10
D. PATOGENESIS EPILEPSI ............................................................................................................................ 12
E. DIAGNOSIS EPILEPSI ................................................................................................................................ 13
F. PENGOBATAN EPILEPSI............................................................................................................................ 14
G. OBAT ANTIEPILEPSI (OAE)........................................................................................................................ 15
BAB III ................................................................................................................................................................... 17
ASUHAN KEPERAWATAN ...................................................................................................................................... 17
A. PENGKAJIAN ............................................................................................................................................ 17
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN ..................................................................................................................... 18
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN ........................................................................................................ 18
D. EVALUASI ................................................................................................................................................. 21
BAB IV ................................................................................................................................................................... 22
LAPORAN KASUS ................................................................................................................................................... 22
A. IDENTITAS PASIEN ................................................................................................................................... 22
B. Pemeriksaan Fisik .................................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................................. 29
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejala-gejala


yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang disebabkan
lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi. Menurut International League Against Epilepsi (ILAE), yang
disebut epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe apapun secara
klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsi mempunyai risiko yang bermakna
untuk mengalami kekambuhan kejang. Waktu munculnya kejang terjadi secara
mendadak, tidak disertai demam berulang dan tidak dapat diprediksi. Kejang yang
menahun dan berulang dapat berakibat fatal, oleh karena itu sasaran terapi utamanya
adalah pengendalian penuh atas kejang (Gidal dan Garnett, 2005).
Terapi utama epilepsi yaitu dengan pemberian obat-obat antiepilepsi (OAE)
untuk mengontrol kejang (Brodie dan French, 2000). Terapi pilihan lainnya termasuk
perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang
tidur), stimulasi nervus vagus dan pembedahan (Gidal dan Garnett, 2005). Terapi
dimulai saat pasien mengalami kejang berulang dengan interval kejang yang tidak
menahun (Carpay dkk., 1998).
Sekitar 50% pasien epilepsi dapat mengontrol frekuensi kekambuhan dan
aktivitas kejangnya dengan OAE, namun 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam
mengontrol kejangnya walaupun telah menggunakan obat antiepilepsi (Gidal dan
Garnett, 2005; Lawthorn dan Smith, 2001). Pengobatan epilepsi dengan OAE bersifat
individual dan khas, berbeda dengan terapi terhadap penyakit lainnya. Sifat khas ini
diwarnai oleh jangka waktu pengobatan yang lama dan seringkali memerlukan lebih
dari satu obat sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dan efek samping obat,
toksisitas dan faktor lain yang dapat mempengaruhi pengobatan (Moe dkk., 2006).
Dalam prakteknya, masalah terapi epilepsi antara lain meliputi ketidakpatuhan
dalam meminum obat, penderita bosan dalam meminum obat, serangan yang tidak
kunjung hilang setelah meminum obat, harga obat yang mahal, kewajiban pasien
untuk kontrol secara teratur dan adanya efek samping yang muncul karena
pengobatan. Kepatuhan merupakan masalah utama karena terapi pada penyakit
epilepsi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan kedisiplinan dalam menjalani
pengobatan. Hal ini memerlukan strategi dan pendekatan khusus dalam
menanganinya, mengingat sifat-sifat epilepsi yang kompleks dan pemberian obat
antiepilepsi jangka panjang dengan segala konsekuensinya, yang menuntut
kedisiplinan penderita untuk mematuhi pengobatan (Andarini, 2007).
Kejadian ketidakpatuhan pada pengobatan epilepsi telah dilaporkan terjadi
pada 58% pasien anak-anak yang baru terdiagnosis epilepsi dan hanya 42% pasien
mendekati kepatuhan yang sempurna (Modi dkk., 2011b). Alasan dari
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI EPILEPSI

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data World
Health Organization (WHO), 2001 menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk
dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat
pada pria.
Epilepsi secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
epilambanmein yang berarti ‗serangan‘ (Harsono, 1999). Kata ini menandakan ada
sesuatu dari luar badan seseorang yang menimpa orang tersebut sehingga orang
tersebut jatuh. Tahun 1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan epilepsi
sebagai penyakit yang terjadi karena ketidakstabilan dan kerusakan pada jaringan
saraf di otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita
(Indrayati, 2004).
Epilepsi merupakan penyakit yang ditandai dengan kejadian kejang yang
berulang dan reversibel. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi
klinik utama epilepsi disebabkan oleh berbagai hal, yang dapat menimbulkan kelainan
fungsional (motorik, sensorik, otonom atau psikis). Serangan epilepsi berkaitan
dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral yang berlebihan dan berlangsung
lokal. Pelepasan mendadak muatan listrik memberikan gerakan maupun persepsi
abnormal yang berlangsung singkat. Secara prinsip, serangan terjadi berulang kali
dengan pola yang sama, tanpa memandang tempat, waktu dan keadaan (Harsono,
1999). Kejang sendiri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak sementara, tiba-
tiba, yang dapat tampak sebagai kehilangan aktivitas motorik abnormal, kelainan
tingkah laku, gangguan sensoris, disfungsi autonom dengan perubahan atau gangguan
fungsi kesadaran (Hay, 2003).
Gambaran klinis serangan epilepsi tergantung pada fungsi daerah otak yang
mencetuskan lepas muatan listrik abnormal serta jalur-jalur yang dilalui oleh lepas
muatan listrik tersebut atau bagian disekitar jalur tersebut, sehingga manifestasi
serangan epilepsi dapat terjadi sebagai serangan beraneka ragam dan kompleks
(Gunawan, 1998).
Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa kejang umum, kejang fokal, penurunan
kesadaran, kelainan tingkah laku sampai manifestasi klinik lainnya yang penyebabnya
masih sulit dimengerti (Harsono, 1999). Adanya variasi dalam manifestasi klinis ini,
maka cukup sulit membedakan jenis epilepsi secara klinis. Bangkitan epilepsi tidak
selalu bersifat eksitasi atau kejang melainkan dapat juga bersifat fenomena negatif
berupa menghilangnya kesadaran dan tonus otot, sehingga kadang-kadang epilepsi
sulit dibedakan dengan penyakit lain yang mirip gejalanya, maka diperlukan
pemeriksaan penunjang lain seperti EEG (Andarini, 2007).

B. KLASIFIKASI EPILEPSI

Prinsip klasifikasi didasarkan pada data rekaman elektroensefalogram (EEG) dan


manifestasi klinis. Klasifikasi epilepsi memudahkan pertukaran informasi tentang
epilepsi dan bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat (Harsono, 2001).
Klasifikasi yang sekarang dipergunakan secara luas adalah klasifikasi oleh
International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang terdiri dari 3 kategori utama
yaitu kejang parsial, kejang umum dan kejang yang tak terklasifikasi.
Serangan epilepsi tidak selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya, kejang
belum tentu dapat dikatakan epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe
kejangnya (Ikawati, Z., 2011):

1) Kejang parsial (fokal/lokal)


Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik pada
otak. Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di otak.
Kejang ini terkadang disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun dalam
banyak kasus penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).

a) Kejang parsial sederhana


Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy),
pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat
mengalami kebingungan, jerking movement, atau kelainan mental dan
emosional. Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini yaitu
klonik (repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu
sisi). Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik berupa
aura, halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa.
Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada otot
tertentu. Umumnya kejang terjadi selama 90 detik.

b) Kejang parsial kompleks


Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian
otak yang berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut
dapat mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi
perubahan tingkah laku misalnya automatisme. Pasien kemungkinan
mengalami kehilangan kesadaran secara singkat dan tatapan kosong.
Kejang ini seringkali diawali dengan aura. Episode serangan biasanya
tidak lebih dari 2 menit. Sakit kepala yang berdenyut kemungkinan
terjadi pada kejang tipe ini.

c) Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder


Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan
kehilangan kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti
periode kontraksi otot bertukar dengan relaksasi (klonik). Seringkali
sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena kejang parsial
dengan generalisata sekunder mempunyai onset fokal yang seringkali
tak teramati. Onset fokal kejang diidentifikasi melalui analisis riwayat
kejang dan EEG secara cermat (Kasper dkk., 2008).

2) Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi
pada daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien.

a) Kejang absence (petit mal)


Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang
berlangsung sangat singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang
dijumpai dan umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaja. Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe ini (Kasper
dkk., 2008). Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip
dengan kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh
orang di sekitarnya. Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang
parsial sederhana atau kompleks, atau bahkan dengan gangguan
attention deficit.
Selain itu terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang
mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal
mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang,
serangan terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi
diikuti dengan tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai
oleh ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal pada struktur
otak. Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental. Kejang
tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan
tipe kejang absence tipikal (Kasper dkk., 2008).

b) Kejang tonik-klonik (grand mal)


Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi.
Fase awal dari terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran
disusul dengan gejala motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi
tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otot-
otot yang berkontraksi, menyebabkan pasien tiba-tiba terjatuh dan
terbaring kaku sekitar 10-30 detik. Beberapa pasien mengalami
pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan mengalami
kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga terjadi sianosis,
keluar air liur, inkontinensi urin dan atau menggigit lidah. Segera
sesudah kejang berhenti pasien tertidur. Kejang ini biasanya terjadi
sekitar 2-3 menit.

c) Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba
mengalami kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien
terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada
salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan kepala
yang terkulai.

d) Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara
cepat, bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot
tertentu. Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien
mengalami hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.

e) Simply tonic atau clonic seizures


Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada
kejang tonik, otot berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi sekitar
10 detik, tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi klonik atau
jerking phase. Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan, terutama
terjadi pada anak-anak, yang mengalami spasme otot tetapi bukan
kekakuan tonik.

3) Kejang yang tak terklasifikasikan


Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung
oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang
sering terjadi pada neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada sistem saraf pusat di bayi dan
dewasa (Kasper dkk., 2008).

C. ETIOLOGI EPILEPSI

Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan listrik
secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis normal dan stabilitas saraf,
dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi medis yang dapat
menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga luka trauma pada otak
(Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis
terapi yang tepat bagi pasien.
Kejang terjadi akibat pengeluaran sejumlah neuron yang abnormal akibat dari
berbagai proses patologi sehingga berdampak pada otak. Epilepsi bukanlah suatu
penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena suatu penyakit. Secara
umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika terjadinya pelepasan
aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan
terganggunya kerja otak (Harsono, 1999).
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

1) Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik


Epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf
pada area jaringan otak yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak ada kelainan
anatomik seperti trauma maupun neoplasma yang menimbulkan kejang, maka
sindrom ini disebut epilepsi idiopatik atau primer. Kejang dapat ditimbulkan
karena abnormalitas susunan sistem saraf pusat (Harsono, 2001).
Epilepsi idiopatik merupakan 2/3 kasus yang tidak diketahui
penyebabnya. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui
faktor penyebabnya (Harsono, 1991). Umumnya faktor genetik lebih berperan
pada epilepsi idiopatik. Insidensi epilepsi idiopatik lebih tinggi pada anak-
anak (Berg, 2006). Diduga bahwa serangan terjadi karena cetusan listrik
abnormal yang terjadi akibat kelainan atau gangguan keseimbangan zat
kimiawi dalam neuron-neuron pada area jaringan otak yang abnormal. Etiologi
idiopatik digunakan pada kejang dengan tipe umum, sedangkan etiologi
kriptogenik digunakan bila tidak ada penyebab yang diketahui pada onset
kejang parsial (Rogers dan Cavazos, 2008).

2) Epilepsi sekunder

Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul ialah akibat dari
adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan bawaan
sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada
waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini bersifat
reversibel, misalnya karena tumor, trauma, luka kepala, infeksi atau radang
selaput otak, penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU) dan
kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan.
Epilepsi sekunder merupakan 1/3 kasus yang diketahui penyebabnya.
Kelainan dapat terjadi bawaan atau pada masa perkembangan anak (Pedley,
1995). Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala,
trauma persalinan, demam tingi, stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah
kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis,
meningitis) dan reaksi alergi. Untuk menentukan faktor penyebab dapat
diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali.

D. PATOGENESIS EPILEPSI

Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi neuron. Perubahan-
perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion
ekstraseluler, voltage-gated-ion-channel opening dan menguatnya sinkroni neuron
sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.
Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial
listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik (Shih,
2007).
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion-ion dalam ruang ekstraseluler dan
intraseluler, serta gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron
(Harsono, 2001). Aktivitas dari ion-ion tersebut yang menimbulkan potensial
membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif
membran neuron, yakni membran mudah dilewati oleh ion K dari ekstraseluler ke
intraseluler dan kurang untuk ion Ca, Na dan Cl. Perbedaan konsentrasi yang dibuat
ini yang akan menimbulkan potensial membran.
Beberapa mekanisme yang dapat mempengaruhi keseimbangan hipereksibilitas
antara lain (Rogers dan Cavazos, 2008):
a) Perubahan distribusi, jumlah, tipe dan kandungan kanal ion pada
membran saraf. Faktor-faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat
merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran
mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel.
Influks dari Ca ini akan menimbulkan letupan depolarisasi membran
dan melepas muatan listrik yang berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Cetusan listrik abnormal ini yang kemudian menstimulasi
neuron-neuron sekitarnya yang terkait di dalam sel. Sifat khas dari
epilepsi ialah terjadinya penghentian serangan akibat proses inhibisi.
Diduga sistem inhibisi ini merupakan pengaruh neuron-neuron
disekitarnya. Keadaan lain yang menyebabkan hentinya serangan
epilepsi ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak (Shih, 2007);

b) Perubahan sistem biokimia reseptor;

c) Modulasi dari second messaging systems dan ekspresi gen;

d) Perubahan konsentrasi ion ekstraseluler;

e) Perubahan pada uptake neurotransmitter dan metabolisme sel glial;

f) Modifikasi pada rasio dan fungsi dari sirkuit inhibitor.

Perhatian utama pada serangan epilesi adalah adanya faktor pencetus.

Faktor-faktor pencetus yang telah dikenal yaitu:


a) Kurang tidur, berakibat pada gangguan aktivitas saraf-saraf otak;
b) Stres emosional atau stres fisik yang berat;
c) Infeksi yang biasanya disertai demam, terutama pada anak-anak;
d) Anak dengan kejang demam kompleks memiliki risiko epilepsi yang
lebih besar daripada anak dengan kejang sederhana;
e) Obat-obat tertentu dan alkohol, misalnya sedatif atau antidepresan
trisiklik;
f) Perubahan hormonal;

E. DIAGNOSIS EPILEPSI

Diagnosis epilepsi ditegakkan apabila ada kejang berulang yang tidak disertai
demam dan tidak membutuhkan provokasi. Biasanya didasarkan pada riwayat
penyakit dan pemeriksaan Electroenchepalography (EEG), namun dapat juga dengan
pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak, Single-photon Emission
Computed Tomography (SPECT), Positron Emission Tomography (PET),
Magnetoencephalography (MEG) yang dapat digunakan untuk menentukan etiologi
epilepsi, letak fokus dan mengklasifikasikan sindroma epilepsi. EEG masih menjadi
standar baku pada penegakan diagnosis epilepsi.
Pemeriksaan EEG dapat menentukan prognosis pada kasus tertentu dan sebagai
pertimbangan dalam penghentian obat antiepilepsi. Diagnosis pasti dengan
menyaksikan sendiri secara langsung bangkitan epilepsi jarang sekali dilakukan,
sehingga pemeriksaan yang teliti dan pemeriksaan EEG sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis tipe bangkitan epilepsi dan penyakit-penyakit neurologi yang
mungkin berhubungan atau mencetuskan bangkitan epilepsi misalnya ensefalopati dan
defek otak fokal (Andarini, 2007). Namun gangguan fungsi otak tidak selalu
tercermin dalam rekaman EEG. Kenyataannya didapat bahwa gambaran EEG normal
dapat terjadi pada anak dengan kelainan otak yang jelas dan sebaliknya, gambaran
EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat, rekaman EEG yang
normal tidak mengesampingkan adanya epilepsi (Lamsudin, 1992). Gambaran EEG
abnormal paling sering ditemukan pada kejang parsial kompleks dan epilepsi absence
(Blume, 1992). Sebanyak 10 – 40% pasien epilepsi tidak menunjukkan gambaran
EEG abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormal ringan dan tidak khas dapat
dijumpai pada 15% populasi normal (Pedley dkk., 1995).
Dalam beberapa kasus, khususnya pada kejang tipe GTC (atau mungkin CP),
kadar prolaktin serum dapat meningkat. Kadar prolaktin serum yang didapat 10 – 20
menit dari kejang tonik klonik dapat berguna dalam membedakan aktivitas kejang
dengan aktivitas pseudoseizure (Chen dkk., 2005).

F. PENGOBATAN EPILEPSI

Tujuan utama pengobatan epilepsi pada anak adalah tidak hanya membebaskan
pasien dari serangan kejang tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat, tetapi juga
mengoptimalkan kualitas hidup penderita epilepsi (Gidal dan Garnett, 2005).
Prinsip penatalaksanaan terapi pada pasien pediatrik sedikit lebih kompleks
dibandingkan kelompok pasien lainnya dan memerlukan perhatian yang khusus.
Penentuan diagnosis epilepsi yang tepat akan membantu dalam menentukan terapi,
meramalkan prognosis dan pemberian informasi kepada pasien dan keluarganya.
Banyak dokter tidak mulai memberikan pengobatan hingga bangkitan kejang yang
selanjutnya terjadi. Sebaliknya beberapa dokter lain, langsung memberikan
pengobatan ketika kejang pertama terjadi (Rogers dan Cavazos, 2008). Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2007
merekomendasikan untuk memulai memberikan OAE setelah kejang pertama pada
keadaan sebagai berikut :

a) Kejang parsial dan kejang umum tonik klonik, termasuk kejang berulang dalam
1 hari dan status epileptikus.
b) Kejang berikut biasanya datang dengan keluhan sering kejang, seperti absence,
mioklonik, atau atonik.
c) Kejang yang memerlukan penanganan khusus, seperti kejang neonatus. Tujuan
dari pengobatan epilepsi pediatrik adalah dapat mengendalikan

kejang menggunakan monoterapi, tanpa menyebabkan efek samping yang


tidak diinginkan, dan menggunakan formulasi yang sesuai untuk mencapai
kepatuhan anak-anak pada pengobatan. Ketika meresepkan obat untuk pediatrik,
diharuskan memperhitungkan profil keamanan dan formulasi yang tersedia (Sander
dkk., 2009).

G. OBAT ANTIEPILEPSI (OAE)

Obat antiepilepsi merupakan obat yang mampu mengontrol jenis kejang tertentu
yang sesuai dengan mekanisme aksi obat tersebut. Obat antiepilepsi digolongkan
dalam 2 periode (Shih, 2007), yaitu:
a) Senyawa lama, terdiri dari karbamazepin, klonazepam, ethosuksimid,
fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan asam valproat. Senyawa ini telah
ditemukan, digunakan cukup banyak dan sering kali dijadikan obat-obat lini
pertama.
b) Senyawa baru, terdiri dari felbamat, gabapentin, lamotrigin, topiramat,
levetiracetam, oxcarbazepin, zonisamid dan pregabalin. Obat ini baru
ditemukan dan digunakan sehingga data-data mengenai penggunaan obat
tersebut masih sedikit. Selain itu, ada obat yang diciptakan sebagai terapi
adjuvant/add-on. Akan tetapi, lamotrigin yang pada awalnya digunakan
sebagai adjuvant kini telah dipertimbangkan menjadi lini pertama bagi jenis
epilepsi umum (Wells, 2009).
Ada 4 mekanisme aksi utama OAE yaitu:

a) Mengikat kanal Na menjadi inaktif


Contoh obat: Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin, Zonisamid,
Lamotrigin, Topiramat, Gabapentin.

b) Memodulasi GABA, menginhibisi reuptake GABA


Contoh obat: Agonis GABAa (Benzodiazepin, Barbiturat, Topiramat);
Inhibitor reuptake (Tiagabin); GABA-transaminase (Vigabatrin); Modulasi
GAD (Felbamate).

c) Mengikat reseptor glutamate


Contoh obat: Reseptor NMDA (Felbamate) dan Reseptor AMPA/Kainat
(Topiramat).

d) Mengikat kanal Ca
Contoh obat: Ethosuksimid, Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin,
Zonisamid.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba
disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya
tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
Riwayat penyakit dahulu:
 Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
 Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
 Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
 Tumor Otak
 Kelainan pembuluh darah
 Demam.
 Strok
 gangguan tidur
 penggunaan obat

Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan


merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan
terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
Riwayat psikososial :
 Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita
 Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan


keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak
ada memar, tidak jatuh.
Intervensi Rasional
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti
mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu Sebagai informasi pada perawat untuk
jika merasa ada sesuatu yang tidak segera melakukan tindakan sebelum
nyaman, atau mengalami sesuatu yang terjadinya kejang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan terjadinya
kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut menurunkan resiko aspirasi atau masuknya
dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat sesuatu benda asing ke faring.
yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal. meningkatkan aliran (drainase) sekret,
Letakkan pasien dalam posisi miring, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan
permukaan datar nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dada
dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi Mengeluarkan mukus yang berlebih,
menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Kolaborasi Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar
Berikan oksigen sesuai program terapi. tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap
spasme vaskuler selama serangan kejang.

3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
 adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
 menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang Memberi informasi pada perawat tentang
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan Dukungan psikologis dan motivasi dapat
motivasi pada pasien membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi
perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok Memberikan kesempatan untuk mendapatkan
penyokong, seperi yayasan epilepsi dan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
sebagainya. masalah dari orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,
kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan teman Menghilangkan stigma buruk terhadap
dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi
menular dapat menular).

D. EVALUASI

1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar


2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4. Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari
secara normal
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
BAB IV

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 22 bulan
Tanggal lahir : 23 juli 2012
Agama : Islam
Alamat : Jl. Saco Gang taman sari II, Ragunan – Pasar Minggu
Tanggal masuk rumah sakit : 20 mei 2014
No. rekam medis : RSUS.0000532456

Anamnesa
 Keluhan utama
Kejang 2 x sejak pagi


 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kejang 2X sejak pagi.
Kejang pertama terjadi pada saat pasien sedang dilakukan EEG, saat itu pasien
sedang tidur, tiba-tiba kejang selama 5 detik, kejang terjadi pada seluruh badan
pasien, dengan tangan tegak lurus ke bawah, lalu kejang berhenti sendiri. setelah
kejang selesai, pasien kembali sadar dalam 5 menit. Kejang kedua terjadi saat
pasien sedang dibawa ke poliklinik anak, dimana saat itu pasien sedang
digendong oleh ayahnya. Bentuk kejang yang dialami pasien sama seperti kejang
yang pertama, berlangsung selama 10 detik, dan kembali sadar dalam 10 menit.
Demam disangkal.

Sebelumnya pasien sudah sering mengalami kejang, di mana awalnya


pasien mengalami kejang pertama kali pada usia 20 bulan (2 bulan lalu) sebanyak
2 kali, yang terjadi saat pasien demam. Kejang berikutnya terjadi pada 1 minggu
yang lalu, dimana pasien mengalami kejang demam sebanyak 5x dalam sehari,
kemudian saat di rawat di RSMC pasien kejang lagi 1x. setelah keluar dari RS,
pasien mengalami kejang di rumah selama 4 hari, serangan kejang terjadi 2-3x
dalam sehari, demam disangkal, kejang sering terjadi saat pasien bangun tidur,
lalu pasien terdiam selama 5 menit, kemudian terjadi kejang. Saat kejang di
rumah, ibu pasien tidak memberikan obat, karena setiap kali kejang hanya
berlangsung 5-10 detik, dan berhenti dengan sendirinya. Dari setiap kejang yang
terjadi, pasien dapat kembali sadar dan berespon dalam waktu < 5 menit.

Riwayat trauma kepala, mual dan muntah disangkal.

 Riwayat penyakit dahulu



Pasien dirawat di RSMC 1 minggu yang lalu karena kejang demam kompleks,
sebelumnya pasien juga pernah mengalami kejang demam pada usia 20 bulan dan
dirawat juga di RSMC. Riwayat alergi, asma, kelainan jantung, disangkal.

Pasien sering sakit-sakitan sejak lahir, tidak pernah menderita penyakit lain selain
batuk pilek dan diare.


 Riwayat penyakit keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat epilepsi. Kakak kedua pasien
pernah mengalami kejang demam sebanyak 2x saat usia 3 tahun. Riwayat darah
tinggi, diabetes, ataupun asma disangkal.


 Riwayat sosial, ekonomi, dan lingkungan

Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Ayah pasien bekerja sebagai
karyawan di kantor, sedangkan ibu pasien tidak bekerja. Kondisi ekonomi
menengah ke bawah.


 Riwayat lahir

Pasien dilahirkan cukup bulan secara sesar, karena letak sungsang. Tidak ada
penyulit saat kehamilan. Tidak ada kelainan yang ditemukan saat pasien lahir.
Riwayat tumbuh kembang

Imunisasi lengkap. Duduk saat usia 9 bulan, Jalan saat usia 1 tahun 7 bulan,
pasien saat ini berbicara 2-3 kata.


B. Pemeriksaan Fisik :
 Keadaan umum : sakit ringan
 Kesadaran : compos mentis (E4 M6 V5)
 Tanda vital
1. Tekanan darah : 120/80 mmHg
o Nadi : 78 x/menit
o Laju nafas : 12 x/menit

o Suhu : 36,4oC

1) Pemeriksaan Saraf Kranial


ITidak dilakukan Visus:
tidak diperiksa
Lapang pandang: Normal
Warna: tidak diperiksa
Pupil: refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+,nistagmus tidak ada Gerak bola mata:
baik ke segala arah
Motorik: baik
Sensorik: V-1, V-2, V-3: +/+
Refleks kornea: +/+
Angkat alis, kerut dahi: tidak dilakukan
Tutup mata : baik, simetris
VII Kembung pipi: tidak dilakukan
Menyeringai: baik
Rasa 2/3 anterior lidah: tidak dilakukan
Suara bisikan: tidak dilakukan
Gesekan jari:tidak dilakukan
Rinne, Webber, Schwabach: tidak dilakukan
VIII
Nistagmus: tidak ada
Berdiri dengan mata terbuka: tidak dilakukan
Berdiri dengan mata tertutup: tidak dilakukan
Arkus faring: simetris
Uvula: terletak di tengah. Simetris
IX, X
Disfonia: tidak ada
Disfagia: tidak ada
Menoleh kanan-kiri: dapat melawan tahanan
XI
Angkat bahu: dapat melawan tahanan
Lidah di dalam mulut: tidak ada deviasi, fasikulasi, atrofi,
XII maupun tremor
Menjulurkan lidah: tidak dilakukan

2) Pemeriksaan motorik
Ekstremitas atas

Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi

Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra

Kekuatan:

Tangan kanan: 5

Tangan kiri : 5
 Ekstremitas bawah

Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi

Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra

Kekuatan:
Kaki
kanan: 5
Kaki kiri :
5
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marylin,1999. Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.


Elizabeth, J.Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Cetakan I. Penerbit : EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Auskulapius, Jakarta
Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC, Jakarta

Vous aimerez peut-être aussi