Vous êtes sur la page 1sur 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian
yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang.

Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu hal
penting dan menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup
deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen
dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada di antara nipple dan
perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera intraabdominal. Pada
penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat ditentukan oleh
mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma, maupun status hemodinamik penderita.

Cedera abdomen menduduki urutan ketiga penyebab kematian akibat trauma.


Cedera ini dilaporkan menyebabkan 13% hingga 15% kematian akibat trauma,
terutama disebabkan oleh pendarahan. Kematian yang terjadi lebih dari 48 jam setelah
cedera abdomen disebabkan oleh sepsis dan komplikasinya. Pada trauma intra
abdomen, jarang sekali terjadi hanya cedera pada satu organ saja.

Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab
kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Sebaiknya jangan menganggap bahwa
ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ padat merupakan hal yang
mudah untuk dikenali. Hasil pemeriksaan terhadap abdomen mungkin saja dikacaukan
oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obat tertentu, adanya trauma otak
atau medulla spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai organ
yang berdekatan seperti kosta, tulang belakang, maupun pelvis. Setiap pasien yang
mengalami trauma tumpul pada dada baik karena pukulan langsung maupun
deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma visera
atau trauma vaskuler abdomen.

Trauma tumpul cenderung menyebabkan kerusakan serius di organ padat dan


trauma tembus paling sering mencederai organ berongga. Kompresi dan deselerasi
pada trauma tumpul menyebabkan fraktur pada kapsul organ padat dan parenkim,
sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap gaya tersebut. Namun usus
yang menempati sebagian besar rongga abdomen terpajan cedera yang disebabkan
oleh trauma tembus. Umumnya organ padat merespon trauma dengan pendarahan.
Organ berongga rupture dan mengeluarkan isinya ke dalam ruang peritoneum yang
menyebabkan peradangan dan infeksi. (Morton, P.G. et.al. 2008)

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas pada bab selanjutnya yaitu:
1. Bagaimana Konsep Dasar Medis Trauma Abdomen?
2. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen?

1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kegawatdaruratan dan
meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma abdomen.

1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai trauma abdomen sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus
trauma abdomen di klinik sesuai kompetensi tenaga medis terutama perawat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks
dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal wall) yang
terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan ilium. Trauma adalah
sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menyebabkan
luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan
mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma
abdomen adalah terjadinya cedera atau kerusakan pada organ abdomen yang
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imunologi dan gangguan faal berbagai organ (MH Assiddqi, 2014).

2.2 Klasifikasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari:
1. Trauma penetrasi: trauma tembak, trauma tusuk (MH Assiddqi, 2014).
Trauma penetrans merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang ke trauma
center. Luka tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma penetrasi pada
populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit hitam pada umur 15-24
tahun. Penyebab lain trauma penetrans adalah stab wound, impalements, gigitan
anjing, dan kecelakaan mesin. Oleh karena kebanyakan trauma penetrans pada
abdomen biasanya memerlukan tindakan pembedahan maka persiapan di ruang
operasi harus simultan dengan assessment pasien (Pratama, 2014).
2. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme
utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga
kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan,
atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah
hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ
padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen
pada organ berongga dan menyebabkan rupture (MH Assiddqi, 2014).
Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari 80% trauma
pada anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan berhubungan dengan
kecelakan kendaraan bermotor. Cedera abdominal dapat disebabkan juga oleh karena
terjatuh dan langsung mengenai dinding abdomen misalnya pada handlebar injuri
(Pratama, 2014).

2.3 Etiologi
Penyebab trauma abdomen antara lain: trauma, iritasi, infeksi, obstruksi dan operasi.
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan trauma tembus, biasanya
tikaman atau tembakan dan trauma tumpul akibat kecelakaan mobil, pukulan langsung
atau jatuh. Luka yang tampak ringan bisa menimbulkan cedera eksterna yang
mengancam nyawa (MH Assiddqi, 2014).

2.4 Patofisiologi
Terlampir

2.5 Manifestasi Klinis


Secara umum manifestasi klinik trauma abdomen antara lain :
1. Nyeri
2. Nyeri tekan lepas menandakan iritasi peritoneum karena cairan gastrointestinal atau darah
3. Distensi abdomen
4. Demam
5. Anoreksia
6. Mual dan muntah
7. Takikardi
8. Peningkatan suhu tubuh
Sementara manifestasi berdasarkan etiologinya:
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi ke dalam rongga peritonium):
Manifestasi klinis dari trauma tembus tergantung pada berbagai faktor, termasuk jenis objek
yang menembus, area tempat cedera terjadi, organ yang mungkin terkena, dan lokasi serta
jumlah luka. Tanda dan gejala yang seringkali muncul adalah:
a. Terdapat nyeri dan/atau nyeri tekan lepas serta perdarahan
Nyeri dapat menjadi petunjuk terjadinya kerusakan organ. Semisal, terdapat nyeri bahu,
mungkin nyeri tersebut merupakan akibat dari limpa yang rusak dengan darah subphrenic
b. Biasanya disertai dengan peritonitis
Tanda-tanda peritoneal terjadi ketika katup peritoneal dan aspek posterior dari dinding
abdomen anterior mengalami inflamasi. Darah dan organ di dalam peritoneal atau retroperineal
terangsang oleh ujung saraf yang lebih dalam (serabut visceral aferen nyeri) dan
mengakibatkan rasa yang sangat nyeri. Iritasi pada peritoneum parietal mengarah ke nyeri
somatik yang cenderung lebih terlokalisasi.
c. Distensi abdomen. Apabila distensi abdomen pada pasien tidak responsif, hal tersebut dapat
menunjukkan adanya perdarahan aktif.
d. Pada laki-laki, prostat tinggi-naik menunjukkan terjadinya cedera usus dan cedera saluran
urogenital. Jika ditemukan terdapat notasi darah di meatus uretra juga merupakan tanda
adanya cedera saluran urogenital.
e. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Hilangnya fungsi organ dapat menjadi penanda terjadinya syok, karena pada saat syok, darah
akan dipusatkan kepada organ yang vital, sehingga untuk organ yang tidak begitu vital kurang
mendapatkan distribusi darah yang mencukupi untuk dapat bekerja sesuai dengan fungsinya
sehingga kinerja organ dapat mengalami penurunan atau bahkan fungsi organ menjadi terhenti
(Offner, 2014).

2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi ke dalam rongga peritonium)


Penilaian klinis awal pada pasien trauma abdomen tumpul seringkali sulit dan akurat. Tanda
dan gejala yang paling nampak antara lain:
a. Nyeri
b. Perdarahan gastrointestinal
c. Hipovolemia
d. Ditemukannya iritasi peritoneal
Sebagian besar darah dapat menumpuk di rongga peritoneal dan panggul tanpa adanya
perubahan signifikan atau perubahan awal dalam temuan pemeriksaan fisik. Bradikardi dapat
mengindikasikan adanya darah disekitar intraperitoneal.

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan:


a. Tanda lap belt: berhubungan dengan adanya ruptur usus kecil
b. Memar berbentuk kemudi, sering terjadi pada kecelakaan
c. Memar/ekimosis di sekitar panggul (Grey Turner sign) atau umbilikus (cullen sign):
mengindikasikan perdarahan retroperitoneal, tetapi biasanya terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari
d. Distensi abdomen
e. Auskultasi bising usus dada: menunjukkan adanya cedera diafragma
f. Bruit abdomen: mengindikasikan penyakit vaskular yang mendasari atau trauma fistula
arteriovena
g. Nyeri secara keseluruhan atau lokal, kekakuan, atau nyeri tekan lepas: mengindikasikan adanya
cedera peritoneal
h. Kepenuhan dan konsistensi pucat pada palpasi: mengindikasikan perdarahan intra abdominal
i. Krepitasi atau ketidakstabilan rongga dada bagian bawah: menunjukkan potensi cedera limpa
atau hati (Legome, 2016).

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Pengkajian diagnostic yang diperlukan selama kondisi preoperative di gawat darurat,
meliputi pemeriksaan darah (hemoglobin, leukosit, laju endap darah, waktu perdarahan dan
waktu pembekuan darah, serta hematokrit), serum elektrolit, pemeriksaan USG, Foto polos
(abdomen dan toraks), dan CT scan (muttaqin, kumalasari, 2013).
Pemeriksaan diagnostic dapat mencakup sonografi abdomen terfokus untuk trauma,
(FAST, focused abdomen sonography for trauma), lavase peritoneum diagnostic (DPL,
diagnostic peritoneal lavage), foto toraks (untuk menentukan kelainan makroskopik serta
adanya pergeseran organ), dan CT scan abdomen.

1. Pemeriksaan FAST
- Pemeriksaan yang relative cepat menyediakan informasi yang bermanfaat dan banyak
digunakan oleh pusat trauma
- Pemeriksaan ini dilakukan dengan menaruh ultrasound probe diatas berbagai area
abdomen yang menentukan apakah ada cairan bebas di area tersebut. Area yang
dievaluasi adalah kantong morison di kuadran kanan atas, kantong pericardial, region
splenorenal di kuadran kiri atas, dan panggul (kantong douglas).
- Jika hasil FAST positif dan hemodinamik pasien tidak stabil, maka dilakukan laparotomi
eksploratif.
2. Pemeriksaan DPL
- Prosedur diagnostic cepat yang digunakan selama fase resusitasi pada perawatan
pasien trauma hemodinamiknya tidak stabil untuk menegakkan diagnosa perdarahan
intra-abdomen.
- Indikasi: cedera tumpul abdomen dengan perubahan status mental, hipotensi tidak
jelas sebabnya, penurunan hematokrit, syok, hasil pemeriksaan abdomen tidak jelas,
cedera medulla spinalis, cedera alih (fraktur tulang, trauma dada), trauma tembus
abdomen (jika eksplorasi tidak diindikasikan).
- Kontraindikasi: riwayat pembedahan abdomen berulang, kehamilah trimester tiga,
sirosis hati lanjut, obesitas morbid, riwayat koagulopati, dan riwayat pembedahan
abdomen berulang kali (terdapat peningkatan resiko laserasi omentum dan visera atau
perforasi vascular jika DPL dilakukan pada pasien yang menunjukkan temuan ini).

- Teknik: masukkan kateter lavase ke ruang peritoneum melalui insisi 1 -2 cm, upayakan
aspirasi cairan peritoneum, infusikan salin normal atau ringer laktat mengggunakan
gaya gravitasi, miringkan pasien ke kiri dan kanan (kecuali kontraindikasi), Biarkan
cairan masuk ke dalam kantong melalui gravitasi, kirim specimen ke laboratorium.
- Hasil positif: 10-20 ml darah makroskopik pada aspirasi awal, > 100.000 sel darah
merah/mm3, lebih dari 500 sel drah putih/mm3, kadar amylase meningkat, adanya
(empedu, bakteri, atau feses)
- Jika hasil DPL positif dan hemodinamik pasien tidak stabil, dilakukan laparotomi
eksploratif.
- Ketika melakukan DPL, penting terlebih dahulu memastikan bahwa pasien terpasang
kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik untuk mendekompresi lambung dan
kandung kemih sehingga mencegah terjadinya perforasi tidak sengaja saat memasang
kateter lavase. Ketika kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik terpasang,
katetter lavase dimasukkan ke dalam ruang peritoneum. Jika darah makroskopi yang
kembali kurang dari 10 ml, kantong berisi satu liter kristaloid (larutan RL atau NS 0,9%)
hangat diinfuskan ke dalam peritoneum. Setelah infuse selesai, kantong IV diletakkan
pada posisi tergantung guna memungkinkan cairan keluar dari abdomen karena
gravitasi.
3. CT Scan
- Lebih sering digunakan pada pasien yang hemodinamiknya lebih stabil.
- Sering dilakukan dengn kontras IV atau oral untuk melihat organ dan mengetahui
adanya gangguan.
- CT scan memungkinkan visualisasi area peritoneum, retroperineum, dan panggul serta
memungkinkan perkiraan jumlah cairan di area ini.
- CT scan juga digunakan untuk menentukan derajat cedera pada organ padat
- Keterbatasan penggunaan CT mencakup lama waktu yang diibutuhkan untuk
melakukan pemeriksaan, kebutuhan untuk memindahkan pasien keluar dari area
resusitasi, dan syarat bahwa pasien harus memiliki hemodinamik yang stabil dan
pergerakan dibatasi selama pemeriksaan. (Morton ,2011)

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen
1. Trauma Tumpul Abdomen
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila pasien telah stabil baru
kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri. Pipa lambung, selain untuk diagnostic,
harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah. Sedangkan
kateter di pasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin. Pada trauma tumpul,
bila terdapat kerusakan intra peritoneum harus dilakukan laparotomi, sedangkan bila tidak,
pasien diobservasi selama 24-48 jam.
Tindakan laparotomi dilakukan untuk mengetahui organ yang mengalami kerusakan. Bila
terdapat perdarahan, tindakan yang dilakukan adalah penghentian perdarahan. Sedangkan
pada organ berongga, penanganan kerusakan berkisar dari penutupan sederhana sampai
reseksi sebagian.

2. Trauma Tembus Abdomen


Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila pasien telah stabil
baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri. Pipa lambung, selain untuk
diagnostic, harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah.
Sedangkan kateter di pasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin.
Peningkatan nyeri di daerah abdomen membutuhkan eksplorasi bedah. Luka tembus dapat
mengakibatkan renjatan berat bila mengenai pembuluh darah besar atau hepar. Penetrasi ke
limpa, pancreas, atau ginjal biasanya tidak mengakibatkan perdarahan massif kecuali bila ada
pembuluh darah besar yang terkena. Perdarahan tersebut harus diatasi segera, sedangkan
pasien yang tidak tertolong dengan resusitasi cairan harus menjalani pembedahan segera.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada baian bawah
atau abdomen berbeda-beda. Namun semua ahli bedah sepakat semua pasien dengan tanda
peritonitis atau hipovolemia harus menjalani eksplorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi
pasien tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil.
Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka
menembus peritoneum maka tindakan laparatomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda
peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum,
adanya udara bebas intera peritoneal, dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan
indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24-48 jam.
Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi.

Menurut Catherino (2003), Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen ialah :


 Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan trauma intra-
abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free air, evisceration) harus
segera dilakukan pembedahan
 Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative berdasarkan status
klinik dan derajat luka yang terlihat di CT
 Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
 Pemberian O2 sesuai indikasi
 Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
 Trauma penetrasi :
Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi tersebut di atas
Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman penetrasi dan
keterlibatan intraperitoneal
Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi steril) untuk menunjukkan
gangguan peritoneal ; jika peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan dikeluarkan
Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan
Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan dengan pembedahan

Sedangkan menurut ENA (2000) penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma abdomen yaitu :


 Monitor TTV
 Monitor CVP
 Monitor AGD
 Berikan terapi oksigen sesuai indikasi
 Berikan resusitasi cairan IV dengan cairan kristaloid, darah atau komponen darah
 Pasang kateter urine
 Monitor pemasukan dan haluaran
 Pasang NGT sesuai indikasi
 Berikan analgesik jika diijinkan
 Minimalkan rangsangan dari luar
 Siapkan intervensi bedah sesuai indikasi
 Monitor GCS
 Monitor perfusi jaringan perifer
 Antiembolic stoking untuk mencegah pembentukan trombus sekunder untuk meningkatkan
trombosit
 Monitor tingkat kesadaran
 Monitor CRT
 Jelaskan prosedur dengan sederhana
 Jawab pertanyaan pasien
 Monitor serum amilase dan lipase
 Monitor serum dan kadar gula dalam urine
 Monitor suhu tubuh
 Monitor serum amilase dan lipase
 Monitor serum dan kadar gula dalam urine
 Monitor tanda-tanda peritonitis : spasme otot/kekakuan abdomen, penurunan sampai tidak ada
bising usus.
Menurut Bambang Suryono (2008),pengelolaan trauma abdomen ialah :
Perawatan pasien dengan perdarahan abdomen difokuskan seputar pencegahan dan
penanganan syok. Pengobatan definitif untuk perdarahan internal hanya dapat dilakukan di
ruang operasi rumah sakit. Tanda-tanda syok harus dinilai sejak dini, periksa periksa dengan
cermat nadi penderita, kesadaran dan warna kulit. Penurunan tekanan darah merupakan tanda
yang terlambat. Tanda-tanda itu akan muncul setelah perdarahan internal menyebabkan
kehilangan darah yang signifikan. Pasien yang diduga mengalami perdarahan internal harus
dianggap serius dan harus dirujuk ke rumah sakit secepatnya.
Seperti semua pasien, prioritas pertama adalah ABC. Pastikan pembukaan jalan nafas,
pernafasan yang adekuat dan sirkulasi. Pasien dengan perdarahan internal kemungkinan akan
memburuk dengan cepat. ABC dan tanda vital harus sering dimonitor. Persiapkan untuk
mempertahankan jalan nafas pasien, untuk memberikan ventilasi atau melakukan RJP jika
diperlukan.

2.8 Komplikasi Trauma Abdomen


Beberapa komplikasi yang dapat disebabkan karena trauma abdomen adalah:
1. Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau
mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi
perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat. Bila
perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut
abdomen karena perangsangan peritoneum. Kolon merupakan tempat bakteri dan hasil
akhirnya adalah feses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan
pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh
bakteri dan feses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang bisa memberikan dampak yang
lebih berat.
2. Perdarahan dan syok hipovolemik
Setiap trauma abdomen (baik trauma tumpul dan trauma tembus) dapat menimbulkan
perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat parenkim,
mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul
biasanya tidak terkena. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan
dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Dalam taraf pertama darah akan
berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan peritoneal belum
ada sama sekali. Apabila perdarahan tidak segera ditangani dengan baik dan tepat maka dapat
terjadi syok hipovolemik yang ditandai dengan hipotensi, takikardia, dehidrasi, penurunan turgor
kulit, oliguria, kulit dingin dan pucat.
3. Menurunnya atau menghilangnya fungsi organ
Penurunan fungsi organ dapat disebabkan karena terjadinya perdarahan yang masif tanpa
penanganan yang adekuat sehingga pasokan darah ke organ tertentu menjadi berkurang
sehingga dapat mengakibatkan penurunan fungsi organ, bahkan fungsi organ bisa menghilang.
4. Infeksi dan sepsis
Peradangan dan penumpukan darah dan cairan pada rongga peritoneal dapat menyebabkan
mudahnya bakteri untuk menginfeksi sehingga risiko terjadinya infeksi sangat tinggi, dan
apabila infeksi tak terkendali, mikroorganisme penyebab infeksi dapat masuk ke dalam darah
dan mengakibatkan syok sepsis.
5. Komplikasi pada organ lainnya
a. Pankreas: pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pankreas-duodenal, dan perdarahan
b. Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis dan syok
c. Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok
d. Ginjal: Gagal ginjal akut (Legome, 2016).

2.9 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori


Pengkajian
a. Pengkajian secara umum
Pada trauma abdomen pengkajian terdiri dari identitas klien dan penanggung
jawab, pengkajian darurat serta pengkajian lanjut. Pengkajian darurat terdiri dari
pengkajian primer dan skunder dimana perlu dilakukan evaluasi cepat disertai resusitasi
secara simultan. Pengkajian primer dilakukan tanpa melakukan penilaian riwayat
secara menyeluruh sampai kondisi kegawatan teratasi. Namun untuk memprediksi pola
cedera yang lebih baik dan mengidentifikasi risiko yang lebih fatal maka perlu
dipastikan mekanisme cedera yang didapatkan dari berbagai elemen yang dapat
menjelaskan kronologi terjadinya trauma secara jelas dan ringkas baik dari keluarga,
saksi, pengantar atau pihak kepolisian.
Faktor penting yang berhubungan dengan pengkajian darurat, khususnya dengan
etiologi kecelakaan kendaraan bermotor meliputi hal-hal berikut:
 Tingkat kerusakan kendaraan.
 Apakah ada penumpang lain yang terluka atau meninggal.
 Penggunaan perangkat keselamatan seperti sabuk pengaman dan helm.
 Penggunaan alkohol atau penggunaan obat adiktif.
 Adanya cedera kepala/otak dan cedera spina.
 Apakah ada masalah kejiwaan yang jelas.

Untuk menentukan prioritas resusitasi dan diagnosis ditetapkan berdasarkan


stabilitas hemodinamik dan tingkat keparahan cedera. Berdasarkan arahan protokol
Advanced Trauma Life Support adalah untuk mengidentifikasi dan melakukan
pencegahan terhadap kondisi yang mengancam jiwa. Protokol ini terdiri dari:
 Airway, dengan tindakan pencegahan pada spina servikal.
 Breathing.
 Circulation.
 Disability.
 Expouse.
Selain prioritas resusitasi dilaksanakan, untuk melakukan pengkajian riwayat cepat
menurut Salomon (200) merekomendasikan pendekatan AMPLE:
 Allergies.
 Medications.
 Past medical history.
 Last meal or other intake.
 Event leading presentation.

Resusitasi dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan fisik sampai kondisi


kegawatan teratasi. Sementara pengkajian skunder dilanjutkan untuk mengidentifikasi
cedera melalui pemeriksaan head-to-toe. Selama proses pengkajian pasien sampai
saat memberikan intervensi kepada pasien tenaga kesehatan yang bertugas perlu
meningkatkan kewaspadaan dengan menggunakan alat pelindung seperti cap,
pelindung mata, masker, gown, sarung tangan, dan sepatu penutup untuk mencegah
terjadinya kontaminasi cairan tubuh pasien.
Pada kondisi klinik, penilaian klinis awal pasien dengan trauma abdomen
seringkali silit dan tidak akurat. Pengkajian utama tetap dilakukan terhadap status yang
bisa menyebabkan kondisi disfungsi neurologis, yang dapat disebabkan karena cedera
kepala atau penyalahgunaan zat. Pemeriksaan umum yang dapat diandalkan dan
gejala pada pasien yang masihh dalam kondisi sadar adalah nyeri, nyeri tekan
abdomen, adanya tanda perdarahan gastrointestinal, hipovolemia, dan bukti adanya
iritasi peritoneum. Sejumlah besar darah dapat terakumulasi di rongga peritoneal dan
pelvis tanpa adanya perubahan yang signifikan atau didapat pada fase awal dalam
temuan pemeriksaan fisik.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen harus sistematis, meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi,
dan perkusi dengan hasil temuan sebagai berikut:
 Inspeksi: Pada saat pemeriksaan dapat ditemukan adanya kondisi lecet (abrasi) atau
ekimosis. Tanda memar akibat sabuk pengaman, yakni luka memar atau abrasi di perut
bagian bawah sangat berhubungan dengan kondisi patologis intraperitoneal. Inspeksi
visual sangat penting dilakukan untuk mendapatkan adanya distensi abdomen yang
mungkin dapat terjadi karena pneumoperitonium, dilatasi lambung, atau ileus yang
diproduksi oleh iritasi peritoneal. Fraktur iga bagian bawah dapat berhubungan dengan
cedera pada limpa atau cedera hati.
 Auskultasi: Ditemukannya bunyi usus pada bagian toraks menunjukkan adanya cedera
pada otot diafragma.
 Palpasi: Palpasi dapat menemukan adanya keluhan tenderness (nyeri tekan) baik
secara lokal atau seluruh abdomen, kekakuan abdominal, atau rebound tenderness
yang menunjukkan cedera peritoneal.
 Perkusi: untuk mendapatkan adanya nyeri ketuk pada organ yang mengalami cedera.
 Pemeriksaan rektal: Dilakukan untuk mencari bukti cedera penetrasi akibat patah
tulang panggul dan pada feses dievaluasi adanya darah kotor.
 Pemeriksaan fungsi perkemihan: Dilakukan terutama adanya tanda dan riwayat trauma
panggul yang dapat menyebabkan cedera pada uretra dan kandung kemih. Palpasi
kekencangan kandung kemih dan kemampuan dalam melakukan miksi dilakukan untuk
mengkaji adanya ruptur uretra.

c. Pengkajian Psikososial
Pada pengkajian psikososial, pasien dan keluarga biasanya mengalami
kecemasan dan pasien memerlukan pemenuhan informasi tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kondisi klinis dan rencana pembedahan darurat.
Apabila pasien trauma abdomen memiliki indikasi untuk dilakukan prosedur
pembedahan maka pada kondisi pascabedah pasien akan mendapatkan perawatan di
ruang intensif. Pada kondisi ini perlakuan pengkajian disesuaikan dengan konteks
keperawatan kritis. Pengkajian lanjutan pada konteks keperawatan medikal-bedah di
ruang rawat inap bedah dilakukan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, pengkajian
diagnostik, dan pengkajian penatalaksanaan medik. Pada pasien pascabedah setelah
dari ruang intensif di ruang bedah hasil pengkajian yang dapat ditemukan:
1. Keluhan utama: Nyeri, keluhan yang berhubungan denga penurunan motilitas usus.
2. Pengkajian riwayat penyakit: Merupakan pengkajian lanjutan riwayat intervensi yang
sudah didapat pasien selama di unit gawat darurat, kamar bedah, dan ruang intensif,
seperti jenis pembedahan, penggunaan cairan dan transfusi darah, fungsi
gastrointestinal, serta pengetahuan dalam mobilisasi pasca bedah.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan disik yang didapatkan dapat sesuai dengan manifestasi klinik. Pada survei
umum, pasien terlihat lemah, TTV bisa didapatkan adanya perubahan. Pada
pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan hal-hal berikut:
 Inspeksi: Kondisi yang paling sering adalah terdapat luka pascabedah pada bagian
abdomen dan terpasang Foley kateter. Pada kondisi ini penting dikaji kondisi luka
pascabedah dan berbagai risiko yang meningkatkan masalah pada pasien, seperti
adanya infeksi luka operasi (ILO), risiko dehisens dan eviserasi terutama pada pasien
obesitas.
 Auskultasi: Pada kondisi klinik sering didapatkan bising usus tidak ada, terutama
dengan pasien yang memiliki keterbatasan mobilitas.
 Palpasi: pemeriksaan ini sering tidak dilakukan karena akan menjadi stimulus nyeri
pada pasien.
 Perkusi: Sering didapatkan adanya bunyi timpani akibat abdomen mengalami
kembung.
4. Pengkajian diagnostik lanjutan: Dilakukan di ruang rawat inap bedah, meliputi:
pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, dan LED),
pemeriksaan serum elektrolit, serta pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal.
5. Penatalaksanaan medis yang perlu dikaji: Adanya pemberian antimikroba yang akan
diberikan selama 5-7 hari pascabedah terutama pada pasien trauma abdomen dengan
kontaminasi rongga peritoneal.
Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS : Etiologi dan faktor Risiko Syok Hipovolemik
 Pasien mengeluh predisposisi
kembung di area ↓
abdomen Menyebabkan cedera
DO: abdomen
 Pasien tampak lemah ↓

 Penurunan kesadaran Perdarahan

 Akral dingin ↓
Penurunan volume darah
 Hipotensi

 Penurunan hematokrit
Penurunan perfusi perifer

Risiko syok hipovolemik
DS : Etiologi dan faktor Defisiensi Pengetahuan
 Pasien sebelumnya predisposisi
melakukan ↓
penatalaksanaan yang Menyebabkan cedera
tidak tepat abdomen
 Mengungkapkan tidak ↓
pernah mendapatkan Kurang paparan
informasi yang adekuat informasi
sebelumnya ↓
Defisiensi pengetahuan
DS : Etiologi dan faktor Risiko Trauma
 Pasien mengeluh predisposisi
kembung di area ↓
abdomen Menyebabkan cedera
 Pasien mengeluh nyeri abdomen
di area abdomen ↓
 Pasien mengatakan Risiko trauma
terkena objek tertentu
di area abdomen
DO:
 Terdapat jejas dan
hematom
 Peristaltik usus
7x/menit
 Pekak
DS : Etiologi dan faktor Nyeri Akut
 Pasien mengeluh nyeri predisposisi
di area abdomen ↓
DO: Menyebabkan cedera
 Wajah pasien tampak abdomen
menyeringai karena ↓
nyeri Cedera organ

 Pengkajian PQRST intraabdomen

 Peningkatan TTV ↓
Distensi abdomen
 Terdapat jejas dan

hematom di sekitar
Nyeri akut
abdomen

DS : Etiologi dan faktor Risiko


 Pasien lemas predisposisi ketidakseimbangan
DO: ↓ Volume Cairan
 Pasien tampak lemah Menyebabkan cedera

 Pasien tampak pucat abdomen

 Penurunan kesadaran ↓
Perdarahan
 Akral dingin

 Penurunan hematokrit
 Penurunan turgor kulit Penurunan volume darah
 Bibir kering ↓

 Oliguria Kehilangan cairan dalam


tubuh

Risiko
ketidakseimbangan
volume cairan
DS : Etiologi dan faktor Risiko Infeksi
 Pasien mengeluh predisposisi
demam ↓
DO: Menyebabkan cedera
 Pasien tampak lemah abdomen

 Peningkatan TTV ↓

 Kadar leukosit Trauma jaring integumen:

abnormal/tinggi abrasi dan ekimosis



Port de entree
mikroorganisme

Risiko infeksi
DS : Etiologi dan faktor Ansietas
 Pasien mengeluh predisposisi
kebingungan akan ↓
kondisi tubuhnya saat Menyebabkan cedera
ini abdomen
DO: ↓
 Pasien tampak bingung Kurang paparan

 Wajah pasien tegang informasi

 Akral dingin ↓
Defisiensi pengetahuan
 Peningkatan TTV ↓
Perubahan kondisi tubuh
dan hospitalisasi

Cemas akan kondisi
yang dialami

Ansietas

Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat diangkat antara lain:
1. Risiko syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, skunder dari cedera vaskular
intraabdominal
2. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi dan kurang sumber pengetahuan ditandai
dengan kurangnya pengetahuan terkait dengan penyakit, penatalaksanaan, dan
perawatan
3. Risiko trauma b.d akses pada senjata, alat rumah tangga yang rusak, bahaya listrik
(mis. salah stop kontak, kabel terkelupas, kotak sikring kelebihan daya), bermain
dengan objek berbahaya, jalan tidak aman, jarak yang berdekatan dengan jalur
kendaraan (mis. jalan raya, rel kereta api), kontak dengan mesin berbahaya, lingkungan
tempat tinggal kriminal, tidak menggunakan sabuk pengaman, kurang pengetahuan
tentang kewaspadaan keselamatan, dan gangguan keseimbangan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma) ditandai dengan diaforesis,
dilatasi pupil, ekspresi wajah nyeri, fokus menyempit, keluhan tentang intensitas
menggunakan standar skala nyeri, laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas,
mengekspresikan perilaku (mis. gelisah, merengek, menangis, waspada), perilaku
distraksi, perubahan pada parameter fisiologis (mis. TD, frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan, saturasi oksigen, dan end tidal karbondioksida), perubahan posisi untuk
menghindari nyeri, perubahan selera makan, putus asa, dan sikap melindungi area
nyeri.
5. Risiko ketidakseimbangan volume cairan b.d ansietas, berkeringat, trauma, obstruksi
intestinal, sepsis, dan program pengobatan.
6. Risiko infeksi b.d kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan, prosedur invasif,
gangguan integritas kulit, statis cairan tubuh, penurunan hemoglobin dan malnutrisi.
7. Ansietas b.d ancaman pada status terkini, krisis situasi, dan stresor ditandai dengan
gelisah, kontak mata yang buruk, ekspresi kekhawatiran karena perubahan dalam
peristiwa, penurunan produktivitas, distres, gugup, takut, sangat khawatir, peningkatan
ketegangan, peningkatan keringat, wajah tegang, anoreksia, dilatasi pupil, gangguan
pernapasan, jantung berdebar, mulut kering, peningkatan denyut nadi, peningkatan RR,
peningkatan TD, mual, nyeri abdomen, dan gangguan konsentrasi.

Rencana Keperawatan
1. Masalah keperawatan: Risiko syok hipovolemik
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami
syok hipovolemik. Didapatkan skor pada indikator NOC “Shock severity: Hypovolemic

Indikator 1 2 3 4 5
 Penurunan TD sistolik √
 Penurunan TD diastolik √

 Peningkatan RR √

 Pengisian capillary reffil yang tertunda


 Aritmia
 Peningkatan nadi tetapi lemah
 Penurunan oksigen
 Peningkatan karcon dioksida
 Kulit dingin
 Dehidrasi
 Penurunan output urin
 Letargi
 Asidosis metabolic
 Hyperkalemia
Intervensi: NIC “Bleeding Reduction: Gastrointestinal”
1. Evaluasi respon psikologis klien terhadap pendarahan
2. Pertahankan patensi airway (bila perlu)
3. Monitor adanya tanda dan gejala adanya perdarahan persistent
4. Monitor adanya tanda dari syok hipovolemik
5. Minta pasien dan/atau keluarga untuk mempersiapkan replacement darah

2. Masalah keperawatan: Defisiensi pengetahuan


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pengetahuan pasien
tentang penyakit dan prosedur penatalaksanaan meningkat. Didapatkan skor pada
indikator NOC: “Knowledge: Pain Management“
Indikator 1 2 3 4 5
 Faktor penyebab dan pendukung
 Tanda dan gejala nyeri
 Strategi untuk mengontrol nyeri
 Regimen pengobatan yang sesuai
 Penggunaan obat yang tepat
 Penggunaan obat secara aman
 Efek terapeutik pengobatan
 Efek samping obat
 Efek tambahan obat
 Pengurangan aktivitas
 Teknik posisi yang efektif
 Teknik relaksasi
 Sumber pengontrol nyeri yang adekuat

Intervensi: NIC “Pain Management“


1. Memeriksa nyeri secara keseluruhan, meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor yang mendukung
terjadinya nyeri
2. Mengobservasi nyeri dari respon non-verbal pasien
3. Mengeksplorasi faktor yang menyebabkan nyeri semakin membaik atau semakin parah
4. Memberikan informasi tentang nyeri secara adekuat dan memberikan cara
mengantisipasi ketidaknyamanan dari prosedur yang dilakukan
5. Mengontrol lingkungan yang berpengaruh terhadap respon ketidaknyamanan pasien
6. Mengajarkan prinsip manajemen nyeri
7. Mengajarkan tentang obat yang bisa mengurangi nyeri
8. Mengajarkan penggunaan obat anti nyeri dengan tepat
9. Memberikan waktu istirahat yang adekuat untuk mengurangi nyeri

3. Masalah keperawatan: Risiko trauma


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan trauma pada pasien
berkurang. Didapatkan skor pada indikator NOC “Physical Injury Severity“
Indikator 1 2 3 4 5
 Abrasi kulit
 Memar
 Laserasi
 Gangguan mobilitas
 Penurunan kesadaran
 Ruptur limpa
 Perdarahan
 Trauma abdomen
Intervensi: NIC “Pressure Management“
1. Memakaikan pakaian yang longgar kepada pasien
2. Memberikan tempat kepada pasien di tempat tidur yang sesuai/memberikan efek
terapeutik
3. Mencegah dari penerapan tekanan kepada bagian tubuh yang berkaitan dengan cedera
atau trauma
4. Tidak melakukan mobilisasi kepada pasien tiap 2 jam, berdasarkan jadwal yang dibuat
5. Memantau adanya kemerahan atau luka disekitar kulit
6. Memantau mobilisasi dan aktifitas pasien

4. Masalah keperawatan: Nyeri akut


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan nyeri pada pasien
berkurang. Didapatkan skor pada indikator NOC “Pain Level“
Indikator 1 2 3 4 5

 Pelaporan nyeri
 RR
 Ekspresi wajah nyeri
 Tekanan darah
 Lama episode nyeri

Intervensi: NIC “Pain Management”


1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan factor resipitasi
2. Monitor TTV
3. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
4. Control lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi yg meningkatkan nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Berikan analgesic untuk mengurangi nyeri
8. Evaluasi keefektifan control nyeri
9. Tingkatkan istirahat
10. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil

Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul

5. Masalah keperawatan: Risiko ketidakseimbangan volume cairan


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan cairan dalam tubuh
pasien seimbang. Didapatkan skor pada indikator NOC “Fluid Balance“
Indikator 1 2 3 4 5
 Tekanan darah
 Nadi
 Tekanan arteri
 Tekanan vena sentral
 Keseimbangan intake dan output
cairan dalam waktu 24 jam
 Turgor kulit
 Kelembapan mukus membran
 Serum elektrolit
 Perdarahan
 Edema
 Dehidrasi
Intervensi: NIC “Fluid Management“
1. Memberikan catatan input dan output cairan yang akurat
2. Memantau status hidrasi seperti mukus membran, nadi yang adekuat dan tekanan
darah
3. Memantau TTV
4. Memeriksa lokasi edema
5. Memantau status nutrisi
6. Memberikan terapi IV
7. Memberikan intake cairan selama 24 jam
8. Memberikan terapi elektrolit
9. Memantau respon pasien terhadap terapi elektrolit yang diberikan
10. Menyiapkan tranfusi darah
11. Memberikan produk tranfusi darah jika diperlukan

6. Masalah keperawatan: Risiko infeksi


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami
infeksi. Didapatkan skor pada indikator NOC “Infection Severy“
Indikator 1 2 3 4 5
 Kemerahan
 Perubahan bau tidak sedap
 Drainase purulen
 Demam
 Nyeri
 Letargi
 Kehilangan nafsu makan
 Jumlah sel darah putih
Intervensi: NIC “Infection Control“
1. Membersihkan lingkungan di sekitar pasien untuk meminimalisir perkembangbiakan
mikroorganisme penyebab infeksi
2. Membatasi kunjungan
3. Mengajarkan teknik membersihkan tangan dengan benar
4. Penggunaan masker, sarung tangan dan gown steril saat mengkaji kondisi pasien
5. Memberikan terapi antibiotik dengan tepat
6. Mengajarkan kepada pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan kapan
harus segera lapor ke tenaga kesehatan
7. Mengajarkan pasien dan anggota keluarga untuk mencegas infeksi

7. Masalah keperawatan: Ansietas


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan kecemasan pada pasien
dan keluarga pasien berkurang. Didapatkan skor pada indikator NOC “Anxiety Level“
Indikator 1 2 3 4 5
 Sikap gelisah
 Distress
 Wajah tegang
 Sulit berkonsentrasi
 Serangan panik
 Laporan ansietas
 Peningkatan TD
 Peningkatan nadi
 Peningkatan RR
 Dilatasi pupil
 Berkeringat
Intervensi: NIC “Anxiety Reduction“
1. Melakukan teknik relaksasi
2. Menjelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang akan dirasakan ketika prosedur
sedang berlangsung
3. Memberikan informasi faktual tentang diagnosis, pengobatan dan prognosis
4. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan pasien
5. Mengenali pengungkapan perasaan ketakutan, persepsi dan ketakutan pasien
6. Mengidentifikasi perubahan tingkat ansietas
7. Membantu pasien mengidentifikasi keadaan yang dapat menyebabkan ansietas
8. Mendukung penggunaan strategi coping pasien

Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Tidak terjadi syok hipovolemik.
2. Informasi kesehatan terpenuhi.
3. Tidak mengalami injuri pascaprosedur bedah laparotomi.
4. Nyeri berkurang dan teradaptasi.
5. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Infeksi luka operasi tidak terjadi.
7. Kecemasan berkurang.
8. Informasi prabedah terpenuhi.

Vous aimerez peut-être aussi