Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu hal
penting dan menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup
deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen
dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada di antara nipple dan
perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera intraabdominal. Pada
penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat ditentukan oleh
mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma, maupun status hemodinamik penderita.
Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab
kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Sebaiknya jangan menganggap bahwa
ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ padat merupakan hal yang
mudah untuk dikenali. Hasil pemeriksaan terhadap abdomen mungkin saja dikacaukan
oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obat tertentu, adanya trauma otak
atau medulla spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai organ
yang berdekatan seperti kosta, tulang belakang, maupun pelvis. Setiap pasien yang
mengalami trauma tumpul pada dada baik karena pukulan langsung maupun
deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma visera
atau trauma vaskuler abdomen.
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kegawatdaruratan dan
meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma abdomen.
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai trauma abdomen sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus
trauma abdomen di klinik sesuai kompetensi tenaga medis terutama perawat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks
dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal wall) yang
terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan ilium. Trauma adalah
sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menyebabkan
luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan
mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma
abdomen adalah terjadinya cedera atau kerusakan pada organ abdomen yang
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imunologi dan gangguan faal berbagai organ (MH Assiddqi, 2014).
2.2 Klasifikasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari:
1. Trauma penetrasi: trauma tembak, trauma tusuk (MH Assiddqi, 2014).
Trauma penetrans merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang ke trauma
center. Luka tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma penetrasi pada
populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit hitam pada umur 15-24
tahun. Penyebab lain trauma penetrans adalah stab wound, impalements, gigitan
anjing, dan kecelakaan mesin. Oleh karena kebanyakan trauma penetrans pada
abdomen biasanya memerlukan tindakan pembedahan maka persiapan di ruang
operasi harus simultan dengan assessment pasien (Pratama, 2014).
2. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme
utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga
kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan,
atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah
hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ
padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen
pada organ berongga dan menyebabkan rupture (MH Assiddqi, 2014).
Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari 80% trauma
pada anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan berhubungan dengan
kecelakan kendaraan bermotor. Cedera abdominal dapat disebabkan juga oleh karena
terjatuh dan langsung mengenai dinding abdomen misalnya pada handlebar injuri
(Pratama, 2014).
2.3 Etiologi
Penyebab trauma abdomen antara lain: trauma, iritasi, infeksi, obstruksi dan operasi.
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan trauma tembus, biasanya
tikaman atau tembakan dan trauma tumpul akibat kecelakaan mobil, pukulan langsung
atau jatuh. Luka yang tampak ringan bisa menimbulkan cedera eksterna yang
mengancam nyawa (MH Assiddqi, 2014).
2.4 Patofisiologi
Terlampir
1. Pemeriksaan FAST
- Pemeriksaan yang relative cepat menyediakan informasi yang bermanfaat dan banyak
digunakan oleh pusat trauma
- Pemeriksaan ini dilakukan dengan menaruh ultrasound probe diatas berbagai area
abdomen yang menentukan apakah ada cairan bebas di area tersebut. Area yang
dievaluasi adalah kantong morison di kuadran kanan atas, kantong pericardial, region
splenorenal di kuadran kiri atas, dan panggul (kantong douglas).
- Jika hasil FAST positif dan hemodinamik pasien tidak stabil, maka dilakukan laparotomi
eksploratif.
2. Pemeriksaan DPL
- Prosedur diagnostic cepat yang digunakan selama fase resusitasi pada perawatan
pasien trauma hemodinamiknya tidak stabil untuk menegakkan diagnosa perdarahan
intra-abdomen.
- Indikasi: cedera tumpul abdomen dengan perubahan status mental, hipotensi tidak
jelas sebabnya, penurunan hematokrit, syok, hasil pemeriksaan abdomen tidak jelas,
cedera medulla spinalis, cedera alih (fraktur tulang, trauma dada), trauma tembus
abdomen (jika eksplorasi tidak diindikasikan).
- Kontraindikasi: riwayat pembedahan abdomen berulang, kehamilah trimester tiga,
sirosis hati lanjut, obesitas morbid, riwayat koagulopati, dan riwayat pembedahan
abdomen berulang kali (terdapat peningkatan resiko laserasi omentum dan visera atau
perforasi vascular jika DPL dilakukan pada pasien yang menunjukkan temuan ini).
- Teknik: masukkan kateter lavase ke ruang peritoneum melalui insisi 1 -2 cm, upayakan
aspirasi cairan peritoneum, infusikan salin normal atau ringer laktat mengggunakan
gaya gravitasi, miringkan pasien ke kiri dan kanan (kecuali kontraindikasi), Biarkan
cairan masuk ke dalam kantong melalui gravitasi, kirim specimen ke laboratorium.
- Hasil positif: 10-20 ml darah makroskopik pada aspirasi awal, > 100.000 sel darah
merah/mm3, lebih dari 500 sel drah putih/mm3, kadar amylase meningkat, adanya
(empedu, bakteri, atau feses)
- Jika hasil DPL positif dan hemodinamik pasien tidak stabil, dilakukan laparotomi
eksploratif.
- Ketika melakukan DPL, penting terlebih dahulu memastikan bahwa pasien terpasang
kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik untuk mendekompresi lambung dan
kandung kemih sehingga mencegah terjadinya perforasi tidak sengaja saat memasang
kateter lavase. Ketika kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik terpasang,
katetter lavase dimasukkan ke dalam ruang peritoneum. Jika darah makroskopi yang
kembali kurang dari 10 ml, kantong berisi satu liter kristaloid (larutan RL atau NS 0,9%)
hangat diinfuskan ke dalam peritoneum. Setelah infuse selesai, kantong IV diletakkan
pada posisi tergantung guna memungkinkan cairan keluar dari abdomen karena
gravitasi.
3. CT Scan
- Lebih sering digunakan pada pasien yang hemodinamiknya lebih stabil.
- Sering dilakukan dengn kontras IV atau oral untuk melihat organ dan mengetahui
adanya gangguan.
- CT scan memungkinkan visualisasi area peritoneum, retroperineum, dan panggul serta
memungkinkan perkiraan jumlah cairan di area ini.
- CT scan juga digunakan untuk menentukan derajat cedera pada organ padat
- Keterbatasan penggunaan CT mencakup lama waktu yang diibutuhkan untuk
melakukan pemeriksaan, kebutuhan untuk memindahkan pasien keluar dari area
resusitasi, dan syarat bahwa pasien harus memiliki hemodinamik yang stabil dan
pergerakan dibatasi selama pemeriksaan. (Morton ,2011)
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen
1. Trauma Tumpul Abdomen
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila pasien telah stabil baru
kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri. Pipa lambung, selain untuk diagnostic,
harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah. Sedangkan
kateter di pasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin. Pada trauma tumpul,
bila terdapat kerusakan intra peritoneum harus dilakukan laparotomi, sedangkan bila tidak,
pasien diobservasi selama 24-48 jam.
Tindakan laparotomi dilakukan untuk mengetahui organ yang mengalami kerusakan. Bila
terdapat perdarahan, tindakan yang dilakukan adalah penghentian perdarahan. Sedangkan
pada organ berongga, penanganan kerusakan berkisar dari penutupan sederhana sampai
reseksi sebagian.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen harus sistematis, meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi,
dan perkusi dengan hasil temuan sebagai berikut:
Inspeksi: Pada saat pemeriksaan dapat ditemukan adanya kondisi lecet (abrasi) atau
ekimosis. Tanda memar akibat sabuk pengaman, yakni luka memar atau abrasi di perut
bagian bawah sangat berhubungan dengan kondisi patologis intraperitoneal. Inspeksi
visual sangat penting dilakukan untuk mendapatkan adanya distensi abdomen yang
mungkin dapat terjadi karena pneumoperitonium, dilatasi lambung, atau ileus yang
diproduksi oleh iritasi peritoneal. Fraktur iga bagian bawah dapat berhubungan dengan
cedera pada limpa atau cedera hati.
Auskultasi: Ditemukannya bunyi usus pada bagian toraks menunjukkan adanya cedera
pada otot diafragma.
Palpasi: Palpasi dapat menemukan adanya keluhan tenderness (nyeri tekan) baik
secara lokal atau seluruh abdomen, kekakuan abdominal, atau rebound tenderness
yang menunjukkan cedera peritoneal.
Perkusi: untuk mendapatkan adanya nyeri ketuk pada organ yang mengalami cedera.
Pemeriksaan rektal: Dilakukan untuk mencari bukti cedera penetrasi akibat patah
tulang panggul dan pada feses dievaluasi adanya darah kotor.
Pemeriksaan fungsi perkemihan: Dilakukan terutama adanya tanda dan riwayat trauma
panggul yang dapat menyebabkan cedera pada uretra dan kandung kemih. Palpasi
kekencangan kandung kemih dan kemampuan dalam melakukan miksi dilakukan untuk
mengkaji adanya ruptur uretra.
c. Pengkajian Psikososial
Pada pengkajian psikososial, pasien dan keluarga biasanya mengalami
kecemasan dan pasien memerlukan pemenuhan informasi tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kondisi klinis dan rencana pembedahan darurat.
Apabila pasien trauma abdomen memiliki indikasi untuk dilakukan prosedur
pembedahan maka pada kondisi pascabedah pasien akan mendapatkan perawatan di
ruang intensif. Pada kondisi ini perlakuan pengkajian disesuaikan dengan konteks
keperawatan kritis. Pengkajian lanjutan pada konteks keperawatan medikal-bedah di
ruang rawat inap bedah dilakukan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, pengkajian
diagnostik, dan pengkajian penatalaksanaan medik. Pada pasien pascabedah setelah
dari ruang intensif di ruang bedah hasil pengkajian yang dapat ditemukan:
1. Keluhan utama: Nyeri, keluhan yang berhubungan denga penurunan motilitas usus.
2. Pengkajian riwayat penyakit: Merupakan pengkajian lanjutan riwayat intervensi yang
sudah didapat pasien selama di unit gawat darurat, kamar bedah, dan ruang intensif,
seperti jenis pembedahan, penggunaan cairan dan transfusi darah, fungsi
gastrointestinal, serta pengetahuan dalam mobilisasi pasca bedah.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan disik yang didapatkan dapat sesuai dengan manifestasi klinik. Pada survei
umum, pasien terlihat lemah, TTV bisa didapatkan adanya perubahan. Pada
pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan hal-hal berikut:
Inspeksi: Kondisi yang paling sering adalah terdapat luka pascabedah pada bagian
abdomen dan terpasang Foley kateter. Pada kondisi ini penting dikaji kondisi luka
pascabedah dan berbagai risiko yang meningkatkan masalah pada pasien, seperti
adanya infeksi luka operasi (ILO), risiko dehisens dan eviserasi terutama pada pasien
obesitas.
Auskultasi: Pada kondisi klinik sering didapatkan bising usus tidak ada, terutama
dengan pasien yang memiliki keterbatasan mobilitas.
Palpasi: pemeriksaan ini sering tidak dilakukan karena akan menjadi stimulus nyeri
pada pasien.
Perkusi: Sering didapatkan adanya bunyi timpani akibat abdomen mengalami
kembung.
4. Pengkajian diagnostik lanjutan: Dilakukan di ruang rawat inap bedah, meliputi:
pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, dan LED),
pemeriksaan serum elektrolit, serta pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal.
5. Penatalaksanaan medis yang perlu dikaji: Adanya pemberian antimikroba yang akan
diberikan selama 5-7 hari pascabedah terutama pada pasien trauma abdomen dengan
kontaminasi rongga peritoneal.
Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS : Etiologi dan faktor Risiko Syok Hipovolemik
Pasien mengeluh predisposisi
kembung di area ↓
abdomen Menyebabkan cedera
DO: abdomen
Pasien tampak lemah ↓
Akral dingin ↓
Penurunan volume darah
Hipotensi
↓
Penurunan hematokrit
Penurunan perfusi perifer
↓
Risiko syok hipovolemik
DS : Etiologi dan faktor Defisiensi Pengetahuan
Pasien sebelumnya predisposisi
melakukan ↓
penatalaksanaan yang Menyebabkan cedera
tidak tepat abdomen
Mengungkapkan tidak ↓
pernah mendapatkan Kurang paparan
informasi yang adekuat informasi
sebelumnya ↓
Defisiensi pengetahuan
DS : Etiologi dan faktor Risiko Trauma
Pasien mengeluh predisposisi
kembung di area ↓
abdomen Menyebabkan cedera
Pasien mengeluh nyeri abdomen
di area abdomen ↓
Pasien mengatakan Risiko trauma
terkena objek tertentu
di area abdomen
DO:
Terdapat jejas dan
hematom
Peristaltik usus
7x/menit
Pekak
DS : Etiologi dan faktor Nyeri Akut
Pasien mengeluh nyeri predisposisi
di area abdomen ↓
DO: Menyebabkan cedera
Wajah pasien tampak abdomen
menyeringai karena ↓
nyeri Cedera organ
Peningkatan TTV ↓
Distensi abdomen
Terdapat jejas dan
↓
hematom di sekitar
Nyeri akut
abdomen
Penurunan kesadaran ↓
Perdarahan
Akral dingin
↓
Penurunan hematokrit
Penurunan turgor kulit Penurunan volume darah
Bibir kering ↓
Peningkatan TTV ↓
Akral dingin ↓
Defisiensi pengetahuan
Peningkatan TTV ↓
Perubahan kondisi tubuh
dan hospitalisasi
↓
Cemas akan kondisi
yang dialami
↓
Ansietas
Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat diangkat antara lain:
1. Risiko syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, skunder dari cedera vaskular
intraabdominal
2. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi dan kurang sumber pengetahuan ditandai
dengan kurangnya pengetahuan terkait dengan penyakit, penatalaksanaan, dan
perawatan
3. Risiko trauma b.d akses pada senjata, alat rumah tangga yang rusak, bahaya listrik
(mis. salah stop kontak, kabel terkelupas, kotak sikring kelebihan daya), bermain
dengan objek berbahaya, jalan tidak aman, jarak yang berdekatan dengan jalur
kendaraan (mis. jalan raya, rel kereta api), kontak dengan mesin berbahaya, lingkungan
tempat tinggal kriminal, tidak menggunakan sabuk pengaman, kurang pengetahuan
tentang kewaspadaan keselamatan, dan gangguan keseimbangan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma) ditandai dengan diaforesis,
dilatasi pupil, ekspresi wajah nyeri, fokus menyempit, keluhan tentang intensitas
menggunakan standar skala nyeri, laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas,
mengekspresikan perilaku (mis. gelisah, merengek, menangis, waspada), perilaku
distraksi, perubahan pada parameter fisiologis (mis. TD, frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan, saturasi oksigen, dan end tidal karbondioksida), perubahan posisi untuk
menghindari nyeri, perubahan selera makan, putus asa, dan sikap melindungi area
nyeri.
5. Risiko ketidakseimbangan volume cairan b.d ansietas, berkeringat, trauma, obstruksi
intestinal, sepsis, dan program pengobatan.
6. Risiko infeksi b.d kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan, prosedur invasif,
gangguan integritas kulit, statis cairan tubuh, penurunan hemoglobin dan malnutrisi.
7. Ansietas b.d ancaman pada status terkini, krisis situasi, dan stresor ditandai dengan
gelisah, kontak mata yang buruk, ekspresi kekhawatiran karena perubahan dalam
peristiwa, penurunan produktivitas, distres, gugup, takut, sangat khawatir, peningkatan
ketegangan, peningkatan keringat, wajah tegang, anoreksia, dilatasi pupil, gangguan
pernapasan, jantung berdebar, mulut kering, peningkatan denyut nadi, peningkatan RR,
peningkatan TD, mual, nyeri abdomen, dan gangguan konsentrasi.
Rencana Keperawatan
1. Masalah keperawatan: Risiko syok hipovolemik
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami
syok hipovolemik. Didapatkan skor pada indikator NOC “Shock severity: Hypovolemic
“
Indikator 1 2 3 4 5
Penurunan TD sistolik √
Penurunan TD diastolik √
Peningkatan RR √
Pelaporan nyeri
RR
Ekspresi wajah nyeri
Tekanan darah
Lama episode nyeri
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul
Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Tidak terjadi syok hipovolemik.
2. Informasi kesehatan terpenuhi.
3. Tidak mengalami injuri pascaprosedur bedah laparotomi.
4. Nyeri berkurang dan teradaptasi.
5. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Infeksi luka operasi tidak terjadi.
7. Kecemasan berkurang.
8. Informasi prabedah terpenuhi.