Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
“Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?” “Dalam satu jam harus berdetak
3,600 kali? Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan
dirinya. Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada
si jam. “Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”
“Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias.
Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa
terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena
ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti
ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali.
Nilai Sebuah Kehidupan
Entah siapa yang memberitahunya alamat saya, ia tiba-tiba sudah berdiri di
hadapan saya. Seorang sahabat lama yang sudah hampir sepuluh tahun tidak
pernah bertemu, perawakannya tidak ada yang berubah mulai dari cara
bersisirnya hingga cara berpakaiannya. Bahkan jika saya tidak salah ingat,
pakaian yang dikenakannya saat itu adalah pakaian sehari-hari yang saya lihat
sepuluh tahun yang lalu. ia bersepatu, tetapi saya tak sanggup menatap lama-
lama sepatunya itu, hanya karena khawatir ia tersinggung jika saya menatapnya
lama. Sebuah tas gemblok lusuh menempel di punggungnya, selusuh celana
panjang yang warna hitamnya sudah memudar.
Setelah berbicara sedikit tentang perjalanan masa lalu, saya agak iseng
menanyakan keluarganya. Mino langsung tertegun, membuat saya merasa
bersalah melepaskan pertanyaan itu. Bibirnya seperti hendak bergerak
mengatakan sesuatu, tetapi yang terdengar hanya gumaman yang tak jelas.
“Maaf jika saya menyinggung perasaanmu…” kalimat saya dipotong cepat, “Ooh
tidak, tidak apa-apa…”
Beberapa detik kemudian saya mampu membaca pikirannya, “Apa yang bisa
saya bantu No?” Wajahnya sumringah mendadak, senyum yang sudah lama tak
pernah saya lihat, yang saya lihat terakhir kali sepuluh tahun lalu itu. Sambil
menepuk pundak saya ia pun berseloroh, “Orang sukses seperti kamu pasti bisa
membantu saya untuk keluar dari persoalan kehidupan ini…”
Saya mendengarkan kisahnya, tentang usaha reparasi komputernya yang
bangkrut sehingga ia menjalani hari-hari tanpa penghasilan sepanjang hampir
tiga tahun. Tentang hidupnya yang terus nomaden karena tak sanggup
membayar biaya kontrakan, kontrakan terakhirnya yang ia tempati saat ini pun
sudah menunggak tiga bulan dan diberi ultimatum satu bulan lagi untuk segera
melunasinya. Belum lagi soal biaya masuk sekolah untuk anaknya yang sama
sekali tak ia sanggupi.
Saya tersenyum, dua puluh ribu tentu saja bukan lagi pinjaman. Dalam
kebiasaan saya, yang namanya pinjaman itu nilainya bisa sampai jutaan. “Begini
No, kalau dua puluh ribu saya tidak mau meminjamkannya, tapi saya akan
memberikannya kepadamu… ikhl…” saya batalkan menyebut kata ini. Bahkan
saya memberi lebih dari yang dimintanya, meski kemudian Mino bilang bahwa
yang saya berikan itu statusnya tetap pinjaman. Saya bilang, “itu pemberian”
dia bilang, “ini pinjaman”, saya menyudahi perdebatan soal status itu dengan
menyerah pada kegigihannya untuk tetap “meminjam”, bukan “meminta”.
Dua bulan sudah saya tak mendengar kabar darinya. Entah apa yang bisa
dilakukannya dengan uang yang tak seberapa itu. Hingga beberapa hari lalu,
saya mendapat pesan singkat dari seseorang, “Saya ingin kembalikan lima puluh
ribu yang saya pinjam tempo hari”. Saya bingung siapa yang mengirim pesan
singkat tersebut karena namanya tidak tertera, setelah saya tanya siapa yang
mengirimnya, terkirim lagi satu pesan singkat, “Ini Mino, maaf tidak bisa balas
sms lagi soalnya pakai hape teman”.
Ingin sekali saya bertemu lagi dengan sahabat saya itu, kali ini saya akan
memeluknya lebih lama dan lebih erat meski saya tahu aroma mataharinya lebih
menyengat dari yang saya reguk sekitar dua bulan lalu. Hati ini jelas berbunga-
bunga, ada haru yang terus menyelimuti dinding-dinding jiwa ini selepas
pembicaraan di telepon itu. Masih terngiang di telinga saya ketika ia hanya ingin
meminjam dua puluh ribu rupiah, jauh dari dugaan saya sebelumnya. Namun
dua puluh ribu yang ingin ia pinjam itu adalah sebuah nilai kehidupan bagi
seorang Mino.
Dua puluh ribu rupiah, bagi sebagian kita hanyalah senilai sebungkus nasi di
warung padang saat makan siang. Tetapi bagi orang seperti Mino adalah
kehidupan panjang bagi ia, isteri dan dua anaknya. Dua puluh ribu bagi sebagian
kita tidak cukup untuk uang jajan sehari anak-anak kita, namun bagi Mino
berarti senyum panjang isteri dan anak-anaknya. Dua puluh ribu rupiah yang
bagi sebagian kita sering dianggap recehan, namun bagi seorang Mino adalah
nilai kehidupannya yang sangat berarti.
Ketika orang tua tidak merestui hubungan kita, ada baiknya anda melakukan
lagi cek dan rechek atas permasalahan yang sedang dihadapi, dan anda harus
siap melihat dan menerima sisi baik maupun sisi buruk dari masalah ini.
Yang pertama kali harus kita lakukan adalah mengetahui dulu motivasi apa yang
menyebabkan kita memilih dia menjadi pacar kita? Apa tujuan dari hubungan
yang kita jalin. Apakah tujuan kita memilih dia itu hanya untuk sekedar gila-
gilaan, biar lebih dipandang sebagai ce/co gaul, atau mungkin ada motivasi lain
yang lebih tinggi, misal karena kita menginginkan dia jadi istri/suami kita?
Dengan mengetahui motivasi sebenarnya dari sebuah hubungan, kita bakal lebih
mengetahui apakah kita emangbenar-benar cinta sama dia? atau justru cinta
yang kita rasakan ini cuma sekedar perasaan kagum sesaat saja? Atau malah
yang parah lagi bila kita memilih dia, cuma ingin teman-teman kita memandang
kita hebat karena bisa mendapatkan dia, yang notabene ce/co idaman? Nah,
bila kita telah mengetahui apa sebenarnya motivasi dari hubungan cinta kita,
dijamin kita bakal lebih mudah untuk menghadapi ketidaksetujuan dari orang
tua kita.
Orang tua juga manusia, tidak selamanya mereka selalu benar. Bila ternyata
ketidaksetujuan mereka lebih dilatar belakangi karena masalah racis (perbedaan
suku, warna kulit dst), kelas sosial, atau bahkan perbedaan pekerjaan (misal dia
kurang mapan dibandingkan dengan kita). Bila itu semua yang menjadi alasan,
maka sudah selayaknya kita berjuang mempertahankan hubungan cinta kita dan
tidak begitu saja menyerah dan setuju dengan ketidaksetujuan orang tua kita.
Orang tua mungkin merasa khawatir bila ternyata hubungan cinta kita justru
akan membuat kita sengsara, atau membuat kita dikucilkan dari pergaulan
masyarakat. Dan terkadang orang tua mempergunakan “aturan” atau “tata
sosial” zaman dulu, yang terkadang kurang relevan dengan keadaan zaman
sekarang.
Bila ternyata semua ini yang menjadi penyebab ketidaksetujuan orang tua kita,
maka sudah sewajarnya kita bisa memberikan argumen yang tepat pada mereka
untuk mempertahankan hubungan cinta kita. Bagaimanapun ketidaksetujuan
yang disebabkan karena masalah rasis, kelas sosial sangat tidak bisa
dibenarkan, meskipun itu semua datang dari orang tua kita sendiri.
Tidak ada yang lebih mengenal kita, selain orang tua kita. Bahkan orang tua
lebih tahu dan mengerti pada diri kita dibandingkan kita sendiri. Dan mungkin
saja, karena kita sedang dibutakan oleh yang namanya cinta, hingga apa yang
dilihat sebagai sisi buruk oleh orang tua kita justru kita tidak bisa menyadarinya.
Yang kita lihat hanya sisi baik dan pandangan bahwa cinta itu selalu indah. Kita
harus ingat, orang tua sangat menyayangi kita dan mereka menginginkan
supaya kita bisa bahagia dalam hidup ini. Jadi ketika mereka melihat sesuatu
yang tidak beres dan merugikan, dalam hubungan cinta kita, tentu saja mereka
bakal dengan tegas menolak dan tidak merestui hubungan kita.
Jika orang kita ternyata pernah mendengar bahkan tahu bahwa pacar kita
tersebut punya perilaku yang buruk, dan mereka mengkhawatirkan kita bakal
dilukai oleh pacar kita, tentu ada baiknya bila kita mencoba mendengarkan
mereka, karena mungkin saja mereka ada benarnya. Jika kita mulai berlaku
liar, dan hidup kita mulai kacau, (misal kita mulai mempergunakan obat-obatan
terlarang, minuman keras) karena pengaruh pacar kita, orang tua sudah pasti
sangat tidak setuju dengan hubungan kita. Dan orang tua juga bakal tidak
merestui, bila ternyata selama menjalin hubungan cinta, prestasi kuliah kita
mulai menurun, atau kita mulai kehilangan sahabat dan teman kita. Sudah
waktunya kita mendengarkan orang tua dan menghentikan hubungan cinta kita.
Bagaimanapun, sebuah hubungan cinta yang terlalu banyak mengorbankan dan
merugikan kehidupan pribadi kita, sudah merupakan sesuatu yang tidak
menyehatkan bagi kelangsungan hidup kita.
Seperti dikatakan di awal tadi, cinta itu indah dan bisa membuat hidup lebih
bersemangat dan lebih baik. Bila ternyata cinta yang kita jalani sekarang ini
memang benar-benar membuat hidup kita lebih baik, lebih nyaman, dan pacar
kita benar-benar sayang sama kita dan memberikan efek positif pada kehidupan
kita, sudah sewajarnya kita mempertahankan hubungan cinta ini, meskipun
orang tua tidak setuju.