Vous êtes sur la page 1sur 74

HUBUNGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DENGAN

TINGKAT KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA


DI PUSKESMAS CILEMBANG KOTA TASIKMALAYA
PERIODE 1 JANUARI – 31 DESEMBER 2016

SKRIPSI

SILKA RESLIA RISWANTO


1413010004

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
2017
HUBUNGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DENGAN
TINGKAT KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA
DI PUSKESMAS CILEMBANG KOTA TASIKMALAYA
PERIODE 1 JANUARI – 31 DESEMBER 2016

SKRIPSI

Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

SILKA RESLIA RISWANTO


1413010004

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
2017

i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Silka Reslia Riswanto
NIM : 1413010004
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi adalah hasil karya saya dan
semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan
benar serta bukan hasil penjiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dan apabila kelak dikemudian hari terbukti ada
unsur plagiasi, saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

Purwokerto, 1 Desember 2017


Yang membuat pernyataan,

Silka Reslia Riswanto

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi yang diajukan oleh:


Nama : Silka Reslia Riswanto
NIM : 1413010004
Program Studi : Pendidikan Kedokteran
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Judul : Hubungan Penggunaan Antibiotik dengan Tingkat
Kekambuhan ISPA pada Balita di Puskemas
Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31
Desember 2016.

Telah diterima dan disetujui

Purwokerto, 12 September 2017

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Dyah Retnani Basuki, M.Kes., AAAK. dr. Muhammad Fadhol Romdhoni, M.Si
NIK.: 2160573 NIK.: 2160625

Ketua Program Studi

dr. Prima Maharani Putri, M.H


NIK.: 2160485

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh:


Nama : Silka Reslia Riswanto
NIM : 1413010004
iii
Program Studi : Pendidikan Kedokteran
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Judul : Hubungan Penggunaan Antibiotik dengan Tingkat
Kekambuhan ISPA pada Balita di Puskemas
Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31
Desember 2016.

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
(S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.

DEWAN PENGUJI

Penguji 1 : dr. Dyah Retnani Basuki, M.Kes., AAAK. (……………………...….)

Penguji 2 : dr. Muhammad Fadhol Romdhoni, M.Si (…………………………)

Penguji 3 : dr. Dewi Karita, M.Sc (…………………………)

Ditetapkan di : Purwokerto
Tanggal : 11 November 2017

Mengetahui
Dekan FK

dr. Mambodyanto SP. S.H., M.Kes., MMR., Adv.


NIK:. 2160484

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
nya, dapat menyelsaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan Penggunaan
Antibiotik dengan Tingkat Kekambuhan ISPA pada Balita di Puskemas
Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31 Desember 2016”. Penulisan
skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Kedokteran Umum
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan

iv
dan bimbingan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit
untuk menyelsaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. H. Syamsuhadi Irsyad M.H selaku Rektor Universitas Muhammadiyah


Purwokerto.
2. dr.H. Mambodyanto S.P., S.H., M.Kes (MMR)., Adv selaku dekan fakultas
Kedokteran yang telah memberi berbagai informasi dan bimbingan tentang
tata laksana penyusunan skripsi.
3. dr. Susiyadi., Sp. An sebagai wakil dekan I yang selalu meberi motivasi
dan bantuan ketika kesulitan dalam penyususnan skripsi.
4. dr. Mustika Ratnaningsih Purbowati., MM selaku wakil dekan II yang
selalu membantu dan mendengarkan curhatan ketika mengalami kesulitan
dalam penyusunan skripsi.
5. dr. Refni Riyanto., Sp. An sebagai wakil dekan III yang memberikan
informasi tentang jalannya pembuatan skripsi.
6. dr. Prima Maharani Putri., M.H selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Kedokteran yang telah memberi berbagai informasi dan motivasi dalam
tatalaksana penyusunan skripsi.
7. dr. Dyah Retnani Basuki, M.Kes., AAAK sebagai pembibing I yang selalu
memberikan masukan skripsi, merevisi skripsi agar dapat tersusun lebih
baik, memotivasi dalam pembelajaran, memberikan pengalamaan dalam
dunia kedokteran serta banyak nasihat yang selalu diberikan ketika proses
bimbingan.
8. dr. Muhammad Fadhol Romdhoni., M.Si sebagai pembibing II yang selalu
sabar memberikan koreksi tatacara penulisan skripsi dan memotivasi untuk
menjadi lebih baik lagi dalam berprilaku.
9. dr. Dewi Karita, M.Sc sebagai penguji yang sangat baik dalam
memberikan masukan isi dari skripsi yang saya lakukan serta nasihat yang
selalu diberikan.
10. dr. Rizka Adi Nugraha Putra., M.Sc sebagai komisi etik yang sangat baik
memberikan masukan serta tatacara etika dalam proses penelitian.
11. Bapak Hj. Wawan Setiawan, SKM., MSi sebagai kepala Puskesmas
Cilembang Kota Tasikmalaya yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian dan memberikan informasi guna mempermudah
jalannya proses penelitian.
12. Kedua Orang Tua, Bapak Aiptu Rachwan Riswanto., S.I.P., Ibu Yana
Erliana., S.Kep., yang senantiasa membantu dan memberikan motivasi
dalam proses perkuliahan serta pembuatan skripsi, serta adik-adik saya

v
Ritanisa Sayumi Riswanto dan Larena Riswanto yang selalu menghibur
ketika jenuh dengan pembuatan skripsi.
13. Seluruh dosen dan dokter civitas akademik Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu, terima kasih banyak atas ilmu dan nasihatnya selama perkuliahan
serta proses pembuatan skripsi.
14. Seluruh Laboran Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Purwokerto yang selalu membanru dalam persiapan praktikum selama
pembelajaran.
15. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angakatan 2014 (Cardio) yang selalu
bersatu dalam suka dan duka ketika pembelajaran di kedokteran.
16. Teman-teman The Power Doctor (Arista, Fira, Fatma, Anissa, Yulis, Ismi,
Brita, Ririn, Dewandaru, Venda, Gylang) yang selalu support, membantu
dalam proses EO persiapan semprop, semhas dan perjuangan dalam
perkuliahan kedokteran.
17. Komunitas Dokter sunda (Doksun).
18. Seluruh mahasiswa angkatan 2013, 2014, 2015, 2016, 2017 Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Ucapan untuk yang lainnya mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu
dalam hal ini, terima kasih banyak atas dukungan, motivasi, semangat selama
pembelajaran dan proses pembuatan skripsi dilakukan. Akhir kata, semoga
Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Aamiin.

Purwokerto, 1 Desember 2017

Penulis

vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan


demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Skripsi yang diajukan oleh:
Nama : Silka Reslia Riswanto
NIM : 1413010004
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Jenis Karta : Skripsi

Menyetujui untuk memberikan hak bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive


Royalty-Free Right) kepada Universitas Muhammadiyah Purwokerto atas karya
ilmiah yang berjudul:

Hubungan Penggunaan Antibiotik Dengan Tingkat Kekambuhan ISPA Pada Balita


Di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1 Januari-31 Desember 2016

Beserta perangkat yang ada. Dengan hak bebas royalty Non Ekslusif ini
Universitas Muhammadiyah Purwokerto berhak menyimpan, mengalihmedia/
mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan memplublikasikan skripsi saya dengan tetap mencatumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Purwokerto
Pada tanggal : 1 Desember 2017
Yang menyatakan,

Silka Reslia Riswanto

vii
HUBUNGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DENGAN TINGKAT
KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS CILEMBANG
KOTA TASIKMALAYA PERIODE 1 JANUARI – 31 DESEMBER 2016

Silka Reslia Riswanto1, Dyah Retnani Basuki2, Muhammad Fadhol Romdhoni3


Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto

ABSTRAK
Latar Belakang: Antibiotik adalah zat atau bahan yang digunakan untuk
mencegah dan mengobati suatu infeksi karena bakteri. Di negara Amerika Serikat
terdapat 50 juta resep antibiotik yang tidak diperlukan dari 150 juta resep setiap
tahunnya penggunaan antibiotik terus meningkat yang menyebabkan antara lain
penggunaan obat yang tidak tepat akan menimbulkan banyak masalah segi
efektivitas, efek samping, interaksi, ekonomi dan penyalahgunaan obat, sehingga
memberikan banyak dampak negatif antara lain mutu dan pengelolaan pelayanan
obat, resistensi obat, efek samping pada pasien, alergi bagi pasien yang alergi
serta psikososial.
Tujuan: Mengetahui hubungan penggunaan antibiotik dengan tingkat
kekambuhan ISPA pada balita.
Metode: Penelitian analitik observasional dengan cross-sectional, melibatkan 76
sampel dengan random sampling, analisis data menggunakan uji Chi Square.
Hasil: Hasil yang diperoleh penggunaan antibiotik terhadap balita ISPA sebanyak
53,95%, balita mengalami kekambuhan sebanyak 46,34% dan uji Chi Square
diperoleh nilai p value 0,004 (p = <0,05).
Kesimpulan:Terdapat hubungan antara penggunaan antibiotik dengan tingkat
kekambuhan ISPA pada balita.

Kata Kunci : Antibiotik, ISPA, Balita, Kekambuhan

THE RELATIONSHIP BETWEEN ANTIBIOTIC USAGE AND


RECURRENCE RATE OF ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) IN

viii
CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD AT PUSKESMAS CILEMBANG,
TASIKMALAYA IN THE PERIOD OF 1 JANUARY – 31 DECEMBER 2016.

Silka Reslia Riswanto1, Dyah Retnani Basuki2, Muhammad Fadhol Romdhoni3


Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto

ABSTRACT

Background: Antibiotic is an essence or a substance which used to prevent and


treat an infection due to bacteria. In the United States of America there are 50
million unnecessary antibiotic prescriptions of 150 million prescriptions every
year in which the use of antibiotics continues increasing which causes
inappropriate drug usage, it will cause many problems in terms of effectiveness,
drug effects, interactions, and economics aspect and drug abuse, thus, it causes
many negative impacts such as quality and management of drug services, drug
resistance, drug effects in patients, allergies to allergic patients and psychosocial.
The objective: To identify the relationship between antibiotic usage and
recurrence rate of acute respiratory infection (ARI) in children under five years
old.
Method: Observational analytical research with cross-sectional, which involves
76 samples with random sampling, the analysis of the data is using Chi Square
Test.
Finding: The obtained results of antibiotics usage to children under five years old
who infected by acute respiratory infection (ARI) is 53,95%, they who have
recurrence is 46,34% and the obtained value of Chi square test is p value 0,004 (p
= <0,05).
Conclusion: There is a relationship between antibiotic usage and recurrence rate
of acute respiratory infection (ARI) in children under five years old.

Key Words: Antibiotic, Acute Respiratory Infection (ARI), Children under Five
Years Old, Recurrence

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS............................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iv
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................... viii
ABSTRACT..................................................................................................... x
DAFTAR ISI.................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL............................................................................................ xii
LAMPIRAN…………………………………………………………………. xiii

ix
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian.............................................................................. 4
D. Keaslian Penelitian........................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian........................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 7
A.Tinjauan Pustaka................................................................................ 7
1.Antibiotik...................................................................................... 7
2.Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)....................................... 15
3.Balita............................................................................................. 25
4.Kekambuhan ISPA........................................................................ 26
B.Kerangka Teori................................................................................... 27
C.Kerangka Konsep............................................................................... 28
D.Hipotesis penelitian............................................................................ 29
BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 30
A.Rancangan Penelitian......................................................................... 30
B.Populasi dan sampel........................................................................... 30
C.Variabel penelitian.............................................................................. 33
D.Metode Pengumpulan Data................................................................ 34
E.Jalan Penelitian................................................................................... 35
F.Analisis Data....................................................................................... 36
G.Jadwal Penelitian............................................................................... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 37
A. Hasil ................................................................................................ 37
B. Pembahasan ..................................................................................... 37
C. Keterbatasan Penelitian.................................................................... 50
BAB V SIMPULAN DAN SARAN................................................................ 51
A. Simpulan.......................................................................................... 51
B. Saran................................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 53

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Keaslian penelitian………………………………………………….......5


Tabel III.1 Jadwal penelitian…………………………………………………….36
Tabel IV.1 Penggunaan Antibiotik………………………………………………37
Tabel IV.2 Tingkat Kekambuhan………………………………………………..38
Table IV.3 Hasil Analisis………………………………………………………..39

x
LAMPIRAN
Lampiran 1………………………………………………………………….57
Lampiran 2………………………………………………………………….58
Lampiran 3………………………………………………………………….59
Lampiran 4………………………………………………………………….60
Lampiran 5………………………………………………………………….63

xi
DAFTAR SINGKATAN

WHO : World Health Organization


ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
TDDK : Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah Kedalam
BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat merupakan salah satu faktor penting dalam pelayanan kesehatan.

Penggunaan obat yang tidak tepat akan menimbulkan banyak masalah

meliputi dari segi efektivitas, efek samping, interaksi, ekonomi dan

penyalahgunaan obat (Pharmaceutical Case Network Europe, 2003).

Penyalahgunaan obat makin hari makin meningkat, sehingga memberikan

banyak dampak negatif antara lain mutu dan pengelolaan pelayanan obat,

resistensi obat, dampak efek samping pada pasien, alergi bagi pasien yang

alergi serta dampak psikososial (Siswati, 2009).

Antibiotik adalah zat atau bahan yang digunakan untuk mencegah dan

mengobati suatu infeksi karena bakteri (Mitrea, 2008). The Center for Disease

Control and Prevention menyebutkan di Negara Amerika Serikat terdapat 50

juta resep antibiotik yang tidak diperlukan dari 150 juta resep setiap tahunnya

menyebabkan penyalahgunaan antibiotik semakin tinggi. Di Negara Eropa

menunjukkan bahwa penggunaan obat antibiotik terus meningkat yang

didorong oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional (Lim dan Teh, 2012).

Penggunaan obat antibiotik yang tidak rasional merupakan alasan utama yang

menyebabkan peningkatan resistensi antibiotik (Suaifan, 2012).

Menurut International Journal of Infection Control (2013) di negara

berkembang termasuk di negara Indonesia terdapat antibiotik yang didapat

tanpa menggunakan resep sehingga individu menggunakan antibiotik secara

bebas. Antibiotik digunakan dengan dosis yang tidak tepat, tanpa indikasi, cara
1
pemberian dengan interval waktu yang tidak tepat, dan lama pemakaian yang

tidak tepat (WHO, 2008).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran

pernapasan atas atau bawah, disebabkan oleh agen infeksius yang dapat

menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

sampai yang parah dan mematikan (Muttaqin, 2008). Tingginya prevalensi

penyakit ISPA serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat pada

tingginya konsumsi obat bebas (seperti anti influenza, obat batuk,

multivitamin) dan antibiotik. Angka kejadian ISPA termasuk pneumonia yang

masih tinggi pada balita disebabkan oleh tingginya frekuensi kekambuhan

ISPA pada balita. Penggunaan antibiotik pada infeksi saluran pernapasan

akut, khususnya pada pasien usia bawah lima tahun yang merupakan

penderita terbesar dari penyakit ISPA perlu mendapat perhatian khusus

(Sugiarti et al., 2015).

Insiden ISPA anak di negara berkembang maupun negara yang telah maju

tidak jauh berbeda, tetapi jumlah angka kesakitan di negara berkembang lebih

banyak. Kematian ISPA biasanya terbatas pada saluran pernapasan atas saja,

tetapi sekitar 5 % juga melibatkan saluran pernapasan bawah terutama

pneumonia (IDAI, 2008). Di Negara Indonesia, terdapat 4 juta orang

meninggal akibat ISPA setiap tahunnya, 98% kematian tersebut adalah bayi

(WHO, 2008). Prevalensi ISPA di Negara Indonesia sebanyak 25,5% dengan

16 provinsi di antaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional dan

pneumonia sebanyak 2,1% (Riskesdas, 2013). Di Provinsi Jawa Barat, angka

2
kejadian ISPA pada balita yakni 4,62% yang seharusnya perkiraan kasus

secara nasional ditiap provinsi yakni 3,55% (Indonesia, 2015). Berdasarkan

data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya dan Puskesmas

Cilembang Kota Tasikmalaya angka kejadian ISPA pada balita mengalami

peningkatan dan merupakan salah satu penyakit terbanyak pada balita yakni

sebesar 44%. Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya melaporkan

rekapitulasi tahunan, bahwa angka kejadian ISPA pada balita tahun 2016

sebanyak 2239 yang terdiri dari pneumonia, pneumonia berat, bukan

pneumonia. Kejadian ISPA di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya

merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien sebanyak 67%.

Penelitian Siswati (2009) menyebutkan bahwa penggunan obat yang tidak

rasional khususnya antibiotik pada balita bukan pneumonia di Sumatra Barat

sebanyak 29,2%. Penelitian diatas memberi informasi bahwa penatalaksanaan

ISPA yang terkait dengan penggunan obat antibiotik pada ISPA bukan

pneumonia tidak rasional. Peneliti melihat data prevalensi ISPA di Indonesia

dan Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya masih cukup tinggi, oleh karena

itu, peneliti berkeinginan untuk menelaah tentang “Hubungan Penggunaan

Antibiotik dengan Tingkat Kekambuhan ISPA pada Balita di Puskesmas

Cilembang Kota Tasikmalaya periode 1 Januari – 31 Desember 2016”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan data tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Apakah ada hubungan penggunaan antibiotik dengan tingkat

3
kekambuhan ISPA pada balita di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya

periode 1 Januari – 31 Desember 2016?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan penggunaan antibiotik dengan tingkat

kekambuhan ISPA pada balita di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya

periode 1 Januari – 31 Desember 2016.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi penggunaan antibiotik pada balita

ISPA di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya.

b. Mengetahui distribusi frekuensi tingkat kekambuhan ISPA pada balita

di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya.

D. Keaslian Penelitian

Tabel I.1 Tabel Keaslian Penelitian


No Peneliti dan Judul Penelitian Persamaan Perbedaan

4
1. Siswati et al., 2009 meneliti Tema : Mengenai ISPA Tujuan : Untuk mengetahui proporsi
tentang Analisis Penggunaan Subjek : Balita ISPA penggunaan antibiotik pada balita
Antibiotik Yang tidak Rasional Instrument : Rekam penderita ISPA bukan pneumonia.
medik Untuk mengetahui hubungan
pada Balita Penderita Bukan
penggunaan resep antibiotik oleh
Pneumonia di Kota Padang. petugas kesehatan pada balita ISPA
bukan pneumonia.
Metode : Deskriftif kuantitatif
Hasil : proporsi penggunaan antibiotik
pada Penderita balita ISPA bukan
pneumonia terdapat 805 pasien atau
24,3%
2. Alfaqinisa et al., 2015 meneliti Tema : Mengenai ISPA Tujuan : Mengetahui hubungan antara
tentang Hubungan Antara Subjek : Balita tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku
Tingkat Pengetahuan, Sikap, Metode : Observational orang tua dengan tingkat kekambuhan
dan Perilaku Orang tua Tentang pneumonia pada balita di wilayah kerja
analitik
Pneumonia dengan Tingkat puskesmas Ngesrep
Kekambuhan Pneumonia pada Instrumen : Rekam medik dan kuesioner
Balita Di Wilayah Kerja Hasil : Terdapat hubungan antara tingkat
Puskesmas Ngesrep Kota pengetahuan, sikap, dan perilaku orang
Semarang. tua dengan tingkat kekambuhan
pneumonia pada balita di Puskesmas
Ngesrep
3. Yetti et al., 2015 meneliti Tema : Mengenai ISPA Tujuan : Mengetahui pola penggunaan
tentang Kerasionalan Instrumen : Rekam antibiotik pada anak penderita Infeksi
Penggunaan Antibiotik pada medik Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Di
Anak Penderita Infeksi Saluran Instalasi Rawat Jalan RSU PKU
Pernafasan Akut (ISPA) di Muhammadiyah Delanggu.
Instalasi Rawat Jalan RSU Subjek : Anak
PKU Muhammadiyah Metode : Deskritif dengan pendekatan
Delanggu. retrospektif
Hasil : Menunjukkan bahwa 76,19 %
penggunaan antibiotik di RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu sudah
rasional
4. Sukarto et al., 2016 meneliti Subjek : Balita Tujuan : Mengetahui hubungan peran
tentang Hubungan Peran Orang Metode : Cross- orang tua dalam pencegahan ISPA
Tua Dalam Pencegahan Ispa Sectional dengan kekambuhan ISPA pada balita di
Dengan Kekambuhan Ispa pada puskesmas Bilalang Kota Kotamobagu
Balita Di Puskesmas Bilalang Instrumen: Rekam medik dan kuesioner
Kota Kotamobagu. Hasil : Terdapat hubungan antara peran
orang tua dengan kekambuhan ispa pada
balita

E. Manfaat Penelitian

a. Bagi Institusi
Penelitian ini dapat dijadikan tambahan pustaka mengenai hubungan

penggunaan antibiotik dengan tingkat kekambuhan ISPA pada balita di

5
Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya periode 1 Januari – 31 Desember

2016.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan referensi untuk penelitian selanjutnya

dan bagi yang ingin mengkaji permasalahan sejenis sehingga dapat

menghasilkan pengkajian yang lebih baik lagi.


c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi mengenai kegunaan

antibiotik pada balita ISPA yang baik dan benar sehingga diharapkan dapat

mencegah terjadinya kekambuhan.


d. Bagi Peneliti
Peneliti dapat menggunakan sebagai sumber pustaka yang dapat di

aplikasikan kepada masyarakat untuk memberikan edukasi ataupun

penyuluhan tentang pentingnya penggunaan antibiotik ISPA yang baik

terhadap balita ISPA.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Antibiotik

a. Definisi

Antibiotik adalah golongan obat yang digunakan untuk terapi,

pencegahan infeksi sehingga antibiotik digunakan jika ada infeksi atau

untuk kepentingan profilaksis (pencegahan infeksi). Antibiotik

merupakan obat yang banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan

6
oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62%

antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-

penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada

penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah

sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada

indikasi (Kemenkes RI, 2011).

Antibiotik merupakan salah satu obat yang apabila digunakan

secara tidak rasional dapat menyebabkan resistensi. Meningkatnya

prevalensi penggunaan antibiotik yang tidak rasional di berbagai

bidang Ilmu Kedokteran termasuk Ilmu Kesehatan Anak merupakan

salah satu penyebab timbulnya resistensi yang di dapat (Febiana,

2012).

b. Penggolongan Antibiotik

Antibiotik diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Antibiotik yang berspektrum sempit

Antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram positif dan peka

terhadap bakteri Gram negatif (Fauziyah, 2010).

2) Antibiotik yang berspektrum luas

Menghambat bakteri Gram negatif dan Gram positif yang

termasuk didalamnya yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol

(Fauziyah, 2010)

7
Menurut Janet, 2006 Penggolongan antibiotik dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Berdasarkan struktur kimia antibiotik dikelompokkan sebagai


berikut:

a) Golongan Aminoglikosida, antara lain amikasin, gentamisin,

kanamisin, neomisin, paromomisin, streptomisin.

b) Golongan Beta-Laktam, antara lain sefaleksin, sefazolin,

sefuroksim, sefadroksil, seftazidim, golongan beta-laktam

monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).

Penisilin adalah suatu agen antibakterial yang dihasilkan dari

jamur jenis Penicillium chrysognum.

c) Golongan Tetrasiklin, bersifat bakteriostatis, hanya melalui

injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid

lemah, contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin.

d) Golongan Sulfonamida, antara lain kotrimoksazol dan

trimetropin.

e) Golongan Flurokinolon, antara lain siprofloksasin, levfloksasin,

norfloksasin.

2) Mekanisme kerja antibiotik

a) Inhibitor sintesis dinding sel bakteri

b) Inhibitor sintesis protein bakteri

c) Menghambat sintesis folat

d) Mengubah permeabilitas membran sel

e) Mengganggu sintesis DNA

8
f) Mengganggu sintesis RNA

3) Aktivitas antibiotik

a) Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)

b) Antibiotik spekrtum sempit (narrow spectrum)

c. Penggunaan Antibiotik

Obat adalah salah satu faktor penting dalam pelayanan kesehatan.

Penggunaan obat yang tidak tepat akan menimbulkan banyak masalah

meliputi dari segi efektivitas, efek samping, interaksi, ekonomi dan

penyalahgunaan obat (Pharmaceutical Case Network Europe, 2003).

Alumran et al.,(2012) menjelaskan bahwa penyalahgunaan antibiotik

meningkat merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

global yang paling penting.

WHO (2007) menjelaskan , penggunaan obat dikatakan rasional

jika memenuhi kriteria:

1) Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis

yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka

pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru

tersebut. Obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan

indikasi yang seharusnya.

2) Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,

misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Pemberian obat ini

9
hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi

bakteri.

3) Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih harus yang memiliki

efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

4) Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap

efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya

untuk obat yang dengan rentang terapi sempit, akan sangat berisiko

timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak

akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

5) Tepat Cara Pemberian

Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi

infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan

menggunakan antibiotik parenteral.

Obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan

membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan

menurunkan efektivitasnya.

6) Tepat Interval Waktu Pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan

praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi

pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah

10
tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3x sehari

harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval

setiap 8 jam.

7) Tepat Lama Pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing –

masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling

singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada

demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu

singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh

terhadap hasil pengobatan.

8) Waspada Terhadap Efek Samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek

tidak diinginkan yang timbul pada pemberian dengan dosis terapi,

karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi,

tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di

wajah.

Penilaian penggunaan obat ditinjau dari 3 indikator utama yaitu

peresepan, pelayanan pasien, dan fasilitas. Peresepan obat dapat

menggambarkan masalah seperti polifarmasi, penggunaan obat yang

tidak tepat, penggunaan antibiotik dan sediaan injeksi yang berlebihan,

serta penggunaan obat yang tidak terdapat indikasi. Ketidaktepatan

peresepan dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan terapi,

11
meningkatnya kejadian efek samping obat, meningkatnya terjadinya

resisten antibiotik, penyebaran infeksi melalui injeksi yang tidak steril,

dan pemborosan sumber daya kesehatan langka (WHO, 2007).

Penggunaan obat yang tidak rasional akan berakibat berkurangnya

manfaat obat dan bahkan hilangnya manfaat obat akan lebih jauh lagi

berisiko munculnya efek samping dan meningkatnya biaya kesehatan.

Dampak negatif ketidakrasionalan penggunaan antibiotik adalah

meliputi dampak pada mutu dan pengelolaan pelayanan obat, resistensi

obat, dampak efek samping pada pasien yang alergi serta dampak

psikososial. Antibiotik pada kenyataannya banyak diresepkan untuk

mengatasi infeksi. Salah satu penyebabnya adalah ekspektasi yang

berlebihan para klinisi terhadap antibiotik terutama untuk mencegah

infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, yang sebetulnya tidak

bisa dicegah. Dampak dari semua ini adalah meningkatnya resistensi

bakteri maupun peningkatan efek samping yang tidak diinginkan.

Berdasarkan permasalahan di atas, penggunaan antibiotik pada infeksi

saluran pernapasan akut, khususnya pada pasien usia bawah lima tahun

penderita terbesar dari penyakit ISPA perlu mendapat perhatian

khusus. Pemerintah dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan

penyakit ISPA telah membuat standar pengobatan penyakit ISPA,

termasuk penggunaan antibiotik dalam terapi pengobatan ISPA

(Sugiarti et al., 2015).

12
ISPA pada balita lebih sering terjadi bila dibandingkan pada orang

dewasa, karena sistem pertahanan tubuh pada balita masih dalam tahap

perkembangan. Infeksi ini mengenai saluran pernafasan yang

merupakan organ yang sangat peka sehingga kuman penyakit mudah

berkembang biak (Oktaviani et al., 2016). Pada negara berkembang

angka kejadian ISPA mengakibatkan sekitar 4 juta kematian balita dan

3 juta dari 4 juta kematian ISPA yang teriadi karena pneumonia

(Hidayati, 2012). Angka kejadian ISPA termasuk pneumonia yang

masih tinggi pada balita disebabkan oleh tingginya frekuensi

kekambuhan ISPA pada balita. Di wilayah pedesaan rata-rata seorang

anak dalam satu tahunnya dapat terserang 3 sampai 5 kali, sedangkan

di daerah perkotaan 6 sampai 8 kali. Penyebab tingginya kekambuhan

pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan dengan

ISPA. Berbagai faktor yang mempengaruhi mulai dari faktor internal

dan faktor eksternal yang menyebabkan kambuhnya pneumonia pada

balita (Putra, 2014).

Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, atau biologis. Efek

samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi

neomicin, gentamicin, tobramycin, streptomycin atau amikacin secara

intraperitoneal atau intrapleural. Erithromisin sering menyebabkan

hepatitis kolestatik. Antibiotik seperti rifampisin, kotrimoksazol dan

isoniazid potensial hematotoksik dan hepatotoksik. Pemakaian

kloramfenikol yang melampaui batas keamanan akan menekan fungsi

13
sumsum tulang dan berakibat anemia dan neutropenia. Anemia aplastik

secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan

kematian pasien setelah pemakaian kloramfenikol (Amin, L. Z.,2014).

Efek samping alergi terutama disebabkan oleh penggunaan

penicilin dan sefalosporin. Keadaan yang paling jarang adalah kejadian

syok anafilaktik. Kejadian yang lebih sering timbul adalah ruam dan

urtikaria. Efek samping biologis disebabkan karena pengaruh

antibiotik terhadap flora normal di kulit maupun di selaput-selaput

lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat antimikroba

berspektrum luas (Amin, L. Z.,2014).

2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

a. Definisi

Menurut Depkes RI (2009), Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu

bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran

atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang

tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih

14 hari. ISPA dapat mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi

penyakit ini paling sering mengenai bagian saluran pernafasan atas

dan saluran pernafasan bawah secara berurutan (Muttaqin, 2008).

14
b. Etiologi

Ada beberapa etiologi ISPA diantaranya lebih dari 300 jenis

bakteri, virus dan riketsia. Bakteri yang merupakan penyebab ISPA

yaitu dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus,

Hemophillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus yang

merupakan penyebab ISPA antara lain adalah golongan Myxosovirus,

Adenovirus, Coronavirus, Phycornavirus, Mycoplasma, Herpesvirus

dan lain-lain (Trisnawati, 2013).

c. Klasifikasi

ISPA diklasifikasikan menjadi pneumonia berat, pneumonia, dan

bukan pneumonia (Depkes RI, 2009).

Klasifikasi ISPA menurut usia antara lain:

1) Anak umur < 2 bulan

a) Batuk Bukan Pneumonia

Seorang bayi berumur kurang dari 2 bulan diklasifikasikan

menderita batuk bukan pneumonia apabila dari pemeriksaan:

Tidak ada TDDK kuat dan tidak ada napas cepat, frekuensi

napas kurang dari 60x/menit (Depkes RI, 2009).

b) Pneumonia Berat

Seorang bayi berumur <2 bulan menderita penyakit sangat berat

apabila dari pemeriksaan ditemukan salah satu “tanda bahaya”

yaitu kurang mau minum, kejang, kesadaran menurun atau sukar

dibangunkan, stridor pada waktu anak tenang, wheezing, demam


15
atau terlalu dingin. Ditandai dengan tidak ada tarikan dinding

dada bagian bawah kedalam (TDDK) yang kuat dan adanya

napas cepat 60x/menit atau lebih. Semua pneumonia pada bayi

berumur kurang dari 2 bulan diklasifikasikan sebagai

pneumonia berat, tidak boleh diobati di rumah, harus dirujuk ke

rumah sakit (Depkes RI, 2009).

2) Anak umur 2 bulan sampai < 5 tahun

a) Batuk Bukan Pneumonia

Seorang anak berumur 2 bulan sampai <5 tahun diklasifikasikan

menderita batuk bukan pneumonia apabila dari pemeriksaan:

- Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam

(TDDK).

- Tidak ada nafas cepat, frekuensi nafas kurang dari 50x/menit

untuk anak umur 2 bulan sampai <12 bulan dan kurang dari

40x/menit pada umur 12 bulan - <5 tahun. Sebagian besar

penderita batuk pilek tidak disertai tanda-tanda pneumonia

(TDDK dan nafas cepat). Hal ini berarti anak hanya

menderita batuk-pilek dan diklasifikasikan sebagai batuk

bukan pneumonia (Depkes RI, 2014).

b) Batuk Dengan Pneumonia

Sebagian besar anak yang menderita pneumonia tidak akan

menderita pneumonia berat kalau cepat diberi pengobatan.

Seorang anak berumur <2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan

menderita batuk dengan pneumonia apabila:

16
- Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam.

Adanya nafas cepat, dengan frekuensi nafas 60x/menit pada

bayi berumur <2 bulan, 50 x / menit atau lebih pada anak

umur 2-12 bulan dan 40x/menit atau lebih pada umur 12

bulan - <5 tahun (Depkes RI, 2009).

c) Batuk Dengan Pneumonia Berat

Seorang anak berumur 2 bulan sampai <5 tahun diklasifikasikan

menderita batuk dengan pneumonia berat apabila terdapat

tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (TDDK). Jika anak

diklasifikasikan menderita pneumonia berat harus dirujuk segera

ke rumah sakit (Depkes RI, 2009).

d. Faktor risiko

Menurut WHO (2007), faktor risiko terjadinya ISPA secara umum

yaitu:

1) Faktor individu anak


a) Umur anak
Insiden penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang

disebabkan oleh virus melonjak pada bayi dan pada anak usia

dini, insiden ISPA tertinggi pada umur 6 sampai 12 bulan.


b) Berat badan lahir
Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah akan

mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan. Hal ini

dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama

pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.


c) Status gizi

17
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang

ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya

tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan

menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang,

balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya

lebih lama.

2) Faktor lingkungan
a) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk

memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme

pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.

Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan

dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur,

ruang tempat bayi dan balita bermain.


b) Ventilasi rumah
Ventilasi adalah proses penyediaan udara atau pengarahan udara

ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan di dalam rumah

sangat diperlukan karena akan mengurangi polusi asap yang ada

di dalam rumah sehingga dapat mencegah seseorang menghirup

asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan terkena

penyakit ISPA. Luas ventilasi alamiah yang permanen minimal

10% dari luas lantai.


c) Kepadatan hunian rumah

18
Kepadatan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor

polusi dalam rumah yang telah ada. Keadaan jumlah kamar yang

penghuninya lebih dari dua orang, karena bisa menghalangi

proses pertukaran udara bersih sehingga menjadi penyebab

terjadinya ISPA.
3) Faktor perilaku
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas

manusia, baik yang diamati secara langsung maupun yang tidak

dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku terdiri dari persepsi

(perseption), respon terpimpin (guided respon), mekanisme

(mechanism), dan adopsi (adoption) (Notoatmodjo, 2014).

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar. Konsep umum yang digunakan

untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence Green

yang dikutip oleh Notoatmodjo (2014). Lawrence Green

menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :


a) Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor – faktor yang dapat mempermudah atau

mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau

masyarakat adalah pengetahuan dan sikap seseorang atau

masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan,

misalnya dengan pengetahuan yang dimiliki ibu tentang

penyakit ISPA maka dia akan dapat mengambil sikap

mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencegah penyakit

tersebut.

19
b) Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah

fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung atau yang

memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat,

misalnya untuk pengobatan kejadian ISPA pada anak maka

diperlukan tenaga kesehatan serta fasilitas pelayanan

kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.


c) Faktor penguat (reinforcing factors)
Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang–

kadang belum menjamin terjadinya perilaku seseorang atau

masyarakat dengan adanya pengalaman pribadi serta adanya

pengaruh dari luar seperti teman maka akan dapat

memperkuat terjadinya perilaku. Faktor perilaku dalam

pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi

dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di

keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun oleh anggota

keluarga lainnya. Peran aktif keluarga atau masyarakat dalam

menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA

merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam

masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian

serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang

balita, sehingga itu balita dan anggota keluarganya yang

sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil

menangani penyakit ISPA ketika anaknya sakit.

20
e. Patofisiologi ISPA

Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, reaksi inflamasi

menyebabkan peningkatan produksi mukus yang berperan

menimbulkan ISPA, yaitu kongesti atau hidung tersumbat, sputum

berlebih, dan rabas hidung (pilek). Sakit kepala, demam ringan juga

dapat terjadi akibat reaksi inflamasi. Meskipun saluran napas atas

secara langsung terpajan dengan lingkungan, infeksi relatif jarang

meluas menjadi infeksi saluran napas bawah yang mengenai

bronchus atau alveolus karena banyak mekanisme perlindungan di

sepanjang saluran napas untuk mencegah infeksi. Range dari

mikroba pathogen yang menginfeksi bervariasi sangat luas seperti

bakteri, mycobacterium, myoplasma, chlamydiae, jamur dan virus.

Karakteristik biologis, gambaran perilaku dan lingkungan dari

organisme-organisme ini berbeda satu sama lainnya dalam

menimbulkan penyakit pernapasan (Tobat et al., 2015).

f. Manisfestasi klinis

Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam,

pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus

(muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,

stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), adanya tarikan

dada, hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal

nafas, apabila tidak mendapat pertolongan dapat mengakibatkan

kematian (Nelson, 2000).

21
g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada Pneumonia sebagian besar tidak perlu

dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-

ringannya penyakit, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi,

dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Penggunaan antibiotik

yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi

antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang

diduga disebabkan oleh bakteri (Narsiti, 2008).

Pengobatan ISPA umumnya dilakukan dengan terapi antibiotik.

Salah satu antibiotik yang digunakan adalah antibiotik golongan

penisilin. Penisilin digunakan sebagai terapi ISPA karena golongan

penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan mengganggu sintesis

dinding sel bakteri. Golongan penisilin yang paling banyak

digunakan adalah amoksilin. Amoksilin adalah antibiotik dengan

spektrum luas, digunakan untuk pengobatan infeksi saluran

pernafasan, saluran empedu, dan saluran seni (Rachmawati, 2013).

Antibiotik golongan kotrimoksazol adalah antibiotik kombinasi

trimetroprim dan sulfametoksazol yang kerjanya sinergis. Rasio

perbandingannya 5:1 bersifat bakterisid dengan spektrum yang luas.

Dosis amoksilin tablet 250mg umur 2–12 bulan (4-<10kg) yaitu

2x1tablet/hr, dosis amoksilin sirup 125mg dalam 5ml umur 2–12

bulan (4 - <10kg) yaitu 2x10ml, dosis amoksilin tablet 250mg umur

12 bulan – 5 tahun (10-19kg) yaitu 2x2 tablet/hr, dosis amoksilin

22
sirup 125mg dalam 5ml umur 12 bulan – 5 tahun (10-19kg) yaitu

2x10 ml. Dosis Kotrimoksazol umur >2bulan 15-20mg/kgBB tiap 6-

8jam (Depkes RI, 2009).

Antibiotik turunan sefalosporin adalah antibiotik yang paling

banyak digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi dan golongan

antibiotik yang paling sering diresepkan oleh dokter. Antibiotik ini

mempunyai spektrum antibakteri yang luas dan lebih resisten

terhadap β-laktamase daripada penisilin. Pasien yang alergi terhadap

penisilin biasanya tahan terhadap antibiotik ini (Sudjadi, 2008).

Cefixime merupakan salah satu antibiotik golongan sefalosporin

yang paling banyak diresepkan oleh dokter, khususnya untuk

penderita ISPA (AHFS, 2010).

h. Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

1) Menghindari balita dari paparan asap rokok, polusi udara, dan

tempat keramaian yang berpotensi menjadi faktor penularan.

2) Menghindari balita dari kontak penderita pneumonia.

3) Memberikan ASI eklusif pada anak.

4) Segera berobat jika mendapatkan anak mengalami panas, batuk,

pilek. Terlebih jika disertai suara serak, sesak nafas, dan adanya

terikat pada otot diantara rusuk (retraksi).

5) Imunisasi lengkap dan gizi baik dapat mencegah pneumonia.

23
6) Mengatasi faktor lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan

dan mendorong kebersihan yang baik di rumah juga dapat

mengurangi jumlah anak-anak yang jatuh sakit terkena pneumonia.

7) Imunisasi untuk memberikan kekebalan terhadap haemophilus

influenza tipe b (HIB), vaksin pneumococcal disease dan vaksin

influenzae pada anak risiko tinggi, terutama usia 2-23 bulan. Namun

untuk vaksin ini karena harganya yang cukup mahal, tidak semua

anak dapat menikmatinya (Misnadiarly, 2008).

3. Balita

a. Definisi

Balita adalah anak umur satu tahun tepat sampai umur lima tahun

kurang satu hari, anak umur 5 tahun tepat tidak termasuk kelompok

anak 1 sampai 5 tahun. Periode penting dalam tumbuh kembang anak

adalah pada masa balita. Pada masa balita kecepatan pertumbuhan

mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik.

Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan

mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.

Setiap anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda

dengan anak lainnya (Depkes RI, 2009).

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh

kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu

menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di

periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan

24
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena

itu sering disebut golden age atau masa emas (Nelson, 2000).

4. Kekambuhan

a. Definisi

Menurut Alfaqinisa (2015) kambuh definisikan sebagai kondisi

jatuh sakit lagi yang biasanya lebih parah dari dahulu. Angka

kekambuhan ISPA pada balita di negara berkembang 2 sampai 10 kali

lebih tinggi dari pada dinegara maju. Menurut Fida (2012) dalam satu

tahun rata-rata seseorang anak di pedesaan dapat terserang sampai 3

sampai 5 kali, sedangkan di daerah perkotaan sampai 6 sampai 8 kali.

25
B. Kerangka Teori
Bakteri yang masuk dalam tubuh

Inflamasi saluran pernafasan atas maupun bawah

Sistem kekebalan tubuh balita menurun

Umur
Sistemdan status Demam, Pusing, anoreksia, vomitus, batuk, dll
gizi balita
imunitas tubuh
balita
ISPA

Penatalaksanaan

Farmakologi
Non-farmakologi

Pemberian
Antibiotik

Tidak Rasional
Rasional

1. Dosis tidak tepat


2. Tidak tepat cara
Tingkat Kekambuhan Rendah Sembuh pemberian
3. Tidak tepat interval
waktu
4. Lama pemberian

Tingkat Kekambuhan

Gambar II.1 Kerangka Teori Sumber: Nelson (2000), Notoatmodjo (2014),


Depkes RI (2004), WHO (2008)

26
C. Kerangka Konsep

Penggunaan Antibiotik Tingkat kekambuhan


pada Balita ISPA ISPA

1. Dosis tidak tepat Umur, genetik, dan


2. Tidak tepat cara imunitas balita
pemberian
3. Tidak tepat
interval waktu
4. Lama pemberian

Keterangan :

Variabel Bebas :

Variabel Terikat :

Tidak Diteliti :

27
D. Hipotesis penelitian

H0: Tidak Terdapat hubungan antara penggunaan antibiotik terhadap tingkat

kekambuhan ISPA di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1

Januari – 31 Desember 2016.

H1: Terdapat hubungan antara penggunaan antibiotik terhadap tingkat

kekambuhan ISPA di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1

Januari – 31 Desember 2016.

28
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional rancangan

penelitian retrospektif dengan pendekatan cross-sectional.


2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya

Jawa Barat. Dipilihnya lokasi ini karena, Puskesmas Cilembang Kota

Tasikmalaya merupakan puskesmas yang memiliki tingkat prevalensi yang

tinggi mengenai penyakit ISPA.

3. Periode Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Oktober – November 2017.

B. Populasi dan sampel

1. Populasi
Seluruh balita yang sudah pernah menderita ISPA lebih dari satu kali

selama satu tahun yaitu pada 1 Januari – 31 Desember 2016 di Wilayah

Kerja Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya yang diperoleh dari data

rekam medik pasien yang datang ke Puskesmas Cilembang Kota

Tasikmalaya dengan diagnosis ISPA bukan pneumonia.

a. Kriteria Inklusi
1) Seluruh balita yang sudah pernah menderita ISPA bukan

pneumonia lebih dari satu kali selama satu tahun yaitu pada 1

29
Januari – 31 Desember 2016 di Wilayah Kerja Puskesmas

Cilembang Kota Tasikmalaya.


b. Kriteria Eksklusi
1) Balita ISPA bukan pneumonia yang tempat tinggalnya bukan

merupakan cakupan wilayah kerja Puskesmas Cilembang Kota

Tasikmalaya.
2) Kondisi Balita ISPA dengan keadaan kegawat daruratan.
3) Balita ISPA dengan komplikasi.
2. Sampel
a. Teknik pengambilan sampel

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

random sampling yaitu pengambilan sampel dari populasi menjadi

sampel berdasarkan asas peluang. Berdasarkan data yang diperoleh dari

Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya dan puskesmas Cilembang besarnya

populasi yaitu sebanyak 323 balita yang mengalami ISPA bukan

pneumonia lebih dari satu kali yaitu pada tahun 2016, data tersebut

diperoleh dari data dari rekam medik yang ada di Puskesmas Cilembang

Kota Tasikmalaya.

b. Besar sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, 2014). Cara menentukan besar sampel dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus Slovinhal tersebut

dikarenakan jumlah ukuran populasi dalam penelitian ini sudah

diketahui dengan pasti. Dengan rumus :

30
Dimana :

n = ukuran sampel

N = jumlah populasi

e = persentase kelonggaran ketidakpastian dengan

tingkat kesalahan 10%

Populasi berdasarkan data rekam medik yang diperoleh dari

Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya, balita ISPA bukan

pneumonia lebih dari satu kali pada tahun 2016 berjumlah 323 orang

dan tingkat kesalahan yang digunakan sebesar 10% (0,1) atau dapat

dikatakan tingkat keakuratannya sebesar 90% (0,9), maka sampel

yang diambil untuk mewakili populasi tersebut yaitu sebesar:

Besar sampel setelah dibulatkan maka jumlah sampel dalam

penelitian ini sebanyak 76 orang. Jadi besar sampel ini merupakan

data yang nantinya akan digunakan untuk melihat bahwa balita

tersebut sudah terdiagnosis ISPA bukan pneumonia satu tahun

sebelumnya yaitu tahun 2016.

31
C. Variabel penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan

variabel terikat meliputi:

1. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : Penggunaan antibiotik pada balita ISPA bukan

pneumonia
b. Variabel terikat : Tingkat kekambuhan ISPA pada balita bukan

pneumonia
2. Definisi operasional
a. Variabel bebas : Penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada

balita ISPA bukan pneumonia.


b. Variabel terikat : Tingkat kejadian berulangnya penyakit yang sama

yaitu ISPA bukan pneumonia yang terjadi pada balita dengan frekuensi

lebih dari satu kali.


c. Data : Data rekam medis dari periode 1 Januari - 31 Desember

2016.
d. Dosis tidak tepat : Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk

obat yang dengan rentang terapi sempit, akan sangat berisiko

timbulnya efek samping.

e. Tidak tepat cara pemberian : Pemberian secara oral, IV, parenteral.

Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi

infeksi.

f. Tidak tepat interval waktu : Pemberian obat hendaknya dibuat

sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien,

contohnya obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa

obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

32
g. Lama pemberian obat : Pemberian obat yang terlalu singkat atau

terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil

pengobatan.

3. Skala pengukuran variabel

a. Variabel bebas : Kategorik Nominal

b. Variabel terikat : Kategorik Ordinal

D. Metode Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

a. Data Sekunder : Balita ISPA bukan pneumonia di Puskesmas

Cilembang Kota Tasikmalaya dari 1 Januari – 31 Desember 2016,

meliputi nomor rekam medis, nama balita, usia balita, alamat rumah,

nama ibu balita, keluhan saat ISPA, pengobatan yang dilakukan di

Puskesmas tersebut.

2. Cara Pengumpulan Data

a. Mengajukan permohonan izin penelitian di Puskesmas Cilembang

Kota Tasikmalaya.

b. Peneliti melakukan penelitian dengan melihat data balita ISPA bukan

pneumonia yang datang lebih dari satu kali ke Puskesmas Cilembang

Kota Tasikmalaya pada 1 Januari-31 Desember 2016.

c. Setelah data berhasil dikumpulkan selanjutnya di olah.

E. Jalan Penelitian

1. Peneliti meminta surat izin melakukan penelitian ke Bagian Komisi Skripsi

yang ditujukan ke Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(BAPPEDA), Kantor Kesbang Kota Tasikmalaya, dan Puskesmas

Cilembang Kota Tasikmalaya.

33
2. Peneliti menyerahkan surat izin tersebut ke Kantor Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Kantor Kesbang Kota Tasikmalaya,

dan bagian Diklat Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya.

3. Kepala Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya memberikan izin,

kemudian peneliti dikirim surat izin pengambilan data rekam medis.

4. Peneliti melihat dan mencari sasaran yang akan diteliti yaitu seluruh balita

yang sudah pernah menderita ISPA bukan pneumonia lebih dari satu kali

selama satu tahun yaitu pada 1 Januari – 31 Desember 2016 di Wilayah

Kerja Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya.

5. Peneliti melihat rekam medis balita tersebut untuk melihat apakah balita

tersebut merupakan balita ISPA bukan pneumonia yang menggunakan

antibiotik yang benar atau tidak.

6. Peneliti mendapatkan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria

eksklusi.

7. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan teknik analisis

data yang telah dipilih.

F. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

teknik statistik yaitu uji hipotesis. Skala pengukuran kedua variabel adalah

kategorik nominal dan kategorik ordinal, sehingga termasuk jenis penelitian

korelatif. Analisis data dilakukan dengan Uji Chi Square untuk mengetahui

hubungan antara penggunaan antibiotik pada balita ISPA terhadap tingkat

kekambuhan ISPA di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1

Januari – 31 Desember 2016.

34
G. Jadwal Penelitian

Tabel III.1. Waktu Penelitian

Bulan Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu


ke-4

Juli Penyusunan proposal penelitian

Agustus Penyusunan proposal penelitian

September Seminar Proposal Penelitian

Oktober Analisis Data

November
Hasil dan Pembahasan

Desember Seminar Hasil Pengumpulan skripsi dan artikel

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Penggunaan Antibiotik pada balita ISPA bukan pneumonia.

Penggunaan antibiotik pada balita ISPA bukan pneumonia di dilihat

dari rekam medik yang ada di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya

periode 1 Januari – 31 desember 2016.

Tabel IV.1 Penggunaan Antibiotik Pada Balita ISPA bukan pneumonia.

35
Penggunaan Antibiotik Pada
No Balita ISPA bukan Pneumonia Frekuensi (F) Presentasi (%)

1. Iya 41 53,95%

2. Tidak 35 46,05%

Total 76 100

Berdasarkan Tabel IV.1 di atas bahwa sebagian besar menggunakan

antibiotik pada balita ISPA bukan pneumonia dalam penelitian ini

sebanyak 53,95%, sedangkan yang tidak menggunakan antibotik pada

balita ISPA bukan pneumonia sebanyak 46,05%.


2. Tingkat Kekambuhan pada balita ISPA bukan pneumonia.

Tingkat kekambuhan pada balita ISPA bukan pneumonia dilihat dari

frekuensi balita menderita ISPA bukan pneumonia yang terjadi di

Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya periode 1 Januari – 31

Desember 2016.

Tabel IV. 2 Tingkat Kekambuhan Pada Balita ISPA bukan pneumonia.

No Rendah Sedang Tinggi

1. Tingat kekambuhan yang 19 18 4


menggunakan antibiotik (46,34%) (43,90%) (9,76%)

2. Tingkat kekambuhan yang 29 4 2


tidak menggunakan (82,25%) (11,43%) (5,71%)
antibiotik

Berdasarkan Tabel IV.2 di atas bahwa balita ISPA yang

menggunakan antibiotik dengan tingkat kekambuhan rendah adalah

sebanyak 46,34%, dengan tingkat kekambuhan sedang sebanyak 43,90%,

36
dengan tingkat kekambuhan tinggi sebanyak 9,76%, sedangkan balita

ISPA yang tidak menggunakan antibiotik mengalami tingkat kekambuhan

rendah sebanyak 82,85%, tingkat kekambuhan sedang sebanyak 11,43%,

dan tingkat kekambuhan tinggi sebanyak 5,71%.

3. Hubungan penggunaan antibiotik dengan tingkat kekambuhan ISPA pada


balita di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya periode 1 Januari – 31
Desember 2016.
a. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian mengenai Hubungan

penggunaan antibiotik pada balita ISPA dengan tingkat Kekambuhan ISPA

pada balita di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya periode 1 Januari –

31 Desember 2016 adalah uji Chi Square. Syarat menggunakan uji Chi

Square adalah dengan nilai expected kurang dari 5 maksimal berjumlah

20%. Interpretasi hasil uji analisis Chi Square dinyatakan bermakna jika

faktor peluang (p) kurang dari 5% atau 0,05.


Analisis penelitian dapat diteruskan untuk mencari apakah terdapat

hubungan antara variabel penelitian menggunakan uji analisis Chi Square,

karena hasil analisis data menggunakan uji analisis Chi Square dengan

tabel 2x2.
Nilai p sebesar 0,004 yang artinya, pada penelitian ini nilai p < 0,05,

sehingga hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara penggunaan antibiotik dengan tingkat kekambuhan ISPA

pada balita.
Dari hasil output, diketahui bahwa jumlah data yang digunakan

sebanyak 76. Semua data terisi penuh atau dengan kata lain tidak terdapat

data hilang.

37
Tabel IV. 3 Hasil Analisis

No Penggunaan Antibiotik Tingat kekambuhan

Ringan Sedang Tinggi

1. Iya 46,34%, 43,90%, 9,76%,


2. Tidak 82,85%, 11,43%, 5,71%.

b. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dengan α: 5% menggunakan uji statistic uji Chi

square. Kriteria uji: tolak H0 jika nilai signifikansi < alpha sebesar 5%.

Terima dalam hal lainnya.


Dari hasil analisis didapatkan bahwa nilai signfikansi = 0.004, maka

H0 ditolak yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara

penggunaan antibiotik terhadap tingkat kekambuhan ISPA di Puskesmas

Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31 Desember 2016.

B. Pembahasan

1. Penggunaan antibiotik pada balita ISPA di Puskesmas Cilembang Kota


Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31 Desember 2016.
Antibiotik adalah golongan obat yang digunakan untuk terapi,

pencegahan infeksi sehingga antibiotik digunakan jika ada infeksi

(Kemenkes RI, 2011). WHO (2007) menjelaskan penggunaan obat

dikatakan rasional jika memenuhi kriteria yaitu tepat diagnosis, tepat

indikasi penyakit tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian,

38
tepat interval waktu, pemberian tepat lama, pemberian waspada terhadap

efek samping.

Hasil penelitian ini sebagian besar menggunakan penggunaan

antibiotik pada balita ISPA bukan pneumonia dalam penelitian ini

sebanyak 53,95%, selanjutnya yang tidak menggunakan penggunaan

antibotik pada balita ISPA bukan pneumonia sebanyak 46,05 %, hal ini

dilihat dari rekam medis pasien balita. Hasil penelitian ini sesuai yang

dikemukakan oleh (Ririn, 2013) pada evaluasi penggunaan antibiotik ISPA

non-pneumonia yang menyatakan hasil penelitian penggunaan antibiotik

25% sesuai dengan pedoman pengobatan dan penggunaan antibiotik 75%

tidak sesuai dengan pedoman pengobatan berdasarkan acuan standar WHO

2001.

Lain halnya dengan penelitian Siswati (2009) pada meneliti tentang

analisis penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada balita penderita

bukan pneumonia yang menyatakan bahwa sebanyak 63,5% tidak

menggunakan antibiotik pada balita ISPA bukan pneumonia dan sebanyak

36,5% menggunakan antibiotik pada balita ISPA bukan pneumonia.

Salah satu bentuk pembuatan resep yang tidak rasional adalah

penggunaan obat tanpa indikasi, seperti dalam penelitian ini penggunaan

antibiotik pada penderita ISPA bukan peneumonia. Faktor-faktor yang

mempengaruhi penggunaan antibiotik terdiri dari faktor pembuatan resep,

pembuatan obat, dan pasien. Faktor yang menentukan penggunaan obat

oleh pembuatan resep dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan tentang

39
penggunaan antibiotik yang dimana rendahnya tingkat pengetahuan

tentang penggunaan antibiotik dapat terjadi salah diagnosis dan kesulitan

untuk membedakan infeksi bakteri atau virus. Ketersediaan sarana

diagnostik dan pemeriksaan penunjang, permintaan pasien, promosi obat,

tingkat dan frekuensi supervisi pada hal ini dilihat dari tingat pengawasan

apakah ketat atau tidak ketat dan frekuensi supervisi. Pengawasan oleh

atasan dapat meningkatkan rasionalitas penggunaan antibiotik atau justru

sebaliknya, dapat terjadi pemberian antibiotik yang kurang atau berlebihan

akibat kekhawatiran pembuatan resep (Febiana, 2012).

2. Tingkat kekambuhan pada balita ISPA di Puskesmas Cilembang Kota


Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31 Desember 2016.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa kalsifikasi tentang

tingkat kekambuhan pada balita ISPA yaitu balita yang mengalami

kekambuhan rendah yaitu sebanyak 49 orang (64,46%) sedangkan yang

mengalami kekambuhan sedang sebanyak 21 orang (27,64%), selanjutnya

balita yang memiliki kekambuhan tinggi sebanyak 5 orang (7,9%).

Tingginya prevalensi penyakit ISPA serta dampak yang ditimbulkannya

membawa akibat pada tingginya konsumsi obat bebas (seperti anti

influenza, obat batuk, multivitamin) dan antibiotik. Angka kejadian ISPA

termasuk pneumonia yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh

tingginya frekuensi kekambuhan ISPA pada balita. Penggunaan antibiotik

pada infeksi saluran pernapasan akut, khususnya pada pasien usia bawah

lima tahun yang merupakan penderita terbesar dari penyakit ISPA perlu

mendapat perhatian khusus (Sugiarti et al., 2015).

40
Dalam pedoman pengobatan, pilihan obat yang ada telah melalui proses

penelitian dan dicantumkan sebagai obat pilihan utama (drug of choise),

pilihan kedua dan seterusnya. Pengobatan rasional diperlukan karena pada

pengobatan yang tidak rasional dapat menyebabkan pengobatan yang tidak

aman, kambuhnya penyakit dan masa sakit memanjang. Juga

membahayakan dan menimbulkan kekhawatiran pasien serta

membengkaknya biaya (Madsuki, 2010).

Menurut Tripathi (2008) terdapat faktor–faktor yang dapat

menyebabkan kegagalan terapi antibiotik salah satunya munculnya

organisme resisten atau organisme yang menginfeksi berubah sehingga

dapat menyebabkan kekambuhan pada penyakit tersebut.

3. Hubungan penggunaan antibiotik terhadap tingkat kekambuhan ISPA pada


balita di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31
Desember 2016.
Dari hasil analisis didapatkan bahwa nilai signfikansi = 0.004, maka H0

ditolak yang artinya Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan

antibiotik terhadap tingkat kekambuhan ISPA di Puskesmas Cilembang Kota

Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31 Desember 2016. Peresepan yang tidak

tepat dapat berkontribusi dalam kejadian resistensi antibiotik. Sebesar 30%-

50% indikasi terapi, pemilihan antibiotik atau durasi terapi antibiotik tidak

tepat. Konsentrasi subterapetik dapat memicu resistensi antibiotik (Ventola,

2015). Terlepas dari kesalahan dan ketidaktepatan dalam pemberian terapi,

hal tersebut akan berpengaruh pada meningkatnya biaya perawatan dan

penurunan kualitas pelayanan rumah sakit (Anggraini et al., 2014). Menurut

41
(Maksum et al., 2010) frekuensi kesalahan peresepan yang terjadi terbanyak

adalah kesalahan dosis (62 %), memberikan reaksi alergi (20 %), terapi

ganda (7 %).

Centers for Disease Control and Prevention (2013) menyebutkan

bahwa terapi simtomatik untuk ISPA bukan pneumonia tidak

merekomendasikan penggunaan antibiotik. Antibiotik sebagai obat untuk

menanggulangi penyakit infeksi, penggunaannya harus rasional, tepat dan

aman. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan

dampak negatif, seperti terjadi kekebalan kuman terhadap beberapa

antibiotik, meningkatnya efek samping obat dan bahkan kematian.

Penggunaan antibiotik dikatakan tepat bila efek terapi mencapai maksimal

sementara efek toksis yang berhubungan dengan obat menjadi minimum,

serta perkembangan antibiotik resisten seminimal mungkin (Morrison, M.,

J., 2004).

Pada kenyataannya, penggunaan antibiotik pada ISPA seringkali tidak

rasional. Data Depkes tahun 2011 menunjukkan 60% penderita ISPA

mengkonsumsi antibiotik dengan tidak tepat yaitu terlalu banyak atau tidak

sesuai dosis, lama konsumsi tidak tepat, peresepan obat tidak sesuai

diagnosis, serta pengobatan sendiri dengan obat yang seharusnya didapat

melalui resep dokter. Terlalu sering mengkonsumsi antibiotik berarti

membunuh seluruh kuman jinak yang bermanfaat bagi tubuh. Jika populasi

kuman jinak yang bermanfat bagi tubuh terbasmi, keseimbangan

mikroorganisme tubuh bisa terganggu, sehingga jamur yang tadinya takut

42
oleh kuman-kuman yang ada di tubuh kita berkesempatan lebih mudah

menyerang, maka dari itu menyebabkan kekambuhan atau menimbulkan

penyakit yang baru (Tripathi, 2003).

Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan studi terapi akan

meningkatkan dampak negatif, seperti terjadi kekebalan kuman terhadap

beberapa antibiotik, meningkatkan kejadian efek samping obat, biaya

pelayanan kesehatan menjadi tinggi. Atas dasar semua ini, penggunaan

antibiotik perlu diatur agar dapat secara tepat diterapkan dengan pendekatan

struktural. Apabila antibiotik digunakan secara luas di Rumah sakit atau

pelayanan kesehatan lainnya dalam dosis yang tidak akurat dan waktu yang

lama, maka akan resisten (Sastromihardjo, 1997).

Centers for Disease Control and Prevention (2013) menyebutkan

bahwa pemberian terapi antibiotik yang kurang tepat dapat menimbulkan

masalah resistensi dan potensi terjadinya kejadian efek samping sehingga

diperlukan peran apoteker untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan

antibiotik. Meningkatnya kejadian resistensi antibiotik menjadi penyebab

dalam perkembangan infeksi menjadi lebih parah, terjadinya komplikasi,

waktu tinggal di rumah sakit yang menjadi lebih lama dan meningkatnya

risiko kematian (Llor & Bjerrum, 2014).

Pemberian antibiotik yang kurang dosisnya tersebut menyebabkan

resistensi bakteri terhadap obat tersebut yang akan menyebabkan

pembiayaan kesehatan akan meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi

efek maksimal obat adalah penentuan dosis, cara dan lama hari pemberian

43
yang tepat. Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik obat akan

mempengaruhi besarnya dosis dan cara dan frekuensi pemberian sedangkan

lama pemberian obat berdasarkan pada sifat penyakit tersebut seperti akut,

kronis atau kambuh secara berulang (Isnaini, 2007).

Penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang

meluas dan irasional. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk

kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang

tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa faktor yang mendukung

terjadinya resistensi, antara lain (Depkes RI, 2014) :

a. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) dimana pemakaiannya

terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosis awal yang

salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

b. Faktor yang berhubungan dengan pasien yaitu pada pasien dengan

pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan

antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus,

misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat.

c. Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care

expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru.

d. Penggunaan monoterapi dibandingkan dengan penggunaan terapi

kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan

resistensi.

e. Perilaku hidup tidak sehat terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya

tidak mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat

yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.


44
f. Kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan

antibiotik baru.

g. Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan

pemakaian antibiotik, misalnya, pasien dapat dengan mudah

mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu

juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan

mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi.

Masalah utama penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan sering

dikarenakan kebiasaan yang telah lama dilakukan, mengikuti kecenderungan

terbaru yang belum terbukti secara lmiah, tidak berdasarkan pada prinsip

bermanfaat bagi pasien, aman, bukti ilmiah, dan pedoman terapi yang

ditetapkan (Siswati,2009).

Inrud (2009) mengkategorikan faktor-faktor yang menyebabkan

kecenderungan penggunaan obat yang tidak rasional :

a. Pasien
Adanya informasi yang salah tentang obat, kepercayaan tertentu yang

tidak benar, harapan dan permintaan pasien terhadap obat tertentu.


b. Pemberi obat
Kurangnya pengetahuan dan pelatihan, peresepan yang tidak tepat,

kurangnya informasi tentang obat, kepercayaan yang salah tentang

manfaat obat.
c. Tempat kerja
Banyaknya pasien, tekanan pada penulisan obat, kurang pemeriksaan

laboratorium.
d. Sistem pendistribusian
Distribusi obat mendekati kadaluarsa, kekurangan obat, kelebihan obat.
e. Peraturan
Kurang peraturan yang mendukung, penulisan resep yang tidak terdidik,

tidak tersedia obat esensial.


45
f. Industri obat
Aktivitas promosi serta harapan atau tuntutan yang salah dari pimpinan.
Salah satu pembuatan resep yang tidak rasional adalah penggunaan

obat, padahal indikasi penyakit tidak memerlukan obat, seperti penelitian ini

penggunaan antibiotik pada penderita ISPA bukan pneumonia.

Menurut Tripathi (2008) terdapat faktor–faktor yang dapat

menyebabkan kegagalan terapi antibiotik salah satunya munculnya

organisme resisten atau organisme yang menginfeksi berubah sehingga

dapat menyebabkan kekambuhan pada penyakit tersebut.

Peresepan obat sesuai standar merupakan peresepan obat yang

rasional yaitu mengeluarkan resep obat sesuai standar yang digunakan.

Peresepan obat sesuai standar merupakan peresepan obat yang benar, jelas

dan sesuai dengan kebutuhan pasien yang mempertimbangkan jenis obat

yang diberikan, dosis, lama pemberian, dan terjangkau untuk masyarakat

(WHO, 2010).

Peresepan obat yang tidak tepat akan menghasilkan pengobatan yang

tidak tepat, hal ini dapat menyebabkan dampak seperti terjadinya resistensi

antimikroba, terjadinya efek yang tidak diinginkan, pengeluaran

pembiayaan yang terlalu besar dan kekambuhan yang berulang akibat

penggunaan obat yang diluar batas (WHO, 2010).

Dari output Chi square didapatkan bahwa nilai signfikansi = 0.004,

maka H0 ditolak yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara

penggunaan antibiotik terhadap tingkat kekambuhan ISPA pada balita di

Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31 Desember

46
2016. Hasil penelitian ini sama halnya dengan penelitian Sukarto et al

(2016) yaitu hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di Puskesmas Bilalang Kota Kotamobagu.

Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara peran

orang tua dengan kekambuhan ISPA pada balita dan pada penelitian

Alfaqinisa (215) Hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku

orang tua tentang pneumonia dengan tingkat kekambuhan pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Ngesrep Kota Semarang tahun 2015

Kesimpulan penelitian ini ada hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap,

dan perilaku orang tua dengan tingkat kekambuhan pneumonia pada balita

di Puskesmas Ngesrep. Penelitian – penelitian diatas mendukung pada

penelitian ini yaitu meneliti mengenai tingkat kekambuhan ISPA pada balita

yang dimana hasilnya memiliki hubungan.

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini antara lain karena pengambilan data

menggunakan data sekunder, maka sulit mendapatkan data dengan keterangan

klinis yang lengkap. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross-

sectional, rancangan tersebut memiliki kelemahan antara lain korelasi faktor

risiko dengan dampaknya adalah paling lemah bila dibandingkan dengan

rancangan penelitian analitik lainnya, penelitian cross-sectional dengan tujuan

analitis sulit untuk menentukan komparibilitas kedua kelompok yang

dibandingkan karena tidak diketahui apakah insidensi terjadi sebelum atau

sesudah pajanan, nilai prognosisnya lemah atau kurang tepat (Budiarto, 2013).

47
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan penggunaan antibiotik

dengan tingkat kekambuhan ISPA pada balita di Puskesmas Cilembang Kota

Tasikmalaya Periode 1 Januari – 31 Desember 2016 didapatkan simpulan

sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan penggunaan antibiotik dengan tingkat kekambuhan

ISPA pada balita di Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Periode 1

Januari – 31 Desember 2016.


2. Penggunaan antibiotik terhadap balita ISPA di Puskesmas Cilembang Kota

Tasikmalaya pada Periode 1 Januari – 31 Desember 2016 sebanyak

53,95%.
3. Tingkat kekambuhan ISPA pada balita di Puskesmas Cilembang Kota

Tasikmalaya pad Periode 1 Januari – 31 Desember sebanyak 46,34%.

B. Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai pola

peresepan obat dengan diagnosis ISPA jadi tidak hanya tentang penelitian

antibiotika.
2. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang rasionalitas pengobatan pada

penyakit ISPA, terutama pada pasien anak-anak.


3. Perlunya penelitian selanjutnya dengan penelitian yang berbeda tempat

terutama setiap daerah yang dalam cakupan wilayah Negara Indonesia.


48
4. Perlunya penelitian selanjutnya apabila tertarik dengan penelitian yang sama

disarankan untuk mengembangkan penelitian dengan menggunakan

pendekatan yang berbeda seperti penelitian kualitatif, sehingga dapat

melengkapi penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

AHFS. (2005). AHFS Drug Information. Bethesda: American Society of Health


System Pharmacists.

Alfaqinisa, R. (2015). Hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku


orang tua tentang pneumonia dengan tingkat kekambuhan pneumonia
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Ngesrep Kota Semarang.
Skripsi. UNS

Alumran, Arwa, Hou, X.Y., & Hurst, C. (2012). Assesing the overuse of antibiotcs
in children in Saudi Arabia: validation of the parental perception on
antibiotics scale (PAPA scale). Health and Quality of Life Outcomes.

American Society of Health System Pharmacists. (2008). AHFS Drug


Information, United States of America: American Society of Health
System Pharmacists.

Amin, L. Z. (2014). Pemilihan antibiotik yang rasional. Medicinus, 27(3), 40-45.

Anggraini, A.B., Opitasari, C., & Sari. (2014). The use of antibiotic the use of
antibiotics in hospitalized children patients in an Indonesian hospital.
Health Science Journal of Indonesia, 5(1), 40-43.

49
Aprilia, R. D. A. (2015). Evaluasi penggunaan antibiotik ispa non-pneumonia
Pada pasien anak di instalasi rawat jalan Rumah sakit demak tahun
2013. (skripsi). UMS.

Budiarto, E. (2013). Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC

Centres for Disease Control and Prevention. Antibiotic/Antimicrobial Resistance,


(2013). http://www.cdc.gov/drugresistaJnce/,accessed Februari, 2015.

Depkes RI. (2008). Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran


Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. (2004). Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) untuk Penanggulangan Pneumonia pada
Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. (2009). Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) untuk Penanggulangan Pneumonia pada
Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (2014). Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) untuk Penanggulangan Pneumonia pada
Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Fauziyah, S. (2010). Hubungan antara penggunaan antibiotika pada terapi empiris


dengan kepekaan bakteri di ruang perawatan icu (intensive care unit)
rsup fatmawati jakarta periode januari 2009 - maret 2010. universitas
indonesia.

Febiana Tia. (2012). Kajian rasionalitas penggunaan antiboitik di bangsal anak


RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Agustus-Desember 2011.
Laporan Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

Fida, M. (2012). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta: D-MEDIKA.

Hidayati, T.N. (2012). Tingkat pengetahuan tentang ispa pada balita dan sikap
tentang pencarian pengobatan di wilayah kerja Puskesmas Jogonalan
Kabupaten Klaten. Universitas Muhammadiyah Semarang.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2008). Buku Ajar Respirologi anak, edisi
pertama. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Indonesia, K.K. (2015). Profil kesehatan Indonesia.

50
Isnaini, N., 2007. Analisis Utilisasi Resep Antibiotik Pasien Rawat Jalan Tingkat
Pertama (RJTP) di Puskesmas Tebet Jakarta Selatan, Tahun 2005.
Kesmas: National Public Health Journal 1, 266–274.

Inrud. (2009). Framework for changing drug use practices. Padang: Fakultas
Kedokteran Unand Padang.

Kemenkes RI. (2011). Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Jakarta:


Kemenkes RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Gunakan antibiotik secara tepat


untuk mencegah kekebalan kuman. Jakarta: Pusat Komunikasi Publik,
Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.

Lim, K.K. & Teh C.C. (2012). A cross sectional study of public knowledge and
attitude towards antibiotics in Putrajaya, Malaysia. Southern Med
Review. 5 (2), 26-33.

Llor, C. & Bjerrum, L. (2014). Antimicrobial resistance: risk associated with


antibiotic overuse and initiatives to reduce the problem. Ther Adv
Drug Saf., 5 (6), 229–41.

Masduki. (2010). Hubungan sikap dan persepsi dengan kepatuhan Dokter pada
pengobatan rasional penyakit Ispa (infeksi akut saluran pernapasan
atas) Di puskesmas kabupaten tulungagung. (tesis). UNS.

Maksum, R., Nurgani, A., Endang, P., 2010. Faktor yang mempengaruhi ketidak
sesuaian pengunaan antibiotika dengan uji kepekaan di ruang intensif
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001–2002. Makara of health
series 8.

Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak,


Orang Dewasa, Usia Lanjut Edisi 1. Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Mitrea, LS. (2008). Pharmacology. Canada: Natural Medicine Books.

Morrison, M., J. (2004). Manajemen Pengobatan. Jakarta: EGC

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Narsiti N. (2013). Buku Ajar Respirologi Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.

Nelson. (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta: EGC

51
Notoadmodjo. (2014). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.

Oktaviani, I., Hayati, S., Supriatin, E. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan


dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ispa) pada balita di
Puskesmas Garuda Kota Bandung. Lembaga Penelitian & Pengabdian
Masyarakat.

Pharmaceutical Care Network Europe. (2003). PCNE Classification for Drug


Related Problem , Pharmaceutical Care Network Europe Foundation.

Putra, D.H.S. (2014). Keperawatan Anak dan Tumbuh Kembangan. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Rachmawati, D.A. (2013). Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian


pneumonia pada balita umur 12 - 48 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Mijen Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro, 2(1); 1-10.

Rahajoe, N, dkk. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak edisi pertama. Jakarta:
Badan penerbit IDAI.

Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar Badan penelitian dan
Pembangunan Kesehatan kementrian Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Riset Kesehatan Dasar.

Sastromihardja dan Herry S. (1997). Penggunaan Antibiotik Yang Rasional,


Cetakan I, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta.

Siswati. (2009). Analisis penggunaan antibiotika yang tidak rasional pada balita
penderita bukan penumonia di kota Padang. Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Padang.

Stringer, Janet L. (2006). Basic concepts in pharmacology: a student’s survival


guide. Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. h. 186 –199.

Suaifan G et al. (2012). Knowledge, attitudes and behavior regarding antibiotics


use and misuse among adults in the community of Jordan. A pilot
study. Saudi Pharmaceutical Journal: 20, 125–133

Sudjadi dan Rohman, A. (2008). Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

Sugiarti, T., Sidemen, A., Wiratmo, W. (2015). Studi penggunaan antibiotik pada
pasien penyakit ispa usia bawah lima tahun di instalasi rawat jalan

52
Puskesmas Sumbersari periode 1 Januari-31 Maret 2014 (study of
antibiotics use on ari patients in under five years outpatient clinic,
sumbersari faktor intrinsik dan ekstrinsik yang berpengaruh terhadap
infeksi saluran pernapasan akut (ispa) pada balita. Pustaka Kesehatan;
3, 262–266.

Sukarto, R.C.W., Ismanto, A.Y., Karundeng, M. (2016). Hubungan peran orang


tua dalam pencegahan ispa dengan kekambuhan ispa pada balita di
Puskesmas Bilalang Kota Kotamobagu. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Tobat, S.R., Mukhtar, M.H., Pakpahan, I.H.D. (2015). Rasionalitas penggunaan


antibiotika pada penyakit ispa di Puskesmas Kuamang Kuning I
Kabupaten Bungo. Scientia-Jurnal Farmasi dan Kesehatan. 5, 79–83.

Trisnawati, Y. (2013). Analisis 2013. The Health Journal.

Tripathi, K. D. (2003). Antimicrobial Drugs: General Consideration Essential of


Medical Pharmacology Fifth edition. Jaypee: Brothers Medical
Publishers.

Tripathi, K. D. (2008). Essential of Medical Pharmacology ed 6th, Jaypee:


Brother Medical Publisher LTD, New Delhi, pp. 667-808.

Ventola, C.L. (2015). The antibiotic resistance crisis: part 1: causes and threats. P
& T : Apeer-reviewed journal for formulary management. 40 (4), 277–
83.

Wahyono, D., Hapsari, I., Astuti, I.W.B. (2008). Pola pengobatan infeksi saluran
pernapasan akut anak usia bawah lima tahun (balita) rawat jalan di
Puskesmas I Purwareja Klampok Kabupaten Banjarnegara. Majalah
Farmasi Indonesia. 19 (1), 20-24.

WHO. (2007). WHO Model Prescribing Information Drug Use in Bacterial


Infection. Geneva: WHO, 14-17.

WHO. (2008). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut


(ISPA) yang cenderung menjadi epidem dan pandemi di fasilitas
pelayanan kesehatan. diakses 05 Oktober 2016.

WHO. (2010). Management Sciences for Health. Drug and Therapeutics


Committees: A Practical Guide, Geneva, Switzerland.

Yetti, O.K., Wandira. (2015). Kerasionalan penggunaan antibiotik pada anak


penderita infeksi saluran pernafasan akut (ispa) di instalasi rawat jalan

53
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu. Cerata Jurnal Ilmu Farmasi.
Journal Of Pharmacy Science.

54
Lampiran 1 Surat persetujuan etik

55
Lampiran 2. Surat pre penelitian

56
Lampiran 3. Surat ijin penelitian

57
Lampiran 4. Dokumentasi

58
59
60
Lampiran 5. Uji korelatif penggunaan antibiotik dan tingkat kekambuhan
ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
tingkat_kambuh * 76 100.0% 0 0.0% 76 100.0%
penggunaan_antibitiotik

tingkat_kambuh * penggunaan_antibitiotik
Crosstabulation
Count
penggunaan_antibitiotik
iya tidak Total
tingkat_kambuh rendah 19 29 48
sedang 18 4 22
tinggi 4 2 6
Total 41 35 76

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 11.256 2 .004
Likelihood Ratio 11.940 2 .003
Linear-by-Linear Association 7.566 1 .006
N of Valid Cases 76
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2.76.

61

Vous aimerez peut-être aussi