Vous êtes sur la page 1sur 4

ABDOEL MOEIS

Nama Lengkap : Abdoel Moeis


Alias : Abdul Muis
Profesi : Sastrawan
Agama : Islam
Tempat Lahir : Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat
Tanggal Lahir : Selasa, 3 Juli 1883
Zodiac : Cancer
Warga Negara : Indonesia

Abdoel Moeis dilahirkan di Sungai Puar, Sumatera Barat, tanggal 3 Juli 1883. Ia pernah belajar di
Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA) namun tidak sampai lulus. Dengan berbagai cara, ia berjuang
sekuat tenaga agar negerinya terbebas dari penjajahan yang menyengsarakan.

Melalui kepiawaiannya menulis, ia tidak hanya dikenal sebagai wartawan handal, namun juga
sastrawan besar Indonesia. Salah Asuhan dan Surapati merupakan buah karyanya yang melegenda.
Dalam dunia jurnalistik, ia tercatat bekerja pada surat kabar Preanger Bode Bandung, harian De
Expres, harian Kaoem Moeda dan juga Neraca. Dalam kancah organisasi kebangsaan, ia bergabung
dengan organisasi Sarekat Islam hingga diangkat menjadi anggota pengurus besar. Ia pernah diajak
memboikot perayaan seratus tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Perancis. Akibatnya, ia
harus berhadapan dengan pengadilan yang mengadilinya.

Di setiap kesempatan, Abdul Muis selalu memanfaatkannya untuk kepentingan negeri tercintanya.
Ketika ia dikirim ke negeri Belanda pada tahun 1917 atas nama Komite Ketahanan Hindia Belanda
(Indie Weerbaar), ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mempengaruhi tokoh-tokoh politik
Belanda guna mendirikan Sekolah Teknologi Tinggi (Technische Hooge School) di Indonesia.
Perjuangannya berhasil, sekolah itu akhirnya didirikan di Indonesia dan sekarang terkenal dengan
nama Institut Teknologi Bandung (ITB).

Abdul Muis bersama dengan Umar Said Cokroaminoto yang mewakili Sarekat Islam dalam
Volkstraad (Dewan Rakyat) pada tanggal 25 November 1918 pernah mengajukan mosi terhadap
pemerintah Kolonial Belanda agar membentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih sendiri
oleh rakyat.

Ia juga memimpin pemogokan massal para buruh di Yogyakarta pada tahun 1922. Karena
perlawanan yang ditunjukkannya, pemerintah Kolonial Belanda akhirnya menangkap dan
mengasingkan Abdul Muis ke Garut, Jawa Barat, pada tahun 1927. Di Garut, Abdul Muis membentuk
Persatuan Perjuangan Priangan untuk membantu perjuangan para pejuang dalam rangka melawan
penjajah. Ia seperti tidak kehabisan akal dan cara untuk menunjukkan perjuangannya melawan
penjajah.

Pejuang dan sastrawan besar ini wafat pada tanggal 17 Juni 1959 di Bandung. Jenazahnya
dimakamkan pula di Kota Kembang itu. Pemerintah Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional pada tahun 1959.
Abdoel Moeis, tokoh pergerakan dan pahlawan nasional berdarah minang yang lahir pada 3 Juli 1883, tepatnya di Sungai Puar,
Bukittinggi, Sumatera Barat. Tak banyak yang dapat diketahui sebelum Abdoel Moeis muda mengenyam pendidikan dasarnya pada
sekolah Belanda tingkat persiapan Stovia di Bukittinggi untuk kemudian menuju Bandung dan tinggal lama di kota ini. Tak heran jika
Bandung memiliki ikatan erat dengan tokoh yang satu ini, hingga lokasi sekitar terminal pusat kota Bandung kemudian disebut terminal
Abdoel Moeis untuk menggantikan nama terminal Kebon Kalapa.
Sekitar tahun 1903-1905, Abdoel Moeis muda diterima bekerja di Departemen Pengajaran dan Keagamaan atas jasa Mr. Abendanon.
Abdoel Moeis pernah ditempatkan di Bank Rakyat. Di sini, nalurinya terhadap kerakyatan mulai terpupuk. Abdoel Moeis geram melihat
kasus pungutan liar yang dilakukan oleh lurah dan kaum priyayi rendahan pada orang-orang desa, dan pada akhirnya memutuskan
keluar dari pekerjaan yang mapan tersebut.
Di sinilah karir Abdoel Moeis yang sesungguhnya dimulai. Mengawali karir sebagai korektor naskah yang masuk ke suratkabar
berbahasa Belanda, Preangerbode. Nama Abdoel Moeis mulai dikenal banyak orang saat artikelnya yang banyak dimuat di harian De
Express selalu mengecam tulisan orang-orang kolonialis Belanda. Setelah De Expres dilarang terbit akibat artikel keras Soewardi
Soerjaningrat "Als Ik Ees Nederlander was" pada 1912, Moeis bekerja di suratkabar Kaoem Moeda, koran pertama yang mengenalkan
rubrik "Pojok" sejak tahun 1913-an. Posisi Moeis sebagai redaktur serta mengurusi masalah-masalah penerbitan dan pemasaran,
membuatnya lebih leluasa untuk melanjutkan perjuangan dengan pena sebagai senjata. Koran Kaoem Moeda ini menjadi tulang
punggung perjuangan Sarekat Islam di Bandung. Selain itu, Abdoel Moeis juga masuk ke keredaksian Oetoesan Hindia, organ internal
SI, pada 1915 serta tercatat pula sebagai redaktur di majalah Hindia Sarekat yang didirikannya bersama bersama Soewardi
Soerjaningrat dan A.Widnjadisastra. 50 persen penghasilan dari majalah Hindia Sarekat itu dimasukan untuk kas Sarekat Islam, untuk
membantu pergerakan.
8 September 1917, Moeis bergabung dengan Neratja sebagai pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Moeis yang radikal menjadi pemicu
perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada setiap tulisannya, secara konsisten ia suarakan komitmennya terhadap perbaikan
nasib pribumi. Moeis juga memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan perusahaan-perusahaan gula.
Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat (asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda.
Abdoel Moeis juga mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh penting pergerakan yang berpengaruh, serta terjun pada organisasi Sarekat
Islam sejak 1913. Nyaris sebagian besar masa mudanya ia baktikan untuk perjuangan bersama organisasi Islam ini, Dan mulai April
1914 hingga beberapa tahun setelahnya, Moeis dipercaya menjadi wakil ketua Central Sarekat Islam (CSI, pengurus pusat SI)
mendampingi Tjokroaminoto. Sejak saat itu, dengan cepat Moeis menjelma menjadi sosok intelektual yang berpengaruh. Abdoel Moeis
juga dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soeryaningrat. Keempatnya
terlibat dalam Komite Boemi Poetra, yang menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol.
Keempatnya menentang keras dan menolak dengan tegas karena Belanda akan merayakan kemerdekaan di tanah yang dijajahnya.
Abdoel Moeis dikenal sebagai pembela kepentingan rakyat kecil. Ia sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk membela
kepentingan rakyat serta mengobarkan semangat pemudanya agar semakin giat berjuang meraih kemerdekaan. Kemerdekaan, selalu
menjadi impian terbesar Moeis. Ia juga tak pernah sepakat dengan penamaan Hindia Belanda. Baginya, Hindia Belanda adalah sebuah
hubungan dari Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi, dengan kata lain mendefinisikan daerah jajahan.
Moeis lalu memberi makna politis dalam bentuk Hindia yang harus merdeka. Berikut sedikit dari cungkilan pemikiran Moeis,
"Selama bumiputera tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta tanah air dan bangsa itu
harus dibangunkan dalam kalbu bumiputera. Selama bumiputera tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia
harus mempunyai sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputera haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena
dengan alasan itu saja suatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya."
Setelah meletus Perang Dunia I, pada tahun 1917 Abdoel Moeis mewakili Sarekat Islam dan lima orang lain yaitu Pangeran Ario
Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas
Ngabehi Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev diutus ke Belanda sebagai
anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia. Selain itu, ada seorang pendamping
yaitu Dirk van Hinloopen Labberton, seorang tokoh pendukung Politik Etis.
Komite Indie Weerbaar adalah barisan pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia yang merencanakan
akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi. Rencana ini mendapat reaksi keras dari anggota SI di Kota
Semarang, namun begitu Abdoel Moeis tetap berangkat ke Belanda. Menurut Moeis, dengan masuknya rakyat ke dalam angkatan
bersenjata akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan yang lebih tangguh dan dapat dibanggakan di dalam sistem hirarki sosial.
Menjelang kepulangan ke Hindia Belanda, diadakan pesta besar yang diselenggarakan Jenderal Van Heutsz dan dihadiri oleh para
tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan dunia usaha, yang kemudian menyepakati untuk mendirikan sekolah politeknik di
Hindia. Menurut Dirk van Hinloopen Labberton, jika ada perang, bumiputera pertama tama mesti melindungi kepentingannya sendiri.
Labberton juga menjelaskan bahwa tidak lama lagi oleh usaha pihak partikulir di Hindia, kira kira di Bandoeng, akan didirikan
Technische Hooge School. Hal ini tentu seolah menjadi angin segar mengingat mendirikan Sekolah Teknik Tinggi di Hindia Belanda
sebenarnya sudah menjadi pemikiran elite Bumiputera dan sementara pengusaha dan industriawan Belanda di Hindia sebelum 1917.
Misalnya dalam Doenia Bergerak No. 18 (1914) sudah muncul tulisan berjudul "Pendapatan hal Techniche Hooge School di
Hindia" Soewardi Soerjaningrat yang ketika itu (1917) masih di Nederland gencar sekali mendukung pendirian Sekolah Tinggi Teknik
itu.
Sesampainya di Hindia Belanda, delegasi Indie Weerbaar, khususnya Abdoel Moeis berupaya melakukan negosiasi hingga disetujuinya
pembentukan komisi untuk pendidikan teknik di Hindia oleh Ratu Belanda dan 14 pengusaha Belanda yang memberikan dukungan
finansial penuh. Pada tahun 1920, sekolah yang diimpikan itu berdiri di Kota Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS).
Menurut keterangan putrinya, Dr. Diana Moeis, ayahnya pernah bercerita bahwa lokasi THS yang sekarang disebut sebagai Intitut
Teknologi Bandung itu usulan ayahnya. Pembangunan gedung THS juga tak lewat dari masukan dari Abdoel Moeis yang menginginkan
agar ada unsur pribumi dalam bangunan tersebut.
Dalam karir politiknya, Abdoel Moeis pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bersama H.O.S Tjokroaminoto sebagai
perwakilan dari SI. Di forum inilah Moeis dengan gencar mengecam penamaan Hindia Belanda untuk wilayah nusantara. Ia adalah
salah satu penggagas lahirnya nama Indonesia. Keterlibatan Moeis dan Tjokroaminoto dalam Volksraad ini juga ditentang oleh
Semaoen, Darsono, dan anggota SI Semarang lainnya. Sementara itu, Moeis dengan pemikiran modernnya berpikiran bahwa
Volksraad adalah tempat yang tepat untuk menggerakkan harapan-harapan pemuda. Dengan Volksraad pula, suara bumiputera akan
bisa lebih terakomodasi dalam rangka mewujudkan tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri bagi Hindia. Pertentangan di tubuh
internal SI berlanjut dan semakin parah. Anggota SI Semarang yang digalang Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka adalah anggota
dengan karakter radikal, serta juga menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet yang
adalah cikal-bakal partai beraliran komunis di Indonesia.
Menurut Soe Hok Gie di bukunya ‘Di Bawah Lentera Merah’, mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal perseteruan
keduanya antara kedua SI. Hal pertama mengenai agama. Kelompok Moeis menginginkan agar Islam diperkembangkan melalui partai,
sedangkan Semaoen beranggapan cukup agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Hal kedua mengenai
nasionalisme. Kelompok Moeis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya, sementara kelompok
Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang paling utama. Hal ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme.
Keduanya sepakat: untuk memperoleh kemerdekaan diperlukan dana perjuangan. Bagi kelompok Moeis modal boleh dimiliki oleh
individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.
Dalam salah satu bentuk penyadaran nasionalisme bumiputera, Abdoel Moeis berkata:
"Yang menjadi tujuan daripada perhimpunan kaum pribumi itu adalah memperbaiki nasib kaum bumiputera. Sedangkan bila ia melihat
lebih jauh maka tidak dapat tidak akan nampak bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut hanya satu tujuannya, yaitu kemerdekaan
Hindia."
Dalam sambutannya di Kongres Nasional SI Kedua, Bandung 20-27 Oktober 1917, Abdoel Moeis melanjutkan gagasannya, "Putera-
puteri Hindia tetap mengarahkan pandangannya kepada tujuan yang telah mereka idam-idamkan: melepaskan diri dari belenggu yang
mengikat mereka."
"Yang pertama-tama harus kita miliki untuk usaha yang sukar dan berbahaya ini adalah rasa Kebangsaan, yaitu cinta kepada negara
dan sesama bangsa kita. Bila kita renungkan betapa buruknya nasib negara dan sesama bangsa kita yang beratus-ratus tahun
terbelenggu oleh orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita, berdiri bulu roma, dan kita merasa kasihan kepada negara dan
sesama bangsa kita."
Di akhir orasinya, Moeis lagi-lagi menegaskan pentingnya menumbuhkan cinta tanah air serta menekankan perlunya merapatkan
barisan dan menghemat energi untuk kepentingan-kepentingan dalam negeri terlebih dahulu, meski juga mesti tanpa
mengesampingkan perkembangan global. "Untuk memperbaiki rumah tangga seluruh dunia tidak usah kita terlebih dahulu menjadi
kaum internasionalis."
Selain berjuang bersama Sarekat Islam dan rutin menulis di Koran Kaoem Moeda, Abdoel Moeis dikenal piawai dalam mempengaruhi
massa. 11 Januari 1922, Moeis memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta sebagai reaksi atas pemecatan pekerja pribumi secara
sepihak oleh pemerintah. Saat itu, Moeis menjabat sebagai ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera (PPPB). Aksi mogok
ini dengan cepat meluas hingga luar Yogyakarta dan dalam waktu 2 minggu, sekitar 1.000 orang buruh pegadaian Karesidenan
Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, serta Surabaya mengadakan aksi mogok kerja secara massal.
Pemogokan besar-besaran ini membuat pemerintah kolonial kelabakan dan mengajukan perundingan. Moeis pemecatan buruh
dibatalkan dan meminta pemerintah membentuk komite penyelidik ketidakpuasan para buruh pegadaian. Sayangnya, tuntutan Moeis
tak digubris pemerintah sehingga membuat Moeis geram dan menggalang pemogokan dengan massa yang lebih besar. Pemogokan
pekerja pribumi menurut Abdoel Moeis adalah sebuah bentuk perjuangan nasional. Sebagai akibat pembangkangannya pada
pemerintah kolonial, pada 8 Februari 1922 Moeis ditangkap dan diasingkan ke Garut. Pengasingan ini membuatnya tak lagi bisa
bergabung bersama rekan seperjuangannya, dan akhirnya memutuskan menjadi petani. Paska kemerdekaan, ternyata Belanda tak
meninggalkan Hindia begitu saja dan melancarkan agresi militer. Moeis yang saat itu berada di pengasingan, memutuskan untuk
membentuk Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Laskar perjuangan ini
ia pimpin dengan segenap hati sebagai pengabdian pamungkasnya terhadap Republik Indonesia hingga akhirnya menutup usia di kota
Bandung pada 17 Juni 1959. Perjuangan Abdoel Moeis diakui pemerintah sehingga dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional yang
pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959. Sebagai penghormatan, Moeis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Cikutra, Bandung.
Selain populer sebagai aktivis pergerakan, pejuang intelektual, juga pegiat pers perjuangan, Abdoel Moeis juga terkenal sebagai
sastrawan hebat Indonesia. Salah satu karyanya yang legendaris adalah novel "Salah Asuhan". Novel yang terbit pada tahun 1928 ini,
difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul
Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia, dan masih sering menjadi referensi
sastra hingga kini. Karya Abdoel Moeis lainnya adalah Pertemuan Jodoh (novel, 1933), Surapati (novel, 1950), dan Robert Anak
Surapati(novel, 1953), serta beberapa terjemahan, antara lain; Don Kisot (karya Cerpantes, 1923), Tom Sawyer Anak Amerika (karya
Mark Twain, 1928), Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932), Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).
Riset dan Analisis oleh: Siwi P. Rahayu

PENDIDIKAN
 Pendidikan dasar di sekolah Belanda tingkat persiapan Stovia Bukittinggi

KARIR
 Departemen Pengajaran dan Keagamaan (1903-1905)
 Bank Rakyat
 Korektor naskah surat kabar berbahasa Belanda, Preangerbode
 Redaktur suratkabar Kaoem Moeda
 Redaktur Oetoesan Hindia
 Redaktur majalah Hindia Sarekat
 Pimpinan redaksi Neratja
 Pimpinan NV Neratja
 Wakil ketua Central Sarekat Islam
 Anggota Volksraad (Dewan Rakyat)

Vous aimerez peut-être aussi