Vous êtes sur la page 1sur 13

HUTANG PIUTANG DALAM

ISLAM

NAMA KELOMPOK:
1. Chandrakanti Bratandari
2. Laila Tahira
3. Laras Kusuma W.
4. M. Ridhwansyah K.
5. Raka Dito
6. Resa Ridwan P.
7. Salsabila Aura S.

1
Daftar Isi
Halaman Sampul……………….…………………………….1
Daftar Isi………………………………………………...……2
Kata pengantar………………………………………………..3

BAB I: PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah………………………………………..4
2. Rumusan Masalah………………………………………………4

BAB II: PEMBAHASAN


1. Pengertian Hutang Piutang……………………………………..5
2. Hutang Piutang Menurut Para Ulama……………………………..……….5
3. Hukum dan Dalil Hutang Piutang……………………………....6
4. Rukun dan Syarat Hutang Piutang………………………………9
5. Adab Hutang Piutang…………………………………………..10

BAB III: PENUTUP


1. Kesimpulan…………………………………………..12

Daftar Pustaka………………………………………………..13

2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hutang Piutang dalam Islam”
Dalam makalah ini membahas tentang berbagai masalah hutang piutang dalan islam
dengan adanya makalah ini diharapkan para siswa dapat mengetahui akan berbagai masalah
hukum hutang piutang di dalam agama islam dan dapat melaksanakannya. Dan dalam makalah
ini penulis masih merasa banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari semua pembaca sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini. Akhirnya penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dalam
penyusunan makalah ini dan penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang
setimpal kepada yang telah memberikanbantuan dan dapat menjadikan bantuan ini bernilai
ibadah. Aamiin Yaa Rbbal Alamin

Bogor, 1 April 2018

Pemakalah

3
BAB I: PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah


Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah.
Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial,
sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-
nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk
mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan
baik. Permasalahan tentang hutang sangat banyak, bahkan hutang bisa memutus hubungan
silaturahim bahkan persengketaan diantara manusia, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
membaca doa: "(Artinya = Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari bahaya hutang bahaya
musuh dan kemenangan para musuh)" begitu kawatirnya Rasulullah tentang hutang dari pada
musuh dan kemenangan para musuh. Makalah ini akan membahas tentang hutang, yang
bersumber dari hadits-hadits nabi Muhammad SAW. Dalam makalah ini kita akan mendapat
jawaban dari pertanyaan itu semua, semoga makalah ini sesuai dengan yang kita harapkan dan
menambah pahala bagi penulis dan juga para membaca untuk mengamalkannya.

2. Rumusan Masalah
 Pengertian Hutang Piutang
 Hutang Piutang Menurut Para Ulama
 Hukum dan Dalil Hutang Piutang
 Rukun dan Syarat Hutang Piutang
 Adab Hutang Piutang

4
BAB II: PEMBAHASAN

1. Pengertian Hutang Piutang


Hutang (dayn) adalah kewajiban yang harus ditunaikan kepada pihak lain.
Hutang adalah janji. Janji adalah hutang. Itulah arti sederhana dari hutang. Pemilik
hutang adalah pihak yang memiliki kewajiban. Sedangkan piutang adalah orang yang
memiliki hak atas adanya kewajiban dari pihak lain. Sederhananya, makna piutang
adalah lawan makna dari hutang. Pemilik piutang adalah pihak yang memiliki hak
yang belum ditunaikan oleh pemilik kewajiban.
Dalam syariat Islam, hutang piutang masuk dalam bahasan muamalah (transaksi
non ritual ibadah). Dalam logika fikih muamalah, berlaku kaidah boleh melakukan
apa saja sampai ada dalil larangannya. Inilah prinsip utama yang harus dipahami
sebelum membahas tentang hutang piutang dalam Islam. Adapun transaksi yang
dilarang dalam hutang piutang adalah dengan mensyaratkan dan/atau disyaratkan
adanya kelebihan pengembalian dari pihak yang berhutang. Iniah transaksi ribadalam
hutang piutang dan tidak adil. Kaidah pelarangannya adalah kullu qardhin jarra
manfaah fahuwa ar riba, yakni setiap pinjaman atau hutang piutang yang
mengalirkan atau mensyaratkan adanya kelebihan dalam pengembilannya, maka
termasuk kategori riba. Padahal hukum riba itu diharamkan, mau sedikit ataupun
banyak.

2. Hutang Piutang Menurut Para Ulama

 Al-Hanafiyah

Kalangan ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah


diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi
ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan)
pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya. Mereka beralasan bahwa menunaikan
hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang
telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus
disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh
orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan
telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak
pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup.

 Jumhur Ulama

5
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang
pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada
sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak
memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang
menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.

 Asy-syafi'iyah

Menurut pandangan ulama madzhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.

 Al-Malikiyah

Madzhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib
ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang
piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja madzhab ini
lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba
daripada utang kepada Allah.

 Al-Hanabilah

Ulama madzhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba


dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum
seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.

3. Hukum dan Dalil Hutang Piutang


a. Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang
memberikan hutang hukumnya sunah sebab ia termasuk orang yang menolong
sesamanya.
b. Hukum orang yang berhutang menjadi sunah dan hukum orang yang menghutangi
menjadi wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya
hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan
lain sebagainya, maka Rasulullah saw bersabda :
‫ض ُمس ِلم ِمن َما‬ ً ‫صدَقَتِ َها َكانَ إِلَّ َم َّرتَي ِن قَر‬
ُ ‫ضا ُمس ِل ًما يُض ِر‬ َ ‫َك‬
ً ‫َم َّرة‬
(‫ ماجه ابن رواه‬Artinya : "Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman
kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah
kepadanya dua kali". (HR. Ibnu Majah).
c. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, misalnya memberi hutang untuk
hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam seperti untuk membeli minuman keras,

6
menyewa pelacur dan sebagainya. Adapun yang menjadi dasar hutang piutang
dapat dilihat pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dalam Al-Qur’an terdapat
dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :
…‫اْلث ِم َعلَى تَعَ َاونُوا َو َل‬
ِ ‫ان‬ِ ‫ّللاَ َواتَّقُوا َوالعُد َو‬
َّ ‫ّللاَ إِ َّن‬
َّ ُ ‫شدِيد‬
َ ‫بََال ِعق‬
ِ ‫ا‬
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. al-
Maidah : 2)

d. Hutang piutang hukumnya sangat fleksibel tergantung bagaimana situasi dan


keadaan yang terjadi. Dalam agama Islam, disebutkan ada beberapa dalil tentang
hukum piutang dan selama bertujuan baik untuk membantu atau mengurangi
kesusahan maka hukumnya jaiz atau boleh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 245

yang artinya:
“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS Al-Baqarah
[2] : 245)

Bahkan di jaman sekarang ini, banyak orang yang memanfaatkan hutang piutang
dengan mengambil riba. hukum riba dalam islam sangat diharamkan karena tidak
sesuai dengan syari’at Islam. Bahkan Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat
275

yang artinya:

7
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah [2] : 275)

Allah juga berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 130

yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan
“(QS Ali-Imran [3] : 130)

Dari dua firman Allah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Allah sangat
mengharamkan riba dan memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhi riba.
Hutang piutang berbeda dengan kredit, karena dalam sistem kredit ada tambahan
yang harus dibayar. Sedangkan dalam hutang piutang tidak ada, jumlah yang
dikembalikan harus sama dengan jumlah yang dipinjam dan jika ada tambahan maka
dinamakan riba dan hukumnya haram.
Dalam Islam, ada contoh hutang piutang yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallalluhu ‘Alaihi Wasallam. Pada saat itu, beliau pernah berhutang kepada
seseorang Yahudi dan Beliau melunasi hutangnya dengan memberikan sebuah baju
besi yang telah Beliau gadaikan.

Seperti yang diriwayatkan dalam Hadist Al-Bukhari no. 2200 yang berbunyi:
“ Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-Bukhari no.
2200)

Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam


pernah berhutang, namun itu tidak diartikan bahwa Beliau sangat gemar berhutang.
Karena Rasulullah sendiri sangat menghindari kegiatan berhutang kecuali dalam
keadaan mendesak atau terpaksa.

Hal ini dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiallahu ‘Anhaa
yang berbunyi:

8
“ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dari fitnah
Al-Masiih, Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah!
Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dari
berhutang.”

Berhutang sendiri bukanlah merupakan dosa dan bukan perbuatan yang tercela
jika seseorang yang berhutang tersebut menggunakan apa yang dihutangnya sesuai
dengan kebutuhannya. Namun, dalam hal ini Islam juga tidak membenarkan untuk
gemar berhutang dan tidak bisa mengendalikan diri untuk selalu berhutang.
Hendaknya anda mengetahui hukum tidak membayar hutang agar tidak mudah
melakukan hutang. Karena hal tersebut akan mengarahkan kepada perbuatan yang
munkar. Orang yang terlilit hutang secara otomatis akan menjadi orang yang ingkar
janji dan selalu berdusta. Agama Islam telah menyediakan jalur alternatif untuk
melakukan hutang piutang dengan aman. Seperti kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam yaitu menggadaikan barang yang Beliau miliki.

Seperti yang dikatakan Rasulullah saw. :


“Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar
utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. berkata, ”Rasulullah saw. telah
berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan
yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda, ”Orang yang paling baik di
antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi).

4. Rukun dan Syarat Hutang Piutang


A. Syarat Hutang Piutang
1. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
2. Muqtaridh (peminjam).
3. Qardh (barang yang dipinjamkan)
4. Ijab qabul

B. Syarat Hutang Piutang


1. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
2. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
3. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.

9
5. Adab Hutang Piutang
a. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah Swt :
‫س ًّمى أ َ َجل ِإلَى بِدَين تَدَايَنتُم ِإذَا آ َمنُوا الَّذِينَ أَيُّ َها َيا‬
َ ‫َوليَكتُب فَاكتُبُوهُ ُم‬
‫ِبال َعد ِل َكا ِتب َبينَ ُكم‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”. (QS.
Al-Baqarah: 282)

b. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat
dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
‫ِربًا فَ ُه َو نَفعًا َج َّر قَرض ُك ُّل‬
Artinya: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal
ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

c. Melunasi hutang dengan cara yang baik.


َ ‫َكانَ قَا َل – عنه هللا رضى – ُه َري َرة َ أ َ ِبى‬
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini: ‫عن‬
‫علَى ِل َر ُجل‬ َ ‫اْلبِ ِل ِمنَ ِسن – وسلم عليه هللا صلى – النَّبِ ِى‬ ِ ُ‫ضاهُ فَ َجا َءه‬ َ ‫صلى – فَقَا َل يَتَقَا‬
‫طوهُ « – وسلم عليه هللا‬ ُ ‫ » أَع‬. ‫طلَبُوا‬ َ َ‫ ِسنَّهُ ف‬، ‫ فَوقَ َها ِسنًّا ِإلَّ لَهُ يَ ِجدُوا فَلَم‬. ‫طوهُ « فَقَا َل‬ ُ ‫ » أَع‬.
‫ أَوفَيتَنِى فَقَا َل‬، ‫ّللاُ َوفَّى‬ ُّ ‫ار ُكم ِإ َّن « – وسلم عليه هللا صلى – النَّ ِب‬
َّ َ‫ ِبك‬. ‫ى قَا َل‬ َ ‫ضا ًء أَح‬
َ َ‫سنُ ُكم ِخي‬ َ َ‫ق‬
»
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang,
(yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya.
(Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang
seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih
berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun
menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt.
membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian
adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari)

d. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya.


‫عن‬ َ ‫ع ِن – عنه هللا رضى – ُه َري َرة َ أ َ ِبى‬ َ ‫قَا َل – وسلم عليه هللا صلى – النَّ ِب ِى‬
« ‫اس أَم َوا َل أ َ َخذَ َمن‬ ِ َّ‫ّللاُ أَدَّى أَدَا َءهَا ي ُِريد ُ الن‬
َّ ُ‫ َعنه‬، ‫أَتلَفَهُ ِإتالَ َف َها ي ُِريد ُ أ َ َخذَ َو َمن‬
َّ » Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa
ُ‫ّللا‬
yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya

10
(mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa
mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah
akan membinasakannya”. (HR. Bukhari)

e. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.


Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain
berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau
sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.

f. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan,


Hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang
memberikan pinjaman. Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak
yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman,
karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai
wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

g. Bersegera melunasi hutang.

Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera


mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya
itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah
mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits
berikut:
‫عن‬َ ‫سو َل أ َ َّن – عنه هللا رضى – ُه َري َرة َ أ َ ِبى‬ َّ – ‫قَا َل – وسلم عليه هللا صلى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬
« ‫ظلم الغَ ِن ِى َمط ُل‬ ُ ، ‫علَى أ َ َحدُ ُكم أُت ِب َع فَإِذَا‬
َ ‫ » فَل َيت َبع َم ِلى‬Dari Abu Hurairah ra.,
bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang
dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu
dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih
(diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim).

h. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam


melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah Swt. berfirman:
‫عس َرة ذُو َكانَ َو ِإن‬ َ ‫صدَّقُوا َوأَن َمي‬
ُ ‫س َرة ِإلَى فَن َِظ َرة‬ َ َ ‫تَعلَ ُمونَ ُكنتُم ِإن لَ ُكم خَير ت‬
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

11
BABIII: PENUTUP

KESIMPULAN
Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang
mempunyai tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan
pertolongan berupa materi, dan sangat dianjurkan karena memberikan hikmah dan
manfaat bagi pemberi utang maupun bagi penerima utang. Qardh diperbolehkan
selama tidak ada unsur-unsur yang merugikan salah satu pihak.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://www.bacaanmadani.com/2017/12/pengertian-hukum-dalil-dan-
ketentuan.html
http://wongreceh.blogspot.co.id/2014/05/makalah-utang-piutang.html
http://www.academia.edu/30674388/Definisi_Dasar_Hukum_Rukun_dan
_Syarat_Qardh
https://www.scribd.com/doc/112397153/Makalah-Pengertian-Hutang-
Piutang-Dalam-Islam
https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-hutang-piutang-dalam-
islam
http://pegadaiansyariah.co.id/pengertian-hutang-piutang-dalam-islam-
detail-9450

13

Vous aimerez peut-être aussi