Vous êtes sur la page 1sur 2

Nama laki-laki itu adalah Zachary Nichell.

Ia memiliki postur yang kokoh dan menawan. Rambutnya merah tembaga, matanya biru yang sangat biru,
membuatmu merasa bisa tenggelam kapanpun. Dan walau bukan anggota paling tampan, Zachary merupakan tim
inti klub rugby. Meski bukan pula hal itu yang membuat Aleah Hertzfeld—dengan Diet Mountain Dew nol kalori di
atas meja—menatapnya dari ujung sisi kantin yang berseberangan,

Perempuan itu membasahi bibir, menggigit pipi bagian dalam, sedang jemarinya yang lentik sibuk menjalin satu
sama lain. “Jadi, bagaimana menurutmu?” Aleah pada Agatha. Hijau limau bersirobok, salah satunya sembari
mengerutkan alis. “Tentang?” timpalan sang adik kembar membuat gerik gelisah mahasiswi astronomi tersebut
semakin kentara, kini ia sibuk mengusap hidung. “Well, this is the fifth time…” Sopran yang menutur lirih
mengundang air muka ngeri di wajah Hertzfeld yang lebih muda. Agatha meletakan sendok saladnya, menebalkan
tonika bicara saat berujar: “He’s seriously a creep.”

“No!” jawaban cepat, namun hanya itu saja, setelahnya Aleah kembali mengerut selayak daun kering di musim
gugur. Sopran mencicit pelan, pendar matanya lumer. “Kurasa… bukan seperti itu.” Keyakinan sang sulung yang
berasal dari antah berantah membuat Agatha Hertzfeld memutar bola mata, dan kembali pada salad buahnya alih-
alih tetap mendengar omong kosong. Aleah memajukan bibir, sembari bola mata hijau cerah bergulir pada
sekumpulan lelaki yang ribut di bangku kantin. Mencuri pandang pada Zachary yang sibuk mengunyah setangkup
sandwich sambil terbahak.

Sebelum kilas pandangnya bertubruk dengan salah seorang laki-laki di meja yang sama.

Nama laki-laki itu—siapa?

__________________

Diet Mountain Dew tanpa pemilik kembali menempati meja kantin singgasana Aleah, yang sebulanan ini selalu
jarang diklaim seseorang selain dirinya. Perempuan itu meletakan nampannya di atas meja, namun tidak langsung
mengokupasi tempat duduk kosong tersebut. Jemarinya terulur meraih soda kalengan, menatapnya lamat—walau
tak juga mendapat jawab dari tanya. “Sepertinya Zachary kelupaan dan meninggalkannya disitu.” Aleah yang sedari
awal abai pada penghuni lain di sisi seberang meja, sontak terkesinap sampai genggamnya akan minuman kaleng
tersebut melonggar. Hampir jatuh.

“Z-za-zachary?” sopran tergagap, napasnya kentara memendek. Aleah bahkan tak yakin kemana harus menatap,
terutama saat sosok oriental itu melanjutkan: “Ya, Zachary. Biasanya ia akan menitipkannya pada penjaga kantin,
mungkin kali ini ia benar-benar lupa. Beruntungnya, kelasku selesai lebih awal hari ini.”

Sulung Hertzfeld tidak yakin tentang bagaimana seharusnya ia menanggapi informasi tersebut. Carutmarut
ekspresinya mengundang senyum di perangai maskulin, sebelum telapaknya yang besar menepuk bangku kosong
yang belum juga dijamah Aleah. “Duduklah dulu.” Entah terhipnotis atau pikirannya benar masih mengawang, figur
mungil tersebut perlahan merapatkan dirinya pada bangku yang bersisian dengan sang pemuda anonim. Rahang
bawahnya menggagap, belum yakin mengujar. Gerik lelaki di sisinya kelewat kasual menyantap fettuccine carbonara
yang sebenarnya sudah separuh dingin. Teduh ekspresinya membuat canggung pembawaan Aleah perlahan luruh.

“I don’t think I’ll be able to receive any of this anymore.”

“And why not?”


Saat kepala pirang itu menoleh, ia dapati sang lelaki tengah menjangkarkan pandangan pada dirinya yang
berperangai halus mungil. Kedipnya cepat, lentik bulu mata Aleah meneduhi iris sewarna aurora. Sorot familiar
tersebut membawanya pada kilas balik pekan lalu. Saat hijau limau bersirobok dengan mutiara hitam. Sekilas yang
membekas. Aleah kembali tergagap, walau kini berlandaskan perihal lain. Jemarinya sibuk bertaut kala sopran
menutur, “I just… can’t.” Gadis itu sadar benar kalimatnya tidak mejelaskan apapun, maka dagunya tertunduk,
menguraikan helai sutra serupa surya hingga menutup pandang. Tak ada tukas yang terucap, hanya keheningan yang
naik tahta karena si laki-laki turut bungkam.

Kecuali satu sapuan jari sang maskulin di dekat pipi, upayanya menyingkap gerai pirang yang menutupi perangai
jelita Aleah Hertzfeld. Emeraldnya membeliak, bergetar, namun tidak ada penolakan; gadis itu tidak membencinya.
Aneh, karena putri sulung itu cenderung defensif. Pemuda itu mengakhiri gerik kasualnya dengan poles senyum
ringan, sementara bariton yang menyeloroh pelan mengujar: “Okay.”

Vous aimerez peut-être aussi